Sunday, October 30, 2005

Anti-Terror Raids Target Islamists Across Europe

Today's radical Muslim groups can mostly be traced back to the Muslim Brotherhood, founded in Egypt in the 1920s. These Muslims consider themselves to be jihadis, in a direct martial continuity with the Prophet Muhammad's battles and those of Muslims throughout history. This war didn't begin with Iraq, and it will not end with Iraq.



Anti-Terror Raids Target Islamists Across Europe

I'm continually impressed by how news item after news item can illustrate the global extent of Islamic terrorism, and yet most in the public sphere still claim that terrorists are a tiny, marginalized minority in the Islamic world. Why, just yesterday I heard about an address on terrorism by an FBI agent in which he emphasized: "Terrorism has nothing to do with Islam." That kind of knee-jerk political correctness leaves us blind to the root causes of the present problem, and thus unable to respond to it properly.

Here is more evidence that radical Islam is an enormous, multinational movement, which germinates in mosques and madrassas: "Police hunting Islamic militants across Europe capped a dramatic series of anti-terror raids in three countries with the arrest of a suspected Algerian extremist in the German port of Hamburg on Friday.

"Abderrazak Mahdjoub, 29, was held at the request of Italian authorities investigating an alleged network involved in recruiting Islamists to carry out suicide attacks in Iraq."

Where do you go to find and recruit "Islamists"? Three guesses.

"A copy of an arrest warrant, obtained by Reuters, showed that one of the recruits was suspected of complicity in an October rocket attack on a Baghdad hotel where U.S. Deputy Defense Secretary Paul Wolfowitz was staying.

"Separately, British police were questioning a suspected would-be suicide bomber arrested in southwest England on Thursday. The government has said the 24-year-old Muslim man may have links with al Qaeda.

"The European police operations coincided with the charging of three Kenyans in connection with a previously undisclosed plot to blow up the U.S. embassy in Nairobi -- the same mission that was destroyed by suspected al Qaeda bombers in 1998.

"While described as breakthroughs, the developments highlighted the fact that Islamic radicals and al Qaeda sympathizers, suspected of carrying out deadly suicide attacks in Saudi Arabia and Turkey this month, apparently remain active across a wide variety of other fronts.

"In the latest alert, the NATO-led peacekeeping force in Kosovo said on Friday it had stepped up security in response to a 'specific threat' against international organizations in the U.N.-run province.

"Two years into the U.S.-led war on terror, some European security officials are expressing concern that Islamic militants may be drawing new strength from Muslim anger over the U.S.-led war in Iraq."

Maybe they are, but it is just more wishful thinking if the conclusion here is supposed to be: "Then let's withdraw from Iraq, and terrorism would cease." I know that millions believe that, but consider: today's radical Muslim groups can mostly be traced back to the Muslim Brotherhood, founded in Egypt in the 1920s. These Muslims consider themselves to be jihadis, in a direct martial continuity with the Prophet Muhammad's battles and those of Muslims throughout history. This war didn't begin with Iraq, and it will not end with Iraq. (Thanks to LGF.)

Bila kader PKS cuma terpikat pada kesederhanaan HNW

From: radityo djadjoeri
Date: Fri Oct 28, 2005 10:27 pm
Subject: Bila kader PKS cuma terpikat pada kesederhanaan HNW radityo_dj
Offline Offline
Send Email Send Email

Bila kader PKS cuma terpikat pada kesederhanaan HNW

Rupanya para pendukung PKS masih saja menonjol-nonjolkan kesederhanaan
hidup Hidayat Nur Wahid (HNW). Sementara, partainya sendiri kini masuk
dalam perangkap paket SBY-JK. Banyak simpatisannya yang kecewa dengan
langkah PKS yang mendukung kebijakan tak bijak pemerintah yang menaikkan
harga BBM setinggi langit. Menurutku, lakon PKS sungguh anti-klimaks dan
tak 'happy-ending' buat seluruh rakyat (cuma buat mereka-mereka sahaja).
Nabil Almusawa adalah contohnya. Dia kader PKS yang sampai mencucurkan airmata
kala bertandang ke rumah dinas HNW.

"Oh begitu sederhananya rumah seorang Ketua MPR...." Saya amati, standar
rumah dinas pejabat tinggi di Widya Chandra maupun Patra Kuningan ya memang
begitu. Seluruh peralatannya, termasuk sofa dan lainnya dipasok dari Sekneg.
Kalau rumah Agung Laksono lebih nampak mewah dan terang benderang, ya karena dia
sudah lama tinggal disitu.
Kalau dibandingkan rumah dinas Bupati atau Gubernur, ya tak ada ada apa-apanya.
Menanggapi komentar Ilham Malik perlu saya luruskan, bahwa penulis artikel
tersebut bukan Satrio Arismunandar tetapi Nabil 'Fuad' Almusawa, kader PKS
(kalau
kenyataannya Satrio juga kader partai itu, saya kurang tahu). Jadi yang
memuji dan menangisi HNW bukan Satrio (saya pikir Satrio tak secengeng itu).

Kalau saya baca ulang, Coen Pontoh sebenarnya tak bermaksud menyepadankan
HNW dengan Stalin. Dia hanya mengkritisi alangkah bahayanya bila kader-kader
PKS menyanjung HNW secara berlebihan, ujung-ujungnya bisa seperti komrad-komrad
Partai Komunis Uni Soviet yang "buta" atas perilaku sang pemimpin. Ia
tuliskan, "seolah tak ada yang salah dari seluruh ucapan dan tindakan
Stalin". Lalu baru ia sesalkan langkah PKS yang anti kebebasan berpikir
dan tak mengkampanyekan agar Soeharto segera dihukum. Jadi, seolah-olah
HNW cuma sibuk dengan kesederhanaannya saja, tak memikirkan langkah strategis
lain
yang pro-rakyat. Jadi saya setuju dengan statemement: "Menjadi pejabat
publik, kejujuran dan kesederhanaan saja tidak cukup". Perlu ditambah:
'cerdas' dan 'pro-rakyat'. Apa itu 'cerdas' dan 'pro-rakyat', silakan nilai
sendiri.

Tentang Coen sepadan atau tidak dibandingkan dengan Jacob Oetama, saya
tak bisa beri komentar, karena saya belum pernah bertemu dia. Kalau sudah
bertemu, baru saya bisa menilai Coen itu sepadan atau tidak disejajarkan
dengan Jacob Oetama. Siapa tahu Coen ternyata malah lebih piawai dibandingkan
Jacob Oetama? "Who knows", kata SBY. Karena pada dasarnya antar sesama manusia,
kurang dan lebihnya, bisa disepadankan tindak-tanduknya, walau tak mirip 100%.

Saya pribadi tak begitu mempermasalahkan HNW. Saya suka melihat para
pejabat negeri ini bisa hidup sederhana dan bertutur halus seperti beliau.
Namun HNW bisa saja beda dengan sikap dan perilaku para kadernya. Jadi saya
mungkin tak setuju dengan sikap dan perilaku para kader PKS.

Pesan untuk para kader PKS, saya terus terang kurang 'sreg' pada penggunaan
kata 'ana', 'antum',' 'afwan', 'ikhwah'. Seolah mereka tak lahir, hidup dan
berpijak di Bumi Nusantara. Apa tidak ada kata padanannya dalam Bahasa
Indonesia? Atau mereka pelan-pelan ingin membawa negeri ini agar bernuansa
padang pasir? Janganlah, kasihan Ibu Pertiwi!

Untuk Nabil, bagaimana dengan Tamsil Linrung yang diduga terkait kasus
percaloan di DPR? Bagaimana dengan anggota DPRD DKI dari PKS yang mendukung
'take home pay' naik hingga ratusan juta per bulan? Kenapa air matamu tak
menetes untuknya?

Salam,

Radityo Djadjoeri

_________________________________________________________________
Coen Husain Pontoh
e: pontoh_2002@...

Membaca tulisan ini, saya jadi ingat bagaimana komrad-komrad Partai
Komunis Uni Sovyet memuja Stalin tiada dua. Sampai-sampai, tak ada yang
salah dari seluruh ucapan dan tindakan Stalin.

Orang-orang PKS nampaknya menjurus ke sana. Mereka tak lagi kritis
terhadap sepak terjang Hidayat Nur Wahid (HNW). MIsalnya, ia anti
kebebasan berpikir, karena menolak penghapusan TAP MPR No. XXV/MPR/1966;
tidak mengkampanyekan penuntutan hukum terhadap kejahatan ekonomi dan
politik Soeharto. PKS tak sedikit pun menyinggung kejahatan besar
bapak Jenderal Besar itu; dalam kasus bom Bali, HNW bikin komentar yang
asbun (asal bunyi), katanya pelaku bom Bali II adalah orang-orang
atheis dan juga karena persaingan bisnis pariwisata;
dan seperti sudah dikemukakan bung Farid Gaban, PKS dan HNW tak
bersikap tegas soal pencabutan subsidi BBM.

Bahwa dia mencontohkan hidup sederhana, two thumbs up!

_________________________________________________________________
Ilham Malik
e: ib_ilham@...

Bung Pontoh,
Dalam menilai seseorang, kita sudah selayaknya menggunakan padanan
yang benar-benar sepadan. Anda tidak bisa dibandingkan dengan Jacob
Oetama, Hidayat tidak bisa dibandingkan dengan Stalin, Faidz juga
tak bisa dibandingkan dengan Wiranto.

Saya kira, pujian yang dibuat oleh kawan Satrio, ya biarlah kita
anggap sebagai pujian pribadinya saja.
Kita perlu bersikap adil.

_________________________________________________________________
Guntoro Soewarno (simpatisan PKS)
e: artikelguntoro@...

Coen benar. Kita harus kritis dengan PKS. Karena terbukti, menjadi
pejabat publik tidak cukup dengan kejujuran dan kesedehanaan. Tapi juga
harus cerdas.

Karya PKS sepanjang kader mereka berkuasa tidaklah mendebarkan. Bahkan
beberapa hal menyesatkan. Nurmahmudi Ismail ketika menjadi Menhutbun,
yang dia cabut pertama kali adalah program hutan rakyatnya Habibie. Ini
sungguh diluar akal sehat.

Begitupun soal dukungannya ke pasangan SBY-JK (Semakin Banyak Yang
Jadi Korban). Ini bukti PKS tidak bervisi ke depan. Dia sekarang
kena getahnya. Nyaris tidak bunyi --dalam bahasa jawa 'pelo'-- ketika
harus menolak kenaikan BBM yang sangat pro kapitalis.

Begitupun ketika mereka menjadi mayoritas di DPRD DKI Jakarta. Apakah
Jakarta jadi lebih baik? Tidak! Penggusuran rakyat kecil terus terjadi.
Bahkan mereka sekarang ramai-ramai menaikkan gaji-nya. Subhanallah.
Ini bukti bahwa jujur dan sederhana, ketika berurusan dengan negara
tidak begitu penting. Cerdas dan pro rakyat. Itu yang penting, dan
sekarang menjadi barang langka.

_________________________________________________________________
Mimbar Untan
e: lpm_untan@...

Benar, menjadi pejabat publik, kejujuran dan kesederhanaan tidak cukup.
Perlu ditambah: cerdas. Namun jika kemudian dikatakan bahwa jujur dan
sederhana, ketika berurusan dengan negara tidak begitu penting, saya
sangat tidak setuju. Bukankah negara ini telah dipimpin oleh banyak
orang yang cerdas, namun tidak jujur dan memuja keglamoran. Mereka
telah membawa kehancuran bagi negara. Saya kira yang bijaksana,
diperlukan orang yang jujur, sederhana, sekaligus cerdas.

Hidayat Nurwahid sukses mengajarkan kejujuran dan kesederhanaan, namun
itu belum cukup. Ia musti cerdas dalam mengambil kebijakan. PKS adalah
sebuah partai yang begitu diharapkan bisa menjadi partai yang bersih
dan bisa membawa perubahan. Saya kira banyak orang yang berharap banyak
kepada PKS. Namun akhir-akhir ini, sepertinya PKS tak bisa mewujudkan harapan
itu. Ambil contoh kebijakan kenaikan harga BBM dan tunjangan anggota
DPR. Tidak ada sikap yang jelas yang diambil PKS yang benar-benar
menyuarakan rakyat, kecuali menyangkut kepentingan mereka.

Inkonsistensi, bahwa PKS akan menjadi partai oposisi telah nampak. PKS
masuk ke ranah kekuasaan dan tak bisa berkutik. PKS tak seperti pada
awal kampanye. Saya kira bagi semua aktivis PKS, terutama yang telah
duduk pada singgasana kekuasaan, wajib untuk menjaga harapan dan amanah
yang telah dibebankan ke pundaknya. Memberikan kritik dan mengingatkan
pemimpin adalah satu yang baik. Kritik itu supaya pemimpin tidak salah
langkah. Shalat adalah kewajiban, jujur memang seharusnya, sederhana
tentu, namun bukan berarti itu cukup untuk masuk surga. Masih banyak
rakyat yang semakin miskin akibat salahnya kebijakan negara. Masih
yakinkah akan masuk surga?

_________________________________________________________________
Faiz Manshur
nyongfaiz@...

Kalau mau meneladani sikap bijak pribadi sebenarnya banyak orang yang
bisa dijadikan teladan. Di kampung-kampung juga banyak, tak usah nyari
seorang pemimpin seperti HNW. Jangankan HNW, mbah Harto pun baik hati,
asalkan kenal. Bang Akbar Tanjung pun dikenal orang-orang dekatnya
sebagai sosok yang humanis.

Hidup sederhana dalam situasi yang begini memang baik, tapi tak tepat
kalau kemudian hanya karena itu lantas dijadikan patokan untuk menilai
kesalehan politik. Nah, sebagai tokoh politik, yang paling pokok dari
HNW kita nilai kesalehan politiknya, sikap-sikapnya terhadap rakyat.

_________________________________________________________________
Yayat Cipasang
e: yayatcipasang@...

Iyalah, memang jangan dicontohkan dengan hidup sederhana. Karena banyak
orang LSM yang mengaku meladeni rakyat miskin malah gelimang harta.
Jadi, memang tak cocok berkomentar tentang kesedarhanaan sekarang.
Sekarang semuanya dijungkirbalikkan.

Saya pikir, pendapat Coen juga keluar dari konteks. Paling tidak kita
bikin contoh dulu hidup sederhana biar negara gak boros. Masalahnya
Indonesia boros kan karena korupsi. Kalau tidak ada korupsi dan hidup
mewah pasti kenaikan BBM juga kan tidak ada. Berpikir sederhana sajalah.
Ngapain rumit-rumit berpikir di zaman kiwari.

_________________________________________________________________

Ahmad Su'udi
e: akulahahmad@...

Astaghfirullah! Sepertinya hanya kebencian yang ada dalam benak rekan-rekan
sekalian terhadap Hidayat Nurwahid, sehingga sama sekali rekan-rekan
tak memiliki apresiasi positif tentang sisi kebaikan tokoh satu ini.

Padahal adalah sebuah prestasi ada pejabat tinggi sekelas ketua MPR
masih sanggup sederhana, suatu gaya hidup yang bisa jadi rekan sekalian
tak sanggup menjalani, padahal pasti godaan yang ada pada diri rekan-rekan
tak seberat Hidayat. Kalau Hidayat mau, pasti ia bisa hidup glamour.
Anda kata semua pejabat negeri ini jujur dan sesederhana Hidayat, pasti
tak seburam ini wajah negeri kita ini. Pasti tak kemelaratan yang
mendominasi cerita negeri ini. Tersebab keculasan dan ketamakan
para pemimpinlah, negeri ini diambang kehancuran.

Hidayat memang tetap manusia, tak lepas dari kekhilafan, tetapi tak
bijak jika kita sama sekali tak menghargai sisi kebaikannya. Lebih tak
bijak lagi jika kita - sudahlah tak bisa mencontoh sisi baiknya - justru
mencela. Terlebih saat ini Ramadhan man!

_________________________________________________________________

Diposting oleh Satrio Arismunandar
e: satrioarismunandar@...

Meneladani Ust. Hidayat Nurwahid:
Air mata ana menetes di rumah Muhammad Hidayat Nurwahid

Nabil Almusawa
e: nabielfuad@...

BismiLLAAHir RAHMAANir RAHIIM,

Beberapa hari yang lalu ana berkesempatan untuk ikut dalam acara buka
bersama dengan Ketua MPR-RI, DR Muhammad Hidayat Nurwahid, MA di rumah
dinasnya, kompleks Widya Chandra dengan beberapa ikhwah.
Ketika ana masuk ke rumah dinas beliau tsb, maka dalam
hati ana bergumam sendiri: Alangkah sederhananya isi
rumah ini. Ana melihat lagi dengan teliti, meja, kursi2,
asesori yg ada, hiasan di dinding. SubhanaLLAH, lebih
sederhana dari rumah seorang camat sekalipun.
Ketika ana masuk ke rumah tsb ana memandang ke
sekeliling, kebetulan ada disana Ketua DPR Agung
Laksono, Wk Ketua MPR A.M Fatwa, Menteri Agama, dan
sejumlah Menteri dari PKS (Mentan & Menpera) serta
anggota DPR-RI, serta pejabat2 lainnya.

Lagi2 ana bergumam: Alangkah sederhananya pakaian
beliau, tidak ada gelang dan cincin (seperti yg dipakai teman2
pejabat yg lain disana). Ternyata beliau masih ustaz
Hidayat yg ana kenal dulu, yg membimbing tesis S2 ana
dg judul: Islam & Perubahan Sosial (kasus di Pesantren
PERSIS Tarogong Garut).

Terkenang kembali saat2 masa bimbingan penulisan tesis
tsb, dimana ana pernah diminta datang malam hari
setelah seharian aktifitas penuh beliau sebagai
Presiden PKS, dan ada 10 orang tamu yg menunggu ingin
bertemu. Ana kebagian yg terakhir, ditengah segala
kelelahannya beliau masih menyapa ana dg senyum : MAA
MAADZA MASAA'ILU YA NABIIL?

Lalu ana pandang kembali wajah beliau, kelihatan
rambut yg makin memutih, beliau bolak-balik menerima tamu, saat
berbuka beliau hanya sempat sebentar makan kurma &
air, karena setelah beliau memimpin shalat magrib terus
banyak tokoh yg berdatangan, ba'da isya & tarawih kami semua
menyantap makanan, tapi beliau menerima antrian wartawan dalam & luar
negeri yang ingin wawancara.

Tdk terasa airmata ana menetes, alangkah jauhnya ya
ALLAH jihad ana dibandingkan dg beliau, ana masih punya
kesempatan bercanda dg keluarga, membaca kitab dsb,
sementara beliau benar2 sudah kehilangan privasi
sebagai pejabat publik, sementara beliaupun lebih berat ujian
kesabarannya untuk terus konsisten dlm kebenaran dan membela rakyat.

Tidaklah yg disebut istiqamah itu orang yg bisa
istiqamah dlm keadaan di tengah2 berbagai kitab Fiqh dan Hadits
seperti ana yg lemah ini. Adapun yg disebut istiqamah
adalah orang yg mampu tetap konsisten di tengah
berbagai kemewahan, kesenangan, keburukan, suap-menyuap dan
lingkungan yang amat jahat dan menipu.

Ketika keluar dari rumah beliau ana melihat beberapa
rumah diseberang yang mewah bagaikan hotel dg asesori lampu2
jalan yg mahal dan beberapa buah mobil mewah, lalu ana bertanya pd supir DR
Hidayat : Rumah siapa saja yg diseberang itu? Maka jawabnya : Oh, itu rumah pak
Fulan dan pak Fulan Menteri dari beberapa partai besar.

Dalam hati ana berkata: AlhamduliLLAH bukan menteri PKS.
Saat pulang ana menyempatkan bertanya pd ustaz Hidayat:
Ustaz, apakah nomor HP antum masih yg dulu? Jawab beliau:

Na'am ya akhi, masih yg dulu, tafadhal antum SMS saja
ke ana, cuma afwan kalo jawabannya bisa beberapa hari
atau bahkan beberapa minggu, maklum SMS yang masuk tiap hari ratusan
ke ana.

Kembali airmata ana menetes. alangkah beratnya cobaan beliau & khidmah
beliau untuk ummat ini, benarlah nabi SAW yang bersabda bahwa orang
pertama yg dinaungi oleh ALLAH SWT di Hari
Kiamat nanti adalah Pemimpin yang Adil. Sambil berjalan pulang ana
berdoa : Ya ALLAH, semoga beliau dijadikan pemimpin yg adil & dipanjangkan umur
serta diberikan kemudahan dlm memimpin negara ini. Aaamiin ya RABB.

_________________________________________________________________


Ungkapkan opini Anda di:

http://mediacare.blogspot.com

http://indonesiana.multiply.com

KRONOLOGIS SALENA (kasus Madi)

Klarifikasi Dari milis sebelah, kebetulan penulisnya punya temen
polisi yang terlibat langsung peristiwa di Sana :

1. Ini info yg berbeda ttg aliran Madi - ada dua file

2. untuk rekan acay minta tolong di upload di www.ikastara.org/forums
semoga bisa menjadi hikmah dan bahan pendektan lapangan untuk kasus
SARA di
kemudian hari


From: shohib
Sent: Friday, October 28, 2005 1:50 PM
Subject: Fw: KRONOLOGIS SALENA (kasus Madi)


Dear all,
Mohon perhatian untuk kasus "aliran Madi" yang banyak diberitakan di
beberapa media akhir-akhir ini. Sebagai orang yang banyak melakukan
penelitian di pedalaman Sulawesi Tengah, kasus ini saya rasakan
sangat
janggal. Sejauh pengetahuan saya, belum pernah ada gerakan adat yang
konfrontatif secara terbuka dengan agama di Sulawesi Tengah, bahkan
di
kalangan suku Wana sekalipun. Yang terjadi justru sebaliknya,
penyebaran
agama banyak dilakukan dengan memanfaatkan simbol-simbol atau
pranata budaya
lokal. Yang lebih mencurigakan, konfrontasi itu diarahkan kepada
agama
Islam. Padahal Islam di sini diwakili oleh Alkhairat yang--seperti
saudaranya NU di Jawa--sangat toleran terhadap budaya lokal.

Dari informasi kawan-kawan di lapangan ada kecurigaan kasus ini
direkayasa
terkait dengan penolakan masyarakat atas rencana eksploitasi Galian
C di
desa mereka. Apalagi diketahui bahwa Madi yang menjadi "pemimpin
aliran" ini
adalah orang yang sangat lantang menyuarakan penolakan tersebut.

Berikut ini saya lampirkan press release dan kronologis kejadian yang
disampaikan oleh kontak kawan-kawan aktivis di Palu.
Semoga menjadi bahan perhatian kita semua.

Salam,
Shohib

===
KRONOLOGIS KEJADIAN





Sabtu, 22 Oktober 2005



Sekitar siang, polisi dari Polsek Palu Barat datang bersama dengan
Pue
Janggo dan memanggil Madi yang kemudian diikuti teman-temannya
(murid dari
pergutruan Kantau). Pertemuan Madi, Temannya, Polisi, Pue Jenggo dan
aparat
kelurahan (ketua RT I dusun Salena, Pertemuan ini sebenarnya hanya
sekedar
diskusi tentang kegiatan Madi. Madi justru menjelaskan bahwa dia
tidak
melakukan kegiatan yang telah diisukan diluar (seperti ajaran sesat,
melarang orang sholat, melarang orang gereja). Setelah diskusi
beberapa
pihak ini yang juga dihadiri oleh wartawan, pertemuan bubar tetapi
Madi dan
teman-temannya tetap berada di Bantaya (tempat pertemuan), tiba-tiba
datang
polisi 2 orang naik di Bantaya dan menjabat tangan Madi kemudian
balik
kembali.



Minggu, 23 Oktober 2005



Sore sekitar pukul 17.00 datang lagi polisi, bertemu dengan Masuna
ketua RT
II untuk diajak mengikuti pertemuan di balai kelurahan Tipo untuk
membicarakan tentang isu rencana penyerangan masyarakat Salena kepada
masyarakat Lekatu dengan target damai antara masyarakat Salena dengan
masyarakat Lekatu (Dusun di Kelurahan Tipo). Pertemuan di balai
Kelurahan
dilakukan sore itu juga.



Senin, 24 Oktober 2005



Siang sekitar jam 12.00 nene Janggo dengna 2 orang Polisi datang
kembali ke
Salena dengan membacakan hasil pertemuan di Balai kelurahan Tipo
bahwa
antara masyarakat Salena (Kelurahan Buluri) dan masyarakat Lakatu
(Kelurahan
Tipo) tidak ada masalah lagi tapi Polisi tetap mau bertemu dengna
Madi. Endi
(Ketua RT I Dusun Salena) mengatakan bersedia naik ke gunung Pompa
Nova
(tempat perguruan Kantau/Silat Madi) hari selasa untuk mengudang Madi
bertemu dengan Polisi.



Selasa, 25 Oktober 2005



Hujan yang turun sejak subuh sampai pagi menyebabkan Endi belum
sempat
berangkat ke gunung lebih pagi Endi justru berangkat menuju kantor
kecamatan
untuk mengambil uang kompensasi kemudian ke Kelurahan untuk mengambil
sembako. Tapi sekitar pukul 07.00 sebelum Endi turun ke Kantor
Kecamatan
Patroli Polisi telah datang dan berkumpul di Bantaya. Setelah itu,
sekitar
pukul 09.00 Polisi telah datang sejumlah 2 truk mobil Polisi dan
langsung ke
gunung tempat Madi berada saat, sementara Patroli tetap terjaga di
Bantaya.



Sekitar jam 14.00 setelah Endi datang dari kantor kelurahan membawa
sembako,
satu jam kemudian masyarakat Salena mendengar bunyi letusan sanapan
masyarakat ketakutan dan lari menyebar menyelamatkan diri.



Dari kejadian ini diberikan 3 orang Polisi dan 1 orang warga
meninggal
dunia. Setelah kejadian ini, 4 truk polisi kembali diturunkan untuk
menambah
kekuatan aparat.



Rabu, 26 Oktober 2005



Sekitar jam 06.00 aparat kepolisian ditarik, tapi sekitar 2 truk
masyarakat
dari kelurahan Buluri dan masyarakat dusun Lekatu Kelurahan Tipo
datang
menaku-nakuti masyarakat Salena yang tersisa dengan mengatakan
masyarakat
yang tersisa harus menyingkir karena pasukan dari 711 akan datang dan
menyisir masyarakat Salena yang tersisa kemudian menyingkir dan
menyelamatkan diri tapi belum 100 meter mereka menyingkir rumah
mereka
dijarah dan dirusak oleh kelompok masyarakat ini. Aparat hanya
membiarkan
aksi masyarakat kelurahan Buluri dan masyarakat Kelurahan Tipo yang
melakukan penjarhan. Sekitar jam 11.00 aparat TNI dari 711
didatangkan
sejumlah 2 truk.





===



SIARAN PERS



Tewasnya tiga anggota polisi dan satu orang warga masyarakat sebagai
akibat
dari bentrokan yang terjadi antara polisi dengan sekelompok
masyarakat di
Dusun Salena Kelurahan Buluri Kecamatan Palu Barat-Sulawesi Tengah,
telah
mengundang perhatian yang luas dari masyarakat umum, media masa
hingga
lembaga keagamaan. Kami menilai, sebelum terjadinya insiden tersebut
sejumlah media massa local menyiarkan berita yang mengarah pada
pembentukan
opini yang cenderung menyesatkan dan mendiskreditkan keberadaan
sekelompok
warga masyarakat di Dusun Salena. Hal itu kemudian diikuti tindakan
represif
aparat kepolisian terhadap masyarakat di dusun Salena.



Berita-berita yang dirilis oleh media massa local tersebut,
mengesankan
adanya suatu aliran keagamaan yang dinilai sebagai aliran sesat yang
dipimpin oleh Mahdi. Penggunaan nama Mahdi tersebut mengesankan
adanya
hubungan antara aktivitas sekelompok masyarakat di Dusun Salena
dengan
ajaran tentang Imam Mahdi. Padahal nama tokoh masyarakat yang
dimaksud dalam
berita-berita tersebut adalah MADI, bukan MAHDI (Tanpa huruf H
diantara
huruf A dengan huruf D) dan tidak ada hubungannya dengan Imam Mahdi.
Pemberitaan yang menyesatkan tersebut selain menjadi alasan aparat
kepolisian untuk melakukan tindakan represif, pada gilirannya
menimbulkan
keresahan masyarakat luas yang dikuatirkan akan menimbulkan konflik
horizontal.



Kami juga menilai, bahwa aparat kepolisian bertindak sangat tidak
bijak
dalam menangani kasus ini. Bahkan ada kecenderungan aparat kepolisian
sengaja memprovokasi masyarakat di Dusun Salena untuk melakukan
tindak
kekerasan. Hal mana kemudian menjadi alasan bagi aparat tersebut
untuk
bertindak lebih represif. Pengerahan pasukan polisi dengan senjata
lengkap
untuk menangkap warga Dusun Salena, jelas-jelas merupakan tindakan
provokatif karena sebelumnya masyarakat tersebut sudah menyatakan
penolakan
untuk menyerahkan warga yang hendak ditangkap tersebut. Seharusnya,
pihak
kepolisian lebih mengedepankan cara yang persuasive dan dialogis
dengan
mempertimbangkan aspek sosio-kultural masyarakat adat. Apalagi
ternyata
tidak ada situasi emergensi , dimana masyarakat Dusun Salena tersebut
mengancam keselamatan warga masyarakat yang lain. Kalaupun (andai
kata)
masyarakat di Dusun Salena mengembangkan system religi yang berbeda
dengan
masyarakat lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk
melakukan
tindakan represif terhadap mereka.



Kami juga menilai, bahwa tindakan perlawanan sekelompok warga Dusun
Salena
tersebut, merupakan tindakan pembelaan diri sebagai respons terhadap
tindakan represif yang dilakukan oleh pihak kepolisian.



Tindakan ceroboh dan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian,
telah
menimbulkan ketakutan warga Dusun Salena sehingga mereka lari cerai
berai ke
dalam hutan atau mengungsi ke desa lain. Apalagi aparat kepolisian
melakukan
pembakaran terhadap rumah mereka.



Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, dengan ini kami
nyatakan :



1. Menyesalkan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat
kepolisian
terhadap warga Dusun Salena, sekaligus mendesak agar kepolisian
menghentikan
tindakan represif dan menghentikan kampanye pembusukan terhadap
warga Dusun
Salena.

2. Menyesalkan tindakan Menteri Agama yang melalui media elektronik,
ikut-ikutan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat
mendiskreditkan
masyarakat Dusun Salena, dengan hanya menggunakan sumber informasi
yang
sepihak. Pernyataan-pernyataan tersebut menimbulkan kesan, bahwa
Menteri
Agama hanya menjadi alat legitimasi atas tindakan represif yang
dilakukan
oleh kepolisian. Lebih dari itu, pernyataan-pernyataan tersebut
berpotensi
besar untuk menimbulkan polarisasi di masyarakat yang dapat memicu
konflik
yang lebih luas.

3. Menyesalkan pemberitaan media-media massa local yang tidak akurat
dan menyesatkan, sekaligus mendesak kepada Dewan Pers Nasional untuk
menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika profesi wartawan.

4. Mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk
menyelidiki kasus ini. Karena kasus ini, selain mengandung potensi
pelanggaran Hak Asasi Manusia, aparat kepolisian tidak dapat
diharapkan
untuk bersikap independen dalam penangan kasus ini. Lebih daripada
itu,
pembiaran terhadap tindakan-tindakan represif dalam kasus seperti
ini, dapat
menjadi preseden buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terutama
dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia dibidang ekonomi, sosial
dan budaya
(ekosob).



Palu, 26 Oktober 2005

Siaran pers ini dibuat oleh :



1. Perkumpulan KARSA
2. Solidaritas Perempuan Palu
3. Perkumpulan Bantaya
4. Awam Green Palu
5. Yayasan Merah Putih Palu
6. Sugiarto ( aktifis HAM)
7. Harun ( Aktifis HAM )
8. Irfan Hidayat Lubis ( aktifis HAM )


Untuk Konfirmasi atas Siaran pers ini bisa menghubungi :
Kantor perkumpulan Bantaya
Jln : M.H Thamrin No. 63 Palu
Telp (0451) 423811

Hati-hati Dalam Menyikapi Kasus Selena

Sebuah email Da' Budi. Selamat membaca!
*********************

Dari: teguh firmanto
Tanggal: Oct 29, 2005 6:27 PM
Judul: [***ina] hati-hati dalam menyikapi kasus selena


Assww..........

Dalam menulis kasus di dusun Salena, Palu Barat, rata-rata media massa
menyebut mereka sebagai aliran sesat dengan amat cepat. Sumber
informasi mereka biasanya dikutip dari polisi, birokrat departemen
agama, tanpa melakukan liputan lebih dalam.

Setahu saya, hanya Koran Tempo dan Kompas yang tidak menyebut mereka
sebagai aliran sesat. Kompas menyebutnya sebagai aliran agama bercampur
adat. Koran Tempo memilih istilah aliran kepercayaan.

Kenapa para wartawan tidak hati-hati? Apakah mereka tidak merasa
penting untuk melakukan pendalaman? Mengapa mereka hanya puas dengan
official statement? Apakah karena persaingan antar wartawan dus
sekaligus persaingan antar media? Apakah itu karena media sebagai
industri? Gawat juga ya...

Pertanyaan berikutnya, mengapa kita bernafsu betul menghabisi
orang-orang sederhana itu dengan sumber informasi dari satu pihak?
mengapa pula sumber informasi yang digemari para wartawan kita sekarang
adalah para pejabat sipil, kepolisian, militer atau pejabat agama?
Mengapa kita selalu merasa lebih beradab ketimbang orang yang hidup nun
jauh ke pedalaman atau di lereng bukit?

Kalau kita merasa lebih canggih, modern ataupun beradab, mengapa kita
tidak datang secara persuasif? Mengapa kita datang tanpa mau tau apa
"bahasa" mereka? Mengapa kita memaksa mereka harus memahami dan memakai
"bahasa" kita? Mengapa kita datang membawa senjata api, namun marah
melihat mereka menggenggam parang yang selalu mereka bawa?

Apakah kita tau parang, sumpit dan tombak adalah alat mereka mencari
makan dan "nafkah" sama dan sebangun dengan alat kita mencari nafkah
seperti laptop, BMW, office building, CD ROM, kamera, kalkulator?
Apakah kita paham jika kita selalu tak lepas dengan pulpen, handphone,
iPOD, notebook, itu sama dan sebangun dengan fungsi parang, tombak dan
sumpit bagi mereka?

Mengapa pula kita datang saat mereka sedang ada ritual? Kenapa kita
tidak berunding saat mereka belum ataupun sesudah ritual selesai?
Kenapa kita yakin bahwa mereka telah salah memahami Islam dan Kristen
saat tidak ada yang bersama mereka berdialog tentang apa itu Islam atau
Kristen yang sudah mereka anut? Kenapa kita kecewa saat merasa Kristen
dan Islam mereka tidak sama dengan kita? Apakah kita kecewa atau malu
karena mereka, yang mengaku Kristen dan Islam itu, kumuh penampilannya?

Kenapa kita tetap menulis Kelompok Mahdi, Imam Mahdi, Jaringan Mahdi,
walaupun sudah terang-benderang bahwa namanya Madi bukan Mahdi? Apakah
berita akan lebih sensasional dan "bunyi" jika Mahdi tetap kita gunakan
dan Madi -- yang notabene memang namanya -- pura-pura kita tidak tau?
Apakah setelah hari kedua dan ketiga dan keempat, kita semua kecewa
bahwa ternyata "tokoh kita" itu cuma Madi dan bukan Mahdi?

Mungkin saja Madi tidak pernah kepikiran atau bahkan tak tau apa itu
Mahdi, apatah lagi diberi tambahan Imam Mahdi? Mahdi dan Madi, dua
kosakata yang amat berbeda kawan-kawan...

Tentu saja, secara hukum Madi dan satu-dua rekannya yang membunuh
polisi harus dihukum. Namun investigasi yang menyeluruh dan mendalam
haris dilakukan agar kejadian seperti ini tidak terjadi di tempat lain,
pada masyarakat lokal yang lain.

Wass............(sebuah kutipan)

Hati-hati Dalam Menyikapi Kasus Selena

Sebuah email Da' Budi. Selamat membaca!
*********************

Dari: teguh firmanto
Tanggal: Oct 29, 2005 6:27 PM
Judul: [***ina] hati-hati dalam menyikapi kasus selena


Assww..........

Dalam menulis kasus di dusun Salena, Palu Barat, rata-rata media massa
menyebut mereka sebagai aliran sesat dengan amat cepat. Sumber
informasi mereka biasanya dikutip dari polisi, birokrat departemen
agama, tanpa melakukan liputan lebih dalam.

Setahu saya, hanya Koran Tempo dan Kompas yang tidak menyebut mereka
sebagai aliran sesat. Kompas menyebutnya sebagai aliran agama bercampur
adat. Koran Tempo memilih istilah aliran kepercayaan.

Kenapa para wartawan tidak hati-hati? Apakah mereka tidak merasa
penting untuk melakukan pendalaman? Mengapa mereka hanya puas dengan
official statement? Apakah karena persaingan antar wartawan dus
sekaligus persaingan antar media? Apakah itu karena media sebagai
industri? Gawat juga ya...

Pertanyaan berikutnya, mengapa kita bernafsu betul menghabisi
orang-orang sederhana itu dengan sumber informasi dari satu pihak?
mengapa pula sumber informasi yang digemari para wartawan kita sekarang
adalah para pejabat sipil, kepolisian, militer atau pejabat agama?
Mengapa kita selalu merasa lebih beradab ketimbang orang yang hidup nun
jauh ke pedalaman atau di lereng bukit?

Kalau kita merasa lebih canggih, modern ataupun beradab, mengapa kita
tidak datang secara persuasif? Mengapa kita datang tanpa mau tau apa
"bahasa" mereka? Mengapa kita memaksa mereka harus memahami dan memakai
"bahasa" kita? Mengapa kita datang membawa senjata api, namun marah
melihat mereka menggenggam parang yang selalu mereka bawa?

Apakah kita tau parang, sumpit dan tombak adalah alat mereka mencari
makan dan "nafkah" sama dan sebangun dengan alat kita mencari nafkah
seperti laptop, BMW, office building, CD ROM, kamera, kalkulator?
Apakah kita paham jika kita selalu tak lepas dengan pulpen, handphone,
iPOD, notebook, itu sama dan sebangun dengan fungsi parang, tombak dan
sumpit bagi mereka?

Mengapa pula kita datang saat mereka sedang ada ritual? Kenapa kita
tidak berunding saat mereka belum ataupun sesudah ritual selesai?
Kenapa kita yakin bahwa mereka telah salah memahami Islam dan Kristen
saat tidak ada yang bersama mereka berdialog tentang apa itu Islam atau
Kristen yang sudah mereka anut? Kenapa kita kecewa saat merasa Kristen
dan Islam mereka tidak sama dengan kita? Apakah kita kecewa atau malu
karena mereka, yang mengaku Kristen dan Islam itu, kumuh penampilannya?

Kenapa kita tetap menulis Kelompok Mahdi, Imam Mahdi, Jaringan Mahdi,
walaupun sudah terang-benderang bahwa namanya Madi bukan Mahdi? Apakah
berita akan lebih sensasional dan "bunyi" jika Mahdi tetap kita gunakan
dan Madi -- yang notabene memang namanya -- pura-pura kita tidak tau?
Apakah setelah hari kedua dan ketiga dan keempat, kita semua kecewa
bahwa ternyata "tokoh kita" itu cuma Madi dan bukan Mahdi?

Mungkin saja Madi tidak pernah kepikiran atau bahkan tak tau apa itu
Mahdi, apatah lagi diberi tambahan Imam Mahdi? Mahdi dan Madi, dua
kosakata yang amat berbeda kawan-kawan...

Tentu saja, secara hukum Madi dan satu-dua rekannya yang membunuh
polisi harus dihukum. Namun investigasi yang menyeluruh dan mendalam
haris dilakukan agar kejadian seperti ini tidak terjadi di tempat lain,
pada masyarakat lokal yang lain.

Wass............(sebuah kutipan)

Kiat Berterimakasih (Syukur)


Kiat Berterimakasih (Syukur)
Sumber: Arsip Artikel - Telaga Rasul


Oleh : Aa Gym


Semoga di bulan Ramadhan yang penuh barokah ini kita digolongkan menjadi orang yang tenggelam dalam samudera nikmat Allah, sehingga tiada yang kita lihat selain nikmat dari Allah dan hanya hutang demi hutang untuk bersyukur kepada Allah swt.

Hikam:
"Mengapa Allah akan menyiksa kamu, jika kamu bersyukur dan beriman kepada Allah. Allah adalah Maha Mensyukuri dan Maha Mengetahui." (Al-Qur`an surat An-Nisa: 147)

Rasulullah saw bersabda: "Yang paling pandai bersyukur kepada Allah adalah orang yang pandai bersyukur kepada manusia." (HR. Imam Tabrani)

Pada umumnya manusia ketika mendapat harta yang berlimpah selalu sibuk dengan hartanya, lupa bahwa harta hanyalah titipan dan bukan miliknya. Manusia seperti ini termasuk kedalam golongan orang yang paling rendah.

Golongan orang yang termasuk beruntung adalah orang yang bersyukur akan harta yang dititipkan Allah kepada nya tetapi masih senang dan bangga dengan harta titipan Allah swt. Golongan orang ahli syukur sejati yaitu orang yang ketika mendapat harta, pangkat, kedudukan, gelar dan lain-lain. Yang dia ingat hanyalah karunia Allah dan untuk menambah kedekatannya kepada Allah.

Anak yang berbakti kepada orang tua adalah termasuk orang yang ahli bersyukur, dengan menyebut dan mengenang jasa orang lain kita sudah termasuk bersyukur kepada Allah swt. Orang tua yang mensyukuri Anaknya karena Allah yaitu orang tua yang mendidik anaknya, agar dekat kepada Allah swt.

Seorang guru merupakan jalan ilmu bagi orang lain, salah satu yang akan menjadi cahaya di dalam kubur diantaranya ilmu, selain amal jariyah dan anak yang soleh. Yang paling penting bagi seorang guru adalah tidak hanya mengajar tapi menjadi contoh bagi murid-muridnya.

Bersyukur kepada Allah tidak hanya bicara, tapi pribadinya menjadi suri tauladan bagi semua orang. Bagi orang yang tidak bersyukur maka nikmatnya akan berubah menjadi adzab Allah yang pedih dan hilang ketentramannya. Sirnanya kebahagiaan karena kita tidak melihat semuanya ini dari Allah dan kurang mensyukuri karunia Allah.

Semoga kita termasuk orang yang pandai mensyukuri akan nikmat Allah swt. (imm)

Saturday, October 29, 2005

Berharap pada Menjadi-Sisa-Konflik-Horisontal?

Apa "iya" beliau mengatakan demikian? Bagaimana penanganan para Anti Ahmadiyah yang mengultimatum Pemerintah sebelum Idul Fitri berkenaan dengan rencana anarkis mereka menyerang Jemaat Ahmadiyah di Indonesia?

---------------------------

Sabtu, 29/10/2005 14:09 WIB
SBY: Insiden Poso Boleh Jadi Sisa Konflik Horizontal
Insiden mengerikan di Poso pada Sabtu pagi besar kemungkinan merupakan sisa dari konflik horizontal di daerah itu yang meledak sejak 5 tahun lalu.



SBY: Insiden Poso Boleh Jadi Sisa Konflik Horizontal
Luhur Hertanto - detikcom

Jakarta - Insiden mengerikan di Poso pada Sabtu (29/10/2005) pagi besar kemungkinan merupakan sisa dari konflik horizontal di daerah itu yang meledak sejak 5 tahun lalu.

"Sangat boleh jadi sisa konflik horizontal yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Meski situasinya semakin pulih, tetap ada kelompok-kelompok yang ingin memelihara konflik untuk kepentingan mereka sendiri," ungkap SBY usai memimpin rapat terbatas bidang polkam di Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Sabtu siang.

Setelah mendengar insiden pemenggalan tiga siswi SMU di Poso, SBY langsung memimpin rapat terbatas mendadak. "Rapat terbatas ini untuk menemukan akar masalah kenapa masih terjadi lagi aksi demikian di Poso, yang menurut penilaian pemerintah, situasinya makin kondusif," papar pensiunan jenderal bintang empat ini.

SBY juga menjelaskan, Badan Intelijen Negara (BIN) akan melakukan langkah-langkah untuk mengenali dari sisi mana kekerasan ini dilakukan. "Penahanan terhadap seseorang mungkin terkait, mungkin tidak. Ini yang dilakukan BIN secepatnya," tegasnya.

SBY juga menegaskan bahwa insiden itu belum ada indikasi terkait dengan kasus ajaran Mahdi. (nrl)

Mari kita Berbaiat kepada Imam Mahdi Melalui Sang Penerusnya




Baiat

Baiat
Baiat
Baiat
Baiat
Baiat



Baiat
Baiat
Bai'at
Baiat
Baiat
Baiat
Baiat
Baiat

Govt called on to deal with religious sects wisely

JAKARTA POST | Headline News -- October 29, 2005
Govt called on to deal with religious sects wisely


Hera Diani and Slamet Susanto, The Jakarta Post/Jakarta/Yogyakarta

Heretical, schmeretical! We have been hearing a lot of such accusations directed lately against, for instance, the imam who led Islamic ritual prayers in the Indonesian language, or against the Ahmadiyah congregation.

And now, the finger has been pointed at followers of Mahdi, a religious sect leader living near Palu, Central Sulawesi, who has allegedly asked his followers not to practice some of the tenants of Islam or Christianity.

Din Syamsuddin, chairman of the nation's second largest Muslim organization Muhammadiyah, quickly branded the Mahdi sect "blasphemous and misleading", and urged the government to supervise and to assist the sect followers.

They are people with low educational backgrounds, live in an isolated mountainous area and are financially repressed, he said, presumably as a way of explanation for their chosen beliefs.

He also called on a group calling itself the team of religious faith monitoring (PAKEM) to improve their work.

"Indonesia has a vast area with a diverse population. It creates a very wide access for any religious faith. We have to be very wise in taking care of it," Din, also deputy chairman of the Indonesian Ulema Council (MUI), said in Yogyakarta on Friday.

He did, however, say that he regretted the deadly clash between police and Mahdi's followers on Tuesday, in which five people were killed -- three officers and two sect members.

The clash occurred as 16 police officers went to the mountainous Gawalise area outside of Palu city to try to question Mahdi and they met strong resistance from his followers.

Reports about several officers being held hostage prompted Central Sulawesi Police to launch a large operation against the group, with over 300 heavily armed men assisted by a helicopter.

Three police officers were later found alive with serious injuries on Thursday, while around 100 sect followers surrendered to police as the search for Mahdi commenced.

Another Muslim scholar Komaruddin Hidayat said that heretical stigmatization of slightly different groups should be avoided because no person or group has the right to judge others as blasphemous.

"What are the criteria for religious deviation? Because corruption is also another form of deviance," said the Islamic studies professor from the Syarif Hidayatullah Islamic State University (UIN).

Religious splinter groups and cults, Komaruddin said, can also be triggered by poverty, low education and a feeling of not being accommodated or served by the government.

He said the government should have asked the Mahdi followers for a dialog first, as it could have prevented the clash.

"The government should have been pro-active and held discussions with the followers. The government should have approached them nicely instead of confronting them with a platoon of police."

Islamic jurisprudence scholar Siti Musdah Mulia accused the government of violating the Constitution by detaining people it perceived as religiously heretical.

"As long as any religious group does not commit violence or force others to follow their precepts, the government should let them be free. The state should even protect them," said Musdah, who is secretary-general of the Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP).

The government, Musdah said, has been taking a discriminatory stance by only recognizing five religions, while there are so many other "local" religions spread across the country (and the world).

"Let people choose their own beliefs, because that is a personal matter. There are so many problems in this country, like poverty, that the government should focus on those things to resolve them instead."

Idul Fitri Bagi Mereka

Date: Fri, 28 Oct 2005 05:59:00 +0700
From: "L.Meilany"
Subject: Bagaimana Idul Fitri Mereka?

Terkadang makna penting Idul Fitri kita lupakan.
Kita terjebak pada persoalan tradisi dan ritus, 'balas dendam'
Yang membuat kita makin konsumtif, egois, menutup diri
dan kurang bersyukur.
Yang kekurangan memaksakan diri, yang berkecukupan
berlebihan.

Salam,
l.meilany
------------------------------------------------
Bagaimana Idul Fitri Mereka?
From: Flora & Wahyu Pamungkas


Semenjak hidup sebagai minoritas muslim, bahkan kadang-kadang hanya satu-satu-nya
keluarga muslim di negeri orang, kami menjadi terbiasa merayakan Iedul Fitri dengan biasa- biasa saja.

Meski kalau mau, berfoya-foyapun bisa saja kami lakukan. Tapi selama puasa kami
lebih memaknainya secara rohani, ketimbang melakukannya dengan makan-makan enak, aneka ragam yang menjurus ke konsumerisme. Yang penting adalah selalu meningkatkan kualitas berpuasa serta ibadah lain di bulan ramadhan dan membayar zakat. Ketika Idul Fitri tiba?

... Makan enak dan baju baru??? Itu sudah tidak penting lagi.

Flora

-----------------------------------

Oleh: Asiyah Maryam
26/10/2005 10:54 WIB

Di sana apakah ertinya Syawal Tangisan dan rintihan tiada henti Alangkah hibanya di
Aidilfitri

Di sini hari ini Lebaran yang dinanti Sanubari bernyanyi suci murni Amalan dirahmati
Pekerti lahir batin Sesuci sebersih lebaran ini

(Anugerah Aidilfitri, Sitti Nurhaliza)

Tadi sore, aku naik mobil angkot setelah berbelanja untuk lebaran. Maklum, untuk pulang kampung, kurang lengkap rasanya jika tidak membawa buah tangan untuk keluarga
tercinta dan kerabat terdekat. Walaupun kadang-kadang buah tangan yang dibawa itu juga dijual di kampung halaman, aku tetap saja tidak pernah bosan membawanya. "Oleh-oleh dari tanah rantau itu sensasinya lain, Uni", begitu tukas adik bungsuku. Mmm, ada-ada saja.

Iseng-iseng aku lalu menguping pembicaraan dua orang gadis cilik yang duduk di
depanku. Mereka asyik sekali membicarakan baju baru masing-masing untuk dikenakan pada hari lebaran yang akan datang beberapa hari lagi. Anak yang satu bercerita bahwa ia dibelikan satu stel baju muslimah, mukena baru, dan sepatu baru. Kemudian anak yang satu lagi bercerita bahwa orang tuanya membelikan juga satu stel baju muslimah, mukena, sepatu, plus jalan-jalan ke Bandung. Tak mau kalah dengan temannya yang akan pergi ke Bandung, anak yang pertama bercerita tadi mulai membeberkan rencana liburan keluarganya ke Yogya.

Lalu, masing-masing anak tersebut mulai saling bersaing untuk membuktikan pada temannya bahwa lebarannya-lah yang paling asyik. Ah, dasar anak-anak.

Aku kemudian teringat akan masa kecilku. Kala itu, Lebaran menjadi salah satu agenda
tahunan yang selalu dinanti-nanti dengan rasa antusias. Setelah ifthar bersama keluarga, aku akan keluar rumah dan menyalakan lilin bersama anak-anak yang lain. Setelah dikumandangkan adzan Isya, kami akan pergi ke masjid untuk melakukan shalat Isya dan Tarawih. Menjelang 1 Syawal, orangtuaku sudah menyiapkan segala macam perlengkapan hari raya berikut agenda liburan. Saking sayangnya, orangtuaku bahkan membelikan dua stel pakaian baru untuk masing-masing anaknya.

Di perempatan lampu merah, tiba-tiba dua orang pengamen cilik menghampiri mobil
angkot lalu menyanyi dengan suara pas-pasan. Aku menaksir mereka masih duduk di bangku SD.

Ah, seharusnya mereka berada di rumah untuk belajar dan menikmati indahnya masa kanak-kanak, bukan mencari nafkah seperti ini. Seiring kenaikan harga BBM awal Oktober ini, biaya hidup mereka pasti membengkak. Di sisi lain, mereka juga tidak mungkin meminta pendengar untuk melakukan 'penyesuaian' jumlah saweran yang sebanding dengan kenaikan harga BBM. Jangankan untuk membelikan baju baru Lebaran, untuk sepiring nasi saja, pasti mereka harus berusaha keras. Tiba-tiba aku ingin tahu, apakah arti 1 Syawal bagi mereka?

Ya Allah. Bagaimana dengan mereka yang berada di Irak? Saat ini, hampir seluruh
wilayah negara Irak luluh lantak akibat serangan dari negara-negara yang dipimpin oleh orang yang gemar berperang. Kemelut tak habis-habisnya mengunjungi penduduk Irak. Tahun lalu, mereka harus kehilangan masjid-masjid terindah yang mereka miliki di kota Falujjah menjelang Idul Fitri datang menjelang. Dan tahun ini, akankah mereka melewatkan malam takbiran dengan damai?

Lalu, apa kabar saudara-saudara kita yang tengah berjuang di Palestina? Saat kita di
sini sedang menyusun agenda hari raya dengan sukacita dan antusias, mereka mungkin sedang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk mempertahankan al-Quds. Ketika anak-anak di sini sedang asyik-asyiknya bermain kembang api dengan riang gembira, anak-anak di sana mungkin sedang sibuk menyerang tentara Israel dengan ketapel. Apakah mereka sebahagia kita pada 1 Syawal nanti?

Dan bagaimana pula kabar Pakistan yang masih berduka karena gempa bumi? Atau mereka
yang dikejar-kejar ketakutan di Afganistan sana? Atau mereka yang tak pernah tenang akibat intimidasi pihak-pihak Islamofobia di berbagai belahan bumi lainnya? Kira-kira, seperti apa mereka merayakan Idul Fitri nanti?

Akh, entahlah, wallahu a'lam bish shawab. Hanya Allah Yang Maha Tahu tentang segala
sesuatu.

Tiba-tiba aku jadi malu. Malu pada saudara-saudara yang sedang diuji oleh Allah di
tempat-tempat lain. Paling tidak, aku seharusnya bersikap lebih sensitif pada sesama dan menumbuhkan rasa empati kepada saudara-saudara kita yang sedang diuji oleh Allah tersebut dengan tidak menghambur-hamburkan materi untuk Idul Fitri, yang pada hakikatnya adalah kemenangan melawan hawa nafsu.

Astaghfirullah.

Aku lupa bahwa berempati kepada mereka adalah salah satu bentuk cinta. Dan tidaklah
sempurna iman seorang muslim jika ia belum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, begitulah yang pernah disabdakan Baginda Rasulullah.

***

Ya Allah, anugerahkanlah kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan bagi kaum
muslimin di manapun mereka berada di hari yang fitri nanti dan mampukanlah kami menjadi golongan orang-orang pemenang.

Jakarta, Ramadhan 1426 H my.storage.tank@gmail.com

Friday, October 28, 2005

tes



:-?? I don't know - New!

[Diskusi] Kompetesi Coca Cola vs Sosro (2)

Date: Fri, 16 Sep 2005 08:22:49 +0700
From: "Ihya U"
Subject: Re: Kompetesi Coca Cola VS Sosro (part 2)

Oleh : Teguh Sri Pambudi

Di tangan generasi ketiga, bisnis keluarga Sosrodjojo, terutama teh botolnya, kian kokoh. Seberapa besar kehebatannya? Benarkah tak akan ada yang sanggup menggoyangnya?

Slawi. Hari masih pagi, tapi suasana di sekitar pabrik teh PT Gunung Slamat (GS) tampak mulai bergairah. Pagi itu, selepas azan Shubuh, para pekerja sudah datang dari berbagai pelosok kampung. Mereka umumnya mengendarai sepeda onthel, tapi tidak sedikit pula yang menumpang mobil angkutan umum. Denyut kehidupan seakan tak pernah mati di lingkungan pabrik teh ini.

Saat ini, GS bisa dibilang satu-satunya pabrik teh di Slawi yang beroperasi selama 24 jam penuh. Ketika pabrik sejenis hanya menerapkan kerja siang hari, bahkan ada yang sampai meliburkan karyawannya, pabrik yang berdiri pada 1953 lewat tangan Sosrodjojo ini seperti tak kenal rehat barang sejenak. Kerja sekitar 400 karyawannya dibagi dengan sistem shift: pagi (06.00-14.00), sore (14.00-22.00) dan malam (22.00-06.00).

Selain itu, perusahaan ini juga masih menerapkan sistem lembur. Ini diperlakukan khusus pada hari Ahad dan hari libur nasional. Karyawan yang masuk hari itu akan diganjar upah dua kali lipat dibanding hari biasa. "Kalau yang masih bujang, senang Mas lembur di hari Minggu. Gajinya dobel," kata Salman (bukan nama sebenarnya), karyawan yang mengaku baru dua tahun bekerja di GS.

GS, bagi warga Slawi dan Tegal, bukanlah perusahaan yang asing. Masyarakat setempat mengenal betul bahwa perusahaan ini merupakan pabrik teh tertua di Slawi yang menjadi pionir kelahiran Teh Botol Sosro (TBS). Walau dari luar tidak terlihat simbol-simbol kebesarannya -- satu-satunya simbol hanya terlihat dari mobil-mobil yang khusus mengangkut Teh Celup Sosro dan Teh Cap Poci dengan merek Soosro -- mereka juga tahu bahwa GS menjadi rantai penting eksistensi TBS. Lebih dari itu, tempat menggantungkan hidup masyarakat sekitar.

Pemikiran mereka mungkin terdengar sederhana: GS menjadi tempat mata pencarian. Namun, melangkah ke tataran yang lebih luas, pemikiran itu tak sepenuhnya keliru. Pasalnya, sebagai pengolah teh kering, GS menjadi salah satu rantai pasokan yang vital buat PT Sinar Sosro (SS) untuk memproduksi TBS berikut produk-produknya yang lain seperti Fruit Tea dan S-Tee. Dan total gerai SS, baik di pasar becek maupun modern, jumlahnya melebihi 600 ribu. Para peritel ini mengandalkan dan menjual produk-produk SS, khususnya TBS, dengan margin 100%. Bayangkan apa yang terjadi di sektor informal ini kalau pasokan dari GS macet! Pengangguran bisa bertambah.

Pentingnya GS pun diakui manajemen SS ketika mereka menerbitkan obligasi senilai Rp 100 miliar tahun 2001. Dalam Prospektusnya terang-terangan dinyatakan bahwa di luar fluktuasi harga dan pasokan gula industri, salah satu risiko usaha perseroan adalah kelangsungan persediaan bahan baku dari pabrik di Slawi itu. "Apabila PT Gunung Slamat lalai atau tak dapat memenuhi pasokan daun teh yang telah ditetapkan Perseroan, maka hal tersebut dapat mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan." Begitu bunyinya.

SS memang amat berkepentingan terhadap pasokan GS sehingga pabrik di Slawi ini dipaksa tak pernah mengenal kata lelah. Maklum, sebagai pemain industri teh dalam kemasan, SS yang dihuni sekitar 7.500 karyawan tetap dan bermarkas besar di Cakung, Jakarta ini harus terus menancapkan eksistensinya. Bahkan kalau perlu, terus tancap gas, meninggalkan pesaing yang sepertinya juga tak pernah rela melihat produk-produknya melenggang di depan.

Ya, produk-produk SS memang terus melangkah mantap. Dari sisi penguasaan pasar, Bambang Bhakti, pengamat pemasaran, menaksir SS menguasai 90% industri minuman teh dalam kemasan di lingkup domestik -- di industri minuman dalam kemasan, teh sendiri mengambil porsi 30%, sementara sisanya dikuasai air mineral (40%) dan carbonated softdrink (20%). TBS, terutama. Produk yang lahir tahun 1970 ini bisa dikatakan menjadi rajanya teh dalam kemasan. Sekalipun para pemain asing tak henti menggempur, mulai dari Hi-C, Te Kita, Lipton Tea sampai Frestea, posisi TBS terus ajek. Bahkan, suka atau tidak, gempuran terhadap TBS justru membuat SS berakrobat dengan lincah:
melahirkan produk-produk baru seperti S-tee untuk menandingi Te Kita, dan Fruit Tea yang malah berbalik menggempur Frestea dan kian berpotensi menjadi jagoan baru industri teh dalam kemasan.

Menengok ke belakang, tepatnya tahun 1970, kondisi ini bak langit dan bumi. Di tahun itu, TBS seperti barang aneh karena nyaris tak ada teh yang dimasukkan ke dalam botol, yang dijajakan ke konsumen. Hanya lewat keuletan putra-putra Sosrodjojo-lah, perlahan tapi pasti TBS diterima publik. Mereka memilih pasar sasaran para sopir atau orang-orang yang lalu lalang di sekitar Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, dan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Namun, waktu itu situasinya tak seperti sekarang. "Jangankan membeli, dikasih saja belum tentu mau," ujar Sawali (bukan nama sebenarnya) yang mengikuti fase-fase awal generasi kedua Sosrodjojo membesarkan SS. Tentang tonggak-tonggak perjalanan bisnis keluarga Sosrodjojo, lihat "Berkembang Bersama Kuncup Daun Teh".

Kini, kokohnya produk SS, terutama TBS, kerap menimbulkan pertanyaan: tak bisakah mereka digoyang?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka proses bisnis yang dijalani SS harus diurai. Sederhananya, ada empat tahap yang menjadi rangkaian proses bisnisnya: perkebunan, pengolahan teh kering, botlling serta distribusi. Sekarang, mari pereteli kekuatan perusahaan yang sekarang dipimpin Joseph Soewito Sosrodjojo (generasi ketiga keluarga Sosrodjojo) ini. Joseph adalah anak kedua Soegiharto Sosrodjojo.

Di perkebunan, SS memiliki fasilitas produksi yang barangkali sulit ditandingi para pesaing yang mencoba menggoyangnya. Perusahaan ini punya perkebunan teh afiliasi yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Barat dengan total luas lahan mencapai 1.587 hektare . Rinciannya; (1) Garut dengan luas 455 ha dengan ketinggian 1.000-1.250 meter di atas permukaan laut; (2) Cianjur dengan luas 400 ha dengan ketinggian 1.000-1.250 meter di atas permukaan laut; (3) dan Tasikmalaya dengan luas 732 ha dengan ketinggian 800-950 meter di atas permukaan laut. Di Garut dan Cianjur, perkebunan ini dikelola lewat bendera PT Agropangan Putra Mandiri. Sementara di Tasikmalaya, lewat bendera PT Sinar Inesco.

Selain pasokan bahan baku yang kuat, SS juga punya fasilitas produksi yang oke punya. Untuk pengolahan teh kering, GS di Slawi menjadi andalannya. Kemudian, ada 7 pabrik yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera, yaitu Medan, Pandeglang, Cakung, Tambun, Ungaran, Gresik serta Gianyar. Total kapasitas terpasang ke-7 pabrik yang berfasilitas modern tersebut (mesin-mesinnya didatangkan dari Jerman) adalah 62.919 liter/jam. Dan hebatnya, seperti GS, pabrik tersebut juga bekerja tak kenal lelah. Di
Pandeglang, umpamanya. Di pabrik berkapasitas 3.960 liter/jam ini, jam kerja dibagi tiga shif: 08.00-15.00, lalu 15.00-23.00, dan 23.00 - 07.00.

Sampai di sini, bisa terlihat betapa kuatnya SS. Dan bila melangkah pada aspek selanjutnya, bottling, kekuatan itu kian terasa. Sebagian pihak mungkin merasa aneh kalau bottling dipandang penting. Namun, jangan keliru. SS bukan semata produsen teh dalam kemasan. Memang ada produk kemasan tetra pak yang dalam lingkungan SS dikategorikan teh kemasan sekali pakai. Akan tetapi, sejatinya SS adalah bottling company. Bottling adalah rantai bisnis yang tak bisa disepelekan. Tak percaya?

Tahun lalu, penjualan SS ditaksir mencapai 146 juta krat botol (satu krat terdiri dari 24 botol). Dalam industi minuman dalam kemasan botol, untuk menaksir kekuatan pemain adalah tingkat penjualannya, setidaknya dikalikan tiga. Mengapa? Penjelasannya sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, sang pemain harus memiliki botol di pabrik untuk diisi, botol yang diantar ke distribusi, dan botol yang ditarik dari gerai sehabis diminum pelanggan. Semua ini harus ada karena menjadi sebuah kelakar yang tak lucu bila produsen cuma punya sejumlah botol untuk diminum pelanggan tapi tak punya
persediaan di pabrik. Apa jadinya kalau tiba-tiba permintaan meningkat? Adalah tak mungkin orang yang kehausan mesti menunggu botol yang sedang dalam perjalanan menuju pabrik untuk diisi terlebih dulu. Alhasil, dengan hitungan kasar, SS bisa jadi memiliki hingga 438 juta krat botol, hampir dua kali lipat jumlah penduduk Indonesia. Dan asal tahu saja, bentuk botol TBS ini tak berubah sejak 1974.

Manajemen SS sendiri, sudah mengenal dengan baik hakikat perusahaan bottling
sejak 1974, ketika perusahaan baru resmi berdiri. "Tahun itu, dan tahun-tahun berikutnya, setiap uang yang didapatkan mereka reinvest dalam bentuk botol. Mereka tahu, untuk meluaskan pasar, itu adalah mutlak sebagai salah satu entry barrier. Bahkan, sampai sekarang reinvestasi mereka adalah botol," ujar Sawali.

Pernyataan tersebut mendapat konfirmasi salah satu mitra SS untuk urusan botol, Iglas. "Bagi kami, Sosro bukan customer baru. Pertama kali mendirikan pabrik, mereka langsung pesan botol ke kami," ujar seorang sumber di pabrik gelas ini. Bahkan, pada kurun 2000-04, pesanan SS terus meningkat signifikan. Untuk botol TBS, pesanan tumbuh rata-rata 39,6% per tahun, sementara pesanan botol Fruit Tea dan S-tee, dalam kurun 2003-04, tumbuh masing-masing 300% per tahun. Hanya di tahun 1998, karena krisis ekonomi, pesanan nyaris tidak ada. Sayang, berapa persisnya jumlah pesanan botol,
tidak dijelaskan. Namun yang pasti, tahun lalu Iglas menjual 550 juta unit botol yang dipesan para pemain. "Pesanan TBS yang paling besar," katanya. Selain dari Iglas, SS sebenarnya juga memesan botol dari Mulia Glass. Produk terbarunya, Tebs, teh berkarbonasi (230 ml) bahkan dipesan dari pabrik ini.

Selesai bottling, sekarang perhatikan aspek distribusinya. Seperti disinggung di atas, setidaknya ada 600 gerai yang memasarkan produk-produk SS. Jelas ini bukan angka yang kecil. Pasalnya, Bambang menegaskan, Coca-Cola yang dikenal jagonya bottling company hanya 400 juta gerai. Memang, seperti telusuran SWA, jaringan distribusi ini masih terlampau dominan di tanah Jawa. Akan tetapi, jumlah gerai sebesar itu terang-terangan menunjukkan penetrasi yang luas. Dan distribusi yang kuat terbilang penting karena di industri teh botol, Bambang menjelaskan, faktor preferensi belum sedominan di industri rokok.

"Yang paling penting memang availability. Orang kadang tidak akan peduli, kalau di warung ada Te Kita, sementara Sosro belum disuplai, misalnya. So what? Yang ada saja," ujar Andre Vincent Wenas, Direktur Pengelola Strategic Management Services. "Berbeda dari rokok. Biasa Dji Sam Soe, tidak ada di warung, konsumen akan cari di tempat lain. Dji Sam Soe sudah masuk tingkatan kedua dalam brand: preferensi, minuman belum sampai tingkatan itu. Sosro belum terlalu jadi preferensi sehari-hari. Karakter produknya tidak membuat orang terlalu terikat. Dji Sam Soe punya kharisma," ujar Bambang.

Setuju atau tidak, yang pasti, kalau akhirnya semua elemen proses bisnis ini dikapitalisasi, aset SS (mulai dari kebun, pabrik, sampai botol) ditaksir bisa mencapai lebih dari Rp 10 triliun. Pihak SS, dalam laporan keuangan per 2003 (audited), menyebutkan, asetnya Rp 857 miliar. Mana yang benar, tak usah terlalu dipusingkan. Sekarang, kembali pada pertanyaan awal. Asumsikan ada pemain yang sanggup menghasilkan aset sebesar itu, lantas, akan goyahkah SS? Sanggupkah ia menyerang bisnis keluarga Sosro ini?

Mereka yang asset minded, mungkin menganggukkan kepala. Asumsinya, kekuatan aset yang lebih besar bisa menang bila dihadapkan pada kekuatan sejenis. Namun, sejumlah kalangan meragukan pendekatan ini. Pasalnya, proses bisnis tidak bisa selalu dikapitalisasi secara simplistis. Penambahan jumlah botol mungkin bisa dilakukan hingga tingkat gila-gilaan. Begitu juga, membeli mesin-mesin pengolahan daun teh. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan terhadap elemen proses bisnis lainnya.

Di perkebunan, misalnya. Memang, bukit-bukit dengan ketinggian tertentu untuk menyemai daun teh bisa dibeli. Akan tetapi, bagaimana dengan kompetensi dan pengalaman yang dibangun untuk memilah sekaligus memilih daun teh berkualitas. "Teh itu kuncinya pada blend beberapa teh. Dalam pembuatan teh, tak ada resep bakunya. Ramuannya harus dibuat setiap saat oleh sang ahli. Agar hasilnya sama tiap waktu dalam rasa dan rupa, kekuatannya pada blend. Ini seni," ujar Zakir, Direktur PT Sari Wangi AEA, perusahaan yang pertama kali mengeuarkan merek teh Sari Wangi sebelum diambil alih Unilever.

Faktor rasa ini tak bisa dipandang remeh. Memang benar seperti kata Bambang bahwa TBS belum jadi preferensi utama seperti di industri rokok. Namun, fakta di lapangan menunjukkan faktor rasa cukup bermain. Contohnya, Te Kita. Pepsi sudah membuat produk ini berporsi lebih besar (330 ml) agar orang lebih puas. Nyatanya, jasmine tea TBS tetap lebih bisa menggoyang lidah konsumen. SS sendiri akhirnya meluncurkan S-tee sebagai fighting brand. Fakta di lapangan juga menunjukkan, TBS telah melahirkan loyalis-loyalisnya sendiri. Mereka yang hanya mau minum TBS.

Selain kompetensi meramu teh, yang paling sulit dilawan adalah jalur distribusi yang sudah terjalin selama puluhan tahun. "Banyak dari mereka (agen atau subdistributor) yang asalnya tak punya apa-apa menjadi kaya. Mereka punya utang budi pada keluarga Sosrodjojo. Loyalitas semacam ini tak bisa dibeli, dan tak bisa dibentuk dalam sekejap," ungkap Sawali. "Ceritanya mungkin akan lain kalau para pemain itu, terutama asing, masuk berbarengan di tahun 1974, atau awal 1980-an," lanjutnya. Waktu itu, SS belumlah seperti sekarang. Pabriknya hanya di Cakung dan Gresik dengan kapasitas terpasang 7.200 liter/jam.

Perkara distribusi memang menjadi pilar penting kesuksesan SS. Di sini, kehebatannya terletak pada rantai distribusinya yang sebelum ke end user mencapai 600 ribu gerai. "Letaknya sangat rapat," ujar Sugiyanto Wibawa, pengamat ritel yang sekarang menduduki posisi VP BreadTalk. Selain kerapatan, SS juga piawai dalam mengelola botol kembalian yang sudah kosong (returnable glass bottle) di jalur distribusi, dan juga treatment terhadap mitra distribusinya yang di beberapa tempat sanggup melahirkan sikap kewirausahaan para agen, subdistributor dan wholesaler. Mereka terbiasa bangun pagi untuk mengirim dan menarik botol kosong dari jaringan sub-wholesaler-nya. Tak mudah buat mereka berpaling ke produk lain. Terlebih, mereka mendapat selisih harga yang lumayan dari SS buat produk-produk yang notabene juga laris manis. Tentang dinamika distribusi ini, lebih lengkap lihat "Cipratan Rezeki di Tiap Titik".

Kedua elemen di atas, kompetensi di perkebunan dan distribusi, akan semakin terasa menyulitkan mereka yang ingin menggusur SS, bila faktor intangible asset lain juga diperhitungkan, terutama yang lahir dari produk. Merek, umpamanya. "Brand equity Sosro sudah sangat kuat, dan jadi generik," ujar Asto Suno Subroto, pengamat pemasaran dari MARS.

Ini hal yang wajar karena SS adalah pelopor industri teh dalam kemasan. Dan yang wajar buat SS, bisa menjadi sesuatu yang sulit bagi para pesaingnya. Tak terkecuali buat para pemain asing. Mereka tampak tercecer menghadapi ekuitas merek yang hebatnya telah dipadu dengan empat proses bisnis yang solid, mulai dari perkebunan sampai distribusi yang terjalin rapi. Salah satu contoh kesolidan yang juga mesti diperhatikan adalah tersebarnya pabrik di banyak tempat. Ini memungkinkan pasokan produk terus mengalir ke seluruh gerai.

Contoh kesolidan lain yang simpel tapi berharga adalah birokrasi yang ramping dalam menjalankan proses bisnisnya, sesuatu yang tipikal perusahaan keluarga (hal yang juga ditempuh Wings, ABC, atau Djarum), yang jarang dimiliki perusahaan asing. Andre yang juga mantan Direktur Pengelola PT Pepsi-Cola Indobeverages punya cerita sewaktu ia masih aktif di perusahaan kongsi Pepsi dan Salim itu. "Sosro selalu cepat tanggap. Begitu kami mau bereaksi, mereka langsung aksi. Kadang kami bingung. Baru kami hubungi satu dealer, langsung program dari Sosro numpuk, brek. Mereka tanggap sekali,
karena tidak terlalu banyak birokrasi. Sangat fleksibel. Kami kan mesti lapor dulu head office segala," katanya.

Yang menarik, upaya menggoyang dominasi SS bukan cuma dilakukan pemain asing, tapi juga pemain lokal. Ada yang bertindak secara legal, tapi ada juga yang kasar. Ada yang berkinerja lumayan, banyak juga yang babak belur.

Di Bandung, terutama Bandung Selatan, misalnya, ada produk yang mirip TBS, baik dari segi rasa maupun kemasan. Namanya, Teh Bintang, keluaran PT Bevera Makmur Cemerlang (BMC) yang beroperasi dari daerah Holis-Cimahi. Dari sisi desain hampir mirip: di atas kanan tulisan Teh Bintang ada gambar bintang berwarna merah yang memuat tulisan "SOBO". Sementara di sebelah kirinya ada tulisan label "Halal". Adapun di bagian bawah tercantum tulisan "Tanpa Bahan Pewarna." Kendati model botolnya tidak sama, sekilas hampir mirip karena ukurannya sama.

Keberadaan dan penetrasi pasar Teh Bintang ini diakui salah seorang tim penjualan SS cukup merepotkan dan menggerogoti pasarnya. Terutama di kawasan Bandung Selatan. "Mereka cukup merepotkan. Banyak warung di daerah Soreang dan sekitarnya yang menjual Teh Bintang ini," katanya. Sayangnya, ketika dikonfirmasi ke BMC, perusahaan yang dikembangkan Rudy Sumawidjaja sejak 1994 ini keberatan memaparkan kinerjanya. "Maaf, saya tidak bisa menyebutkannya. Itu rahasia perusahaan," ujar seorang karyawan BMC. Yang jelas, ia mengklaim pertumbuhan Teh Bintang cukup bagus, sanggup menghidupi
200 karyawan, dan mampu bersaing dengan pemain-pemain teh botol kecil yang jumlahnya cukup banyak di Bandung, seperti Teh Putri Gunung dan Teh Gincu. "Di Bandung Selatan, kami cukup disegani," lanjutnya. Bagaimana dengan SS?

"Kami melihat Sosro sebagai raksasa untuk teh botol. Jadi sangat sulit, bahkan tidak mungkin mengunggulinya," ucapnya. Di luar Bandung, sekarang pemain lokal yang mulai tumbuh adalah Indo Teh, yang berpusat di Semarang.

Baik BMC maupun Indo Teh masih terbilang sopan dan beruntung. Di Cirebon, sempat ada perusahaan teh botol yang coba adu otot dengan SS. Caranya? Mereka menilep krat demi krat dan menyimpan di gudangnya. Harapannya jelas: availability SS akan berkurang.

Sekian bulan, aksi ini berjalan mulus. Namun, serapat-rapatnya ikan busuk, toh tercium juga. Tim penjualan SS mengetahui trik ini. Aksi balasan pun dibuat. Giliran krat pesaing yang dicuri. Minggu demi minggu pun berlalu. Akhirnya, karena jelas-jelas kalah banyak dalam jumlah botol, sang pesaing mengibarkan bendera putih dan memilih damai. Mereka tak sanggup terus menyuplai botol yang lenyap dengan mencetak botol-botol baru.

Para pesaing SS memang ada yang melakukan cara-cara tidak etis dalam praktik bisnisnya. Akan tetapi, SS sendiri bukan berarti lepas dari suara-suara miring. Perusahaan ini dituding beberapa pesaingnya juga kerap mempraktikkan hal yang sama, sekalipun sebelumnya tidak dicurangi pesaing. Sayang, pihak manajemen SS tidak bersedia mengklarifikasi segala tudingan miring ini pada SWA. Permohonan wawancara tak kunjung mendapat respons. Bahkan, anggota keluarga besar Sosrodjojo yang selama ini relatif terbuka, seperti Indra Sosrodjojo (putra sulung Soemarsono) pun memilih aksi bungkam dan tak mencoba membuka akses pada sepupu-sepupunya yang mengendalikan SS.

Manajemen SS memang terkenal amat tertutup pada media. Jangankan untuk memperbincangkan hal negatif, untuk hal yang positif pun mereka terbilang pelit bicara. Padahal, sadar atau tidak, SS sungguh memiliki peran multiplier effect yang besar, terutama buat sektor informal. Namun yang pasti, dalam diam, mereka sanggup membuat perusahaannya terus bersinar. Agus Pramono, analis PT Mandiri Sekuritas, berani mengatakan bahwa SS adalah perusahaan yang memiliki struktur keuangan kuat. Tak mengherankan, obligasi yang diterbitkannya pada 2001 senilai Rp 100 miliar termasuk yang disukai investor.

Dengan kupon bunga yang cukup tinggi -- 19,5% untuk yang fixed rate -- investor memang cenderung menggenggam obligasi SS hingga jatuh tempo tahun depan (20006). Dibanding suku bunga deposito saat ini yang tak sampai 10%, investor menilai kupon obligasi SS yang bunganya selalu dibayar tepat waktu itu sangat menggiurkan. Tak mengherankan, obligasi ini memiliki peringkat A+ yang berarti selama ini tidak ada masalah dalam hal pembayaran kuponnya. "Sejauh ini pembayaran kuponnya lancar. Bunganya juga masih relatif tinggi. Karena itu, investor tak mau melepasnya," ungkap Agus.

Bicara kinerja, Bambang Bhakti menaksir penjualan SS tahun 2004 mencapai Rp 2 triliun. Kalau ini benar, sungguh luar biasa karena mengacu pada laporan keuangan SS, penjualan tahun 2003 mencapai Rp 1 triliun dengan laba bersih Rp 46,1 miliar. Relatif kecilnya laba ini sedikit bisa dimengerti karena selain beban usaha yang besar (Rp 444 miliar), juga karena SS tak mengutip margin besar dalam bisnisnya. Dari jalur distribusinya, pihak pengecerlah yang mengeruk keuntungan lebih besar (bisa 100%).

Apa pun, kalangan analis sendiri banyak yang tak yakin SS akan go-public, seperti pernah tersiar ketika perusahaan ini menerbitkan obligasi pada 2001. Di tahun itu, seperti diutarakan Peter Soekianto Sosrodjojo (saat itu menjabat CEO SS) kepada Firdanianty dari SWA, obligasi adalah langkahnya untuk mengetes pasar sebelum go public. "Dengan kondisi keuangan yang sangat baik, ngapain (malah) Sosro go public?" Agus balik bertanya. Ia yakin, SS adalah jagoan cash flow dari Slawi yang tak membutuhkan modal di luar keluarga Sosrodjojo. Kalaupun kebutuhannya terlampau mendesak, selain lembaga pembiayaan atau instrumen dana segar lainnya, tampaknya anggota keluargalah yang akan lebih dulu disambat.

Logika ini masuk di akal. Sebab, sepanjang usia SS (31 tahun), perusahaan
ini tak pernah keluar dari kepemilikan di lingkaran empat putra Sosrodjojo
(Soemarsono, Soegiharto, Soetjipto dan Surjanto). Bahkan sewaktu ahli waris
Soemarsono dan keluarga Surjanto melepas saham masing-masing di SS di tahun
1989 dan 1992, mereka menyerahkannya pada Soegiharto (kini 74 tahun dan
secara pribadi menguasai 11,7% saham SS). Tak ada orang luar terlibat di
sini.



Kemudian, logika ini juga masuk akal karena kekuatan finansial keluarga
besar Sosrodjojo tidaklah bisa dipandang enteng. Maklum, perlahan tapi
pasti, seperti halnya air teh mereka yang luber dan mengalir ke seluruh
penjuru negeri, di samping tetap mempertahankan bisnis keluarga besar (Grup
Sosro), mereka juga melebar ke banyak sektor bisnis. Enam putra Soemarsono
Sosrodjojo, umpamanya. Dengan bernaung di bawah holding PT Putra Pusaka
Esbe, kini mereka bermain di sektor jasa dan peranti lunak. Kemudian,
Surjanto Sosrodjojo beserta tiga anaknya, lewat holding PT Sinar Sosrodjojo
Investa dan 10 anak usahanya, mereka bermain di pelbagai sektor, mulai dari
trading sampai properti dan hotel.



Hanya dua putra Sosrodjojo yang masih memiliki saham di SS, yakni Soegiharto
bersama istri serta 5 putranya yang bernaung dalam holding PT Anggada Putra
Rekso Mulia (APRM), dan Soetjipto bersama dua putranya lewat holding PT
Indosigma Investa Kencana (IIK). Lewat kedua holding inilah mereka membagi
saham di SS. Mengacu pada Prospektus Obligasi (2001), komposisi saham di
perusahaan ini adalah; 75,7% milik APRM, Soegiharto (10,5%), IIK (5,8%),
Soetjipto (4,1%), dan sisanya dimiliki istri Soegiharto, yakni Soegiharti
Widjaja (3,7%). Pada laporan keuangan (2003), komposisi itu sedikit berubah,
tapi tak berarti banyak: IIK menjadi 5,4%, Soetjipto 4,6%, sementara
Soegiharti 3,4%. Perihal anak-anak usaha keluarga Sosrodjojo, lihat Tabel
Pohon Bisnis Grup Sosro.



Tak ada data yang terlampau valid perihal besaran aset dari total bisnis
empat putra Sosrodjojo yang kini telah dijalankan generasi ketiga mereka.
Begitu juga kinerja mereka satu per satu. Namun, tak bisa dipungkiri, dari
seluruh perusahaan yang ada, SS tetaplah bintangnya yang terus bersinar dan
memancing orang untuk menggusurnya dari orbit. Namun kembali, bisakah SS
digeser, terutama TBS-nya?



Syahdan, ketika Hi-C muncul, disusul Lipton, kemudian Te Kita, dan Frestea,
Peter Sosrodjojo hanya tersenyum. Tak terlalu tampak kecemasan padanya.
"Lihat, begitu mereka berusaha ekspansi, mereka akan kesulitan karena harus
investasi botol dalam jumlah besar," katanya seperti ditirukan seorang
sumber.



Pihak asing sendiri, dalam pengamatan Yadi Budhisetiawan, Direktur Pengelola
konsultan distribusi ForceOne, terbilang masih kurang mau habis-habisan di
industri ready to drik tea ini. Baik Pepsi Co. maupun Coca-Cola tetap lebih
berkonsentrasi pada habitatnya sebagai minuman berkarbonasi. Langkah yang
bisa dipahami karena total menggempur SS butuh aset yang tak sedikit dengan
tanpa jaminan sukses.



Hal yang sama juga terjadi pada pemain lokal. "Amat sangat sulit menyaingi
Sosro," ujar Sambas Winata, GM Pemasaran PT Tang Mas, produsen 2Tang dan
Frutang. Apalagi menyaingi, menyediakan infrastrukturnya saja, menurutnya,
sudah kewalahan. "Seperti saya katakan, ceritanya mungkin akan lain kalau
para pemain itu, terutama asing, masuk berbarengan di tahun 1974, atau awal
1980-an," ujar Sawali, keukeuh.



Waktu jelas tak bisa dibeli. Dan selama 31 tahun, SS telah menimbun banyak
aset (tangible maupun tidak) dalam rangkaian proses bisnisnya. Mereka kini
terus memburu pertumbuhan tiada henti karena pasar masih terus dipertahankan
dan dibuka, termasuk pasar ekspor. Denyut pabrik-pabriknya yang bekerja 24
jam menunjukkan sinyal yang begitu kentara tentang ambisi ini. Terlebih,
industri minuman teh sendiri tidaklah seperti rokok yang terus dipelototi
masyarakat sadar kesehatan (ini yang kabarnya membuat Putera Sampoerna
melepas sahamnya ke Philip Morris). Teh juga tidak seperti minuman karbonasi
yang kian dikritik di banyak tempat.



"Menurut saya, hanya perpecahan di tubuh keluarga yang akan menghancurkan
Sosro," Sawali berbisik. Rupanya, ia sependapat dengan Ari Geuus (penulis
The Living Companies) yang melihat kohesivitas sebagai faktor penting
langgengnya perusahaan "Namun, saya tak melihat itu. Saya yakin Peter bisa
memainkan diri sebagai perekat," sambungnya.

Melihat posisi dan perannya dalam menimbulkan efek berantai pada roda
ekonomi, terutama di sektor informal, memang sayang bila SS gonjang-ganjing.
Dan kalau kohesivitas itu tetap terjaga di lingkungan keluarga besar
Sosrodjojo, terutama putra-putri Soegiharto dan Soetjipto, bukan hal aneh
jika air Sosro akan terus mengalir ke seluruh penjuru negeri.

Sumber: Majalah Swa

Produk WINGS

Date: Fri, 23 Sep 2005 16:29:33 +0700
From: "(*-* Alvin DanielS *-*)"
Subject: Re: The Next Conglomerate itu Bernama Wings

Kalo bisa di summerize, perusahaan2 raksasa tsb dibangun oleh kepercayaan pasar dari etos kerja, inovasi, dan risk management yg baik oleh korporasi. KKN? kita blm bisa lepas dari itu (totally) everyone needs network...sorry to say.


on 9/23/05 9:59 AM, Seno Adji Iman at imansa_2000@yahoo.com wrote:

Mungkin perlu dikupas juga 'success story' dan 'lesson learned' dari perusahaan nasional yg lain spt Kacang Garuda, Teh Sosro, Mayora, Martha Tilaar, dsb yg berhasil bukan karena hasil KKN. Ini hanya sekadar usulan.

Salam,
Iman


--- "(*-* Alvin DanielS *-*)"
wrote:

kesejahteraan karyawan itu salah satu faktor kesejahteraan perusahaan, sbg contoh adalah Hm sampoerna...disana buruh sgt terjamin dgn diberikan bnyk tunjangan sehingga kesetiaan dan kinerjanya optimal...satu contoh lagi adalah microsoft, raksasa IT technologies,,,yg memiliki tingkat gaji yg memungkinkan mereka utk hidup sejahtera. Kasus indofood itu sdh sangat kompleks, dengan utang luar negeri mereka dgn level jutaan dolar (ditulis dlm buku asian branding karya ian batey) sehingga beban yg sgt berat tsb membebani karyawan dan buruh. Sebenarnya labor cost di indonesia itu rendah, tapi seperti semua sama2 tahu... di belakang indofood itu banyak 'saham kosong' milik orang2 kuat...yg menyebabkan perusahaan itu semakin terpuruk.


on 9/22/05 10:32 AM, Ihya U at ihya@sanyo-sei.co.id wrote:

Kalo kita membandingkan suatu produk katakan indomie dengan mie sedap. Apakah varibel kesejahteraan karyawaanya juga ikut dibandingkan. Mungkin customer puas degan harga yang murah. Karena mungkin labour costnya rendah tapi karyawan juga senag dengan gaji yang tinggi (+ aneka macam tunjangan). Sehingga labour cost nya juga tinggi menyebabkan harga jualnya ikut tinggi.

Jadi kalo membadingkan suatu produk yang di survey jangan hanya customernya aja tapi karyawannya juga.

Mohon pencerahaannya..?

Terimakasih,
Ihya U


----- Original Message -----
From: (*-* Alvin DanielS *-*)

To: Business-Management@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, September 21, 2005 5:49 PM
Subject: [Klub Bisnis & Manajemen] The Next
Conglomerate itu Bernama Wings

on 9/20/05 11:51 AM, Ihya U at ihya@sanyo-sei.co.id wrote:
menanggapi artikel wings di bawah, memang benar wings sudah sngt menyodok indofood dgn mie sedaap nya...bahkan ada kabar sekitar 1000 buruh pabrik mi indofood dirumahkan!

strategi produksi dan pemasaran wings dr hulu ke hilir membuat perusahaan ini menjadi raksasa ekonomi 10 besar di indonesia, dan strategi jitu nomor satunya adalah menjual barang2 dgn harga lbh rendah dr kompetitor2nya dengan USP yang sama!!

hebring...


The Next Conglomerate itu Bernama Wings

Bermula dari home industry, Grup Wings menjelma menjadi raksasa bisnis toiletries yang disegani. Bisnisnya merambah ke berbagai sektor usaha dari hulu hingga ke hilir dengan omset triliunan rupiah.

Bagaimana wajah konglomerat baru ini sekarang?

Sudarmadi

***

Sabtu, 24 Januari 2004, saat jarum jam menunjukkan pukul 06.30 WIB, keluarga besar Katuari berkabung. Ayahanda dan opa tercinta, Johannes Ferdinand Katuari (Oen Yong Khing), wafat dalam usia 90 tahun.

Padahal, belum ada 100 hari sebelumnya, Ferdinand masih bugar merayakan pesta perkawinan intan (60 tahun) di Hotel Shangri-La, Surabaya. Masih segar dalam ingatan, Ferdinand duduk manis di samping istri tercinta, Lanny Hartati (Tan Thiam Lan) dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, menyaksikan salah seorang putranya, Freddy I. Katuari, menari balet di hadapan tamu undangan.

Rupanya, pesta ulang tahun perkawinan yang meriah itu sekaligus perpisahan dengan sang guru, perintis, sesepuh, dan pimpinan Grup Wings. Ferdinand sebagai sosok pengayom tidak hanya meninggalkan seorang istri, lima putra-putri, 25 cucu dan cicit, serta puluhan keponakan, tetapi juga mewariskan konglomerasi masa depan bernama Grup Wings.

Perusahaan besar bermarkas di Surabaya ini mulanya cuma usaha kecil berskala home industry, yang didirikan Ferdinand bersama kerabatnya, Harjo Sutanto, tahun 1948. Diberi nama Fa Wings, mula-mula membangun pabrik kecil di pinggiran Surabaya, memproduksi sabun cuci deterjen (sabun colek). Mereknya Wings, yang hingga sekarang masih diabadikan sebagai corporate brand. Kedua pendiri itu melakukan semua pekerjaan mulai dari produksi, logistik hingga pemasarannya. Keduanya terjun langsung menjual sabun colek produksinya secara door-to-door.


Setelah 55 tahun berdiri, Fa Wings berubah total menjadi Grup Wings yang meraksasa seperti sekarang. Meskipun tetap mempertahankan bisnis utamanya memproduksi sabun colek (toiletries), Wings kini telah merambah ke berbagai bidang usaha: mulai dari bidang perbankan, makanan, perkebunan, bahan bangunan hingga properti.

Di bidang toiletries, Wings berhasil tampil sebagai jawara lokal menandingi perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever serta Procter & Gamble (P & G). Bahkan, Wings makin menunjukkan dominasinya karena memiliki bidang usaha pendukung, seperti produksi bahan kimia, pabrik kemasan, biro iklan, yang belum sepenuhnya memiliki perusahaan-perusahaan multinasional itu.

Produk-produk toiletries Wings menyebar di tengah masyarakat. Sebut saja, deterjen Wings, Giv, Ciptadent, Mama Lemon, So Klin, Daia, dan sebagainya. Masing-masing pasti menempel ketat produk sejenis milik pesaing. Sabun Giv bersaing dengan Lux, Nuvo dengan Lifebuoy, So Klin dengan Rinso, Daia berhadapan dengan Surf, So Klin Pewangi bersaing dengan Molto. Smile-Up melawan Close Up, Hers Protec melawan Kotex, Kodomo versus Pepsodent Junior, Mama Lemon melawan Sunlight, So Klin Matic versus Rinso Matic, So Klin Tenaga Surya vs. Rinso Ultra, serta sederet persaingan lainnya.

Semua itu memperlihatkan Wings siap meladeni Unilever dengan napas panjang. Ini bukan pekerjaan mudah dan tak semua pemain berani melakukannya. Terlebih Unilever dikenal sebagai pemasar ulung yang sangat berani menggarap pasar.


Bila disimak, kehebatan Grup Wings warisan Ferdinand ini lebih mengemuka pada tahun-tahun setelah krismon. Di tengah gelombang pencaplokan sejumlah perusahaan besar lokal oleh perusahaan multinasional, Wings tetap bertahan tanpa campur tangan asing. Tak satu pun asetnya yang berpindah tangan ke perusahaan atau grup lain gara-gara kesulitan keuangan. Justru sebaliknya, setelah krismon, Wings ... *truncted*

Terjajah ExxonMobil di Cepu

Date: Sat, 24 Sep 2005 22:19:24 +0700
From: "Dani Darwis"
Subject: Exxon blok Cepu

Senin, 19 Sept 2005,
Terjajah ExxonMobil di Cepu

Oleh:
Kwik Kian Gie

Kali ini saya tidak akan membahas tentang pengertian subsidi -apakah itu sama dengan uang tunai yang harus keluar atau tidak- dan hal-hal teknis lain seperti itu.

Saya akan membahas tentang negara kaya yang menjadi miskin kembali karena terjerumus ke dalam mental kuli yang oleh penjajah Belanda disebut mental inlander. Mental para pengelola ekonomi sejak 1966 yang tidak mengandung keberanian sedikit pun, yang menghamba, yang ngapurancang ketika berhadapan dengan orang-orang bule.

Ibu pertiwi yang perut buminya mempunyai kandungan minyak sangat besar dibanding kebutuhan nasionalnya, setelah 60 tahun merdeka hanya mampu menggarap minyaknya sendiri sekitar 8 persen. Sisanya diserahkan kepada eksplorasi dan eksploitasi perusahaan-perusahaan asing.

Apa pekerjaan dan sampai seberapa jauh daya pikir para pengelola ekonomi kita sejak merdeka sampai sekarang? Istana Bung Karno dibanjiri para kontraktor minyak asing yang sangat berkeinginan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak bumi di Indonesia. Bung Karno menugaskan Chairul Saleh supaya mengizinkannya hanya sangat terbatas.

Putrinya, Megawati, bertanya kepada ayahnya, mengapa begitu? Jawaban Bung Karno kepada putrinya yang baru berumur 16 tahun, "Nanti kita kerjakan sendiri semuanya kalau kita sudah cukup mempunyai insinyur-insinyur sendiri."

Artinya, Bung Karno sangat berketetapan hati mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak oleh putra-putri bangsa Indonesia sendiri. Mengapa sekarang hanya sekitar 8 persen?

Lebih menyedihkan ialah keputusan pemerintah memperpanjang kerja sama dengan Exxon Mobil (Exxon) untuk blok Cepu selama 20 tahun sampai 2030. Begini ceritanya. Exxon membeli lisensi dari Tommy Soeharto untuk mengambil minyak dari sebuah sumur di Cepu yang kecil. Exxon lalu melakukan eksplorasi tanpa izin. Ternyata ditemukan cadangan dalam sumur yang sama sebanyak 600 juta barel.

Ketika itu Exxon mengajukan usul untuk memperpanjang kontraknya sampai 2030. Keputusan ada di tangan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Dua dari lima anggota menolak. Yang satu menolak atas pertimbangan yuridis teknis. Yang lain atas pertimbangan sangat prinsipil.

Dia sama sekali tidak mau diajak berargumentasi dan juga sama sekali tidak mau melihat angka-angka yang disodorkan Exxon beserta para kroninya yang berbangsa Indonesia.

Mengapa? Karena yang menjadi pertimbangan pokoknya, harus dieksploitasi bangsa Indonesia sendiri, yang berarti bahwa Exxon pada 2010 harus hengkang, titik. Alasannya sangat mendasar, tetapi formulasinya sederhana. Yaitu, bangsa yang 60 tahun merdeka selayaknya, semestinya, dan seyogianya mengerjakan sendiri eksplorasi dan eksploitasi minyaknya. Bahkan, harus melakukannya di mana saja di dunia yang dianggap mempunyai kemungkinan berhasil.

Menurut peraturan yang berlaku (sebelum Pertamina berubah menjadi Persero), kalau DKPP tidak bisa mengambil keputusan yang bulat, keputusan beralih ke tangan presiden. Maka, bola ada di tangan Presiden Megawati Soekarnoputri. Beliau tidak mengambil keputusan, sehingga Exxon kalang kabut. Exxon mengirimkan executive vice president-nya yang langsung mendatangi satu anggota DKPP yang mengatakan "pokoknya tidak".

Dia mengatakan, sejak awal sudah ingin bertemu satu orang anggota DKPP ini yang berinisial KKG, tetapi dilarang kolega-koleganya sendiri. KKG tersenyum sambil mengatakan karena para koleganya masih terjangkit mental inlander.

Lalu dia berargumentasi panjang lebar dengan mengemukakan semua angka betapa Indonesia diuntungkan. KKG menjawab bahwa kalau dia ngotot sampai seperti itu, apa lagi latar belakangnya kalau dia tidak memperoleh untung besar dari perpanjangan kontrak sampai 2030? Karena itu, kalau mulai 2010, sesuai kontrak, Exxon harus hengkang dan seluruhnya dikerjakan Pertamina, semua laba yang tadinya jatuh ke tangan Exxon akan jatuh ke tangan Indonesia sendiri.

Lagi pula, KKG menjelaskan bahwa sudah waktunya belajar menjadi perusahaan minyak dunia seperti Exxon. KKG bertanya kepadanya, "Bukankah kami berhak mulai merintis supaya menjadi Anda di bumi kita sendiri dan menggunakan minyak yang ada di dalam perut bumi kita sendiri?"

Eh, dia mulai mengatakan tidak bisa mengerti bagaimana orang berpendidikan Barat bisa sampai seperti itu tidak rasionalnya! Jelas KKG muntap dan mulai memberi kuliah panjang lebar bahwa orang Barat sangat memahami dan menghayati tentang apa yang dikatakan EQ, dan bukan hanya IQ. Apalagi, kalau dalam hal blok Cepu ini ditinjau dengan IQ juga mengatakan bahwa mulai 2010 harus dieksploitasi oleh Indonesia sendiri.

Bung Karno juga berpendidikan Barat dan sejak awal beliau mengatakan, "Man does not live by bread alone." Dalam hal blok Cepu, dua argumen berlaku, yaitu man does not live by bread alone, dan diukur dengan bread juga menguntungkan Indonesia, karena laba yang akan jatuh ke tangan Exxon menjadi labanya Pertamina.

Pikiran lebih mendalam dan bahkan dengan perspektif jangka
panjang yang didasarkan materi juga mengatakan bahwa sebaiknya blok Cepu dieksploitasi oleh Pertamina sendiri. Mengapa?

Jawabannya diberikan oleh mantan Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim kepada Menko Ekuin ketika itu bahwa Pertamina adalah organisasi yang telanjur sangat besar. Minyak adalah komoditas yang tidak dapat diperbarui. Penduduk Indonesia bertambah terus seiring dengan bertambahnya konsumsi.

Kalau sekarang saja terlihat bahwa konsumsi nasional sudah lebih
besar daripada produksi nasional, di masa mendatang kesenjangan
ini menjadi semakin besar, dan akhirnya organisasi Pertamina yang demikian besar itu akan dijadikan apa?

Apakah hanya menjadi perusahaan dagang minyak, dan apakah akan mampu berdagang saja dalam skala dunia, bersaing dengan the seven sisters? Maka visi jangka panjang Baihaki Hakim, mumpung masih lumayan cadangannya, sejak sekarang mulai go international dan menggunakan cadangan minyak yang ada untuk sepenuhnya menunjang kebijakannya yang visiuner itu.

Menko Ekuin ketika itu memberikan dukungan sambil mengatakan, "Pak Baihaki, saya mendukung sepenuhnya. Syarat mutlaknya ialah kalau Anda ingin menjadikan Pertamina menjadi world class company, Anda harus juga memberikan world class salary kepada anak buah Anda."

Sang Menko Ekuin keluar dari kabinet Abdurrahman Wahid. Setelah itu dia kembali ke kabinet sebagai kepala Bappenas dan ex officio menjabat anggota DKPP. Maka pikirannya masih dilekati visi jangka panjangnya Pak Baihaki Hakim dan kebetulan direktur utama Pertamina ketika itu juga masih Pak Baihaki Hakim. Tetapi, kedudukan kita berdua sudah sangat lemah, karena dikreoyok para anggota DKPP dan anggota direksi lain yang mental, moral, dan cara berpikirnya sudah kembali menjadi inlander.

Baihaki Hakim yang mempunyai visi, kemampuan, dan telah berpengalaman 13 tahun menjabat direktur utama Caltex Indonesia langsung dipecat begitu Pertamina menjadi persero. Alasannya, kalau diibaratkan sopir, dia adalah sopir yang baik untuk mobil Mercedes Benz. Sedangkan yang diperlukan buat Pertamina adalah sopir yang cocok untuk truk yang bobrok. Bayangkan, betapa inlander cara berpikirnya. Pertamina diibaratkan truk bobrok. Caltex adalah Mercedez Benz. Memang sudah edan semua.

Ada tekanan luar biasa besar dari pemerintah Amerika Serikat di samping dari Exxon. Ceritanya begini. Dubes AS ketika itu, Ralph Boyce, sudah membuat janji melakukan kunjungan kehormatan kepada kepala Bappenas, karena protokolnya begitu. Tetapi, ketika sang Dubes tersebut mendengarkan pidato sang kepala Bappenas di Pre-CGI meeting yang sikap, isinya pidato, dan nadanya bukan seorang inlander, janjinya dibatalkan.

Eh, mendadak dia minta bertemu kepala Bappenas. Dia membuka pembicaraan dengan mengatakan akan berbicara tentang Exxon. Kepala Bappenas dalam kapasitasnya selaku anggota DKPP mengatakan bahwa segala sesuatunya telah dikemukakan kepada executive vice president-nya Exxon, dan dipersilakan berbicara saja dengan beliau.

Sang Dubes mengatakan sudah mendengar semuanya, tetapi dia hanya melakukan tugasnya. "I am just doing my job". Kepala Bappenas mengatakan lagi, "Teruskan saja kepada pemerintah Anda di Washington semua argumen penolakan saya yang diukur dengan ukuran apa pun, termasuk semua akal sehat orang-orang Amerika pasti dapat diterima."

Kepala Bappenas keluar lagi dari kabinet karena adanya pemerintahan baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu, dan Exxon menang mutlak. Ladang minyak di blok Cepu yang konon cadangannya bukan 600 juta barrel, tetapi 2 miliar barrel, oleh para inlander diserahkan kepada Exxon penggarapannya.

Saya terus berdoa kepada Bung Karno dan mengatakan, "Bung Karno yang saya cintai dan sangat saya hormati. Janganlah gundah dan gelisah, walaupun Bapak sangat gusar. Istirahatlah dengan tenang. Saya juga sudah bermeditasi di salah satu vihara untuk menenangkan hati dan batin saya. Satu hari nanti rakyat akan bangkit dan melakukan revolusi lagi seperti yang pernah Bapak pimpin, kalau para cecunguk ini sudah dianggap terlampau lama dan terlampau mengkhianati rakyatnya sendiri."

*) Mantan Menteri Negara PPN/kepala Bappenas

[Diskusi] RE: Eksistensi Brand (Pangsa pasar selama Bulan Puasa)

Date: Fri, 23 Sep 2005 14:27:22 +0700
From: "Cunsu"
Subject: RE: Eksistensi Brand (Pangsa pasar selama Bulan Puasa)

Yang pasti menghadapai bulan suci ramadhan nanti dan idul fitri, pasar IT akan turun sekitar 25 - 40%, apalagi ditambah apabila BBM benar2 naik, maka daya beli masyarakat untuk produk IT pasti akan menurun tajam.

Yang akan mengalami kenaikan dibulan puasa adalah makanan/minuman manis, pakaian dan emas.

rgds,
Cun Su

-----Original Message-----
From: Business-Management@yahoogroups.com
[mailto:Business-Management@yahoogroups.com] On Behalf Of management_forum
Sent: 22 September 2005 15:54
To: Business-Management@yahoogroups.com
Subject: [Klub Bisnis & Manajemen] Eksistensi Brand (Pangsa pasar selama Bulan Puasa)

Halo semua

Ada yang mau share utk barang/jasa apa saja yang eksistensinya melonjak naik.
Bila di perhatikan pada bulan puasa ada suatu fenomena yang menarik yakni melonjaknya permintaan akan pakaian dan busana muslim. bahkan banyak brand yang sudah ternama pun tdk ketinggalan memanfaatkan momen tersebut.

ada juga beberapa jenis minuman sirup spt ABC, Marjan juga melonjak naik.

Bila diperhatikan disini, ada permintaan musiman terhadap produk-produk tertentu, yang jadi pemikiran kita adalah bagaimana menyiasati produk-produk yang sifatnya musiman ini, agar eksistensinya tdk hanya dibulan puasa tapi juga dibulan yang lain. mgkn perlu edukasi pasar kali, tapi yang salut adalah busana muslim sekarang telah mulai mampu menggeser fenomena musiman tersebut.

lalu bagaiman dengan produk yang lain? ada komentar dari rekan-rekan bisnis manajemen

Salam
AS Vania