Monday, October 17, 2005

Islam’s response to contemporary issues

I. KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

1. NILAI KEAGAMAAN YANG TERKIKIS
2. UNIVERSALITAS KENABIAN
3. SEMUA NABI ADALAH SAMA
4. APAKAH PANGKAT DAPAT MEMBEDAKAN ATAU OTENTIFIKASI?
5. KESELAMATAN BUKANLAH MONOPOLI AGAMA TERTENTU
6. MENUMBUH-KEMBANGKAN HUBUNGAN BAIK ANTAR UMAT BERAGAMA
7. KONSEP UNIVERSAL
8. ISLAM AGAMA UNIVERSAL
9. INSTRUMEN-INSTRUMEN PERJUANGAN HIDUP
10. KESUKSESAN
11. KEMERDEKAAN BERPENDAPAT
12. KEMERDEKAAN DAN EMANSIPASI DALAM KONTEKS DUNIA KONTEMPORER
13. KAFIR
14. KEBERSAMAAN ANTAR UMAT BERAGAMA
15. KESIMPULAN



NILAI KEAGAMAAN YANG TERKIKIS

D
ENGAN MENGAMATI SELURUH SKENARIO keagamaan yang ada, orang akan menjumpai seakan-akan agama gagal memahami situasi sekarang. Secara umum, agama kehilangan genggamannya atas situasi tertentu. Dalam beberapa hal, agama mendapat sorotan tajam atas pandangannya yang berdasar pada dogma, pandangan seperti abad pertengahan dan kurangnya toleransi atas serangan yang ditujukan kepadanya.
Dari sudut moral, agama mengalami kemunduran, merebaknya kriminalitas, hilangnya amanah, musnahnya rasa keadilan dan runtuhnya semangat tanggung jawab sosial. Di beberapa negara yang mengaku religius, rasa individualisme tumbuh menguat di sana-sini. Ini merupakan salah satu dari akar kejahatan yang tumbuh secara mencengangkan dari hari ke hari. Jika nilai-nilai moral dari suatu agama terrefleksi pada kehidupan masyarakatnya, maka mudahlah bagi kita mengatakan: Seluruh nilai keagamaan itu telah hilang dan pergi entah ke mana. Apa yang kita lihat sekarang pada agama, seperti halnya zombi yang sedang berjalan ke sana ke mari.
Dalam beberapa hal stagnansinya, agama memandang, kehidupan saat ini menimbulkan kebosanan. Mereka mengharapkan mukjizat dan inipun tak kunjung tampak. Mereka tidak dapat melihat gejala intervensi samawi dalam kehidupan sekarang. Mereka ingin melihat keajaiban ini semata-mata agar dapat memberikan pembenaran dalam keimanan mereka. Akhirnya, mereka terjerumus pada sekte-sekte keagamaan tertentu demi memenuhi rasa frustasi mereka. Dorongan untuk melepaskan diri dari masa lalu menimbulkan keinginan untuk mengisi kekosongan jiwa mereka dengan sesuatu yang baru.
Selain trend di atas, muncul pula gejala lain. Di antaranya, menghidupkan lagi dogma-dogma lama atas nama pembaharuan yang pada akhirnya mengancam perdamaian dunia. Dengan bangkitnya dogma lama ini, atmosfir keagamaan dipenuhi dengan racun. Yang pada akhirnya, mematikan semangat dialog yang konstruktif juga kebebasan berpikir.
Tak cukup dengan itu saja, para politisi menambah keruwetan ini dengan ide mereka yang tak lain bagi kepentingan kelompok atau pribadinya. Yang hasilnya, akan menodai nilai agama itu sendiri.
Sejarah menunjukkan bahwa kesenjangan antar agama menumbuhsuburkan perseteruan di antaranya. Apa yang dikenal sebagai kebebasan pers, seharusnya dapat memainkan peranan penting dalam menjembataninya. Namun nyatanya, pers ini dikendalikan oleh tangan tak tampak (invisible hand). Dengan demikian, di suatu negeri, dengan satu agama dominan, jika medianya ikut-ikutan memburukkan citra agama lain, maka skenarionya menjadi sangat kompleks. Korban pertama dari perseteruan itu adalah agama itu sendiri.
Saya sangat risau dengan apa yang terjadi saat ini pada agama. Sudah waktunya, agama-agama yang ada, berupaya serius menghapuskan kesalahpahaman di antara mereka.
Saya meyakini bahwa Islam, dalam hal ini, mampu memberikan pemecahannya. Sekaligus, memenuhi segala kebutuhan kita guna memudahkan saya memilah masalah ini dalam beberapa bagian.
Misal, saya meyakini bahwa suatu agama yang universal yang dapat menciptakan perdamaian di muka bumi ini, haruslah dapat diterima secara universal pula. Dalam artian, universal dalam pandangan umat manusia. Tanpa memandang warna kulit, jender, kebangsaan dan letak geografisnya. Ke semua makhluk ini harus sama dalam pandangan Tuhan semesta alam. Konsep ini mutlak menolak monopoli kebenaran atas nama suatu agama.
Semua agama apapun ajarannya, dimanapun dan kapanpun, tentunya memiliki hak mengklaim kebenaran samawi. Harus diakui pula bahwa, walaupun ditemukan berbagai perbedaan di antara agama, namun agama itu memegang peran penting di suatu tempat dan di suatu zaman tertentu pula.
Inilah tepatnya pesan yang disampaikan kitab suci Islam, Alquran Karim.



UNIVERSALITAS KENABIAN

ALQURAN KARIM mengatakan:

(An-Naĥl, 16 : 17)

Yang kedua, Alquran menyatakan, “Wahai Rasul Allah, engkau bukannya satu-satunya Rasul Allah di muka bumi.”

{Al-Mu'min, 40 : 79}

Alquran mengingatkan Nabi Suci Islam:

{Fathir, 35 : 24-25}

Dengan memperhatikan hal di atas, jelaslah Islam tidak memonopoli kebenaran dan menafikan agama-agama lainnya. Bahkan, secara runtut menyatakan bahwa di setiap zaman dan di seluruh bagian dunia, Tuhan telah memperhatikan kebutuhan spiritual manusia dengan membangkitkan Rasul-Rasul yang menyampaikan khabar samawi di tengah-tengah mereka.



SEMUA NABI SAMA DERAJATNYA

SEKARANG MUNCUL PERTANYAAN, JIKA sedemikian rupa banyaknya Tuhan mengirimkan Rasul-Nya di tempat berbeda dan dalam kurun waktu yang berlainan, apakah mereka semua memiliki kewenangan samawi yang sama? Menurut Alquran karim semua Nabi berasal dari Tuhan. Karena itu, sepanjang mengenai kewenangan samawi, mereka mengemban kewenangan itu dengan daya dan kekuatan yang sama. Tak seorangpun yang berhak membeda-bedakan antara seorang Rasul dengan yang lain. Sepanjang menyangkut kebenaran pesan yang disampaikan adalah sama sehingga semua Rasul Tuhan sejajar dalam hal ini. Pandangan Alquran ini mampu merubah sikap permusuhan terhadap ajaran Nabi-Nabi atau orang suci agama lain menjadi sikap saling menghormati.

(Al-Baqarah, 2 : 286)

Hal ini diulang-ulang oleh Alquran dalam berbagai tempat:

(An-Nisâ', 4 : 151-153)

Mungkinkah tingkatan akan berbeda jika autentitas sama? Bila semua Rasul sejajar dalam otentifikasinya, apakah berarti mereka juga sejajar dalam tingkatannya?
Jawaban atas soal di atas harus mempertimbangkan berbagai aspek. Para Rasul berbeda dalam kepribadiannya, berbeda dalam cara penyampaiannya dan juga berbeda dalam tanggung jawabnya.
Sepanjang menyangkut keakraban mereka dengan Tuhannya, Nabi dan Rasul bisa saja berbeda. Penelitian sejarah membuktikan para Rasul Tuhan ini, demikianlah adanya. Pendapat ini didukung oleh Injil sendiri.
Alquran mengakui adanya perbedaan status di antara para Rasul. Namun, perbedaan ini dikemukakan dengan cara yang tidak mengusik batin manusia. Ini memang masalah sensitif. Tapi, kita tidak dapat menutup mata betapa penting perbedaan ini.
Para pengikut dari semua agama menyatakan bahwa pendiri agama mereka adalah tertinggi. Tidak ada yang dapat menyamai kedudukannya, menyangkut keagungan, harga diri, kerendahan hati, kehormatan dan dalam semua hal yang berkaitan dengan kenabiannya. Lalu, apakah Islam juga memaklumkan bahwa Muhammad saw. selaku wujud suci Islam sebagai teragung dari semua Rasul?
Benar, Islam menyatakan dengan tegas keagungan dan kelebihan Muhammad saw. dibanding semua Rasul yang pernah diturunkan di muka bumi ini. Hanya saja, ada perbedaan yang tegas antara Islam dengan agama lainnya dalam menyikapi maklumat tersebut.
Pertama yang harus disadari adalah bahwa tidak ada agama lain selain Islam yang mengakui Universalitas Kenabian.
Kaum Yahudi mengatakan bahwa Musa a.s. adalah Rasul yang paling akbar. Mereka tidak membandingkan Musa a.s. dengan Budha, Krishna [dan] Isa a.s., maupun Muhammad saw.. Karena, mereka menyangkal keabsahan para pendiri agama lainnya.
Dengan demikian, acuan mereka mengenai Nabi-Nabi adalah apa yang tersebut dalam Perjanjian Lama. Nabi apapun yang tidak termaktub di dalamnya, otomatis tidak diterima. Injil sama sekali dianggap tidak ada.
Karena itu, pandangan mereka terhadap supremasi Kenabian tidak sama dengan Islam. Hal yang sama juga ditemukan pada agama Budha, Zoroaster, Hindu dan lainnya.
Ada perbedaan lain yang perlu dicermati. Jika kita berbicara tentang Nabi-Nabi, agama lain selain Islam tidak memandang tokoh suci keagamaan mereka sebagai Nabi. Konsep Kenabian dalam agama Yahudi, Nasrani dan Islam, tidak sama dengan konsep kenabian agama lain. Mereka memandang pendiri agama mereka sebagai tokoh suci, dewa atau reinkarnasi Tuhan, atau bahkan Tuhan sendiri. Melihat sudut pandang ini, Isa dikecualikan jika dilihat dari sudut pandang Nasrani.
Islam memandang semua dewa-dewa, reinkarnasi, putra atau anak-anak Tuhan sebagai Nabi atau Rasul yang belakangan didewakan oleh pengikutnya. Menurut Islam, pendewaan tokoh-tokoh suci pendiri agama ini adalah proses yang berangsur-angsur. Bukan rekaan spontan pada masa Nabi yang bersangkutan. Mengenai ini akan dibahas lebih lanjut.
Kalau Islam menyatakan bahwa pendirinya adalah yang teragung dari semua Rasul, pandangan ini menyangkut semua tokoh suci dari semua agama dalam pengertian sebagaimana dipahami dalam konsep Kenabian dalam Islam maupun Yahudi. Perlu diingat bahwa, Islam menganggap semua pendiri agama adalah manusia biasa yang ditinggikan derajatnya oleh Tuhan ke taraf Kenabian.
Mengenai ini Alquran menyatakan:

(An-Nisâ', 4 : 42)

Setelah memahami dasar pemikiran ini, selanjutnya kita akan meneliti status Muhammad saw.. Menurut Alquran:


(Al-Aĥzâb, 33 : 41)

Kata “khâtam” ( خاتم ) dalam bahasa Arab, memiliki banyak konotasi. Namun, esensi dari gelar Khâtama'n-Nabiyyîn berarti: Yang terbaik, pamungkas, kewenangan tertinggi, seseorang yang mencakup semuanya dan pengakuan atas kebenaran lainnya (kamus Arab dari E.W. Lane, Aqrab al-Mawârid, Mufrâdât Imâm Râghib, Fat'ĥ dan Zurqanî).
Ayat lain yang mengemukakan ketinggian Rasulullah saw. adalah ungkapan bahwa ajaran beliau sudah sempurna lagi lengkap:


(Al-Mâ'idah, 5 : 4)

Kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat ini adalah bahwa, dari semua Rasul yang membawa agama dan ajaran yang paling sempurna bagi dunia, Muhammad saw. menduduki peringkat tertinggi dibanding Nabi-Nabi lainnya.
Bila pandangan ini dikembangkan terus, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa kitab yang diwahyukan kepada Muhammad saw. akan terjaga dan terlindungi kemurniannya. Dengan demikian, tidak saja ajaran yang ada dalam kitab itu sempurna namun juga sifat ajarannya yang abadi. Kesemua ayat kitab suci akan terpelihara dari perubahan. Sejarah dalam kurun waktu empat belas abad terakhir membuktikan kebenaran ini.

(Al-Ĥijr, 15 : 10)


(Al-Burûj, 85 : 22-23)

Dalam sudut pandang di atas, Muhammad saw. tidak hanya dinyatakan sebagai yang teragung. Tetapi juga, sebagai Nabi Pembawa Syariat Terakhir yang kewenangannya akan bertahan terus sampai akhir zaman.
Jika kita menyatakan demikian, lalu muncul pertanyaan: Apakah keunggulan Muhammad saw. tidak menimbulkan permusuhan atau kesalahpahaman para pengikut agama lainnya? Lalu, bagaimana kita menyelaraskan pernyataan tersebut dengan topik yang diungkapkan di muka bahwa Islam menjamin kedamaian di semua sisi kehidupan manusia?
Berdasarkan ini, saya mencoba menjelaskannya lebih rinci. Jawaban atas pernyataan ini, diharapkan dapat memuaskan keinginan tahu seseorang. Asalkan, ia tidak berprasangka buruk.
Sebagaimana telah diterangkan, pernyataan yang sama juga dilakukan oleh banyak pengikut agama lain. Namun, Islam lebih maju selangkah dengan menanamkan kerendahan hati dan harga diri yang tinggi kepada para pengikutnya. Sehingga, keyakinan mereka pada ketinggian Muhammad saw. tidak akan diutarakan dengan cara yang membuat marah orang lain.
Berikut ada dua hadis mengenai Rasulullah saw. yang berkenaan topik di atas:
Salah seorang sahabat Rasullulah saw. terlibat perdebatan yang hangat dengan salah seorang pengikut Nabi Yunus a.s.. Keduanya mengatakan bahwa Nabi merekalah yang paling agung dari Nabi lawan bicaranya.
Rupanya, sahabat tersebut telah melakukannya dengan menyakiti hati pengikut Nabi Yunus a.s. tersebut. Sehingga, ia membawa hal ini kepada Rasullulah saw.. Rasulullah saw. mengatakan pada para sahabat waktu itu:

“Jangan mengatakan aku lebih baik daripada Yunus bin Mattah (Bukharî).”

Beberapa penafsir menjadi heran dengan hadis di atas. Karena, dirasa bertentangan dengan pernyataan Alquran yang mengatakan bahwa Muhammad saw. lebih agung—tidak hanya dibandingkan dengan Nabi Yunus a.s., tetapi juga—dengan semua Nabi yang pernah ada. Hanya saja, mereka tidak menyadari bahwa maksud Rasulullah saw. bukanlah beliau lebih rendah atau tinggi derajatnya dari Nabi Yunus a.s.. Melainkan, beliau hanya menekankan agar umatnya jangan mengatakan beliau lebih agung dari Nabi lainnya dengan cara yang dapat menyakitkan hati pengikut agama atau umat lainnya.
Rasulullah saw. mengajarkan kesantunan kepada para Muslimin. Beliau memberi petunjuk kepada mereka untuk tidak membual, melarang menyakiti hati pengikut agama lain. Karena, sikap yang demikian akan merugikan ajaran Islam.
Sikap Rasulullah saw. diperjelas lagi oleh hadis lain yang beliau ucapkan akibat pertengkaran seorang Muslim dengan seorang Yahudi. Keduanya saling mengunggulkan pemimpin rohaninya masing-masing. Sama seperti kejadian pertama orang Yahudi itu mengajukan keberatannya kepada Rasulullah saw. Jawaban beliau waktu itu adalah:

Jangan menyatakan kelebihanku di atas Musa (Bukharî).

Singkat kata, hanya kepada Tuhan-lah yang boleh memutus dan menyatakan derajat kedekatan masing-masing Nabi-Nya. Mungkin saja, pada kurun waktu tertentu, mengenai agama tertentu pula, Tuhan menyatakan kesenangan-Nya pada Nabi zaman itu dalam bahasa yang tegas bahwa Nabi itulah yang terbaik. Jadi, tingkatan derajat tersebut relatif terhadap waktu dan tempat terjadinya.
Hal inilah yang mungkin mengakibatkan umat dari wujud suci tersebut meyakini bahwa yang bersangkutan adalah tokoh yang terbaik dan tersuci sepanjang waktu termasuk untuk waktu yang akan datang. Keyakinan seperti itu tidak perlu dianggap sebagai suatu yang menyakiti hati orang lain. Sikap berbudaya mengajarkan kita untuk tidak menjadikan hal itu sebagai bahan perselisihan di antara agama-agama. Itulah yang dimaksudkan Rasulullah saw. di atas. Kalau saja prinsip kerendahan hati dan kesantunan demikian dianut oleh semua agama, maka kecil kemungkinan munculnya kontroversi antar agama.



KESELAMATAN (SYAFAAT) BUKAN MONOPOLI SALAH SATU AGAMA

MASALAH INI MESKI TERASA SEDERHANA. Namun, memiliki potensi bahaya bagi perdamaian antar umat beragama. Bisa saja suatu agama menyatakan bahwa mereka yang ingin terbebas dari iblis dan memperoleh keselamatan hanya lewat agamanya.
Dengan mengimani agama itu, maka syafaat otomatis diperoleh dan mereka memperoleh kebebasan abadi dari dosa. Tetapi, akan menjadi lain jika agama yang sama juga mengatakan siapa yang tidak mengimaninya akan terkutuk selama-lamanya. Ini sama saja mengatakan bahwa apapun yang mereka lakukan untuk menyenangkan Tuhan, semurni apapun mereka menjalani kehidupan, mencintai Pencipta-Nya dan ciptaan-Nya, mereka dianggap terkutuk dan masuk neraka abadi. Kalau pandangan kaku, sempit dan tidak ada toleransi seperti ini disampaikan dalam bahasa provokatif oleh para fanatik, maka akan timbul kerusuhan yang maha dahsyat.
Umat manusia ini terdiri dari berbagai jenis dan ukuran. Sebagian dari mereka memang terpelajar, beradab dan halus. Namun mereka akan bereaksi keras terhadap serangan yang ditujukan pada agamanya, terlepas mereka terpelajar atau buta huruf.
Sayangnya justru sikap inilah yang dianut para pemuka agama dari hampir semua pelosok dunia terhadap mereka yang tidak sama agamanya dengan mereka. Bahkan agama Islam pun demikian sebagaimana dikemukakan para ulama di abad pertengahan. Satu-satunya pintu syafaat bagi anak Adam a.s. hanyalah Islam. Hidup dan mati di luar bayangan Islam tidak memperoleh keselamatan. Agama Nasrani juga sama pandanganya dan sepanjang pengetahuan saya agama-agama lain pun demikian.
Yakinlah bahwa pandangan sempit dan fanatik seperti ini tidak mengandung kebenaran. Alquran memberikan pandangan yang sama sekali berbeda menyangkut hal tersebut.
Menurut Alquran, syafaat bukanlah monopoli salah satu agama. Meski terdapat kebenaran-kebenaran baru yang diungkap atau muncul dengan adanya fajar cahaya baru mengenai ini; mereka menyadari, hidup dalam ketidaktahuan; atau, mereka yang mencoba hidup secara lurus—sekalipun, meski berpedoman pada kepercayaan salah—tidak dinaifkan dari syafaat Allah swt..
Berikut ayat suci yang menjelaskannya:

(Al-Ĥaj, 22 : 68)

Juga ayat berikut:

(Al-Mâ'idah, 5 : 70)

Patut pula diingat bahwa, meskipun perkataan ahli kitab yang biasa diterapkan di lingkungan Yahudi dan Nasrani, sebenarnya dapat diterapkan pada lingkungan yang lebih luas.
Dalam pengertian Tiada suatu kaum pun melainkan telah diutus kepada mereka seorang pemberi peringatan dan beberapa ayat lainnya, sebagaimana dikemukakan Alquran, kita akan sependapat bahwa yang dimaksud umat manusia bukanlah mereka yang mengikuti Taurat dan Injil saja sebagai umat yang mendapat kitab. Pasti, banyak kitab-kitab lain yang sudah pernah diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian, semua agama yang menyatakan bahwa ajaran mereka berdasar wahyu samawi harus juga dimasukkan juga sebagai ahli kitab.
Alquran pun menggunakan istilah sabi’ yang lebih memperjelas masalah ini dan menghapuskan keraguan yang ada. Kata sabi’ ini digunakan oleh orang Arab untuk menggambarkan umat lain yang non-Arab dan non-Yahudi yang memiliki kitab wahyu tersendiri. Dengan demikian, semua pengikut agama-agama yang didasari dari wahyu samawi memperoleh kepastian bahwa sepanjang mereka menjalankan agamanya sendiri dengan sepenuh hati. Mereka tidak perlu khawatir akan kemurkaan Tuhan dan mereka berhak atas syafaat-Nya.
Alquran menjanjikan bagi mereka yang beriman terlepas apakah mereka Yahudi, Nasrani ataupun Sabi bahwa:

(Al-Baqarah, 2 : 63)

dan:

(Al-Mâ'idah, 5 : 67)

Guna menghindari kemungkinan kaum Muslimin mencela tanpa pertimbangan terhadap umat non-Muslim, Alquran menyatakan:

(Âli ‘Imrân, 3 : 114-116)

Ada kesalahpahaman saat ini berkenaan akar perbedaan yang ada antara umat Yahudi dan Muslim.
Menurut Islam, mereka itu ditakdirkan masuk neraka. Pandangan seperti ini sangat keliru kalau kita merunut ayat berikut:

(Al-A’râf, 7 : 182)



KONSEP UNIVERSAL

SEJAK DAHULU BANYAK FILOSOF MEMIMPIKAN bersatunya umat manusia dalam satu ikatan besar di bawah satu bendera pula. Konsep persatuan umat seperti ini juga diimpikan oleh para politikus, ekonom dan juga sosiolog. Pemikiran seperti ini pun mendapat perhatian dalam lingkup keagamaan.
Walau Islam berpengharapan yang hampir sama mengenai hal ini termasuk berbagai agama lainnya (beberapa di antaranya bahkan memiliki program yang ambisius untuk menguasai dunia). Islam sama sekali berbeda dalam menyikapi keinginan tersebut. Namun bukan disini tempatnya membahas topik yang kontroversial ini.
Topik ini hanya akan mengundang perdebatan mengenai mana agama yang benar-benar ditugasi oleh Tuhan untuk membawa seluruh umat manusia dalam satu bendera samawi. Hanya saja kita perlu menyikapi implikasi pernyataan ini. Jika beberapa agama yang besar yang memiliki sejarah panjang, secara bersama-sama menyatakan dirinya sebagai agama universal, apakah tidak akan menimbulkan kerancuan dan kebimbangan dalam pikiran umat manusia seluruhnya? Apakah pernyataan bersama ini tidak akan menimbulkan persaingan dan perebutan dalam usaha mendominasi dunia yang pada akhirnya akan mengancam perdamaian itu sendiri?
Keinginan agama tersebut dalam skala global akan menimbulkan masalah yang pelik pula. Ditambah lagi jika keinginan seperti itu dikendalikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, maka risikonya akan berlipat ganda.
Berkaitan dengan agama Islam disayangkan telah beredar luas propaganda yang menyatakan bahwa Islam menggunakan kekerasan dalam menyebarkan kepercayaannya. Ucapan demikian tidak hanya diutarakan oleh para lawan Islam tetapi juga oleh para ulama yang berpikiran kolot.
Jelaslah jika satu agama memilih cara ofensif dalam penyebarannya, maka agama lain berhak mempertahankan diri dengan cara yang sama. Saya sendiri tidak setuju dan menentang anggapan bahwa Islam menyuruh menggunakan kekerasan dalam penyebarannya, mengenai ini akan saya bahas nanti.
Sekarang, mari kita teliti kebenaran pernyataan di atas. Mungkin suatu agama apakah ia Islam, Nasrani atau lainnya bisa bersifat universal dalam ajarannya dengan pengertian bahwa ajaran itu dapat diterapkan bagi semua bangsa di dunia—terlepas dari warna kulit, suku maupun bangsa. Bayangkan ada berapa banyak suku, bangsa, kebiasaan, perilaku sosial dan pelbagai kebudayaan yang ada di dunia ini.
Konsep universal suatu agama tidak hanya harus dapat mengantisipasi batas geografis negara. Namun, juga harus dapat melampaui rentang waktu yang panjang. Jadi, pertanyaannya kini adalah, mungkinkah suatu agama bersifat abadi? Yaitu, mungkinkah ajaran suatu agama diterapkan secara pas pada umat seribu tahun yang lalu juga cocok pada umat saat ini? Meskipun suatu agama diterima oleh manusia secara global, dapatkah ia memenuhi kebutuhan generasi mendatang?
Tentunya, menjadi tugas bagi pengikut masing-masing agama untuk mencari pemecahan masalah tersebut. Adapun yang berkaitan dengan Islam sendiri, saya akan mencoba membahas bagaimana Islam mengatasinya.



ISLAM ADALAH AGAMA YANG UNIVERSAL

BERULANGKALI ALQURAN MENJELASKAN bahwa Islam adalah agama yang ajarannya terkait dengan fitrat manusia. Islam menekankan bahwa suatu agama yang berakar pada fitrat manusia tidak akan berubah. Dengan demikian, agama yang benar-benar berakar pada fitrat manusia tidak akan mengalami perubahan. Asal saja, agama itu tidak terlalu mencampuri situasi-situasi transien manusia dalam kurun waktu manapun pada sejarah kehidupannya. Bila agama tersebut tetap bersiteguh pada prinsip-prinsip yang bersumber pada fitrat manusia, maka agama itu memiliki potensi menjadi agama universal.
Islam malah selangkah maju dalam hal ini. Dengan hati yang lapang, Islam menyatakan bahwa semua agama di dunia sedikit banyak juga sama memiliki sifat universal tersebut. Dengan kata lain, dalam setiap agama samawi dapat ditemukan inti ajaran yang terkait dengan fitrat manusia dan kebenaran abadi. Inti ajaran agama itu tidak berubah kecuali jika pengikutnya mencemari ajaran itu di kemudian hari.
Ayat berikut menjelaskan hal di atas:

(Al-Bayyinah, 98 : 6)


(Ar-Rûm, 30 : 31)

Berdasarkan pandangan di atas, muncul pertanyaan: Lalu, apa gunanya menurunkan agama demi agama yang ajarannya sama? Selanjutnya, mungkin orang akan bertanya pula: Mengapa Islam mengaku bahwa ia secara relatif lebih universal dan sempurna dibanding semua ajaran agama sebelumnya?
1). Untuk menjawab pertanyaan pertama Alquran menjelaskan bahwa berdasar fakta historis, semua kitab dan Naskah suci yang turun sebelum Islam telah mengalami perubahan. Ajaran kitab itu berangsur-angsur mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan memasukkan unsur baru secara interpolasi. Sehingga, kemurniannya diragukan.
Dengan demikian menjadi kewajiban para pengikut agama-agama tersebut membuktikan kesahihan kitab-kitab mereka. Alquran sendiri memiliki keunikan dibanding kitab-kitab dan naskah suci lainnya. Bahkan, musuh-musuh Islam yang paling gigih dalam menyangkal Alquran sebagai kitab yang diwahyukan mengakui bahwa Alquran tidak mengalami perubahan sejak diturunkan kepada Muhammad saw..
Misalnya, kutipan berikut:
There is otherwise every security, internal and external that we possess the text which, Mohamet himself gave forth and used (p. xxvii, Life of Mohamet, Sir William Muir, London 1878).
We may upon the strongest assumption, affirm that every verse in the Qur'an is genuine and unaltered composition of Mohamet himself (p. xxviii, Life of Mohamet, Sir William Muir, London 1878).
Slight clerical error there may have been, but the Qur'an of Othman contains none but genuine elements, thought sometimes in very strange order. The efforts of European scholars to prove the existence of later interpolations in the Qur'an have failed (Prof. Noldeke in Encyclopedia Britannica 9th Edition, title “Qur'an”)

Lain lagi kalau kita bicara mengenai kontroversi tentang kitab mana-yang-dikarang-oleh-siapa. Sebuah kitab dari kalangan ahli kitab yang diragukan kesahihannya berasal dari Tuhan, nyatanya, memang berasal dari wahyu Tuhan yang sama. Hanya saja di kemudian hari, terjadi kontradiksi akibat interpolasi, campur tangan manusia. Jadi jelas dalam hal ini, sikap Alquran adalah yang paling realistis dan kondusif dalam mewujudkan perdamaian antar umat beragama.

2). Adapun mengenai pertanyaan kedua, Alquran mengingatkan kita akan adanya proses evolusi di seluruh sisi masyarakat manusia. Agama baru tidak hanya dibutuhkan sebagai restorasi agama lama, melainkan juga mutlak diperlukan oleh agama lama dalam mengadaptasi kemajuan sejalan dengan perkembangan evolusi masyarakat.
3). Tidak cukup itu saja ada faktor lain yang ikut berproses dalam perubahan masyarakat adalah kurun waktu dimana ajaran itu diturunkan guna memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu pula dan dalam periode yang terbatas. Dengan kata lain, agama tidak saja terdiri dari ajaran pokok berupa prinsip-prinsip yang baku melainkan pula diikuti dengan ajaran-ajaran tambahan.
4). Yang terakhir yang patut dipahami adalah, manusia tidak memperoleh pelatihan dan pendidikan dalam ajaran samawi dalam satu kali saja. Manusia dibawa secara bertahap hingga ke tingkat kedewasaan mental dimana ia telah cukup matang dan siap dalam menerima keseluruhan prinsip-prinsip dasar yang diperlukan sebagai bimbingan baginya. Menurut pandangan Alquran, ajaran kedua yang terkait erat berdasarkan pada prinsip yang fundamendal dan baku, juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam sebagai agama yang sempurna (An-Nisâ', 4 : 14-16).

Hal di atas merupakan sebuah konsep universal dari Islam—terpulang kepada manusia, apakah mereka mau meneliti dan menilai kelebihan agama yang dibandingkannya.
Sekarang kita kembali kepada pertanyaan, mengenai agama-agama yang menyatakan “dirinyalah yang unggul dibanding yang lainnya.”
Islam menyatakan demikian. Melalui nubuatan, Alquran menyatakan diri pada suatu waktu akan menjadi agama yang terunggul bagi umat manusia.

(Ash-Shaf, 61 : 10)

Walau Islam menghendaki berkembangnya perdamaian dan kerukunan antar umat beragama, namun Islam tidak melarang penyebaran ajaran dan ideologinya secara kompetitif dengan tujuan memperoleh keunggulan dibanding agama lainnya.
Mengenai Rasulullah saw., Alquran menyatakan:

(Al-A’râf, 7 : 159)

Namun, untuk menghindari perselisihan dan kesalahpahaman, Islam memberikan seperangkat petunjuk yang jelas guna memastikan kebebasan berkompetisi secara adil diantara agama-agama dalam hal menyatakan pendapat dan termasuk berbeda pendapat.



SARANA PERJUANGAN BUKAN PAKSAAN

BAGAIMANA MUNGKIN SUATU AGAMA YANG mengaku universal tidak menimbulkan perselisihan? Suatu agama yang memiliki ajaran universal dan berambisi menyatukan seluruh umat manusia di bawah satu bendera, tentunya tidak akan mempertimbangkan penggunaan kekerasan dalam menyebarkan pesannya.
Pedang bisa memenangkan negeri namun bukan hati. Paksaan dapat menundukkan kepala namun bukan isinya. Islam melarang penggunaan paksaan sebagai sarana penyebarannya.

(Al-Baqarah, 2 : 257)

Dengan demikian, tidak diperlukan paksaan dalam bentuk apapun. Biarlah manusia menentukan pilihannya mana yang benar. Tuhan dengan tegas mengingatkan Rasulullah saw., jangan sekali-kali mempertimbangkan penggunaan kekerasan guna mengubah masyarakat. Status beliau selaku pembaharu dijelaskan ayat berikut:

(Al-Ghâsyiyah, 88 : 22-23)

Begitu pula ayat berikut:

(Asy-Syûrâ, 42 : 49)

Meski dalam prosesnya penyebaran agama baru itu mungkin menimbulkan friksi dan memunculkan reaksi keras, Islam meminta para pengikutnya bersabar, teguh hati dan sedapat mungkin menghindari konflik. Itulah sebabnya, dimanapun seorang Muslim menyiarkan ajarannya kepada orang di sekelilingnya, ada seperangkat aturan yang patut dipatuhinya. Berikut beberapa di antaranya:

(An-Naĥl, 16 : 126)


(Al-Mu'minûn, 23 : 97)

Di sini perkataan aĥsan bermakna ‘sesuatu yang terbaik, paling menarik dan sesuatu yang indah.’
Menguraikan aturan perilaku bagi seorang Muslim dalam menyampaikan amanat agama, ayat berikut menggambarkannya:

(Al-‘Ashr, 103 : 2-4)


(Al-Balad, 90 : 18)



YANG BERTAHAN ADALAH YANG UNGGUL

MENURUT ALQURAN, KEBERHASILAN DAN kemenangan akhir suatu ajaran agama bergantung sepenuhnya kepada keampuhan argumentasinya dan bukan pada kekuatan material yang dikuasainya. Alquran dalam hal ini sangat jelas dan tegas. Dikemukakannya, meskipun digunakan kekuatan yang amat kuat dalam usaha menghapuskan kebenaran, upaya sedemikian itu tidak akan berhasil. Secara nalar, kekuatan material dapat dipastikan akan memenangkan apa saja. Alquran memberi contoh:

(Al-Baqarah, 2 : 250)

Konsep mengenai keunggulan Islam harus dipahami dalam kaitannya dengan perintah samawi.

(Al-Mujâdilah, 58 : 23)

Ketika perang Badar dimulai, pasukan penyembah berhala yang besar dalam jumlah maupun peralatan dihadapkan pada sejumlah kecil prajurit Muslim dan sedikit sarana persenjataan. Mereka bertempur demi mempertahankan keimanan dan bukan keselamatan diri mereka sendiri.

(Al-Anfâl, 8 : 43)

Inilah prinsip keabadian yang amat berperan dalam evolusi kemanusiaan. Esensi dari amanah itu adalah keberhasilan dari mereka yang terbaik tersebut (survival of the fittest). Hal ini jugalah yang berlaku dalam evolusi kehidupan.



KEBEBASAN BERPENDAPAT

KEBEBASAN BERPENDAPAT MERUPAKAN HAL yang utama bagi penyebaran agama. Hal ini juga merupakan hal yang utama dan tak terpisahkan dari harkat manusia. Kita tidak perlu mengacuhkan agama yang memperjuangkan pengembangan dan pemeliharaan harga diri manusia.
Melihat perkembangan Islam sejauh ini, tidak mungkin bagi Islam mengingkari kebebasan berpendapat. Sebaliknya, Islam menunjukkan dengan jelas mengenai hal ini jika dibanding agama atau ajaran lainnya.

(Al-Baqarah, 2 : 112)


(Al-Anbiyâ', 21 : 25)

dan:

(Al-Qashash, 28 : 76)

serta:

(Ash-Shâffât, 37 : 157-158)



KEMERDEKAAN DAN EMANSIPASI

KEMERDEKAAN DAN EMANSIPASI MERUPAKAN slogan yang selalu mempengaruhi dunia saat ini. Tidak diragukan lagi bahwa manusia semakin menyadari nilai kemerdekaan. Terasa betul kebutuhan akan kemerdekaan dan emansipasi ini. Namun, harus dipertanyakan: Terhadap apa? Apakah emansipasi dari dari kungkungan penjajahan bangsa lain, kediktatoran, fasisme, teokrasi, atau rezim totaliter lainnya? Begitu pula, apakah kemerdekaan dan emansipasi dari demokrasi yang opresi, birokrasi yang korup, ekploitasi negeri miskin oleh negeri kaya dan maju, kebodohan, tahayul atau pemujaan benda?
Untuk itu, Islam mendukung kemerdekaan dari semua keadaan buruk itu. Akan tetapi, tidak dengan cara yang dapat menimbulkan kekacauan—saling dendam; yang pada akhirnya, menimbulkan penderitaan panjang bagi mereka yang tidak berdosa.

(Al-Baqarah, 2 :206)

Sebagaimana agama lainnya, Islam menekankan peran keseimbangan kemerdekaan dalam memberi dan menerima. Konsep kemerdekaan absolut tidak akan memberikan makna penting dan tidak nyata pula.
Terkadang, konsep kemerdekaan disalahartikan—ataupun diterapkan—sehingga keindahan prinsip itu, yakni kebebasan berpendapat, beralih menjadi kebebasan mencemooh, menghujat dan menghina orang lain.


PENGHUJATAN

I
SLAM, DALAM KAITAN INI, MEMBERIKAN kemerdekaan berpendapat berdasarkan pertimbangan moral dan etika. Tentu saja hujatan tidak dapat diterima namun dalam Islam tidak ada hukuman bersifat fisik bagi penghujat. Ini sesuatu yang berbeda dengan pandangan umum biasa.
Saya tidak berhasil menemukan sepenggal ayat pun dalam Alquran yang menyatakan bahwa hujatan adalah kejahatan yang dapat dihukum oleh manusia walau saya telah mempelajari Alquran secara detail, berkosentrasi penuh dan berulang-ulang.
Meskipun Alquran sangat tidak menyukai perilaku yang tidak sopan dan berbicara yang tidak pantas atau melukai perasaan manusia yang teramat peka baik dengan atau tanpa logika, Islam tidak menyuruh penghukuman terhadap penghujat di dunia ini dan tidak memberikan kewenangan kepada siapapun untuk melakukannya.
Hujatan dikemukakan sedikitnya lima kali dalam Alquran

(An-Nisâ', 4 : 141)


(Al-An’âm, 6 : 69)

1). Tidakkah hal ini merupakan suatu sikap bertindak yang santun terhadap keburukan ataupun hujatan? Islam tidak hanya melarang penghukuman bagi penghujat. Malah, menganjurkan kepada mereka yang tidak suka akan hujatan itu agar meninggalkan perkumpulan yang mencemoohkan nilai-nilai agama itu. Tidak ada tindakan yang lebih keras dari yang disarankan Alquran ini. Bahkan, tidak ada usaha mengucilkan mereka yang menghujat itu. Alquran menegaskan bahwa boikot yang dilakukan hanya sebatas saat mereka menghujat saja.
2). Hujatan atau cemoohan dikemukakan dalam Surah Al-An’âm. Tempat masalah penghujatan itu dibahas, tidak saja berkaitan dengan Tuhan. Tetapi juga, mengenai berhala dan objek imajiner lainnya selain Tuhan. Betapa indahnya ajaran Alquran mengenai ini, seperti ayat berikut:

(Al-An’âm, 6 : 109)

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang Muslim. Mereka dengan tegas dilarang menghujat berhala dan dewa-dewa sembahan umat lainnya. Ditegaskan bahwa jika umat Muslim melakukannya, maka hal itu akan berakibat tindakan balasan dalam bentuk hujatan terhadap Tuhan. Dalam diskusi hipotetik di atas, tidak ada hukuman fisik bagi penghujat.
Intisari ajaran itu penuh dengan kebijakan mendalam. Bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap kepekaan agama lain, maka mereka berhak membalas balik dengan tidak melihat kepercayaan atau benar salahnya mereka. Tidak pula kita diizinkan membalas serangan itu dengan cara yang lain. Kesimpulannya adalah, serangan spiritual hanya dapat dibalas secara spiritual pula, seperti halnya serangan fisik hanya boleh dibalas dengan serangan fisik tetapi tanpa melampaui batas.

3). Hujatan yang berkaitan dengan Isa a.s. dan Siti Maryam dikemukakan ayat berikut:

(An-Nisâ', 4 : 157)

Ayat ini menjelaskan sikap historis umat Yahudi atas keberadaan Isa a.s.. Menurut ayat ini, umat Yahudi melakukan kesalahan besar dengan menghujat Maryam sebagai tidak suci dan menganggap Isa a.s. sebagai anak haram.
Perkataan Arab Buthanan ‘Azhima ( بطانا عظيما ) yang diterjemahkan sebagai “tuduhan palsu yang sangat besar,” menggambarkan celaan yang amat keras bagi umat Yahudi. Namun ajaibnya, tidak ada saran untuk memberikan hukuman fisik.

4). Menarik jika kita perhatikan bahwa, meskipun umat Yahudi dicela oleh Alquran karena penghujatan mereka atas Maryam dan Isa a.s., sebaliknya, umat Nasrani pun dicela karena menghujat Tuhan dengan mengatakan Tuhan memiliki anak melalui seorang perempuan. Dalam ayat berikut digambarkan bahwa hujatan itu sangat luar biasa dan lagi-lagi tidak ada hukuman fisik yang dianjurkan, begitu pula pendelegasian wewenang penghukuman kepada manusia.

(Al-Kahfi, 18 : 6)

5). Dan yang terakhir adalah apa yang saya anggap area yang paling sensitif. Umat Islam paling peka pada hujatan yang ditujukan pada Rasulullah saw. dibandingkan dengan hujatan kepada lainnya bahkan hujatan terhadap Tuhan sendiri.

Pernah ada kejadian bahwa hujatan itu sedemikian seriusnya sehingga Alquran sendiri mencatatnya yakni berkenaan dengan hujatan Abdullah bin Ubay yang menyatakan di hadapan orang banyak bahwa begitu mereka tiba kembali di Madinah, isinya demikian: Wujud yang paling mulia di kota ini akan mengusir wujud yang paling hina.

(Al-Munâfiqûn, 63 : 9)

Semua orang waktu itu memahami pesan tersembunyi dari cemoohan tersebut yang maksudnya: Abdullah bin Ubay akan mengusir Muhammad saw.. Darah para Sahabat Nabi waktu itu demikian mendidihnya sehingga jika diizinkan pastilah mereka akan merajam Abdullah bin Ubay dengan pedang.
Menurut catatan sejarah, saat itu dikemukakan bahwa amarah orang sedemikian tingginya. Bahkan, putra Abdullah bin Ubay sendiri menghadap Rasulullah saw. meminta izin untuk membunuh ayahnya dengan tangannya sendiri. Putranya ini mengemukakan alasan bahwa jika orang lain yang membunuh ayahnya, karena ketidaktahuannya, mungkin akan membalas dendam kepada pelakunya. Sepanjang sejarah, bangsa Arab terbiasa melakukan balas dendam atas ejekan yang dilontarkan kepada mereka atau keluarganya tanpa melihat besar kecilnya cemoohan itu. Tradisi itulah yang dikemukakan putranya itu. Namun, Rasulullah saw. tidak mengabulkan permintaannya dan tidak mengizinkan kepada yang lain untuk menghukum si munafik itu (As-Sîratu'n-Nabawiyyah, Ibnu Ishaq bin Hasyim, Bab III, halaman 155).
Sekembalinya Abdullah bin Ubay ke Madinah, ia hidup damai sampai akhir hayatnya. Ketika ia meninggal secara wajar, betapa terkejutnya orang menyaksikan Rasulullah saw. memberi baju beliau sendiri kepada putra Abdullah itu untuk digunakan sebagai kain kafan. Hal ini seolah-olah memberikan semacam pemberkatan.
Para sahabat ingin sekali menukar baju itu dari putra Abdullah dengan kekayaan yang mereka miliki. Lebih mengejutkan lagi adalah tatkala Rasulullah saw. mengimami Salat Jenazah Abdullah bin Ubay.
Tindakan Rasulullah saw. tersebut sangat mengalutkan pikiran para sahabat waktu itu. Hingga pada zaman Khalifah Umar r.a., kegusaran mereka atas tindakan itu mereka jelaskan.
Diriwayatkan, ketika Rasulullah saw. sedang berjalan ke pemakaman, Umar r.a. berdiri maju dan membacakan ayat Alquran berkenaan orang munafik yang jika di doakan tujuh puluh kali pun, akan tidak diampuni oleh Tuhan. Angka tujuh puluh dalam bahasa Arab maksudnya adalah suatu jumlah yang sangat besar.
Ketika itu, Rasulullah saw. cuma tersenyum dan berkata, “Menepilah Umar, aku lebih mengetahui. Kalau Tuhan tidak mau mengampuninya, aku akan mintakan pengampunan lebih dari tujuh puluh kali.” (Bukhari II, “Kitâb Al-Janâ'iz,” halaman 121, ibid. “Bâb-al-Kafan,” halaman 96-97).
Apa yang dilakukan beliau tersebut merupakan teguran bagi mereka yang berteriak menuntut kematian bagi si penghujat yang telah berani mencemoohkan Rasulullah saw.. Agama dengan contoh seperti ini, tentunya layak disebut sebagai agama yang pantas menciptakan perdamaian antar umat beragama.



KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA

DALAM MASALAH INI ISLAM SELANGKAH LEBIH maju dengan menyatakan:

(Al-Mâ'idah, 5 : 3)

Alquran tidak mengizinkan umat Islam memperlakukan orang lain dengan cara yang tidak adil, termasuk pada musuh yang telah melakukan agresi pada mereka karena permusuhan antar agama.
Sekarang, kita beralih pada kategori mereka yang kafir namun mereka tidak berperan aktif dalam memusuhi umat Muslim.
Mengenai mereka ini, umat Islam diperintahkan oleh Alquran untuk:

(Al-Mumtaĥanah, 60 : 8-9)

Umat Muslim diajarkan untuk mengundang kalangan ahli kitab dan bekerjasama dalam hal penyebaran Keesaan Tuhan yang merupakan keyakinan bersama mereka. Inti dari ajaran ini adalah penekanan kebersamaan dan pengembangan program bagi kemaslahatan umat manusia. Dan bukan untuk mempertegas perbedaan yang mereka miliki yang hanya mengundang perselisihan.

(Âli ‘Imrân, 3 : 65)



KESIMPULAN

S
EBELUM KITA MENELITI PERAN APA YANG DAPAT dimainkan oleh agama-agama terkemuka dalam membawakan perdamaian bagi manusia, kita perlu memeriksa peran agama itu dalam menciptakan perdamaian di antara pengikutnya. Jika kita melihat perkembangan pengaruh materialisme dan kecenderungan beralihnya masyarakat secara keseluruhan dari kesenangan spiritual ke kesenangan lahiriah, sepertinya menyatakan bahwa agama sudah waktunya disingkirkan dan diabaikan sebagai faktor yang tidak lagi penting.
Saya pribadi tidak sependapat dengan kesimpulan demikian. Karena, bila kita dapat mengubah sikap kita ke dalam maupun keluar tentang anggapan bahwa agama memainkan peran negatif dan tidak memiliki peran positif apapun dalam mencapai perdamaian dunia, maka dengan sendirinya agama mampu menjadi faktor utama dalam menghidupkan kesantunan dan mengembangkan prinsip tidak saling mengganggu. Dalam kenyataannya, agama saat ini secara menyedihkan berperan sangat kecil dalam upaya perdamaian. Namun, dalam upaya menciptakan kekacauan, pertumpahan darah dan penderitaan, ternyata agama memiliki kekuatan yang amat besar. Tidak mungkin perdamaian dunia dapat tercipta tanpa memperhatikan masalah pokok ini dan memperbaiki kekurangannya.
Secara internal, sentimen keagamaan mudah sekali dibakar guna menyebarkan kepedihan dan penderitaan di antara sebagian penganutnya yang kebetulan termasuk sekte minoritas dalam agama tersebut.
Sepanjang sejarah, Islam dipenuhi dengan episode yang menyedihkan ini. Islam selaku agama perdamaian dipakai oleh pengikutnya sebagai sarana penghancuran pengikut yang tidak bersalah. Mereka yang dihancurkan sebenarnya meyakini Islam, namun tidak menurut pandangan mereka yang memaksakan kehendaknya. Perang jihad yang dilakukan dalam perang salib, tidak ada artinya dibandingkan jihad yang dikobarkan untuk saling memerangi di antara umat Muslim selama empat belas abad terakhir ini.
Bab mengenai ini belum ditutup, apa yang terjadi saat ini di Pakistan antara segolongan besar umat Muslim terhadap Ahmadiyah dan juga kepada Syiah cukup menyadarkan kita. Bahwasanya, masalah yang seharusnya sudah di kubur di masa lalu, ternyata masih hidup terus hingga sekarang.
Dalam kalangan agama Nasrani, penyiksaan antara umat Nasrani terhadap umat Nasrani lainnya sepertinya tertimbun dalam remah-remah sejarah Amerika dan Eropa. Namun, jika kita pelajari lebih lanjut akan pergolakan politik keagamaan di Irlandia, perseteruan ini disibukkan lagi dengan perseteruan dengan latar belakang dendam lainnya.
Berkaitan dengan hubungan antar agama, kerusuhan antara Muslim dan Hindu di India, Muslim dan Nasrani di Nigeria, permusuhan Yahudi dan Muslim di Timur tengah, ditambah lagi dengan adanya pertarungan politik dan ekonomi antara Yahudi dan Nasrani—kesemua ini, menggambarkan betapa bahaya laten yang nampak tenang seperti gunung api di dalam dunia keagamaan.
Dengan demikian patut ditekankan reformasi sikap untuk menghadapi kenyataan di atas.
Rekapitulasi pendekatan Islam berkenaan mengatasi masalah-masalah tadi sebagai berikut:
1). Semua agama di dunia ini, terlepas apakah mereka mengaku Islam atau tidak, harus mematuhi prinsip dasar Islam yang tidak mengizinkan penggunaan paksaan dalam segala bentuk sebagai instrumen penyelesaian perselisihan antar sekte dan agama. Kebebasan memilih agama, kemerdekaan dan pengamalan termasuk juga pengembangan dan pelaksanaannya harus dilindungi secara mutlak dan ini mencakup juga kebebasan untuk tidak mempercayai lagi atau beralih kepercayaan.
2). Walau agama lainnya tidak sepaham dengan konsep Islam mengenai kebenaran universal, seperti mereka memiliki sudut pandang Yahudi, Nasrani, Budha, Khonghucu, Hindu, Zoroaster dan lain-lain, menganggap agama lainnya sebagai palsu dan bukan datang dari Tuhan, semua agama seharusnya mematuhi prinsip yang dianut Islam dalam menghormati semua pendiri dan wujud suci agama masing-masing. Lebih jelasnya, mereka tidak harus mengkompromikan prinsip mereka sendiri. Masalahnya ialah, yang bersangkutan dengan hak azasinya, memiliki kepekaan dan sentimen keagamaan yang tidak dapat diganggu atau dirusak.
3). Perlu kiranya diingat bahwa prinsip di atas tidak boleh dipaksakan pelaksanaannya berdasar hukum nasional maupun internasional. Hujatan tidak harus dibalas dengan hukuman buatan manusia. Melainkan, cukup dikemukakan dan dicegah dengan membangun opini publik bahwa tindakan seperti itu tidak sopan dan menjijikkan.
4). Konperensi antar agama menurut pola sebagaimana diperkenalkan oleh Jemaat Ahmadiyah di penghujung abad ini perlu digalakkan dan dikembangkan. Inti dari konferensi demikian dapat disimpulkan berdasar karakteristik berikut:
• Semua pembicara diberikan keleluasaan penuh guna mengemukakan semua sisi positif dan menarik dari kepercayaan mereka masing-masing tanpa menjelekkan agama lainnya.
• Para pembicara dari salah satu agama patut kiranya mencoba mengurai sisi baik dari agama lainnya, mengutarakan dan menjelaskan mengapa ia terkesan karenanya.
• Pembicara masing-masing agama sewajarnya menghormati keagungan dan kebaikan sifat pendiri agama lainnya. Sebagai misal: Seorang pembicara Yahudi bisa berbicara sifat-sifat yang baik dari Muhammad saw. yang dapat dipahami oleh seluruh manusia tanpa mengkompromikan kepercayaan agamanya sendiri. Begitu juga seorang pembicara Muslim dapat berbicara baik tentang Krishna, pembicara Hindu mengemukakan tentang Yesus, pembicara Budha tentang Musa a.s. dan lain-lain. Pada tahun 1930-an, konferensi demikian diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiyah untuk memperbaiki hubungan Hindu dan Muslim di India.
• Tanpa berprasangka pada apa yang dikemukakan di atas, kesucian dialog keagamaan di antara berbagai sekte dan kepercayaan harus terus dijaga. Pertukaran pendapat antar agama jangan sampai dikutuk. Karena, ini merupakan sabotase pada kedamaian umat beragama. Teknik dialog yang kelirulah yang disalahkan, bukan dialognya. Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yang mendasar, namun kebebasan bukanlah harus dikompromikan.
• Guna mempersempit jurang perbedaan antar agama, perlu diberi batasan jelas atas perdebatan dengan penganut agama lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti sebuah prinsip bahwa semuanya harus dikembalikan ke asalnya karena asalnya pasti memiliki sumber yang sama. Alquran mengatakan bahwa semua agama mempunyai sumber yang sama. Pernyataan ini merupakan kebijakan yang patut diteliti dan dieksplorasi oleh semua agama demi kemaslahatan mereka sendiri maupun umat manusia.

5). Patut dikembangkan kerjasama di bidang-bidang yang bermanfaat bagi kemanusiaan, seperti proyek-proyek kemanusiaan, filantropis dikerjakan bersama oleh penganut Islam, Hindu, Nasrani, Yahudi dan lain-lain.

HANYA DENGAN CARA YANG DEMIKIAN, kita bisa mengharapkan terciptanya impian utopis para Pemikir dan Wali-wali di masa lalu. Yakni, mempersatukan seluruh manusia dalam semua aktivitas kemanusiaan di bawah satu bendera, baik di bidang keagamaan, politik atau apapun yang memiliki arti.[]

No comments: