Saturday, October 22, 2005

Radikalisme, Globalisasi, dan Krisis Kemanusiaan

KOMPAS | Humaniora -- Sabtu, 22 Oktober 2005

Radikalisme, Globalisasi, dan Krisis Kemanusiaan

Tony Rudyansyah

Lelaki muda berusia di bawah 25 tahun itu berjalan tenang di antara tamu yang makan. Sejenak melewati anak kecil bermain, pemuda itu sambil menentang ransel di pundakkemudian mengarahkan langkah ke satu titik di ruangan.

Sesaat kemudian, bom meledak. Sabtu itu, 1 Oktober 2005 di Bali, tiga aksi bom bunuh diri menelan korban 148 orang, 23 di antaranya meninggal dunia. Korban terbanyak WNI sejumlah 100 orang.

Bila pemuda dalam tayangan video di satu TV swasta itu benar pelakunya, alangkah suramnya wajah negeri ini. Bertindak bak malaikat pencabut nyawa, apakah bagi pemuda itu tak ada jalan lain mengubah kehidupan selain menghabisi nyawa mereka yang dianggap bagian ketidakberesan dunia?

Begitu fatalistikkah kehidupan anak bangsa ini? Kalau iya, bagaimana pokok persoalan bisa direkonstruksikan. Aksi kekerasan itu sangat mengerikan. Pelakunya dipastikan anak muda Indonesia.

Sejauh ini, penyelidikan tidak memperlihatkan keterkaitan organisasi teroris global. Pelaku aksi bom Bali II lebih bersahaja dan tidak mengejar popularitas lazimnya Al Qaeda. Tak ada pernyataan dilansir setelah aksinya.

Justru karena tak terorganisir, aksi kekerasan jauh lebih menakutkan dan sulit dilacak. Lebih ngeri lagi adalah ideologi radikalisme yang di-share pelakunya. Semua tahu, ideologi radikalisme bergentayang bebas lintas negara. Siapa pun bisa tertulari, tanpa mengenal batas usia, termasuk anak muda di negeri ini.

Hegemonisasi Baratkah?

Maraknya aksi terorisme dapat dilihat sebagai kegagalan bangsa merespons globalisasi.

Globalisasi bergerak bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, memberi keuntungan bagi mereka yang berhubungan baik dengannya. Arus bebas modal dan informasi memberikan potensi kemakmuran disertai gaya hidup konsumtif dan hedonistik. Akan tetapi, di sisi lain, mereka yang tak dapat berpartisipasi, celakanya, tergilas dan terpinggirkan ke dalam kesengsaraan.

Itu dampak globalisasi secara kasat mata. Globalisasi menawarkan kemakmuran bagi sebagian kecil bangsa di dunia, dengan Amerika sebagai pemimpinnya. Bagi bangsa lain, hanya kesengsaraan didapat. Tak heran bila globalisasi dilihat sebagai konspirasi Barat mengisap keuntungan bangsa lain.

Ironis lagi, globalisasi menyuburkan sosok individualistik manusia yang hanya peduli kepentingan pribadi. Kaya dan sukses jadi satu-satunya tujuan hidup. Masyarakat dan bangsa sebagai tatanan kosmis mulai memudar rohnya. Dalam istilah Weber, dunia jadi disenchanted. Yang tersisa hanya wajah kehidupan tidak manusiawi.

Sosok bangsa kita tak kalah parahnya tatkala banyak pejabat negara berperilaku bukannya sebagai aset, melainkan liabilities bagi bangsa. Perilakunya bukan jadi solusi, malahan jadi bagian dari masalah.

Tuduhan pun muncul: mereka menggadaikan aset dan kekayaan negara demi keuntungan pribadi, dengan bersekongkol bersama kartel negara-negara maju yang ada di lembaga donor internasional, seperti IMF. Keterpurukan bangsa adalah buah kerakusan itu. Tak heran bila rakyat merasa terperangkap dalam hidup yang dijalin bukan oleh mereka sendiri, melainkan oleh pihak lain.

Nietzche menyatakan, di situasi seperti itu, satu-satunya tersisa dalam diri manusia adalah the will to power (keinginan berkuasa). Manusia jadi terperosok ke satu kegilaan saling menguasai dan menggilas sesama. Hidup jadi fatalistik sekaligus destruktif.

Timbul berbagai respons romantik akibat krisis ini. Satu dengan rupa menakutkan adalah ideologi radikalisme.

Terungkap di satu catatan harian seorang istri pelaku terorisme, mereka bangga jadi bagian satu generasi dengan istilah Jilun Qur'anun Farid (generasi Qurani yang unik). Generasi yang dipahami memiliki kemampuan memperjuangkan dan membela ajaran agama, sebagaimana mereka pahami, sampai mati syahid. Generasi ini membenci sikap tak peduli terhadap nasib saudara seiman di seluruh pelosok dunia yang tertindas.

Kenapa umat Islam seluruh dunia tak bersatu kepung Amerika? Serang Bush! Kita kan jauh lebih banyak daripada rakyat Amerika. Begitu geram sang anak yang terungkap di catatan harian yang sama.

Idola mereka adalah figur seperti Asy-Syahid Syaik Abdullah Azzam, pejuang mujahidin Afganistan yang berjihad mengusir komunis Rusia; Khalid Islambuli, tentara Mesir yang membunuh Anwar Sadat; dan Iqbal yang dibanggakan Iman Samudera sebagai mati syahid.

Diamnya publik terhadap ketidakberesan dunia ditanggapi sebagai tanda turut menyetujui. Karenanya, mereka pun dituding ikut bersalah dan bertanggung jawab.

Ali Ghufron, terdakwa aksi bom Bali I, meyakini siapa yang mendiamkan kesalahan dan maksiat sama dengan syaitan bisu. �Ummi, kalaulah yang dibom itu tempat maksiat dengan orang-orang yang tak tahu malu dan Abi dituduh.... Bravo Abi!� Begitu ungkapan anak Ali Ghufron membela ayahnya.

Radikalisme itu dimungkinkan karena ada pandangan yang menempatkan tafsir ulama Salaf sebagai referensi tunggal kebenaran Islam. Ajaran Islam versi ulama Salaf itu mengalami sakralisasi dan jadi ideologi. Akibatnya, sulit bisa membedakan Islam sebagai wahyu yang universal dengan Islam versi Salafi.

Ideologisasi tafsir Salafi terlihat dari tumpang tindih ajaran Islam otentik dengan ajaran Islam sebagai tafsir tersebut. Keyakinan kebenaran mutlak dan kesempurnaan ajaran Islam kemudian diterapkan pada tafsir Salafi yang dikukuhkan melalui hierarki kekudusan sejarah yang menempatkan generasi sahabat lebih kudus dan lebih benar dari generasi tabi'in (pascasahabat).

Langkah perbaikan

Kehidupan berbangsa harus dikembalikan ke sosok yang lebih adil, beradab, dan tak korup. Salah satu caranya, pemerintah harus menyelenggarakan kehidupan bernegara yang semakin menjamin kesejahteraan warga yang adil dan merata.

Ini dilakukan bukan demi alasan moral semata, melainkan karena alasan praktis jika tak mau bangsa ini jatuh ke kehancuran lebih parah.

Dalam hidup bersama harus dikembangkan pemahaman budaya bahwa Islam adalah Rahmatan lil'alamin bagi seluruh alam semesta. Dalam pemahaman ini, siapa pun tanpa peduli latar belakang agama dan bangsa, harus dilihat dari unsur kemanusiaannya. Jadi, pada tataran ini, tak perlu lagi diperdebatkan rujukan agama, karena ajaran apa lagi, dalam relasi kemanusiaan, yang lebih mulia dibandingkan penghormatan yang tulus terhadap sesama manusia.

Pemaksaan kehendak terhadap hidup orang lain agar sesuai keyakinan kita, sama dengan merampas hak hidup seseorang. Seseorang hanya bisa hidup dalam dunia yang ia sendiri jalin maknanya. Satu dunia yang ekspresi pemaknaannya memang mereka sendiri pembuatnya. Bukan satu dunia yang diterima secara pasif dari pihak lain.

Globalisasi dibenci kelompok radikal karena hal ini. Karenanya, kelompok radikal seharusnya tidak bisa melakukan standar ganda dengan memaksakan hal sama kepada orang lain.

Perbedaan seharusnya dilihat sebagai ujian mempertebal keyakinan diri tanpa melanggar batas-batas yang ditentukan Yang Maha Kuasa. Termasuk di dalamnya, hak menghakimi tersesat atau tidaknya seseorang, tak pernah berada di tangan manusia, melainkan di tangan-Nya. Manusia tidak boleh berlaku sombong dengan mengambil alih hak itu.

Di sinilah tantangan dan tanggung jawab jadi makhluk lebih sempurna diuji. Mampu hidup damai bekerja sama dengan pihak lain guna kepentingan bersama, tanpa mengorbankan kebenaran agama masing-masing.

Keberhasilan mengatasinya akan melahirkan bangsa dengan insan warga yang berjatidiri kokoh dan berkepribadian matang dalam mozaik keanekaragaman agama dan budaya yang ada. Semoga!

TONY RUDYANSYAH Ketua Forum Kajian Antropologi Indonesia

No comments: