Friday, November 11, 2005

Scriptural Borrowing

From: "Shocheh Ha."
Date: Wed, 9 Nov 2005 12:57:08 +0200
Subject: Re: ~JIL~ Scriptural Borrowing (was Re: Mahmoud Ayoub ttg dialog Islam-Kristen)


Perkiraan saya: dengan menerima Islam yuthlaqu `alal aqidah, itu akan banyak
sekali permasalahan yang bisa diselesaikan. Ayat-ayat semisal "lakum dinukum
waliyadin", "man sya'a fal yu'min waman sya'a falyakfur" dan ayat-ayat lain
yang semakna dengan dua ayat tersebut akan cukup menjadi dasar bagi
kedamaian dan toleransi, mungkin juga pluralisme. Namun di sisi lain, kita
juga harus menerima syariat-syariat yang kita ikuti dengan tanpa melakukan
campur-aduk dengan syariat-syariat lainnya, karena masing-masing sudah
merupakan aturan-aturan "baku" bagi tiap-tiap pengikutnya. Jika ini juga
diterima, maka hal-hal semacam, "man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum",
"fa man raghiba `an sunnati falaisa minni", "jangan samai Yahudi atau
Nashrani, perpanjang jenggot" dan sejenisnya bisa ditempatkan sebagai
atribut identitas kelompok. Barangsiapa mengikuti syariat Muhammad maka
atributnya seperti itu, barangsiapa mengikuti yang lainnya maka atributnya
sesuai dengan syariat yang dibawa oleh masing-masing rasul. (Karena saya
mengimani "Allah mengutus rasul kepada setiap kaum/umat" maka saya menerima
Budha, Hindhu, Tao, Konghucu dan lain-lainnya yang mengajarkan kebaikan, tak
kurang dari penerimaan saya terhadap syariat).

Jika kedua hal tersebut (ithlaqul Islam `alal `aqidah dan ikhtilafu
syir`atil anbiya'/syir`atina [al-nas]) diterima, maka jika ingin dibawa
lebih jauh ke dalam kehidupan bernegara misalnya, maka konstitusi negara tak
akan jauh beda dengan model Piagam Madinah. Dimana masing-masing memiliki
tanggungjawab sendiri-sendiri dalam urusan intern kelompoknya dan memiliki
tanggungjawab bersama ketika menyangkut keutuhan negara, tempat dimana
kolompok-kelompok tersebut tinggal bersama dalam satu wilayah kenegaraan.
Jadi, hanya setiap persoalan yang menyangkut keutuhan negara saja yang akan
menjadi urusan negara. Persoalan itu bisa berupa, perselisihan antar
kelompok yang membahayakan keutuhan negara dan bisa berupa ancaman dari
luar. Selain itu, menjadi tanggungjawab masing-masing kelompok untuk
"berlomba-lomba dalam kebaikan."

Persoalan kepemimpinan negara harus dibicarakan dan dimulai dengan pengakuan
kesamaan hak dan kewajiban masing-masing kelompok terhadap negara dalam
kerangka sistem yang mendukung tegaknya keadilan dan keutuhan negara. Bagi
yang menyalahi atau melanggar sistem ini layak untuk diberi sanksi atau
bahkan diusir dari wilayah negara. Tidak ada keunggulan atau keistimewaan
yang dibawa sejak lahir oleh tiap-tiap kelompok, keunggulan itu muncul
belakangan sebagai akibat keberhasilan memenangkan perlombaan kebaikan (amal
saleh, al-amru bil ma`ruf dan al-nahyu `anil munkar), lakum a`malukum wa
lana a`maluna.


Wa ba'd,

Berkaitan dengan Scriptural Borrowing (SB)--meskipun istilah tersebut tidak
biasa bagi saya, namun kira-kira, insyaallah, saya paham maksudnya. Apalagi
setelah diperjelas dengan contoh praktis :-)--akan sangat bermanfaat bagi
pembentukan sistem aturan dalam kehidupan bernegara (negara yang saya maksud
adalah negara yang saya uraikan sebelumnya). Pada masa Negara Madinah, Nabi
Muhammad merupakan otoritas tertinggi (dalam beragama dan bernegara) karena
mengantongi lisensi kenabian dari Tuhan, setelah Nabi mangkat, otoritas
tersebut tidak ada lagi, yang ada tinggal ajaran (kitab wa hikmah) yang
intinya agar kita berperilaku baik (saleh dan ma`ruf) dan tidak dibenarkan
berbuat rusak atau lalim di muka bumi. Nah, dalam upaya menemukan perangkat
nilai yang bisa diterima oleh semua kelompok tersebut maka SB sangat
diperlukan, bukan hanya sekedar borrowing, melainkan juga yang bisa
menemukan "selera ideal dan benar" yang diakui oleh semua kelompok.

Memang ada Ibnu Abbas yang sepintas tampak tidak menyetujui melakukan hal
semacam ini ketika mengatakan, "bagaimana kalian akan menanyakan suatu
persoalan (keagamaan) kepada Ahl Kitab, sementara Kitab kalian yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. lebih baru?! Kitab kalian
memberitahukan bahwa Ahl Kitab telah merubah dan mengganti Kitab Allah
(tahrif), mereka telah membuat Kitab dengan tangan-tangan sendiri lalu
mengatakan bahwa hal tersebut dari sisi Allah. Tidakkah pengetahuan kalian
melarang kalian untuk bertanya kepada mereka? Demi Tuhan tak seorang pun
dari Ahl Kitab yang bertanya kepada kalian tentang Kitab kalian"

"Tahrif", tampaknya memiliki dimensi yang cukup luas, minimal ada tiga
kategori yang bisa dimasukkan dalam pengertian ini.

Pertama (al-Maidah: 41), mengubah dalam arti mengubah, mengurangi atau
menambah isi Kitab Suci. Jika orang semacam Deedat bisa membuktikan bahwa
setiap edisi penerbitan Bible terjadi perubahan baik berupa susunan kalimat,
penambahan atau pengurangan kata, bahkan ayat atau pasal maka bukankah hal
ini menunjukkan terjadinya pengubahan tersebut.

Barangkali, pengubahan tanda baca juga bisa dimasukkan dalam
kategori ini. Jika kita memperkirakan bahasa asli Torah dan Injil adalah
Ibrani, maka kita akan menjumpai tulisan dalam bahasa tersebut, sebagaimana
dalam bahasa Arab, berupa rangkaian huruf konsonan tanpa vokal. Nah, dalam
penentuan tanda baca (pemberian harakat/vokal) inilah juga sangat mungkin
terjadi pengubahan. Selama tidak terdapat banyak orang yang hafal teks-teks
Torah dan Injil kemungkinan pengubahan harakat ini cukup besar. (Kita tahu
penentuan vokal sangat penting dalam bahasa Arab, karena dengan vokal itu
satu kata bisa memiliki kedudukan dan arti yang bermacam-macam, bahkan
saling berbeda--dan saya kira bahasa Ibrani tak jauh beda dengan kawan
serumpunnya)

Kedua, mengubah dalam arti memberi penafsiran yang menurutkan kepentingan
dan hawa nafsu sendiri, lalu mengatakan bahwa penafsiran atau pemahaman
tersebut datang dari Allah agar manusia tergerak untuk
menerima/mengikutinya. (al-Baqarah: 75-79)

Ketiga, mengubah dalam arti menempatkan firman atau ayat di luar konteks
yang semestinya, sama dengan ungkapan Ali ra. ketika mengomentari argumennya
kaum Khawarij, "qaulun haq yuridu bihi bathil". (al-Nisa': 46); (al-Maidah:
13)

Masih ada jenis-jenis lain yang bisa dipahami dari ayat-ayat al-Qur'an,
misalnya menyampur-adukkan antara yang hak dan yang batil dan seterusnya.

Hal semacam itu, jika kita mau jujur, tampaknya juga sangat mungkin terjadi
pada umat penerima al-Qur'an meskipun, insyaallah, tidak sampai pada jenis
tahrif yang menambah atau mengurangi isi Kitab Suci.

Persoalan lain adalah keterbatasan (jika ini boleh disebut sebagai
keterbatasan) pemeluk-pemeluk syariat selain Muhammad yang menerima dan
memahami Kitab Sucinya bukan dari bahasa aslinya. Hal ini tentu saja
"memiskinkan" kemungkinan penafsiran "yang benar". Jika kita mau
"memaksakan" borrowing, belum tentu pula yang kita pinjam itu benar-benar
dari "yang dimaui" Kitab aslinya. Mengingat penerjemahan akan selalu tidak
bisa mewakili sepenuhnya yang terkandung dalam bahasa asli, dan bisa jadi
penerjemahan itu sendiri sudah merupakan salah satu kategori "tahrif".
Wallahu a`lam.

Kita menghadapi problem-problem semacam itu sebelum bisa melakukan
Scriptural Borrowing. Saya menyadari pentingnya SB ini (dan bahkan mendesak
untuk kasus semacam negara Indonesia), terutama untuk bisa menemukan
perangkat nilai yang diakui dan diterima oleh semua kelompok yang berakar
dari keyakinan keagamaan dan karenanya memiliki nilai kontrol yang sakral.

Sekali lagi, SB menjadi sangat perlu setelah tidak adanya kenabian (pemegang
otoritas tertinggi), sementara tuntutan pastinya adalah hidup bersama dalam
komunitas yang heterogen.

Salam,
ocHie

No comments: