Tuesday, November 15, 2005

Kesaksian Spiritual Haji (semoga bermanfaat)

Date: Fri, 11 Nov 2005 04:28:50 -0000
From: "Budi Hikmat"
Subject: Kesaksian Spiritual Haji (semoga bermanfaat)

Kesaksian Spiritual Haji
Budi Hikmat + Adelina Syarif
Gema Pesona Estat K-9
Jalan Tole Iskandar 45,
Depok 16412

Tiba-tiba kurasakan tangannya tersentak hingga jabat
tangan kami terlepas. "Rezekimu untuk berangkat haji telah
disiapkan. Nanti juga semua pengeluaranmu akan diganti…"
Aku hanya terdiam. Kupikir ada cara untuk menguji
ucapannya… bahkan untuk membuktikan apakah agama
dan Tuhan yang selama ini kupercaya bukanlah dusta: Akan
kukatakan kepada banyak orang bahwa aku akan
berangkat haji. Tahun ini!


Panjar ONH Dibayar Mertua
Kerinduan berangkat haji semakin menguat setelah adikku
dan istrinya berhaji menyusul Ibu dan Bapak yang sudah
berangkat tahun sebelumnya. Salah satu cara merawat
kerinduan itu dengan memasang hiasan keramik bergambar
Masjidil Haram di dinding mushola rumah.
Namun, berdasarkan proyeksi kondisi keuangan, kami
mungkin baru dapat berangkat tahun 2002. Ketika
mendengar pertimbangan kami, bapak mertua tegas
berkata: "Berangkatlah kalian haji tahun ini. Bapak beri
pinjaman untuk panjar ONH kalian berdua." Setelah
membayar panjer ONH suami istri US$2000, aku
memperingatkan istri untuk kemungkinan menjual mobil
Kijang Krista guna menutupi ongkos haji.

Ongkos Hajimu Sudah Disiapkan!
Aku tertarik untuk meminta doa kepada seorang Ustadz
yang materi kutbah Jumatnya sangat menyentuh. Aku
menandai Ustaz itu. Sebab, pernah tiga kali sholat Jumat
secara berturut-turut, di kota yang berbeda, surat Al A'laa
dan Ghaasyiyah dibacakan dalam sholat. Dan Ustadz itu
imam sholat yang ketiga dengan bacaan serupa.
Sembari memberi salam, aku mengulurkan jabat tangan,
"Pak Ustadz, saya ingin sekali naik haji. Tolong doakan
saya."


Wajah Ustadz itu nampak teduh saat memejamkan
matanya. Berdoa. Tiba-tiba kurasakan tangannya tersentak
hingga jabat tangan kami terlepas. "Rezekimu untuk
berangkat haji telah disiapkan. Nanti juga semua
pengeluaranmu akan diganti..."
Ustadz itu nampak demikian yakin. Tetapi tak urung
keraguan meliputiku. Bagaimana mungkin dengan kondisi
bisnis di kantor yang sedang menurun? Aku hanya terdiam.
Kupikir ada cara untuk menguji ucapannya… bahkan untuk
membuktikan apakah agama dan Tuhan yang selama ini
kupercaya bukanlah dusta: Akan kukatakan kepada
banyak orang bahwa aku akan berangkat haji. Tahun ini!
"Ramalan" Ustaz itu tidak hanya kusampaikan kepada
istriku, tetapi juga kepada mertua, sanak saudara dan
teman-teman. Aku sengaja mengikat diriku dengan
beban. Dan aku ingin menyaksikan bagaimana beban
yang melilitku itu dilepaskan.

Akhir Tahun Menegangkan
Sebagaimana karyawan lain, 23 Desember 2000 adalah
hari yang menegangkan bagiku. Sebab pada hari itu akan
diumumkan keputusan manajemen perusahaan terkait
dengan THR dan bonus.

Aku gelisah sejak dini hari dan selama makan sahur. Biaya
ONH harus segera dilunasi dalam beberapa hari kemudian.
Setelah subuh aku tidak ingin tidur. Istriku memahami
kekegelisahanku. Kami harus rela menjual mobil untuk
menutupi ongkos haji. Akhirnya kami putuskan untuk
pasrah saja. Kami isi waktu dengan jalan-jalan pagi di
sekitar kompleks sambil mengarang lagu Islami untuk anakanak.
Aneh, inspirasi mengarang lagu demikian lancar
mengalir. Setiba kembali di rumah aku menulis bait-baik
itu dengan komputer dan mencetaknya untuk dibagi kepada
teman-teman.
Aku terlambat tiba di kantor. Tidak sempat ikut rapat pagi.
Melewati ruangan atasan dengan sungkan. Terbersit
prasangka negatif saat tangannya melambai memanggilku.
Duh, mau diapain aku?
Rupanya ia ingin mengajakku bicara mengenai hal yang
paling ditunggu semua orang hari itu. Atasanku belum lama
mengisi jabatan di bagianku. Aku dimintai saran sebab
menurutnya aku staff paling senior. Dia belum tahu cara
menyampaikan kepada bawahannya keputusan
manajemen perusahaan mengenai THR dan bonus serta
pesan pimpinan tertinggi. Kepadanya kusarankan untuk
memanggil karyawan satu per satu masuk ke dalam
ruangannya untuk diberikan penjelasan secara pribadi.
Atasanku mengganguk setuju. Karena aku sudah berada
di ruangannya, dia memutuskan menjadikanku bawahan
pertama yang menerima penjelasan. Kepuasan hakikatnya
adalah posisi relatif antara harapan dan kenyataan. Aku
tidak berharap banyak. Takut kecewa.
Lega rasanya hati ini saat atasanku menyampaikan
keputusan rapat pimpinan untuk tetap memberikan bonus
meski kondisi bisnis saat itu kurang menggembirakan.
Suka cita itu bertambah setelah mengetahui besar bonus
sebanding dengan tahun sebelumnya. Alhamdulillah,
terbayang bonus itu melebihi ongkos haji kami. Pak Ustadz
itu benar!!!

Ya Allah, telah Engkau cukupkan rezeki untuk biaya
perjalanan haji kami. Maka karuniakan pula kepada kami
keselamatan dalam perjalanan, kelancaran segala urusan,
dan yang terpenting karuniakan kepada kami kekhusyukan
selama peribadatan. Lindungi pula harta dan keluarga yang
kami tinggalkan.


Salam untukmu wahai Nabi…
Perjalanan haji dimulai menyelesaikan ritual sholat Arbain
dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah di Madinah.
Roudoh, wilayah sempit antara makam dan mimbar Nabi,
sebagai tempat ijabah berdoa menjadi incaran para jamaah.
Aku memutuskan untuk mengunjungi Roudoh di malam
hari. Allah mengabulkan doaku. Tepat jam 2:30 aku
terbangun, lalu mandi dan memilih pakaian bersih terbaik.
Sepanjang jalan menuju masjid Nabawi dan Raudoh aku
berdoa dan banyak mengirim sholawat untuk Nabi. Sepagi
itu kulihat banyak orang berduyun ingin masuk Roudoh.
Aku ikut antri. Informasi yang kuketahui Roudoh ditandai
dengan karpet putih. Ketika merasa karpet yang diinjak
berwarna putih, aku bertanya kepada seorang jamaah untuk
menghilangkan keraguan. "Excuse me brother, where is
Roudoh?"
"This is Roudoh! Shalat here two rakaat." Jawab laki-laki
itu sangat bersahabat sambil memberikan tempatnya
kepadaku untuk sholat. Saat selesai sholat dan berdoa,
aku mendengar suara riuh askar yang melarang orang
sholat di sekitar makam Nabi. Demikian kuat Islam menolak
syirik.
Aku ingin mendekat menuju mimbar untuk sholat dan
berdoa sekali lagi. Dengan perlahan berjingkat melewati
celah sempit jemaah yang sedang sholat atau duduk. Dari
arah berlawanan, nampak seorang laki-laki ingin keluar. Ia
juga harus melewati barisan jemaah. Tiba-tiba badannya
agak oleng, hampir terjatuh. Alhamdulillah, lengannya dapat
kutahan supaya tidak jatuh. Aku tidak persis ingat
mukanya, namun laki-laki itu mengecupkan tangan kanan
di bibirnya. Nampak berdoa. Kemudian ia
menempelkannya tangannya di dadaku. Kenangan yang
tidak terlupakan. Sebab ketika mengunjungi lagi Roudah,
ada tangan yang menahanku agar tidak terjatuh.
Barangsiapa mengerjakan kebajikan dengan penuh
keikhlasan, maka Allah tidak pernah menyia-nyiakan
amalannya.

"Suara-Suara" Itu Kembali Terdengar
Jemaah haji senantisa kembali dengan cerita-cerita yang
sering kali tidak masuk akal. Sahabat pembaca, sadarilah
pengalaman mereka adalah kesaksian spiritual yang
memantapkan keimanan. Boleh jadi pengalaman itu
terdengar memalukan. Tetapi nikmatilah. Sebab itu teguran
Allah di dunia. Pasti lebih ringan ketimbang di akhirat. Dan
aku hanyalah menambah koleksi kesaksian itu.
Kesaksianku adalah kembali mendengar 'suara-suara'.
Patut kuingatkan 'suara-suara' itu bukan produk akustik
yang dapat didengar setiap orang. 'Suara-suara' itu melintas
di dalam hati dalam bentuk dialog maupun teguran. "Suara"
itu mengurai hikmah di balik peristiwa, menjawab
pertanyaan kritis, atau menyertai diri menghalau ketakutan.
"Suara" itu sangat kuat saat menjalani ibadah tawaf.
Teguran Allah: Jangan Menunda Berbuat Baik
Saat itu kami telah mengenakan busana ikhrom. Baru tiba
di sebuah penginapan di Mekkah dekat kawasan Pasar
Seng dari miqot Bir Ali. Badanku terasa letih. Selain
perjalanan cukup jauh dan lalu lintas Mekkah padat, jemaah
harus memindahkan koper yang cukup berat. Sebagai yang
pertama kali masuk kamar, aku merasa mendapat hak
memilih tempat tidur yang paling menyenangkan. Kamar
itu memuat lima tempat tidur, empat di antaranya bertingkat
dua. Jadi tidak salah bila aku memilih tempat tidur tunggal.
Aku merebahkan diriku sejenak, melepaskan penat.
Sayup terdengar satu per satu teman-temanku datang.
Ada yang bergembira mendapat dipan bawah. Namun ada
yang berceloteh sebab mesti menempati dipan atas. Kulirik
yang terakhir datang adalah seorang kakek yang harus
menempati dipan atas terakhir. Dan terjadilah konflik bathin.
Haruskah aku memberikan tempatku?
Karena merasa letih aku memutuskan untuk menunggu
sampai teman-temanku saja yang menempati dipan bawah
rela memberikan tempatnya. Tiba-tiba aku merasa mual.
Dan muntah tak terkendali muncrat mengotori sepre. Tibatiba
terdengar "suara": "Mengapa kamu seperti itu, padahal
kamu sudah mengenakan ikhrom?"
Segera aku istigfar. Ya Allah, ampunilah perbuatan buruk
hambaMu. Muntahku tidak kunjung reda. Istriku datang
menghampiri setelah diberitahu kondisiku. Kepadanya
kubisikkan bahwa aku sedang ditegur. Akhirnya
kuputuskan untuk membersihkan tempat tidurku dan
memberikannya kepada sang kakek. "Pak, pindah saja
ke tempat saya. Tetapi maaf yah, tempatnya agak kotor
kena muntah." Usulku sambil sambil membuka sepree
untuk dipindahkan.
"Terima kasih Mas, nggak apa-apa kok. Tempatnya masih
bersih." Sang kakek itu menyetujui tawaranku. Namun,
rasa mualku belum reda. Rasa malu bertambah ketika
hampir semua jemaah sudah berangkat tawaf umrah dan
pimpinan rombongan berkata: "Wah kalau Mas Budi masih
sakit, tawaf umrahnya bisa diundur besok saja."
Tidak ada lain yang dapat kukerjakan kecuali
memperbanyak istigfar. Sementara istri dengan setia
menggosok minyak angin di sekitar leher dan dada.
Secara berangsur badan terasa segar. Dan aku putuskan
ikut rombongan terakhir untuk tawaf umrah.
Ada rasa takzim saat pertama kali memasuki pintu Babus
Salam Masjidil Haram. Alhamdulillah, aku bisa melihat
masjid itu. Teringat cerita seorang karibku yang lebih dulu
pergi haji. Ada salah satu anggota jemaahnya yang tidak
bisa melihat masjid sebesar itu. Jemaah itu baru bisa
melihatnya setelah istigfar beberapa kali.
Karena pelataran utama padat sekali, kami memutuskan
untuk tawaf di lantai dua yang lebih lowong. MasyaAllah!!!
Aku yang dikira kurang sehat ternyata mampu tawaf dengan
semangat. Bahkan sering ditegur karena berada jauh di
depan meninggalkan rombongan. Pimpinan rombongan
kaget, "Lho, tadi Mas Budi kelihatannya sakit. Kok
sekarang nampak sehat sekali?"
Allah tidak saja Maha Pengampun, Allah membalas
kebaikan dengan kebaikan. Aku mendapat ganti tempat
tidur yang lebih baik. Lebih empuk, lebih dekat ke kamar
mandi dan kamar makan. Juga ada jendela kaca sehingga
aku bisa melihat kondisi jalan di luar. Subhanallah. Teguran
itu pelajaran seumur hidupku.Tidak ada rasa malu sedikitpun
untuk menceritakannya kepada siapapun. Berbuat baik
jangan ditunda-tunda!

Tawaf Latihan Berislam
Buku Haji karangan Dr. Ali Syariati - semoga Allah
membalas kemurahannya membagi ilmu - menegaskan
jemaah haji hendaknya berlaku pasif selagi tawaf. Pasif
dalam kepasrahan sepenuhnya mengikuti simulasi gerak
objek semesta di dalam orbitnya masing-masing
mengelilingi pusat semesta. Pasif seperti elektron berotasi
seputar inti atom. Pasif seperti aliran sungai menuju
samudera. Jemaah harus menghindari lonjakan ekspresi
hawa nafsu yang menimbulkan gesekan atau membuat
diri terlempar keluar orbit. Pasrahkan jiwa sepenuhnya di
dalam genggaman pengaturan dan pewalian Allah. Leburlah
diri di dalam penghayatan doa yang melantunkan kepapaan
hamba di hadapan Allah, Rabb Semesta Alam Yang Maha
Perkasa dan Maha Agung.
Aku memperingatkan istri untuk disiplin menghayati makna
tawaf itu. Ketika memulai tawaf haji, kami memutuskan
untuk mendekap sikut sebab kuatir tidak sengaja menyikut
orang lain. Pandangan kami lebih sering tertumpu ke lantai.
Bila ada barang yang dapat mengganggu, seperti tissue
atau peniti, kami pungut sembari berdoa: "Ya Allah,
sebagaimana hambaMu membuang halangan ini, maka
hilangkan pula halangan dalam perjalanan hidup hamba."
Kami bergerak mengambang mengikuti arus. Pada
putaran keenam kami terdorong mendekati bangunan
Kabah hingga menempel di dindingnya. Alhamdulillah, aku
tetap diberikan disiplin memperingatkan diri sendiri dan
istri, "Ingat, ini hanya batu bangunan biasa. Tidak
memberikan mudharat atau manfaat. Kalau ingin
menyentuhnya, sentuh saja sekarang tanpa mengharap
apa-apa." Kami menempelkan tangan sekali di dinding
Kabah. Lalu melanjutkan tawaf.

Kesempatan Mencium Hajar Aswad
Melewati Rukun Yamani, kami melihat banyak orang
berebut ingin mencium Hajar Aswad. Dalam hati aku
merintih, "Ya Allah, tentu saja hambaMu ini ingin mengikuti
sunah rasulMu mencium Hajar Aswad. Namun bila untuk
itu kami harus menyakiti orang lain, kami tidak mau."
Terdengar 'suara', "InsyaAllah, engkau akan diberikan
kesempatan mencium Hajar Aswad." Tangan kananku tak
terkendali bergerak sehingga terkecup bibir. Aku sampaikan
pesan 'suara' itu kepada istriku Adelina yang rapat
memegang pinggangku.

Kami terus ikut mengambang mendekati Hajar Aswad.
Ketika jaraknya semakin mendekat, kulihat seorang
mengambil tongkat dari balik gamisnya. Aku kaget. Untuk
apa tongkat itu? Ketika memperhatikan orang-orang saling
berebut, aku sempat histeris dan memperingatkan semua
orang dalam bahasa Indonesia dan Inggris, "Jangan
menyakiti orang di sini. Don't hurt anybody here!" Teriakku
lantang beberapa kali.
Situasi tidak membaik. Akhirnya aku kembali membathin.
"Ya Allah, hambaMu ini tidak ingin mencium Hajar Aswad
sebab nanti akan menyakiti orang lain." Kami kemudian
terdorong keluar mendekati Maqom Ibrahim dan sudah
memulai putaran ketujuh. Terakhir! Ya, itu putaran terakhir.
Jadi tidak mencium Hajar Aswad adalah ketentuan Allah.
Kami pasrah.
Tiba-tiba aku teringat bahwa tempat sesuci ini tentunya
dijaga oleh banyak Malaikat. Lalu kucoba membuka
komunikasi, meminta mereka untuk mendoakan kami.
"Wahai para Malaikat yang menjaga tempat ini, tidakkah
kalian ketahui bahwa selama ini aku selalu mengakui
keberadaan kalian dengan berdzikir kepada Allah. Dengan
membacakan ayat suci Al Quran yang mengabadikan
pernyataan kalian pada saat-saat awal penciptaan Adam."
Sepulang haji sering kurenungkan mengapa kata `kalian'
terpilih digunakan kepada Malaikat yang suci? Rasanya
pilihan kata itu arogan. Apakah kata itu terpaksa kupilih
sekedar untuk mendudukkan keistimewaan manusia
dibanding Malaikat di hadapan Allah?
Setelah membaca `super-istigfar' aku lalu melafazkan Al
Baqarah ayat 32 yang memuat pengakuan para Malaikat.
"Subhanaka laa ilmalanaa illa maa allam tanaa innaka antal
'alimul hakiim." Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Terdengar kembali suara, "Bersabarlah sebentar di sini."
Tidak ada lagi yang kukerjakan kecuali bersabar. Tidak
memaksakan diri. Tenang-tenang saja menunggu giliran.
Kami semakin mendekati Hajar Aswad. Terlihat dua orang
wanita tipikal Timur Tengah. Salah satu dari keduanya
berteriak lantang kepada orang-orang sekitar. Mungkin
mereka mengharapkan para laki-laki memberi mereka
kesempatan mencium Hajar Aswad.
Rasanya tidak terduga kami sudah berada tepat di depan
Hajar Aswad. Kucermati penampilannya. Nampak banyak
tonjolan seperti batu bopeng. Tanganku bergerak
mengusap. Dingin. Tak terasa istimewa. Aku tidak
menciumnya. Mungkin karena tadi tanganku telah kukecup.
Kemudian kuminta istriku untuk menciumnya. Dia kaget
dengan kesempatan ini. Dia nampak ragu dan memberikan
dulu kesempatannya kepada dua orang wanita tadi dengan
bahasa Inggris seadanya. "Sisters, kiss… kiss." Kedua
wanita itu mencium Hajar Aswad bergantian. Istriku tetap
bengong menatap Hajar Aswad. Suatu kesempatan yang
sangat langka mengingat demikian banyaknya orang di
situ. Waktu serasa berhenti untuk kami. Hingga aku
terpaksa berteriak, "Adek, cepat cium!" Lalu istriku
menciumnya. Dua kali. Aku melihat seorang di depan kami
berteriak lantang menunjuk ke arah kami.
"Barkah…barkah… barkah!"

Oh, anak-anak kami. Pahamilah kesaksikan ini sebagai
tanda keberadaan Tuhan kita. Berislam sesungguhnya
mendidik jiwa menghayati ketentuan dan pewalian Allah
sajalah yang terbaik. Ya Allah, karuniakan kepada kami lebih
banyak kesaksian nikmatnya hanya menjadi hambaMu.


Doa Di Depan Multazam
Setelah Hajar Aswad kami mendapat kesempatan berdoa
di depan Multazam, pintu Kabah yang terbuat dari emas.
Tempat terbaik untuk berdoa. Allah kembali menjaga
disiplin kami. Dengan penuh keharuan, aku berseru sambil
menunjuk Multazam, "Kami tidak datang ke sini untuk
melihat gedung ini. Tetapi kami ingin bertemu dengan
Pemiliknya!"
Rasa haru semakin meliputi dada. Air mata hangat
menetes mengaliri pipi. Merasakan kenikmatan itu sebagai
pertanda penerimaan Pemilik rumah tua itu. Namun masih
tersisa keraguan. "Ya Allah, jangan sampai air mata yang
mengalir ini dari seorang yang munafik. Karena seorang
munafik menitikkan air mata dengan menggersangkan
hatinya."
Sahabat, kenikmatan saat itu tidak terbelikan uang. Air
mata tumpah semakin deras. Sementara dada terasa
terangkat mengembang. Nikmat. Tenang. Damai. Tak
terlintas kuatir atau cemas. Ya Allah, hambaMu datang
memenuhi panggilanMu.
Kupanjatkan doa dengan terlebih dahulu memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahanku selama ini. Termasuk
atas kebodohanku meminta sesuatu yang tidak pantas.
Tidak pantas dalam ilmuNya. Tidak sesuai dengan yang
telah ditetapkanNya untukku.
Begitu puas rasanya berdoa di situ. Aku mensyukuri
nikmat bimbingan Allah selama ini. Musibah yang
mengguncangkan jiwa selama ini reaksi terhadap dekapan
kasihNya. Guncangan itu membuka mata bathin yang
selama ini tertutup deru amarah, bujukan syahwat, dan
prasangka buruk kepada Allah. Aku juga mensyukuri
menerima undanganNya menunaikan haji.
Di depan Multazam itu, aku menyebutkan kembali satu
per satu "empat kata" yang selama ini "diperdengarkan"
kepadaku: "Bersih, Sabar, Syukur, Ilmu." Empat kata yang
menadai pintu-pintu hikmah. Hanya diperlukan satu kunci
untuk dapat memasuki semua pintu hikmah: Cinta!
Dapatkan Cinta Allah dengan mencintai makhlukNya.
Kami berdoa agar Allah menjaga mahligai rumah tangga
kami. Membimbing kami sebagai orang tua yang diberi
amanah mendidik anak keturunan menjadi hambaNya yang
bertakwa. Tentu saja, ada juga permintaan khusus untuk
anak-anak kami yang tidak ingin kuceritakan di sini.
Sekembali ke Indonesia, aku menjaga empat kata tersebut
dengan menjalankan sholat Dhuha empat rakaat setiap
pagi sebelum berangkat ke kantor. Rakaat pertama, selesai
Fatihah, aku membaca ayat yang berkenaan dengan
"Bersih". Rakaat kedua "Sabar", ketiga "Syukur" dan
terakhir "Ilmu".


Sholat di Hijr Ismail
Setelah itu kami menuju Hijr Ismail untuk sholat.
Alhamdulillah kami mendapat tempat yang baik untuk
sholat. Kamipun berdoa untuk diri kami sendiri. Dan juga
menyampaikan doa pesanan teman-teman. Di tempat ini
berdoa lebih leluasa. Bisa lebih lama. Hijr Ismail adalah
bagian dari bangunan Kabah. Jadi tidak sah dijadikan
tempat tawaf. Setelah puas, kami memberikan tempat
kepada jemaah lain agar mereka juga mendapat
keleluasaan menunai sholat dan berdoa.
Puas Meminum Air Cinta Kasih
Selesai berdoa di Hijr Ismail, kami mengikuti arus putaran
tawaf hingga dapat keluar dengan mudah. Lalu bersiap
sholat menghadap Maqom Ibrahim. Setelah itu kami bersiap
menuju Sumur Zam Zam. Ketika hendak menuju Sumur
aku membathin bahwa kami akan meminum air sebagai
penghargaan Allah untuk ikhtiar cinta kasih seorang Ibu
Hajar mempertahankan kehidupan bayinya Ismail.
Belum jauh masuk ke daerah Sumur, tiba-tiba ada orang
yang selesai minum keluar sehingga aku langsung
mendapatkan tempat minum. Di situ aku minum sepuasnya
air yang sejuk itu. Termasuk membasuh muka dan kepala.
Setelah itu keluar, menunggu istriku Adelina selesai
meminum air Zam Zam di bilik kaum perempuan.


Bersihkan Niatmu
Sesampai di penginapan, kami bertukar pengalaman. Kami
menceritakan kepada teman-teman kemudahan mencium
Hajar Aswad. Seorang teman menceritakan 'kegagalannya'
mencium Hadjar Aswad. Padahal, saat itu dia sudah
demikian dekat. Ketika itu dia merasa badannya dengan
ringan diangkat "seseorang" menjauhi Hajar Aswad.
Kepada kami dia mengakui sempat mempunyai niat kurang
baik saat ingin mencium Hajar Aswad.

Sai': Kuatkan Dirimu Dalam Beriktiar
Berbeda dengan tawaf yang pasif, ketika menunaikan Sai
jemaah harus aktif menguatkan ikhtiar. Kewajiban setiap
muslim hanyalah berikhtiar sekuatnya. Jangan
mengharapkan hasil lebih dulu. Sebab mengharapkan hasil
setara menabur bibit kekecewaan yang engkau akan tuai
apabila harapanmu tidak tergapai. Kuatkan ikhtiarmu,
engkau akan menjadi seorang profesional dalam bidangmu.
Hargai anakmu berdasarkan disiplinnya mengerjakan
tugas, bukan dari nilai yang dia peroleh. Hargai kegigihan
ikhtiar suamimu mencari nafkah, bukan besar uang yang
dibawanya pulang.
Alhamdulillah Sai dapat kami tunaikan dengan lancar.
Seorang teman menceritakan `teguran' untuk istrinya saat
Sai. Sang istri terlepas dari pegangannya. Seolah hilang
tertelan di antara kerumunan orang banyak. Sang istri
dijumpanya kembali di penginapan dalam keadaan
menangis. Temanku menceritakan langsung bahwa
kejadian itu hanya terjadi seketika. Beberapa detik saja.
Dia tidak menemukan istrinya di daerah Sai.

Jumrah: Melempar Kejahatan Dalam Dirimu
Rangkaian ibadah yang cukup berat adalah melempar
jumrah. Sebab seringkali, jemaah yang kurang memahami
hakikatnya berdesakan hingga memakan korban.
Buku "Haji" Ali Syariati mengupas secara mendalam makna
melempar jumrah. Ketiga berhala yang dilempar
melambangkan tiga atribut Allah (Rabb, Maalik dan Ilah)
yang ingin dimiliki makhluk. Hayatilah Surat Al Fatihah
dan An Nass, pembuka dan penutup Al Quran. Keduanya
memuat kesepadanan ketiga atribut Allah diatas. Ingatlah,
sesungguhnya kita melempar kejahatan syetani yang ada
di dalam diri kita. Jangan sampai justru kita yang meragakan
syetan, melempar dengan penuh nafsu.
Aku berdoa kepada Allah untuk memberikan keselamatan
dan kemudahan saat mengerjakan rangkaian ibadah ini.
Aku berkonsentrasi menghayati kedua surat diatas, banyak
beristifgar, dan menunggu bimbingan. Kembali "suara" itu
terdengar menunjukkan jalan, belok kiri atau belok kanan.
Setelah menunaikan lemparan salah satu jumrah, kami
menepi untuk berdoa, bersyukur kepada Allah.
Tidak terlupakan saat "suara" itu menyuruhku berhenti
padahal kulihat ada jarak untuk masuk mendekati Jumrah
Aqobah. Tiba-tiba aku merasa mengerti maksudnya. Jarak
itu berguna untuk menyelamatkan jemaah yang berada di
depan dari tekanan orang yang datang. Seorang jemaah
yang ingin keluar memelukku. Ia berterima kasih
mendapatkan ruangan. Kemudian kami dapat masuk
mendekati jumrah. Melempar untuk diri sendiri dan anggota
jemaah yang berhalangan. Saking dekatnya dengan
jumrah, terasa beberapa kali kepalaku menerima lemparan
batu kecil.

Arafah: Padang Kebijakan
Arafah puncak haji. Tidak sah haji tanpa kehadiran di Arafah.
Meski menemukan banyak pepohonan hijau, daerah itu
sangat panas. Setelah mendengar kutbah Arafah, kami
keluar mencari tempat sendiri-sendiri untuk merenung. Ada
buku doa Arafah milik anggota jemaah yang kubaca. Bagus
sekali isinya. Sampai menangis. Lalu buku itu diedarkan
untuk dibaca jemaah lain. Istriku sangat tertarik dengan
buku itu. Sepulang haji, ia mengcopy beberapa eksemplar
untuk dibagikan kepada jemaah calon haji.
Setelah berdoa, aku tertarik memantau kondisi sekitar.
Sebagaimana di Mina, begitu banyak sampah di Arafah.
Terutama bekas makanan dan minuman yang melimpah
di tempat itu. Banyak orang berderma membagikan
makanan kepada jemaah. Aku berdisplin tidak ingin
membuang sampah sembarangan. Bila ada kesempatan
membersihkan sampah, aku berdoa "Ya Allah,
sebagaimana hambaMu ini tidak ingin mengotori bumiMu
yang suci, maka sucikan pula hati hamba dari kemusyrikan
dan kemunafikan".

Doa Orang Tua Terkabul
Begitu banyak kenikmatan yang kami rasakan selama
menunaikan ibadah membuatku bertanya. Mengapa
semua kemudahan itu aku rasakan? Pertanyaan itu
kuajukan setelah selesai sholat di lantai dua Masjidil Haram
menghadap ke Multazam. Terdengar kembali `suara' itu
menjawab: "Itu karena doa Ibumu..."
Sontak aku menangis terharu. Tidak mempedulikan tangis
itu bakal terdengar siapa saja. Berkali-kali aku memanggil
ibuku. Untuk berterima kasih. Allah menitipkan kasihNya
kepada setiap orang tua, terutama Ibu, agar kita mengenal
cintaNya.
Aku teringat `kebangkitan' spiritualku awal 1997. Hanyalah
doa ibu yang menyelamatkanku dari goncangan kejiwaan
saat pertama kali aku mendengar `suara-suara.' Saat
semua orang tidak berdaya dengan masalahku, ibuku
datang. Kukatakan kepada beliau bahwa aku sedang
mengalami "sesuatu". Aku hanya minta didoakan
keselamatan. Aku sangat menyakini doa Ibu sangat
mustajab. Tidak terhalang atau mampu dihalangi oleh
syetan atau iblis durjana sekalipun. Ibuku lalu mengajarkan
sepasang doa. Doa pertama dibaca oleh sang anak.
Kemudian dibalas oleh orang tua. Doa itu kami senantiasa
ajarkan kepada anak-anak kami. Dan Ibuku benar. Setelah
didoakan keadaanku membaik. Kemudian `suara' itu
menjelaskan banyak hal, termasuk kandungan surat Al
Fatihah. Peristiwa itu kami abadikan sebagai nama putri
kami Dina Zahra Fatihah.
Dalam keharuan, aku menyampaikan kesaksian kepada
Allah bahwa kedua orang tuaku telah menunaikan amanah
mereka mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya.
Aku mendoakan kebaikan untuk keduanya. Di sanalah,
aku berdoa kepada Allah semoga mudah menghapalkan
ayat 23 dan 24 surat Al Israa' untuk bacaan sholat:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
`ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: `Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil'.

Sobatku, bacalah dan hafalkan ayat itu dengan tartil.
Nikmatilah alunan Firman Allah itu. Resapi pesan moral
yang dikandung. Ada awal untuk menghadirkan dan
menikmati Tuhan melalui kepandaian kita berterima kasih
menghargai pengorbanan orang tua.


Sholat Di Atap Masjid dan Jemaah Mesir
Saat sholat Jumat kali kedua, aku terlambat datang
sehingga sulit mendapatkan tempat yang menyenangkan.
Sholat Jumat sebelumnya, akupun tidak memperoleh
tempat datar, terpaksa harus berdiri di tangga. Pengalaman
pertama kali sholat Jumat yang tidak memungkinkan sujud.
Demikian padatnya keadaan Masjidil Haram saat sholat
Jumat.
"Suara" itu terdengar menyarankan, "Mengapa engkau
tidak mencoba sholat di bagian atap Masjid?" Usulan tidak
menarik. Sholat di lantai dekat pintu Babus Salam saja
panas, apalagi di atap. "Nggak ah, mana tahan. Terik
sekali!"
"Suara" itu kembali menjawab. Malah menantang. "Tidak!
Akan menyenangkan. Ayolah."
Kuputuskan mengikuti saran'nya'. Akhirnya terpilih tempat
yang cukup strategis, tetapi tetap saja terpanggang panas.
Lalu kukenakan topi payung dan selendang untuk menahan
panas.
Tidak berapa lama datang seorang jamaah, yang akhirnya
kukenal berasal dari Mesir. Ia membawa payung. Teduh
bayangan payung jatuh tepat ke arahku, melindungiku dari
sengatan panas. Ingin sekali aku mengaji. Tetapi suaraku
serak. Sebab sedari selesai Subuh hingga Dhuha aku
membaca Al Quran di dalam Masjid.
Jemaah Mesir itu membaca Al Quran dengan dialek khas
namun bacaannya jelas. Tiba-tiba dia terbatuk. Dengan
cepat, kutawarkan permen menthol. "Good for your throat"
bujukku. Dia menerimanya, tetapi tidak memakannya.
Ketika ingin membaca surah yang lain, aku memberanikan
diri 'memesan' surat Al Mulk untuk dia baca. Dan diapun
membaca dengan baik.

Ketika surat Al Mulk selesai, dia kembali batuk. Aku lalu
tawarkan Komix. Dia menerimanya. Dan aku kembali
'memesan' surah Ar Rahman. Dia menyetujui, lalu
membacanya dengan tartil.
Selesai membaca surat Ar Rahman, aku menawarkan
dirinya untuk istrirahat minum. Kutunjukkan botol mineral
Dua Tang yang aku bawa dari Indonesia. Aku peragakan
bagaimana air tidak akan muncrat bila knopnya ditekan
dan air akan muncrat bila knop ditarik. Kuberikan
kepadanya sebagai hadiah. Dia senang sekali. Tetapi sekali
lagi kembali "memesan" surah Al Waqiah. Dia kembali
dengan suka hati membacanya dengan baik.
Selesai dia mengaji, kami ngobrol sebentar. Dia nampak
tidak banyak mengerti bahasa Inggris. Ketika dia
menyebutkan Egypt, aku menduga dia berasal dari Mesir.
Spontan aku berkata: "Oh…Firaun…Firaun." Dia hanya
tersenyum simpul membenarkan.
Meski pakai bahasa tarzan, suasana menyenangkan. Tidak
terasa sengatan terik matahari. Namanya Ahmad. Dia
mendoakanku suatu hari dapat mengunjungi negerinya
Mesir. Sobat, jangan menyepelekan doa di Masjidil Haram.
InsyaAllah, suatu saat aku - malah kudoakan beserta anak
mantuku - berziarah ke Mesir.
Akhirnya saat sholat Jumat tiba. Ada keraguan panas akan
menyengat meski seorang yang badannya tinggi berada
di depanku. Keraguanku tercampakkan, saat semilir angin
terasa sejuk membelai kulitku berulang-ulang. Ya Allah,
janjimu benar. Sholat di atap Masjidil Haram
menyenangkan. Sejuk. Dan aku dapat mendengarkan surah
yang ingin kubaca pada hari Jumat lewat perantaraan lisan
seorang jemaah Mesir.

Minuman Hangat Sebelum Tahajjud
Aku menguatkan niat untuk Tahajjud di Masjidil Haram.
Saat terbangun, aku ingin lebih dulu menyenangkan diri
dengan minuman hangat. Teh Susu misalnya. Namun
sayang sekali, pemanas air di penginapan kami belum
berfungsi. Air masih dingin untuk membuat seduhan. Aku
mengharapkan dalam situasi dini hari seperti ini masih
ada penjual minuman. "Suara" itu kembali terdengar,
"InsyaAllah, engkau akan mendapatkan penjual minuman
teh susu hangat."
Aku melanjutkan langkah menelusuri pertokoan Pasar Seng
yang masih sepi. Kucoba memperlambat langkah sembari
mengawasi jika ada penjual minuman. Ternyata tidak ada
hingga mendekati tangga atas Masjidil Haram. Aku
langsung kembali membathin. Tak apalah. Minum air Zam
Zam saja cukup.
Ketika hendak masuk pintu masjid, aku melihat seseorang
melintas sambil hati-hati memegang gelas yang nampak
mengepul. Nah, pasti di sekitar sini ada penjual minuman.
Lalu kucoba mengikuti jalan yang agak mendaki. Masya
Allah, tidak jauh kulihat satu-satunya kedai yang masih
buka. Langsung ku hampiri membeli segelas teh-susu.

Berhajilah Selagi Muda
Ketika kami selesai sholat di lantai dua menghadap
Multazam, aku merasa ada tangan seseorang yang
menyentuh pundakku. Ketika aku menoleh, kulihat seorang
bapak yang cukup tua. Tersenyum. Namun tiba-tiba dia
menangis. Aku salah tingkah. Mau bertindak apa? Kudekati
saja sambil meletakkan tanganku di pundaknya. Seolah
merangkul. Aku menunggu hingga dia puas menangis.
Masih dalam keadaan terisyak, bapak itu berkata: "Bapak
terharu melihat kalian. Masih begitu muda, tetapi sudah
memenuhi panggilan Allah berhaji."
Kami jadi turut terharu. Sembari berusaha keras menutup
rapat celah-celah kesombongan yang ditiupkan syaitan,
aku menyarankan supaya bapak itu untuk mendoakan
semoga anak-anaknya dapat berangkat haji selagi muda.
Bapak itu mengangguk. Dia kemudian menceritakan asal
dan kondisi anak-anaknya. Ya Allah, mudahkanlah bagi
anak keturunannya menunaikan haji selagi muda.

Doa Untuk Pak Sabeni
Setelah merampungkan tawaf haji, kami menghubungi
bapak mertua di Jakarta. Ada kabar duka. Pak Sabeni,
supir kami yang baik hatinya, berpulang tiba-tiba. Kami
memanjatkan doa untuknya. Aku membacakan Surat Yasin
khusus untuknya di Masjidil Haram. Semoga Allah
mengabulkan doa kami, mensejahterakan almarhum di
alam barzahnya. Memberi kesabaran dan keikhlasan
kepada keluarga yang ditinggalkan. Istriku sangat terkejut.
Ia mengenang kebaikan almarhum yang akan menjaga
anak-anak kami selama kami menunaikan ibadah haji.

Penutup
Kami cukupkan penuturan pengalaman haji kami di sini.
Penuturan ini hanyalah sebagian ekspresi kesyukuran kami
kepada Allah. Tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk
apapun dari siapapun. Kecuali dari Allah. Semoga
penuturan ini dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi
calon jemaah haji khususnya. Rawatlah kerinduan Anda
berhaji dengan menyakini haji adalah kewajiban. Niatkan
pergi haji dengan menyisihkan sejumlah uang tabungan
pembuka. Semoga Allah menjadikan perjalanan haji
sebagai bagian penting untuk kematangan spiritual kita.
Semoga Allah berkenan menunjukkan sebagian tandatanda
keagunganNya saat Anda berhaji.


Salam
Budi Hikmat + Adelina Syarif
Gema Pesona Estat K-9
Jalan Tole Iskandar 45,
Depok 16412

No comments: