Tuesday, October 11, 2005

POLITIKA: Menjadi Indonesia Susah

KOMPAS--Berita Utama | Selasa, 11 Oktober 2005

POLITIKA: Menjadi Indonesia Susah
Budiarto Shambazy

Presiden Soekarno sering mengucapkan slogan ”jas merah” alias ”jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Oktober, 45 tahun lalu, Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah, To Build the World Anew, di depan Sidang Umum PBB.

Isi pidato yang diucapkan tanggal 4 Oktober 1960 itu masih relevan dengan tuntutan reformasi dan restrukturisasi Dewan Keamanan (DK)- PBB saat ini. Presiden Soeharto mengemukakan hal yang sama di New York tahun 1995, begitu juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkunjung ke PBB baru-baru ini.

”Berbicara di hadapan Anda semua, hati saya bergetar,” ujar Bung Karno di luar teks pidatonya itu>1< bak sedang merayu perempuan. Dengan seragam putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata baca, ia tidak memedulikan protokoler.

Kalau kepala negara lain berpidato sendirian saja, Bung Karno tampil lain. Ia di podium didampingi sang ajudan, yang berdiri di belakangnya, Letkol (CPM) M Sabur.

”Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung China,” kata Bung Karno dalam pidato.

Wawasan Bung Karno waktu itu ternyata benar. China bukan cuma diterima sebagai anggota, tetapi menjadi salah satu anggota tetap DK PBB.

Lima tahun kemudian, tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memprotes penerimaan Malaysia, antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap DK PBB.

Ketika mendengar instruksi Bung Karno dari Perwakilan Tinggi (PT) RI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis karena tak menyangka Bung Karno marah dan kecewa. Sekitar setengah tahun kemudian kekuasaan dia mulai tergerus menyusul terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) tahun 1965.

Belum lama ini beredar sebuah VCD (video compact disc) mengenai Bung Karno yang diterbitkan Millennials, Salatiga. Selama 45 menit pemirsa sedikit banyak akan bisa memahami perbedaan antara Bung Karno sebelum dan setelah diberlakukannya Demokrasi Terpimpin tahun 1959.

Bung Karno tidak pernah sekolah ke luar negeri, dengan gelar akademis insinyur yang diperoleh dari ITB Bandung. Namun, di film tersebut ia tampil sebagai pengucap bahasa Inggris yang nyaris sempurna.

Lucu menyaksikan Bung Karno berbicara lepas kepada para wartawan di istana. Sembari mengapit sebatang rokok di tangan kiri, sembari tersenyum, ia berulang-ulang mengatakan, ”Read brother, read.”

Bung Karno memang tak pernah berhenti membaca buku. Seorang teman dekat dia, Pak Jusuf Ronodipuro, pernah bercerita kepada saya bahwa ”Bahkan di toiletnya pun masih ada buku yang belum habis terbaca.”

Dalam sebuah wawancara empat mata yang menarik dengan seorang wartawan asal Amerika Serikat (AS), Bung Karno menyebut ”dunia sedang menuju ke arah yang progresif”. Tentu maksudnya adalah petualangan dia berkawan dengan negara-negara ”kiri” seperti China, Kamboja, atau Korea Utara.

Ia ditanyai pula mengapa berupaya mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang berbeda untuk menjadi sebuah kesatuan ke dalam aliran ”Nasakom” (kaum nasionalis, agama, dan komunis). Bung Karno menjawab, itu tidak menjadi soal selama setiap aliran tak berbuat tindakan yang merugikan bangsa.

Setelah pecahnya peristiwa G30S, potongan film itu menghadirkan Bung Karno yang lain. Ia tak lagi memakai seragam kebesaran, tetapi kemeja gelap bertangan pendek.

Hari itu Bung Karno sudah menjadi pesakitan politik. Tanda-tanda jasa di kedua dadanya sudah tak ada lagi.

Lagi-lagi dalam bahasa Inggris ia mengumumkan penunjukan Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat) Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Ia masih tersenyum dan tertawa lepas, tetapi secara perlahan-lahan disingkirkan dari percaturan politik nasional.

Sebuah VCD lagi keluaran Millennials berjudul High Noon in Jakarta. Ini tentang masa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid yang pada hari- hari itu disibukkan dengan rencana dia memecat Menko Polkam Wiranto.

Dasar Gus Dur, setiap saat ia pasti melawan. ”The first president was crazy about women, the second one was crazy about fortune, and the third one was really crazy. The fourth one, myself, is driving people crazy,” ujar Gus Dur tertawa kencang.

Anda pasti mengerti makna guyonan Gus Dur. Di film terlihat Gus Dur yang santai, gemar cewawakan, dan menyisir sambil ikut bernyanyi lagu Me and Bobby Mcghee bersama penyanyi blues Jonis Joplin.

Pasti banyak yang rindu dengan kepemimpinan Bung Karno maupun Gus Dur. Meskipun akhirnya dipaksa mengundurkan diri, Gus Dur berhasil membongkar mitos kekuasaan istana yang tidak demokratis, garang, dan sok genting ala kepemimpinan Presiden Soeharto.

Walaupun rakyatnya diimpit kemiskinan, Bung Karno membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang besar, kuat militernya, dan sedikit utang luar negerinya. Setelah itu Indonesia menjadi bangsa kerdil, militernya terlalu banyak fungsi, dan pemerintahnya ngutang melulu.

Di masa Bung Karno TNI kuat melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia. Waktu bersitegang dengan Malaysia gara-gara Blok Ambalat tempo hari, banyak rakyat yang khawatir apakah TNI mampu melindungi rakyat jika kita akhirnya berperang melawan Malaysia?

Kini semakin hari semakin banyak kalangan yang putus asa menghadapi berbagai kondisi sulit di negeri ini. Seorang teman mengatakan, ”Nasib kita apes melulu gara-gara menjadi orang Indonesia.”

Teman lain menyebut situasi kita, dalam bahasa Priangan, sebagai aca kadut. Artinya berantakan, tak ada tatanan aturan dan kalaupun ada, tak dipatuhi.

Ada pula yang menyebut, bangsa Indonesia seperti ”remaja yang pubernya tak kunjung selesai”. Dalam pergaulan internasional kita seperti ”Liliput di Negeri Olliver.”

Saya selalu menjawab, ”Indonesia Tanah Air beta, tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata”. Tetapi, mau menjadi Indonesia saja kok semakin susah ya?[]

-------oooOooo-------

No comments: