Sunday, October 23, 2005

cerpen

KOMPAS--Seni & Budaya | Minggu, 23 Oktober 2005

Indrakila

Bre Redana

Pensiun dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar, lelaki itu pindah ke desa di ketinggian ke rumah yang dirancangnya sejak lama di antara gunung-gunung dan lembah. Didasari pertimbangan yang dibuat tak kalah lamanya, ia bersama istri ingin melewatkan hari tua usai pensiun di tempat yang tenang, mengonsumsi waktu sehari-hari dengan bebas merdeka. Pekerjaan menulis konon tak mengenal kata pensiun. Sebagai penulis, dia malah membayangkan produktivitasnya nanti, di tengah waktu yang dibayangkannya luas tak terhingga seperti samudra.

Jajaran pohon bambu di belakang rumah hanya kelihatan pucuk-pucuknya dari ruang kerja yang dibuat di lantai dua. Ini untuk melukiskan, bagaimana rumah mereka berada di atas tanah dengan tekstur berbukit, di mana beberapa sisi kemudian terlihat sebagai pemandangan yang letaknya di bawah. Di seberang sana, lembah dan gunung-gunung. Tempat tinggal mereka seolah mengapung di udara—dan memang begitulah rancangan sahabatnya, lulusan sekolah arsitektur terkemuka di Inggris. Sahabat itu sebelumnya sampai mendesak, ingin tahu lebih tegas lagi segi-segi hubungan dia dengan sang istri (karena itu segi paling penting untuk mengonfigurasi tempat tinggal katanya), kebiasaan serta irama keseharian mereka, sampai impian bahkan impian yang boleh jadi berada di balik kehidupan yang nyata, fana.

”Kamu ini psikolog, pendeta, atau arsitek?” tanya si lelaki menjelang pensiun waktu itu kepada sahabatnya tadi.

”Sudahlah, kamu jawab semua pertanyaanku. Jerussalem juga dibangun dengan gagasan spiritual, bukan teknis,” tukas sang teman.

”Wah, aku lupa, pekerjaanmu urban planner. Setahuku kamu memang belum pernah membangun rumah meski kamu arsitek, ha-ha-ha...,” sahutnya berseloroh.

Manusia menjelang pensiun malah menuliskan puisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu. Sang sahabat garuk-garuk kepala. ”Baru kali ini aku disuruh membangun rumah acuannya puisi,” ujarnya dengan tetap menggaruk-garuk kepala sehingga rambutnya yang agak kemerahan menjadi kian berantakan. ”Aku memang belum pernah membangun rumah. Kali ini aku mau, karena ini rumah wong edan...,” tambahnya getas.

Ketika hari pensiun tiba, teman-teman menyelenggarakan pesta perpisahan untuknya di kantor. Istrinya yang puluhan tahun kawin dengannya tak pernah menginjak kantor diajaknya serta.

”Masih cantik ya...,” kata beberapa teman wanita di kantor mengomentari istrinya—entah basa-basi atau sungguhan. Terus terang, ia terbiasa mendapati komentar orang seperti itu.

Dia disuruh pidato, menyatakan kesan-kesannya selama 25 tahun bekerja di situ. Beberapa teman ada yang mengusap air mata. Pimpinan perusahaan, orang sangat bijak yang telah membuatnya betah kerja di tempat tersebut, mengingatkan agar dia tetap menganggap kantor ini sebagai ”rumah kedua”.

Begitulah, sejak hari itu irama kerjanya sebagai orang kantoran berhenti. Dia menjadi navigator untuk dirinya sendiri, untuk seluruh waktu yang berada di bawah kekuasaannya sendiri, terserah mau dia manfaatkan untuk kegiatan apa.

Kebiasaannya bangun siang menjadi-jadi. Terasalah, waktu tidak seluas dibayangkannya. Setelah bangun tidur tengah hari—atau kadang lewat tengah hari—tak ada sesuatu yang menggerakkannya untuk mengerjakan sesuatu. Dia duduk bermalas-malasan minum kopi atau entah apa. Setelah itu sore tiba. Muncul alasan untuk memanjakan kemalasan yang lain, dengan menikmati matahari turun di balik lekukan gunung-gunung.

”Kalau ingin menulis, ya mustinya bangun pagi,” komentar istrinya.

Dia cuma tertawa. ”Benar juga,” ujarnya dalam hati.

Pertama berat, tapi perlahan-lahan dia mulai bisa bangun pagi. Perkembangan berikut bahkan mengagetkan sang istri. Ia mulai bangun saat subuh, sebelum matahari terbit.

”Kenapa bangun sepagi itu, Pa?” tanyanya. Dilihatnya sang suami juga tidak melakukan sesuatu di atas keyboard komputernya. Yang dilakukan adalah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, bersih-bersih, merapikan barang-barang, dan lain-lain. ”Ooh, barangkali memang begitu kebiasaan semua pensiunan,” pikir sang istri.

Kebiasaan itu berkembang menjadi-jadi. Pagi-pagi dia sudah memegang gunting tanaman, memangkas dan merapikan daun-daun bambu, menggunting cabang dan ranting-ranting tanaman bunga-bungaan, sesekali merawat dengan memberinya pupuk, memindahkan dan menata ulang tanam-tanaman, sampai-sampai, dia seolah seperti landscaper. Buku-buku filsafat politik sastra contemporary studies ditinggalkannya. Dia lebih tertarik pada tanaman. Kepada semua temannya ia hanya memesan buku yang berkisar soal tanaman, gardening, lanscaping, space planning, dan semacamnya.

Dari silaturahmi dengan teman-teman lama yang masih terjaga, orang-orang di kantor hampir semua tahu bahwa ia kini menjadi petani.

”Mas Daru kini jadi petani lho...,” celoteh orang di kantor.

”Ah masak?” yang lain menimpali tidak percaya. ”Apa dia bisa pegang cangkul?”

”Hu... kalian tidak tahu. Coba tanya beberapa teman. Tanah di sebelah yang kosong dia tanami singkong. Waktu saya ke sana, kebun singkongnya itu sudah seperti hutan. Katanya dia sampai diprotes tetangga, takut kebun singkongnya untuk sembunyi maling....”

Begitulah kehidupan pensiunan ini. Dia menjadi petani. Soal menulis, jangan-jangan dia bahkan sudah lupa....

Sampai suatu ketika berita mengejutkan tiba (hal seperti ini sebenarnya seperti pengulangan, selalu terjadi pada para pensiunan. Hanya saja, ketika kejadian yang tampaknya bisa menimpa siapa saja itu terjadi, kaget juga banyak orang). Apa yang terjadi di tempat tinggalnya di desa menyebar: dia ditemukan pingsan di kebun singkong.

Ia dilarikan ke rumah sakit. Beberapa teman lama berbondong-bondong datang membesuk selama dia dalam perawatan.

”Stroke ya?”

”Jantung ya? Bagaimana keadaannya?”

”Stres karena pensiun, kali....”

Beberapa orang menyimpulkan sendiri apa penyakitnya. Hanya istrinya—orang terdekatnya—yang benar-benar tahu apa yang menimpanya. Sang istri percaya, tidak ada sesuatu yang terlalu perlu dikhawatirkan. Selain sikap berserah kepada Yang Kuasa, dari berbagai penjelasan dokter, si istri ini percaya suaminya akan segera pulih. Memang kekurangan oksigen beberapa saat waktu itu sempat memengaruhi ingatan atau memorinya. Ada beberapa hal menjadi tidak bisa diingat lagi oleh suaminya. Akan tetapi, ia percaya, kemukjizatan akan mengembalikan segala-galanya kalau Yang Kuasa menghendaki.

Yang dijalani di rumah sekarang adalah proses pemulihan. Kegembiraan sang istri berangsung-angsur timbul kembali, melihat kemajuan suaminya. Ia merasa benar dengan feeling-nya. Sudah beberapa pagi dia melihat suaminya melakukan stretching di taman belakang rumah di dekat kolam. Bukan hanya stretching, tetapi bahkan mulai gerakan-gerakan lembut yang dia kenal sangat diakrabi suaminya. ”Liong bun...,” ucap sang istri dalam hati sambil menarik napas gembira. ”Dia bisa mengingat rangkaian gerakan Pintu Naga....”

Perkembangan berikutnya lagi, sang suami terlihat selalu nyenyak tidurnya, dan bangun dalam waktu yang nyaris tetap sebelum matahari terbit. Ketika si istri keluar dari tempat tidur beberapa waktu kemudian, dia sering menjumpai suaminya sudah dalam keadaan rapi, berada di ruang kerja menghadap komputer. Dia baru menyadari, bahkan meja kerja itu pun sudah diubah posisinya, langsung menghadap ruang terbuka menghadap arah gunung-gunung.

”Papa sudah sehat benar ya? Diam-diam sudah menulis lagi ya?” godanya.

Sang suami diam, duduk dengan punggung tegak dan mata menatap ke kejauhan.

Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada cakrawala....

Si istri kaget. Suaminya telah pulih kembali. Itu tadi ucapan suaminya, penggalan sajak penyair besar teman mereka yang kini tinggal menyepi di Citayam.

Didekatinya suaminya dari belakang. Ia ingin menguji memori suaminya.

”Itu gunung apa Bib...,” tanyanya, dengan menggunakan nama panggilan suaminya, semasa mereka pacaran puluhan tahun lalu.

”Indrakila!” jawabnya.

Sang istri memerhatikan suaminya dengan saksama. Ini main-main atau sungguhan? Di seberang itu jelas Gunung Gede-Pangrango.

”Raja Dharmawangsa menuju kayangan dengan mendaki Gunung Indrakila. Semua saudaranya tumbang di jalan. Hanya dia selamat sampai ke pintu kayangan, diiringi anjing kita, Patman...,” suaminya melanjutkan kata-katanya.

Ah, realitas hidupnya yang berupa kenyataan sehari-hari dan fiksi telah menyatu kembali. Wanita ini tersenyum. Itu Gunung Gede-Pangrango, bukan Gunung Indrakila. Sedangkan Patman benar-benar jenis anjing rottwiller peliharaan mereka.

Sang istri kian penasaran.

”Kita sekarang berada di mana?”

”Mertasari!”

Tersenyum sang istri. Dia tahu, suaminya pasti sadar bahwa ini Banjarsari, bukan Mertasari.

”Ingat di mana kita mendapatkan pohon kemboja itu?” sang istri bicara sambil jarinya menunjuk pohon kemboja dengan batangnya yang berbentuk arkaik, di pinggir kolam.

Si suami diam sesaat, sebelum berucap, ”Lihat bunga putih yang jatuh di air kolam. Dia bicara mengenai riwayatnya sendiri, tentang asal-usulnya, tentang Banjar Suwung Kangin yang mempertemukan kita....”

Terhenyaklah sang istri. Itu peristiwa puluhan tahun lalu, pertemuan mereka, episode-episode manis yang pernah mereka lewati.

Mata sang istri menjadi berkaca-kaca. Dia peluk suaminya dari belakang.

”Bibib telah benar-benar sehat, siap menulis lagi...,” katanya tersedu sambil makin mengencangkan pelukannya.

Langit semburat merah. Pagi benar-benar datang.

Ciawi Junction, 2005

------- :: end :: -------

No comments: