Monday, October 10, 2005

[Kolom yang memikat -- Rahman Tolleng] Reshuffle, Presidensialisme, dan Kepemimpinan

Salam,
Ini adalah contoh kolom lain yang memikat, selain
kolom Bung Nonon Anwar Makarim kemaren. Analisanya
tajam, sarat "wisdom", dan dingin dalam melihat
masalah.

Analisa yang baik dan koheren, serta bahasa yang baik
dan penuh dengan "roh" -- itulah kualitas-kualitas
yang jarang kita lihat pada kolom-kolom penulis
Indonesia saat ini.

Ulil

==============

Reshuffle, Presidensialisme, dan Kepemimpinan

A. Rahman Tolleng

*Pemerhati politik

Presiden SBY kini menghadapi tuntutan untuk me-rombak
kabinetnya. Tuntutan itu dipicu oleh kekhawa-tiran
yang timbul sehubungan dengan perkembang-an ekonomi
yang memburuk: harga minyak mentah di pasar
internasional yang membubung tinggi dan se-iring
de-ngan itu nilai kurs rupiah melemah. Bagaimanakah
menyikapi isu reshuffle tersebut dipandang dari segi
kepemimpinan yang presidensial?

Jawabannya tidaklah mudah. Apalagi karena tuntutan itu
sendiri mempunyai alasan dan motif yang beragam.
Sebagian tuntutan datang dari mereka yang memang sejak
awal menilai kabinet SBY mengandung cacat. Sebagian
lagi, kendati jadi mitra koalisi, tidak dapat menerima
solusi kenaik-an harga BBM yang ditempuh pemerintah.
Ada pula yang men-dukung kebijakan itu tetapi kecewa
terhadap kinerja pe-merintah secara keseluruhan. Ada
pula yang sekadar di-dorong oleh egoisme golongan atau
pun ambisi pribadi.

Di dalam suatu bentuk pemerintahan parlementer,
tuntutan perombakan, apalagi kalau datang dari mitra
koalisi, bisa menjadi persoalan serius. Pemerintahan
parlementer, yang berupa pemerintahan kabinet,
bersifat kolektif. Karena itu, sang perdana menteri
tidak dapat mengesampingkan tuntut-an itu. Malah jika
salah-salah menanganinya bisa ber-akibat fatal: mosi
tidak percaya bisa diajukan parlemen un-tuk-
menjatuhkan kabinet. Erat pertaliannya dengan sifat
kolektif itu, parlementarisme menganut prinsip
tanggung jawab menteri. Menteri-menteri hadir di
parlemen atas na-manya sendiri dan perdana menteri
secara umum tidak dapat melindungi mereka.

Lain halnya dengan suatu bentuk pemerintahan
presidensial. Di sini presiden adalah eksekutif
tunggal. Hakikat eksekutif presidensial yang demikian
menyebabkan pemakaian istilah kabinet dalam sistem ini
tidaklah tepat. Presiden, selama masa jabatannya,
dapat dengan leluasa mengangkat dan memberhentikan
menteri-menterinya. Karena ini pula pre-sidensialisme
tidak mengenal prinsip tanggung jawab men-teri.
Kehadiran para menteri dalam rapat kerja dengan
wa-kil-wakil rakyat adalah atas nama presiden dan
secara umum presiden dapat lebih banyak melindungi
para menterinya dari kritik.

Selain berupa eksekutif tunggal, presiden juga
mem-punyai kekuasaan yang mandiri karena menerima
mandat lang-sung dari rakyat. Kekuasaan presiden itu
secara karikatural dilukiskan dalam suatu cerita
tentang rapat Abraham Lin-coln dengan kabinetnya.
Dalam rapat itu, Lincoln melem-parkan suatu usul dan
kemudian memungut suara. Ia lalu mengumumkan: Noes 7,
Ayes 1. The Ayes yang menang. Moral cerita ini
berujung pada suatu kesimpulan: jika Anda kecewa
terhadap kinerja pemerintah, maka kecewalah terhadap
presiden.

Itu logika sistemiknya. Logika itu yang bekerja dalam
pre-sidensialisme Amerika Serikat yang sering, kalau
tidak selalu, dijadikan rujukan oleh penggemar
presidensialis-me di Indonesia. Tetapi dalam praktek,
dan dalam konteks berbeda, pola-pola implisit ini
dapat berubah. Dalam konteks multipartai, Scott
Mainwaring menjatuhkan diktumnya yang terkenal:
presidensialisme tidak kompatibel de-ngan
multi-partisme. Dalam lingkungan politik seperti ini,
seorang presiden ada kemungkinan terpaksa memilih
salah satu di antara dua: mempertahankan
prinsip-prinsip presi-den-sialisme dengan gaya
otoriter atau melakukan penyesuai-an dengan
menjalankan suatu nonpresidential style of politics.

Presiden SBY jelas memilih jalan kedua. Akibatnya,
kabinetnya sejak awal menimbulkan kekecewaan di
kalangan me-reka yang mendambakan suatu kabinet yang
profesional. Suatu waktu dalam suatu perbincangan,
saya mengungkap-kan diktum Mainwaring tentang
presidensialisme tadi. -Se-orang rekan menyahut dan
dengan berapi-api mengemu-ka-kan kekesalannya terhadap
susunan kabinet. Tidak pre-sidensial sama sekali,
ujarnya. "Lalu bagaimana anda bi-sa ber-bicara tentang
presidensialisme di Indonesia sekarang!?"

Ia benar. SBY telah menerapkan gaya berpolitik
nonpresi-densial. Tetapi rekan itu tanpa sadar
sebetulnya telah mem-be-rikan bukti mengenai
ketidaksesuaian presidensialisme de-ngan
multipartisme. Maka, untuk meredakan ketegangan
an-tara keduanya dan untuk memberi landasan kestabilan
ba--gi pemerintahan, SBY lalu terdorong "mempartaikan"
kabinetnya. Hasilnya sebuah kabinet yang praktis
bersifat koalisi dan dengan kinerja yang boleh
dikatakan pas-pasan. Dan celakanya, kini kabinet itu
juga menuai tuntutan untuk dirombak.

Tiada maksud saya untuk menebar fatalisme di sini.
Bentuk pemerintahan presidensial, paling tidak untuk
sekarang, sudah merupakan fakta dalam kehidupan
ketatanegaraan kita. Dengan kata lain, kerangka kerja
institusional ini, suka atau tidak suka, harus
diterima dengan segala kendala dan peluang yang
ditimbulkannya. Bersama dengan sistem kepartaian yang
berkembang, keduanya merupakan sebuah konstanta dalam
sistem politik kita. Tetapi di luar konstanta itu ada
suatu variabel yang ikut menentukan kinerja sistem.
Variabel itu adalah kepemimpinan!

Kombinasi kerangka kerja institusional dan struktur
politik niscaya membatasi ruang gerak seorang
pemimpin. Tetapi sejarah juga mengajarkan bahwa
pemimpin-pemimpin dapat bertindak berbeda di atas
kerangka kerja institusio-nal dan lingkungan politik
yang sama. Beberapa di antara-nya, yang dikenal
sebagai orang-orang kuat dalam sejarah, ternyata dapat
menyuntikkan energi besar ke dalam sistem politik
berkat keberaniannya mengambil risiko demi mewujudkan
komitmen-komitmennya. Untuk itu, tidak sedikit sampai
menantang pendapat umum.

Ada sebuah cerita lain tentang kepemimpinan yang
sering dikutip mengenai soal sikap terhadap pendapat
umum ini. Seorang Prancis yang sedang berada di sebuah
kafe tiba-tiba mendengar keributan di luar. Ia dengan
serta-merta ter-loncat dari duduknya dan berseru: "Ada
huru-hara! Saya pe--mimpin mereka. Saya harus ikut
mereka." Nah, seorang pemimpin yang selalu berupaya
merefleksikan sikap peng-ikut-pengikutnya, tulis
pemenang Pulitzer Prize, James MacGregor Burns, tak
ubahnya dengan orang Prancis di kafe ta-di. Ekuasinya
adalah "pengikut" yang mengarahkan "pemimpin" dan
bukan sebaliknya.

Di sinilah letak soalnya. Selain dikenal sangat
berhati--hati, SBY juga tampaknya mempunyai
kecenderung-an me-nyenangkan semua orang. Tidak dapat
disangkal, sela-ma tahun pertama pemerintahannya,
kiprah SBY lebih ba-nyak menampilkan suatu gaya
kepemimpinan (maaf, kalau saya menggolongkannya)
sebagai seorang consensus mo-nger—seorang penjaja
konsensus. Kecenderungan-kecende-rung-an itu sendiri
tidaklah buruk. Tetapi sebagai metode pe-ng-ambilan
keputusan, khususnya dalam situasi yang mendesak,
boleh jadi lebih banyak mudarat daripada ma-n-faatnya.
Dalam kasus kebijakan kenaikan harga BBM, mi-salnya,
begitu banyak waktu telah terbuang dan dampaknya pun
tak terelakkan pada pelemahan rupiah.

Syukurlah, pada akhirnya keputusan telah diambil.
Suatu ke-putusan yang pahit tetapi agaknya merupakan
satu-satunya pilihan yang rasional sekarang ini.

Melalui telekonferensi yang kontroversial itu, SBY
se-olah-olah ingin berkata: "I'm the President—sayalah
yang memutus-kan!" Semestinya begitu. Malah semestinya
ia berkata, sebagaimana John F. Kennedy pernah dengan
gagah me-nga-takannya: "Saya ingin menjadi seorang
presiden yang merupakan kepala eksekutif dalam setiap
arti kata itu." Seorang presiden yang menanggapi suatu
masalah, tanpa berharap bahwa bawahannyalah yang akan
mengerjakannya, melainkan dengan mengarahkan agar
mereka bertindak. Seorang presiden yang bersedia
memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan sesuatu dan
bersedia pula menerima kesalahan tatkala pengerjaannya
meleset.

Pola kepemimpinan seperti itulah yang kini diharapkan
hadir untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi
bangsa dan negara. Perombakan kabinet, sementara pola
kepemim-pinan tetap sama, terus terang, tidak akan
memecahkan ma-salah. Sebaliknya, dengan tekad dan
keyakinan baru, Pre-siden SBY tidak perlu secara
khusus melayani tuntutan perombakan itu yang, dapat
ditebak, akan kembali menjerumuskannya ke dalam ajang
dagang sapi. Namun, demi kemanjuran kepemimpinannya
empat tahun ke depan, seperti yang ia janjikan, ia
tetap perlu mengevaluasi para pemba-n-tu-nya: siapa
yang setia pada platform dan siapa yang justru jadi
perintang; siapa yang deliver dan siapa yang hanya
bisa jadi kambing congek; siapa yang merupakan aset
dan siapa yang justru jadi liability.

SBY juga tidak perlu sama sekali meninggalkan sifat
ko--a-lisi dari kabinetnya. Memerintah, dan hal ini
sering dilupa-kan oleh para pengagum presidensialisme,
juga mencakup pekerjaan legislating dan untuk itu
presiden membutuhkan dukungan yang cukup, terutama
dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Walhasil, sudah tiba waktunya Presiden SBY tampil
sebagai eksekutif presidensial dengan keyakinan yang
kuat atas komitmennya dan mengambil tindakan untuk
melaksa-na-kan komitmen itu. Kepemimpinan demokratis
tidak ha-rus lembek dan tidak harus selalu mengejar
konsensus dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan
demokratis juga tidak selalu harus nunut pendapat
umum. Sebaliknya, dalam keadaan tertentu, ia harus
dapat mendahului dalam arti membentuk pendapat umum
itu.

Hanya dengan demikian, Presiden SBY dapat sekali lagi
diharapkan merebut kepercayaan rakyat dan selanjutnya
meng-gerakkannya ke arah perubahan. Tanpa itu semua,
apa boleh buat, kaum demokrat terpaksa harus bersabar
me-nunggu sampai 2009 nanti.

No comments: