Monday, October 10, 2005

"Maaf Dok, Saya Tidak Punya Uang"

http://www.indomedia.com/bpost/102005/10/opini/opini1.htm

Menyambut Bulan Puasa:
"Maaf Dok, Saya Tidak Punya Uang"

Oleh : dr H Milhan MM

Suatu ketika saya dijemput salah satu keluarga pasien yang terkena stroke di Desa Gadung Hilir, Kabupaten Tapin. Saya tiba di rumahnya yang kayu, dan hampir-hampir roboh kalau kaki kita menginjak lantainya dengan keras. Setelah saya periksa dan beri obat, keluarga pasien tersebut berucap: "Dok, maaf ya dok, biayanya nanti dulu, soalnya belum punya uang."

Banyak masyarakat kita yang kondisinya seperti keluarga pasien tidak mampu tersebut. Di lain waktu, ada pasien dengan tumor besar di perutnya. Ketika kita sarankan untuk operasi, mata si pasien berkaca-kaca sambil berkata: "Jangankan untuk operasi, pak, untuk biaya makan saja sulit sekali."

Begitulah gambaran sebagian masyarakat kita di perdesaaan. Kalau kita mau objektif mengatakan rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Puasa mengajarkan kepada kita untuk lebih memperhatikan kondisi sosial di sekitar kita. Rasa lapar yang kita rasa saat berpuasa, mendidik kita bahwa masih banyak yang lebih lapar daripada kita. Rasa lapar kita ada batasnya dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Bagaimana dengan saudara kita yang miskin, apakah lapar mereka ada batasnya. Jangan-jangan berminggu-minggu mereka tidak makan.

Ditambah lagi dengan penaikan harga BBM per 1 Oktober 2005 tadi. Harga barang melonjak naik, transpor menjadi mahal, dan tentu saja ini akan menambah deretan penderitaan masyarakat miskin. Benarkah dana kompensasi dapat dijamin sampai kepada masyarakat miskin? Kalaupun sampai, cukupkah untuk menutupi pengeluaran akibat harga BBM naik? Dana kesehatan yang katanya untuk pengobatan gratis masyarakat miskin, sampai tulisan ini dibuat belum cair. Puskesmas dan Rumah Sakit terpaksa menalanginya. Haruskah masyarakat miskin terus dibuai dengan janji-janji?

Puasa akan membuat kita sehat. Demikian kata Nabi: "Shuumu tasiihu" (Berpuasalah niscaya kamu sehat). Sehat menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) adalah kondisi dinamis atau tidak terganggunya kondisi fisik, mental dan sosial seseorang. Jadi sehat itu tidak hanya sehat kondisi jasmani/fisik/lahiriah seseorang, tapi juga kondisi rohani/mental/batiniah serta kondisi sosial seseorang.

Puasa yang dapat menciptakan kesehatan sosial bagi seseorang adalah puasa yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dan dihayati dengan baik. Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita, bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab, pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya pada beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir.

Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslim lainnya yang mengalami penderitaan dan hingga kini masih belum teratasi. Seperti penderitaan saudara kita di Aceh, Sumut, Poso, Ambon atau Maluku, dan di berbagai wilayah lain di tanah air. Serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina dan sebagainya.

Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, menjelang Ramadhan berakhir, kita diwajibkan menunaikan zakat. Dengan demikian, setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang miskin dan menderita, juga bagi kita yang mengeluarkannya agar hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya.

Puasa membuat jiwa seseorang terkendali, stres dapat dihilangkan, amarah diredam. Puasa menurunkan hormon catekolamin penyebab stres dan marah, yang akan berdampak sosial (bederma, menolong orang dan lain-lain).

Dalam bukunya The Turning Point: Science Society and the Raising Culture, Capra menyatakan, stres lepas kendali merupakan salah satu ekses modernisasi yang diakibatkan oleh terpisahnya sains dan teknologi dari pengaruh spiritual keagamaan. Padahal, jenius kaliber dunia Albert Einstein pernah berkata: "Ilmu pengetahuan tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu pengetahuan akan lumpuh."

Sebenarnya, kalau saja stres itu kita kendalikan dengan berpuasa secara reguler, misalnya, minimal bisa membangkitkan energi mental agar orang bersemangat, percaya diri, dan optimistis, sehingga bersikap pantang mundur serta selalu terpacu untuk mencapai prestasi atau kesuksesan yang diridhai Tuhan. Dengan kata lain, stres yang terkendali justru merupakan daya pendorong, tenaga konstrukstif di balik kreativitas, yaitu untuk mengungkit prestasi dalam bidang apa saja.

Perubahan jadwal makan minum selama berpuasa pun tak luput dari stres, sebab orang harus menahan lapar dan dahaga seharian. Untungnya, hal itu, menurut hasil riset, hanya memiliki nilai stres 15. Ini ternyata jauh di bawah nilai stres 29 akibat perubahan tanggung jawab dalam pekerjaan, dan nilai stres 53 akibat sakit atau kecelakaan. Lebih menggembirakan lagi, sesudah orang berpuasa memasuki minggu kedua, umumnya stresnya kian terkendali, lantaran fisik maupun mentalnya sudah bisa beradaptasi secara mantap. Jadi, dengan berpuasa pun kita bisa mengendalikan stres.

Karena berpuasa secara teratur mampu mengendalikan stres, maka tak heran jika terapi puasa ini berkembang peminatnya dan cukup populer di Eropa dan Amerika Serikat. Karena, berbagai penyakit berat akibat pengaruh stres berkepanjangan bisa dicekal atau dipercepat proses penyembuhannya di samping upaya medis.

Di klinik dekat Pyrmont, Jerman, dr Otto Buchinger dan kawan-kawan menyembuhkan banyak pasien dengan terapi puasa. Penyembuhan meliputi penyakit fisik dan kejiwaan, sehingga bisa dikatakan sebagai psiko-fisio terapi. Setelah pasien dirawat secara medis selama sekitar 2-4 minggu dan berdisiplin puasa, ternyata mereka lebih cepat sehat dan segar kembali baik fisik maupun mentalnya. Juga lebih bergairah hidup. Berbagai penyakit, antara lain kardiovaskuler, ginjal, kanker, hipertensi, depresi, diabetes, maag dan insomania, juga dapat disembuhkan.

Dr Yuli Nekolar dari Moscow Institute of Psychiatry pun melaporkan hasil risetnya, bahwa upaya penyembuhan secara medis yang disertai terapi puasa hasilnya lebih baik dan lebih cepat. Hal ini juga telah dibuktikan keandalannya oleh pasien yang menjalani terapi puasa itu di sejumlah klinik Health Spa di Amerika. Meski cara berpuasa di klinik itu tak persis sama dengan praktik puasa Ramadhan, tapi dasar fisiologi dan biokimia yang terjadi dalam tubuh pada prinsipnya sama.

Manusia modern hingga kini masih kewalahan menghadapi ulah aneka macam penyakit. Entah itu penyakit fisik maupun mental, di samping penyakit sosial yaitu dalam hal pencegahan, penyembuhan, dan terutama dalam upaya mengatasi perkembangan penyakit. Sebab terbukti, obat-obatan hasil rekayasa otak manusia, dari yang tradisional sampai yang dijamin secara medis, bisa manjur namun bisa juga tidak mempan, padahal sering harus ditebus dengan biaya relatif mahal. Belum lagi kita dihadang untuk menanggulangi keganasan AIDS yang belum ada obatnya.

Rasulullah mengingatkan: "Tidak beriman seseorang di antara kamu apabila dirinya kenyang sementara tetangganya ada yang kelaparan." Makna puasa bagi kesehatan sosial tampaknya belum terealisasi dalam masyarakat kita. Dengan indikator, masih banyaknya saudara kita yang miskin yang belum menerima uluran tangan dari mereka yang mampu. Kepekaan kita terhadap penderitaan masyarakat miskin masih kurang.

Tetapi semoga dengan berpuasa, rakyat miskin dan kita semua lebih bersabar terhadap keadaan negeri kita yang tampaknya tambah camuh. Doa jangan henti-hentinya kita panjatkan ke hadirat Allah agar keadaan kita dan negeri ini lebih baik. Kesehatan sosial akan terbentuk manakala semua komponen bangsa dari rakyat kecil (grass root) sampai presiden (top manager) dan wakil rakyat, mau mengamalkan ajaran Islam. Salah satunya lewat ibadah puasa Ramadhan.

* Ketua IDI Tapin, tinggal di Rantau)
e-mail: milhan12003@yahoo.com

No comments: