Monday, October 10, 2005

Melestarikan Bumi yang Semakin Tua

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/10/humaniora/2110597.htm
KOMPAS--Humaniora | Senin, 10 Oktober 2005

Melestarikan Bumi yang Semakin Tua

Julius Pour

Mottainai adalah kata Jepang dengan pengertian ’jangan hamburkan harta
milikmu’. Maka, jangan heran kalau masyarakat Jepang selalu tekun, hidup
hemat, serta berusaha memanfaatkan segala sesuatu seefisien mungkin.

Sejak awal saya menyerukan pentingnya mottainai, menjaga keseimbangan
antara melestarikan lingkungan dan upaya meraih kemajuan ekonomi, kata
Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi pada upacara penutupan Expo Aichi
2005, Minggu (25/9) sore.

Koizumi, yang baru saja terpilih kembali menambahkan, ”Maka kami ingin
tunjukkan bagaimana mengubah barang bekas jadi sumber tenaga serta
pemanfaatan limbah plastik demi memaknai mottainai, yakni melestarikan
kehidupan dengan dukungan teknologi masa kini. Sehingga, tanpa harus
menghamburkan kekayaan alam kita bakal bisa mewujudkan masa depan dengan
harmonis….”

Pernyataan Koizumi mendapat sambutan meriah. Senada komentar Putra Mahkota
Pangeran Naruhito, ”Umat manusia memang sudah berhasil mencatat kemajuan
pesat. Tetapi, abad XXI ternyata mengajarkan, persoalan lingkungan harus
dicermati agar manusia dan bumi bisa lestari.”

Expo Aichi 2005 merupakan ekspo dunia pertama di abad XXI, sebuah pameran
raksasa selama 185 hari diikuti 126 negara dengan tema ”Natural Wisdom”
(Kearifan Alam). Pameran kali ini dijuluki ”jendela dunia” karena
pengunjung diajak mengintip keunikan setiap negara dalam upaya menjaga
kelestarian alam. Terletak pada lahan seluas 173 hektar di pinggir hutan,
30 kilometer di luar Nagoya, Aichi, Jepang. Meluapnya minat tampak dari
target 15 juta, sampai penutupan justru sanggup meraih lebih dari 22 juta
pengunjung dengan tiket masuk seharga 4.500 yen (sekitar Rp 400.000).

Anjungan Indonesia

Kesertaan Pemerintah Indonesia pada Expo Dunia sudah beberapa kali. Ketika
Expo New York 1962 di AS, Bing Slamet dan kawan-kawannya dikirim untuk
menyanyi, Expo Vancouver 1986 Kanada ditandai pengiriman perahu Phinisi
Nusantara melintas Lautan Pasifik. Pengalaman buruk terjadi pada Expo
Hannover 2000 di Jerman, kehadiran Presiden Soeharto menyulut aksi
demonstrasi. Menyadari dana sangat terbatas, anjungan Indonesia yang
dikoordinir kantor Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian menampilkan
kekayaan budaya dan keunikan alam. ”Tidak bisa lain, semua harus kerja
keras dengan dana minimal,” kata Retno Budi Puji Astuti, penanggung jawab
anjungan yang saat ditunjuk menjabat Deputi Menko Perekonomian. Situasinya
semakin diperburuk karena tahun 2004 Indonesia menyelenggarakan pemilihan
presiden yang nantinya menyeret pergantian pemerintahan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau anjungan Indonesia bulan Juli
lalu ketika singgah dalam perjalanan pulang dari AS. Tetapi, Menko
Perekonomian yang kantornya punya gawe ternyata tidak pernah bersedia
datang walau sedang berada di Jepang.

Meskipun tidak memperoleh dukungan maksimal dan hanya tampil dengan satu
modul, tim juri dari berbagai negara menempatkan anjungan Indonesia
sebagai pemenang ke-3. Dalam kategori tersebut, Indonesia hanya kalah dari
Belanda dan Afrika Selatan. ”Saya menangis ketika menerima piala,” kata
Retno Astuti. Dengan kemenangan tersebut, anjungan Indonesia dinilai
sejajar dengan AS yang menampilkan mobil penjelajah planet Mars lewat
empat modul serta Malaysia dalam tema Truly Asia didukung tiga modul.

Kerja keras anjungan Indonesia meraih penghargaan karena berani
menghadirkan kekayaan alam. Sejak beragam ikan hias, termasuk arwana,
berikut sejumlah binatang yang diawetkan; kera, harimau, komodo, badak
Jawa. ”Tadinya kami ingin membawa hewan hidup tapi secara teknis sulit,
maka hanya bisa membawa ikan hias dalam akuarium,” kata Rudi Lesmana,
petugas anjungan. Tetapi, yang justru sangat populer dan melambungkan
anjungan Indonesia justru suvenir kupu-kupu warna-warni dari bulu ayam.
Sepanjang waktu, ratusan anak sampai orang dewasa bergerak bagaikan duta
Indonesia, membawa kupu-kupu tersebut ke segala penjuru ekspo dan ke semua
sudut Nagoya.

Menyelamatkan bumi

Jepang, sebagai negara penyelenggara, mempersiapkan Expo Aichi 2005 sejak
lima tahun lalu. Mereka membangun anjungan dengan konsep menjaga
lingkungan lewat memanfaatkan bambu, daur ulang plastik, dan kayu olahan
hutan industri. Bahkan, listriknya memakai tenaga surya. Dilengkapi maskot
Kiccoro (pohon hutan berwarna hijau muda) dan Morizo (kakek hutan hijau
tua).

Perkembangan dunia selama ini ternyata menghasilkan semuanya massal;
produksi, konsumsi sekaligus pencemaran. Begitu masuk abad XXI, meskipun
secara material manusia bertambah ”kaya”, tetapi kemudian disadarkan oleh
perlunya menjaga lingkungan. ”Pengalaman mengajarkan, tahun 1945, seusai
perang Jepang porak poranda dihantam bom atom.

Kemudian bangkit dari reruntuhan. Tahun 1960 sampai 1970-an ekonomi
melesat namun lingkungan dihancurkan, diubah jadi permukiman dan
jalan-jalan raya penampung industri mobil. Tahun 1980-an kami sadar dan
tahun 1990-an terpaksa harus membangun kembali lingkungan sekitar. Kalau
tidak, apa warisan kita kepada anak cucu?”

Dalam mengatasi masalah lingkungan, perasaan dan pikiran harus disatukan.
Sadao Watanabe, pencipta lagu yang juga pengawas anjungan Jepang berkata,
”Kearifan pendahulu kita berikut kemajuan masa kini harus dipadukan demi
melestarikan kehidupan di bumi yang sama-sama kita sebut rumah.” Memakai
ramuan nada dasar, mi, la, re, do, ti yang maknanya earth (bumi), Watanabe
menciptakan lagu bertajuk Share the World dengan lirik karya Rikumi Okada.

Masyarakat dunia ternyata bisa belajar banyak dari penyelenggaraan Expo
Aichi 2005. Bumi, tempat kita hidup bersama, sudah semakin tua. Kalau
tidak bisa melestarikan, mungkin semuanya bakal hancur berantakan. Apakah
kita menghendakinya?

-------oooOooo-------

No comments: