Salam,
 Ini adalah contoh kolom lain yang memikat, selain
 kolom Bung Nonon Anwar Makarim kemaren. Analisanya
 tajam, sarat "wisdom", dan dingin dalam melihat
 masalah.
 Analisa yang baik dan koheren, serta bahasa yang baik
 dan penuh dengan "roh" -- itulah kualitas-kualitas
 yang jarang kita lihat pada kolom-kolom penulis
 Indonesia saat ini.
Ulil
==============
Reshuffle, Presidensialisme, dan Kepemimpinan
A. Rahman Tolleng
*Pemerhati politik
 Presiden SBY kini menghadapi tuntutan untuk me-rombak
 kabinetnya. Tuntutan itu dipicu oleh kekhawa-tiran
 yang timbul sehubungan dengan perkembang-an ekonomi
 yang memburuk: harga minyak mentah di pasar
 internasional yang membubung tinggi dan se-iring
 de-ngan itu nilai kurs rupiah melemah. Bagaimanakah
 menyikapi isu reshuffle tersebut dipandang dari segi
 kepemimpinan yang presidensial?
 Jawabannya tidaklah mudah. Apalagi karena tuntutan itu
 sendiri mempunyai alasan dan motif yang beragam.
 Sebagian tuntutan datang dari mereka yang memang sejak
 awal menilai kabinet SBY mengandung cacat. Sebagian
 lagi, kendati jadi mitra koalisi, tidak dapat menerima
 solusi kenaik-an harga BBM yang ditempuh pemerintah.
 Ada pula yang men-dukung kebijakan itu tetapi kecewa
 terhadap kinerja pe-merintah secara keseluruhan. Ada
 pula yang sekadar di-dorong oleh egoisme golongan atau
 pun ambisi pribadi.
 Di dalam suatu bentuk pemerintahan parlementer,
 tuntutan perombakan, apalagi kalau datang dari mitra
 koalisi, bisa menjadi persoalan serius. Pemerintahan
 parlementer, yang berupa pemerintahan kabinet,
 bersifat kolektif. Karena itu, sang perdana menteri
 tidak dapat mengesampingkan tuntut-an itu. Malah jika
 salah-salah menanganinya bisa ber-akibat fatal: mosi
 tidak percaya bisa diajukan parlemen un-tuk-
 menjatuhkan kabinet. Erat pertaliannya dengan sifat
 kolektif itu, parlementarisme menganut prinsip
 tanggung jawab menteri. Menteri-menteri hadir di
 parlemen atas na-manya sendiri dan perdana menteri
 secara umum tidak dapat melindungi mereka.
 Lain halnya dengan suatu bentuk pemerintahan
 presidensial. Di sini presiden adalah eksekutif
 tunggal. Hakikat eksekutif presidensial yang demikian
 menyebabkan pemakaian istilah kabinet dalam sistem ini
 tidaklah tepat. Presiden, selama masa jabatannya,
 dapat dengan leluasa mengangkat dan memberhentikan
 menteri-menterinya. Karena ini pula pre-sidensialisme
 tidak mengenal prinsip tanggung jawab men-teri.
 Kehadiran para menteri dalam rapat kerja dengan
 wa-kil-wakil rakyat adalah atas nama presiden dan
 secara umum presiden dapat lebih banyak melindungi
 para menterinya dari kritik.
 Selain berupa eksekutif tunggal, presiden juga
 mem-punyai kekuasaan yang mandiri karena menerima
 mandat lang-sung dari rakyat. Kekuasaan presiden itu
 secara karikatural dilukiskan dalam suatu cerita
 tentang rapat Abraham Lin-coln dengan kabinetnya.
 Dalam rapat itu, Lincoln melem-parkan suatu usul dan
 kemudian memungut suara. Ia lalu mengumumkan: Noes 7,
 Ayes 1. The Ayes yang menang. Moral cerita ini
 berujung pada suatu kesimpulan: jika Anda kecewa
 terhadap kinerja pemerintah, maka kecewalah terhadap
 presiden.
 Itu logika sistemiknya. Logika itu yang bekerja dalam
 pre-sidensialisme Amerika Serikat yang sering, kalau
 tidak selalu, dijadikan rujukan oleh penggemar
 presidensialis-me di Indonesia. Tetapi dalam praktek,
 dan dalam konteks berbeda, pola-pola implisit ini
 dapat berubah. Dalam konteks multipartai, Scott
 Mainwaring menjatuhkan diktumnya yang terkenal:
 presidensialisme tidak kompatibel de-ngan
 multi-partisme. Dalam lingkungan politik seperti ini,
 seorang presiden ada kemungkinan terpaksa memilih
 salah satu di antara dua: mempertahankan
 prinsip-prinsip presi-den-sialisme dengan gaya
 otoriter atau melakukan penyesuai-an dengan
 menjalankan suatu nonpresidential style of politics.
 Presiden SBY jelas memilih jalan kedua. Akibatnya,
 kabinetnya sejak awal menimbulkan kekecewaan di
 kalangan me-reka yang mendambakan suatu kabinet yang
 profesional. Suatu waktu dalam suatu perbincangan,
 saya mengungkap-kan diktum Mainwaring tentang
 presidensialisme tadi. -Se-orang rekan menyahut dan
 dengan berapi-api mengemu-ka-kan kekesalannya terhadap
 susunan kabinet. Tidak pre-sidensial sama sekali,
 ujarnya. "Lalu bagaimana anda bi-sa ber-bicara tentang
 presidensialisme di Indonesia sekarang!?"
 Ia benar. SBY telah menerapkan gaya berpolitik
 nonpresi-densial. Tetapi rekan itu tanpa sadar
 sebetulnya telah mem-be-rikan bukti mengenai
 ketidaksesuaian presidensialisme de-ngan
 multipartisme. Maka, untuk meredakan ketegangan
 an-tara keduanya dan untuk memberi landasan kestabilan
 ba--gi pemerintahan, SBY lalu terdorong "mempartaikan"
 kabinetnya. Hasilnya sebuah kabinet yang praktis
 bersifat koalisi dan dengan kinerja yang boleh
 dikatakan pas-pasan. Dan celakanya, kini kabinet itu
 juga menuai tuntutan untuk dirombak.
 Tiada maksud saya untuk menebar fatalisme di sini.
 Bentuk pemerintahan presidensial, paling tidak untuk
 sekarang, sudah merupakan fakta dalam kehidupan
 ketatanegaraan kita. Dengan kata lain, kerangka kerja
 institusional ini, suka atau tidak suka, harus
 diterima dengan segala kendala dan peluang yang
 ditimbulkannya. Bersama dengan sistem kepartaian yang
 berkembang, keduanya merupakan sebuah konstanta dalam
 sistem politik kita. Tetapi di luar konstanta itu ada
 suatu variabel yang ikut menentukan kinerja sistem.
 Variabel itu adalah kepemimpinan!
 Kombinasi kerangka kerja institusional dan struktur
 politik niscaya membatasi ruang gerak seorang
 pemimpin. Tetapi sejarah juga mengajarkan bahwa
 pemimpin-pemimpin dapat bertindak berbeda di atas
 kerangka kerja institusio-nal dan lingkungan politik
 yang sama. Beberapa di antara-nya, yang dikenal
 sebagai orang-orang kuat dalam sejarah, ternyata dapat
 menyuntikkan energi besar ke dalam sistem politik
 berkat keberaniannya mengambil risiko demi mewujudkan
 komitmen-komitmennya. Untuk itu, tidak sedikit sampai
 menantang pendapat umum.
 Ada sebuah cerita lain tentang kepemimpinan yang
 sering dikutip mengenai soal sikap terhadap pendapat
 umum ini. Seorang Prancis yang sedang berada di sebuah
 kafe tiba-tiba mendengar keributan di luar. Ia dengan
 serta-merta ter-loncat dari duduknya dan berseru: "Ada
 huru-hara! Saya pe--mimpin mereka. Saya harus ikut
 mereka." Nah, seorang pemimpin yang selalu berupaya
 merefleksikan sikap peng-ikut-pengikutnya, tulis
 pemenang Pulitzer Prize, James MacGregor Burns, tak
 ubahnya dengan orang Prancis di kafe ta-di. Ekuasinya
 adalah "pengikut" yang mengarahkan "pemimpin" dan
 bukan sebaliknya.
 Di sinilah letak soalnya. Selain dikenal sangat
 berhati--hati, SBY juga tampaknya mempunyai
 kecenderung-an me-nyenangkan semua orang. Tidak dapat
 disangkal, sela-ma tahun pertama pemerintahannya,
 kiprah SBY lebih ba-nyak menampilkan suatu gaya
 kepemimpinan (maaf, kalau saya menggolongkannya)
 sebagai seorang consensus mo-nger—seorang penjaja
 konsensus. Kecenderungan-kecende-rung-an itu sendiri
 tidaklah buruk. Tetapi sebagai metode pe-ng-ambilan
 keputusan, khususnya dalam situasi yang mendesak,
 boleh jadi lebih banyak mudarat daripada ma-n-faatnya.
 Dalam kasus kebijakan kenaikan harga BBM, mi-salnya,
 begitu banyak waktu telah terbuang dan dampaknya pun
 tak terelakkan pada pelemahan rupiah.
 Syukurlah, pada akhirnya keputusan telah diambil.
 Suatu ke-putusan yang pahit tetapi agaknya merupakan
 satu-satunya pilihan yang rasional sekarang ini.
 Melalui telekonferensi yang kontroversial itu, SBY
 se-olah-olah ingin berkata: "I'm the President—sayalah
 yang memutus-kan!" Semestinya begitu. Malah semestinya
 ia berkata, sebagaimana John F. Kennedy pernah dengan
 gagah me-nga-takannya: "Saya ingin menjadi seorang
 presiden yang merupakan kepala eksekutif dalam setiap
 arti kata itu." Seorang presiden yang menanggapi suatu
 masalah, tanpa berharap bahwa bawahannyalah yang akan
 mengerjakannya, melainkan dengan mengarahkan agar
 mereka bertindak. Seorang presiden yang bersedia
 memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan sesuatu dan
 bersedia pula menerima kesalahan tatkala pengerjaannya
 meleset.
 Pola kepemimpinan seperti itulah yang kini diharapkan
 hadir untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi
 bangsa dan negara. Perombakan kabinet, sementara pola
 kepemim-pinan tetap sama, terus terang, tidak akan
 memecahkan ma-salah. Sebaliknya, dengan tekad dan
 keyakinan baru, Pre-siden SBY tidak perlu secara
 khusus melayani tuntutan perombakan itu yang, dapat
 ditebak, akan kembali menjerumuskannya ke dalam ajang
 dagang sapi. Namun, demi kemanjuran kepemimpinannya
 empat tahun ke depan, seperti yang ia janjikan, ia
 tetap perlu mengevaluasi para pemba-n-tu-nya: siapa
 yang setia pada platform dan siapa yang justru jadi
 perintang; siapa yang deliver dan siapa yang hanya
 bisa jadi kambing congek; siapa yang merupakan aset
 dan siapa yang justru jadi liability.
 SBY juga tidak perlu sama sekali meninggalkan sifat
 ko--a-lisi dari kabinetnya. Memerintah, dan hal ini
 sering dilupa-kan oleh para pengagum presidensialisme,
 juga mencakup pekerjaan legislating dan untuk itu
 presiden membutuhkan dukungan yang cukup, terutama
 dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
 Walhasil, sudah tiba waktunya Presiden SBY tampil
 sebagai eksekutif presidensial dengan keyakinan yang
 kuat atas komitmennya dan mengambil tindakan untuk
 melaksa-na-kan komitmen itu. Kepemimpinan demokratis
 tidak ha-rus lembek dan tidak harus selalu mengejar
 konsensus dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan
 demokratis juga tidak selalu harus nunut pendapat
 umum. Sebaliknya, dalam keadaan tertentu, ia harus
 dapat mendahului dalam arti membentuk pendapat umum
 itu.
 Hanya dengan demikian, Presiden SBY dapat sekali lagi
 diharapkan merebut kepercayaan rakyat dan selanjutnya
 meng-gerakkannya ke arah perubahan. Tanpa itu semua,
 apa boleh buat, kaum demokrat terpaksa harus bersabar
 me-nunggu sampai 2009 nanti.
 
No comments:
Post a Comment