Saturday, October 08, 2005

Bangsa Tak Berakhlak

KOMPAS--Opini | Sabtu, 08 Oktober 2005

Bangsa Tak Berakhlak
Sarlito Wirawan Sarwono


Akhlak adalah jargon agama untuk budi pekerti (istilah sekolahan), atau Moral atau Etika (istilah ilmiah). Ilmu Filsafat membedakan etika (baik-buruk), dari estetika (indah-jelek) dan logika (benar-salah).

Sesuatu yang benar belum tentu indah, yang indah belum tentu baik, yang baik belum tentu benar, dan seterusnya. Namun, idealnya, hidup ini merupakan keseimbangan antara ketiganya. Misal, meski benar secara logika bahwa badan istri bertambah berat, tidaklah etis kalau mengatakan, Kamu kok makin gendut, sih? Bukankah lebih estetis, lebih manis, jika berkata, Yuk, ke butiknya Dewi Hughes. Rasanya ada baju yang lebih pas, buat kamu.

Tak berakhlak

Saat pesawat Mandala jatuh di Medan belum lama ini, dan setelah mengaitkan dengan banyaknya kecelakaan dan petaka yang sebenarnya tidak perlu terjadi, saya beranggapan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang teledor.

Namun, seorang teman mengingatkan, keteledoran mengandung unsur ketidaksengajaan. Meninggalkan kompor menyala sehingga terjadi kebakaran, atau alpa mengecek rem sehingga mobil masuk jurang, atau lupa mengunci pintu sehingga si kecil masuk saat ayah sedang bercinta dengan ibu, itu namanya teledor.

Jika membakar kampung tetangga gara-gara ada cewek kena colek, atau mengeroyok pencopet sampai mati padahal belum tentu berdosa, atau korupsi miliaran rupiah tetapi tidak mau dipenjara meski sudah diputus pengadilan, atau sengaja berselingkuh atau berjudi, itu namanya bukan teledor, tetapi tidak berakhlak, kata kawan saya. Dalam perilaku tidak berakhlak ada niat, atau kesengajaan untuk berbuat buruk, atau melanggar etika, atau immoral.

Waduh... kalau begitu banyak perbuatan bangsa kita yang tidak berakhlak. Sengaja melanggar lampu merah sehingga lalu lintas macet, sengaja menaikkan harga untuk keuntungan sendiri, sengaja membeli ijazah palsu untuk mengelabui calon mertua, meminta pungutan liar, menebang hutan lindung, menyuap calo DPR, menggelapkan barang bukti, merusak sekolah karena tidak lulus ujian, dan seterusnya, itu contoh, ribuan bahkan jutaan. Pantas jika Indonesia mendapat julukan salah satu negara paling korup di dunia, bahkan paling munafik, karena kemaksiatan berjalan seiring makin maraknya hidup keagamaan bangsa ini.

Tidak berdampak

Masalahnya, menurut logika, tidak seharusnya maksiat berjalan seiring agama. Bagaimana mungkin agama tidak berujung kepada akhlak yang baik, seperti yang selalu diteorikan? Tentu ada yang salah. Beberapa pakar berpendapat, agama kita di Indonesia baru sebatas upacara, belum memengaruhi sikap mental sehingga tidak ada dampaknya pada perilaku. Tetapi, kok bisa, pendidikan dan pelajaran agama yang sudah masuk kurikulum sejak TK sampai mahasiswa tidak berdampak pada sikap?

Jika pertanyaan ini dijawab dari teorinya para ustadz dan khatib, tidak akan ketemu penjelasannya. Karena dalil yang selalu dikemukakan pemuka agama adalah jika kita melaksanakan ajaran Tuhan dan Rasul, ujungnya pasti akhlak (dunia) dan surga (akhirat). Padahal dalil inilah yang justru diterapkan dalam praktik pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia: sejak TK murid diwajibkan menghafal ayat-ayat kitab suci dan doa-doa. Ulangan dan ujian juga seputar ayat-ayat dan doa-doa itu.

Sementara itu, menurut teori psikologi, khususnya teori belajar, yang terjadi sebaliknya. Dalam teori belajar dikatakan, seseorang harus berbuat dulu (psiko-motorik), baru timbul pemahaman (kognitif), akhirnya timbul sikap (afektif). Dengan demikian, untuk belajar akhlak, anak TK-SD seharusnya disuruh belajar praktik budi pekerti dulu, misal, bagaimana mengucap terima kasih, mengapa orang harus meminta maaf, apakah hari ini sudah mencium tangan mama-papa, apakah sudah memberi makan kucing kesayangan? Dan seterusnya.

Melalui praktik budi pekerti timbul empati, yaitu kemampuan menyayangi binatang, mengagumi keindahan, menghargai dan berempati pada orang lain, dengan sendirinya akan terhindar dari sikap arogan atau mau menang sendiri. Ketika anak belajar ayat atau doa-doa, ia akan paham apa yang dimaksud ayat dan doa itu sehingga ia tidak akan menghujat atau membunuh orang lain sambil kerongkongannya meneriakkan nama Tuhan.

Sarlito W Sarwono Guru Besar Psikologi UI

No comments: