Thursday, April 27, 2006

[ARTIKEL Nadirsyah Hosen] Reformasi Syariat Birokrasi


From: "Nadirsyah Hosen" <
nhosen@gmail.com>Date: Wed, 26 Apr 2006 10:03:28 -0000Subject: Reformasi Syariat Birokrasi


Reformasi Syariat Birokrasi
Nadirsyah Hosen*)


Berakhirnya kekuasaan Orde Baru (1966-1998) ditandai dengan semangatmelakukan reformasi. Setelah tuntasnya reformasi personal (tahappertama) yang dicirikan dengan naiknya para pemain baru di gelanggangpolitik nasional, reformasi tahap kedua digelar dengan melakukanamandemen UUD 1945. Periode reformasi konstitusional ini kemudiandiikuti dengan tahapan berikutnya: reformasi birokrasi.

Unsur pelayanan publik dan penataan kembali aparat pemerintah baik dipusat maupun di daerah guna menjadikan birokrasi lebih efisien danefektif adalah unsur penting dari reformasi birokrasi. Tersendatnyareformasi pada periode ini bukan saja mempersulit amanat gerakanmahasiswa 1998 untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),tapi juga membuat masyarakat luas tidak merasakan dampak positifgerakan reformasi paska Orde Baru.

Dalam konteks ini menarik dicermati respon sejumlah kelompok Islamuntuk turut serta dalam proses reformasi. Mereka memaknai reformasisebagai cara agar syariat Islam dapat diterapkan di Indonesia. Setelahgagal mendesakkan usulannya untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945dengan memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta, sejumlahelemen di tubuh umat mempromosikan ide penerapan syariat Islam dibeberapa daerah.

Bukannya turut serta menggagas dan mengisi program reformasibirokrasi, sesuai prinsip negara hukum dan pemerintahan yang baik,mereka malah asyik mempromosikan syariat versi mereka melaluitangan-tangan birokrasi. Ini yang saya sebut dengan "syariatbirokrasi".

Topik yang diatur mulai dari masalah aturan berpakaian, pembuatanpapan nama Arab Melayu, pemberlakuan "jam malam" bagi perempuan sampaidengan diadakannya program baca tulis al-Qur'an bagi calon pengantin.Bentuk perangkat hukum yang digunakan mulai dari Surat Edaran Bupati,Instruksi Walikota, Surat Gubernur sampai dengan Peraturan Daerah(Perda).

Syariat birokrasi semacam ini paling tidak mengandung tiga persoalan.Pertama, syariah Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit sematayang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagalmempromosikan susbtansi ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalamkonteks pelayanan publik. Bagi masyarakat, syariat Islam dianggapberhasil diterapkan apabila pegawai di kantor bupati melayani publikdengan baik, efektif, efisien dan tidak ada unsur KKN. Bukanlahmenjadi soal apakah pegawai tersebut berjilbab dan apakah papan namakantor bertuliskan huruf Arab Melayu atau tidak.

Contoh lain adalah bagaimana para penggagas penerapan syariat Islamitu memberikan kontribusi pemikiran agar birokrasi kita di daerahlebih ramping dan tepat sasaran serta membenahi sistem penggajian daninsentif yang adil sesuai dengan merit system.

Indikator berikutnya adalah fasilitas publik seperti toilet umum,jalan raya, air bersih, lampu penerangan, angkutan umum, dan gedungsekolah terpelihara dengan baik dan dapat dimanfaatkan sepenuhnya olehmasyarakat. Ini semua termasuk inti atau substansi dari syariat Islam.Dan celakanya, ini pula yang sulit kita dapati di daerah yangmenerapkan atau tidak menerapkan syariat birokrasi. Lalu apa bedanyabagi masyarakat antara menerapkan syariat atau tidak?

Kedua, sebagian topik yang diatur dalam syariat birokrasi sebenarnyasudah kebablasan. Tidak ada aturan fiqh yang mengatur pasangan calonpengantin untuk pandai baca-tulis al-Qur'an. Fiqh juga tidakmemberikan sanksi duniawi baik administratif ataupun pidana, bagiperempuan yang tidak menutup rambutnya. Kalaupun pemakaian jilbabdianggap kewajiban syar'i, maka ini merupakan urusan individu dengansang Khalik. Syariat birokrasi telah mencampuradukkan mana yangtuntunan moral, mana yang berupa anjuran dan mana yang berupakewajiban agama.

Ketiga, syariat birokrasi di sejumlah dareah juga tidak memenuhiparadigma birokrasi modern: catalytic government dan community-ownedgovernment (David Osborne dan Ted Gaebler, 1993). Birokrasipemerintahan seharusnya lebih berfungsi sebagai katalis, yangmelepaskan bidang-bidang yang seharusnya dapat dikerjakan sendiri olehmasyarakat. Masalah berpakaian dan kemampuan memahami huruf Arabsejatinya merupakan urusan masyarakat bukan urusan birokrasi.Birokrasi seharusnya memberdayakan masyarakat agar tidak tergantungsepenuhnya kepada pemerintah. Yang kita saksikan beban birokrasi kitamalah menjadi semakin bertambah.

Kegairahan sejumlah daerah menerapkan syariat birokrasi justru dapatmenjadi bumerang ketika masyarakat lambat laun akan menyadari bahwahidup mereka tidak berubah menjadi lebih baik. Reformasi bukan sekedarmengubah aturan. Menurut Justice Kirby, reform is a change for thebetter.

Kita pantas untuk khawatir kalau syariat birokrasi ini dapatmelalaikan kita untuk fokus pada tahapan reformasi yang amat mendesakkita lakukan saat ini: reformasi birokrasi!

*) Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Australia-Selandia Baru, dan peraihdua gelar PhD dari National University of Singapore dan University ofWollongong.
 Posted by Picasa

Wednesday, April 19, 2006

Gus Dur: Terorisme Bermula dari Globalisasi

Gus Dur: Terorisme Bermula dari Globalisasi

Jakarta, gusdur.net
Peluncuran dan Bedah BukuMantan presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan, fenomena terorisme yang kian marak akhir-akhir ini disebabkan adanya penduniaan (globalization) yang diawali dari sistem perdagangan bebas.

“Perdagangan bebas ini didukung negara adi kuasa Amerika Serikat untuk menguasai seluruh dunia. Upaya penguasaan dunia inilah yang menimbulkan reaksi.”

Demikian disampaikan Ketua Dewan Syura DPP PKB itu saat menjadi keynote speaker pada Launching dan Bedah Buku Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi karya KH Abdurrahman Wahid dkk., Selasa (18/4/06) siang, di Hotel Acacia Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan seperti PMII, GMKI, PMKRI, IMM, IPNU, IRM, GMNI, KMHDI, HIKMAHBUDHI, dan SPECTRUM.

Menurut mantan Ketua Umum PBNU itu, setidaknya ada tiga reaksi yang muncul akibat upaya penguasaan dunia itu. Pertama, reaksi yang sehat dan proporsional, yang tidak langsung menolaknya secara membabi buta. Kedua, reaksi yang berbentuk fundamentalisme Islam. Kelompok ini merasa Islam terancam oleh kemajuan teknologi Barat. Karenanya Islam harus melawan. “Reaksi ini dipegang oleh orang seperti Habib Riziq Shihab,” tegas Gus Dur.

Dan ketiga, reaksi nasionalisme sempit yang dimotori kalangan yang mengaku paling nasionalis. “Mereka menggangap diri paling nasionalis sementara yang lain tidak. Contohnya, orang-orang yang teriak-teriak saat pemberian visa sementara bagi 42 warga Papua oleh Pemerintah Australia,” imbuh Gus Dur.

Menurut Gus Dur, dalam proses sejarah, gelombang kemunculan terorisme sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dan akan hilang dengan sendirinya. “Itu akan hilang kalau sudah ditemukan obatnya. Dan sebentar lagi ditemukan,” katanya optimis.

Gus Dur juga menilai, apa yang dilakukan para teroris itu menunjukkan tindakan pengecut yang diklaim sebagai perjuangan. “Makanya nggak usah geger (resah, red), nanti akan selesai dengan sendirinya,” ujarnya.

RUU APP
Dalam kesempatan itu, Gus Dur juga menyentil Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang hingga kini masih menimbulkan pro-kontra hebat. Menurut Gus Dur, RUU ini dibikin hanya untuk mengalihkan tugas aparat keamanan.

“RUU APP ini tindakan yang akan menyimpangkan Polri dari kewajibannya. Nggak punya kerjaan saja,” tegas Gus Dur.

Dikatakan Gus Dur, sebenarnya KUHAP memiliki pasal-pasal yang mengatur perihal kesopanan. Karenanya, tidak perlu diwujudkan UU baru yang mengatur persoalan sama. “KUHAP itu saja dipakai, biar tidak rancu,” ujarnya.

Setelah orasi Gus Dur, acara dilanjutkan dengan diskusi buku, dengan menampilkan nara sumber Fadhli Zon, Agus Maftuh Abigibriel dan Imam al-Daruquthni.[]

NU Bantah Miring ke "Kanan"

http://www.kompas.com/utama/news/0604/19/092405.htm
NU Bantah Miring ke "Kanan"
Surabaya, Rabu


Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Timur membantah tuduhan bahwa NU telah "miring ke kanan" karena merespon persoalan Ahmadiyah, RUU APP, dan sejenisnya. "Saya banyak di-SMS para kiai/ulama, karena ada sekelompok orang yang menuduh NU telah ’miring ke kanan’ hanya gara-gara NU mengomentari soal Ahmadiyah, RUU APP," kata Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Rabu (19/4).

Menurut pengasuh Pesantren Miftahussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu, tuduhan tak berdasar itu sesungguhnya merupakan akibat dari sikap NU selama ini yang kurang responsif, cenderung banyak diam, dan dikesankan terlalu "kekiri-kirian".

"Padahal, sikap responsif NU itu sebenarnya merupakan sikap lurus NU yang tidak ke ’kanan’ dan ke ’kiri’, bahkan sikap responsif yang sudah dilupakan NU itu merupakan khittah kelahiran NU yang merespon terhadap kelompok Wahabi yang akan menyelewengkan Islam," katanya.

Selain itu, katanya, sikap responsif itu juga merupakan wasiat pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi yang memang sudah lama tidak dikaji, dibaca, dan dibahas anak-anak muda dan intelektual NU sendiri. "Jadi, kalau NU merespon RUU APP bukan berarti NU terlalu miring ke ’kanan’ atau NU telah menyerahkan urusan moral kepada negara, tapi NU memang sudah seharusnya merespon persoalan moral masyarakat yang perlu diluruskan," katanya.

Namun, katanya, respon NU atas RUU APP yang kebetulan menjadi kebijakan negara itu seolah-olah NU menyerahkan persoalan moral kepada negara, padahal sebenarnya hanya kebetulan dan NU sudah selayaknya merespon dengan atau tanpa dengan peran negara. "Bahkan, PWNU Jatim telah mengusulkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi diubah saja menjadi RUU Pornografi dan Pornoaksi, sebab adanya kalimat ’anti’ menimbulkan kesan kurang baik. Usulan PWNU Jatim itu agaknya mulai didengar DPR RI dan pemerintah," katanya.

Ia menambahkan sikap responsif NU tanpa bias kepentingan apa un itu bukan berarti NU terpengaruh faham Wahabi yang akan menformalkan syariat (ajaran Islam), melainkan NU berupaya mengembalikan posisi ke jalur semula (khittah). "Kalau ada seseorang mengaku sebagai bagian dari NU ya seharusnya melakukan tabayyun (klarifikasi) lebih dahulu melalui sowan (silaturrahmi) dan bukan dengan menabrak rambu-rambu NU serta menggoyang sendi-sendinya yang mengundang kecurigaan," katanya.

Senada dengan itu, Wakil Katib Syuriah PBNU KH A Sadid Jauhari menyatakan jika PBNU sekarang dituduh "kekanan-kananan", maka PBNU selama ini barangkali sudah "kekiri-kirian", sehingga ketika PBNU mencoba akan bersikap lurus justru dianggap miring ke "kanan". "Karena itu, kami akan mengadakan pembahasan masalah itu, termasuk kemungkinan menyampaikan teguran tertulis kepada kelompok yang asal menuduh tanpa tabayyun itu," kata pengasuh Pesantren As-Suniyah Kencong, Jember, Jatim itu.

Sumber: Ant
Penulis: Nik

Monday, April 17, 2006

Ulil Dengan Liberalismenya (2)*


Ulil Dengan Liberalismenya (2)*

thinker big12.jpg

Oleh: Abdurrahman Wahid

Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri.” Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim A Mustofa Bisri. Sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainnya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan Assalamu’alaikum dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu, sehingga penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya. KH. Syukron Makmun dari Jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan Takbiratul Al-Ihram dan disudahi dengan ucapan Salam. Jadi, menurut paham Mazhab al-Syafi’i, Penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/kyai yang menjadi dosen juga sering mengubah “tanda perkenalan” tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah” (shabah al-nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada Penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

*****

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur’an: “Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan “ (wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (man kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun).

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat, Averros juga di“kafir”kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis Ahl al-Naqli (kaum tekstualis) dan penganut paham serba akal Ahl al-Aqli (kaum rasional) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi” (Ahl al-Dzawq), seperti dikemukakan oleh Al-Jabiri dari Universitas Yar’muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Imam al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), Ihya’ ’Ulum al-Din, yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci Al-Qur’an menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini” (Alyawma akmaltu lakum dinakum) dan “Masuklah ke dalam Islam/kedamaian secara menyeluruh” (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.

Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar-Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “muslim pinggiran” merasa di rumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar-Abdalla tersebut.

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat” (ikhtilaf al-A’immh rahmah al-‘ummah).

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahir terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghinggapi dunia Islam.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa yang dibawa Ulil Abhsar dalam bentuk pandangan liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU sendiri? Jawabnya terletak dalam kenyataan, bahwa di lingkungan NU, pembaruan pada umumnya terjadi tanpa menggunakan label apapun. Sewaktu KH. A. Wahid Hasyim kembali dari Mekkah pada tahun 1931, ia langsung mengadakan perombakan pada kurikulum madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berhasil, karena justru perombakan itu dilakukan tanpa nama apapun. Seolah-olah tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, ia menjaga perasaan orang yang masih mengikuti cara berpikir lama.

Yang menolak perubahan/karena perasaan dan pikiran mereka termasuk ayahnya sendiri (KH. M. Hasjim Asy’ari), dihargai dan di “orangkan”. Merekapun menahan diri dan tidak mengadakan perlawanan terbuka terhadap apa yang dilakukan. Demikian pula, ketika KH. Mahfudz Sidiq melansir gagasannya tentang prinsip-prinsip kebaikan masyarakat (Mabadi’ Khairah ‘Ummah) diawal-awal dasawarsa empat puluhan ia meletakannya dalam konteks memperkuat susunan masyarakat yang sudah ada. Maka gagasan itu langsung diterima tanpa kritikan apapun dari semua pihak di lingkungan NU. Sayangnya, beliau tidak berumur panjang dan meninggal dunia sewaktu pihak Jepang mulai menanamkan pengaruhnya di negeri ini. Demikian pula, ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Penulis juga melakukan perubahan-perubahan drastis, antara lain dengan memasukkan tokoh-tokoh muda pada kedudukan strategis di lingkungan NU. Tetapi itu semua dilakukan tanpa embel-embel apapun.

Lalu terjadilah perubahan-perubahan drastis, tanpa ada gejolak-gejolak apa-apa. Hal itu dilakukannya juga di lingkungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu banyak anak-anak muda menjadi fungsionaris penting dalam PKB, tanpa ada perlawanan berarti. Di sinilah letak pentingnya sikap yang jelas dari seorang pimpinan yang mengerti apa yang harus dilakukan. Nah, hal inilah yang justru diabaikan oleh Ulil Abshar Abdalla yang “terjebak” dalam label yang dibuatnya sendiri, atau yang dibiarkan tumbuh. Tentu saja perkembangan belum berakhir, karena Ulil kemudian “berdiam diri” dengan cara belajar di luar negeri. Sewaktu ia kembali ke tanah air nanti, mungkin ia dapat mengorganisir penerimaan lebih luas di lingkungan NU dengan cara “berdiam diri” seperti itu dulu.

Tuduhan bahwa ia selama ini tidak ikhlas memimpin umat, mungkin dapat ia tolak dengan cara seperti itu. Mungkin dukungan terhadap dirinya akan berkurang, namun di lingkungan NU ia akan diterima secara lebih luas, karena ia akan dilihat sebagai “orang sendiri”. Style atau gaya kepemimpinan seperti ini, memang merupakan ciri yang berdiri sendiri di lingkungan NU. Hal semacam inilah yang jarang dimengerti oleh orang-orang dari gerakan Islam yang lain. Penulis sendiri banyak melakukan perubahan-perubahan mengenai apa-apa yang ada di lingkungan NU, tetapi tidak pernah menyebutkan apa-apa yang dibiarkan. Ada anggapan orang akan perlunya perubahan di lingkungan luar NU agar orang-orang di luar NU lebih dapat menerima perubahan.

“Pengenalan keadaan” seperti inilah yang harus kita mengerti baik di lingkungan NU maupun di luarnya dan mengetahui keadaan seperti itu, kita akan dapat melakukan perubahan-perubahan di lingkungan gerakan Islam. Memang hal ini adalah sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Nah, kemampuan menyusun kepemimpinan yang berlandaskan tidak hanya pikiran-pikiran, tetapi juga didasarkan pada hal-hal praktis semacam ini, adalah sebuah “modal” yang diperlukan. Antara gaya dan substansi kepemimpinan, harus ada keseimbangan yang menentukan kualitasnya. Ulil Abshar-Abdalla masih berusia muda tetapi memiliki potensi besar untuk menjadi pimpinan yang diakui semua pihak, dan untuk itu ia harus juga “memahami” hal itu. Kalau hal itu terjadi, maka Penulis makalah ini adalah orang paling berbahagia, di samping orang tua dan mertuanya sendiri. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan, bukan?

Jakarta, 28 November 2005

*Naskah ini penyempurnaan dari tulisan dengan judul yang sama sebelumnya. Disampaikan pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Menjadi Muslim Liberal”karya Ulil Abshar-Abdalla di Universitas Paramadina, Selasa 29 November 2005.

Teks Sebagai Jendela dan Cermin

Teks kuno Kitab Suci (atau teks apa pun) secara metaforis dapat diperlakukan sebagai sebuah “jendela” (atau sebuah teropong atau sebuah lubang kunci atau sebagai sebuah jembatan). Ketika berhadapan dengan sebuah jendela, orang tidak tertawan oleh papan jendela, tetapi membukanya, lalu melalui jendela itu ia memandang ke dunia di luar jendela, dunia yang lain.

Teks kuno Kitab Suci (atau teks apa pun) secara metaforis dapat diperlakukan sebagai sebuah “jendela” (atau sebuah teropong atau sebuah lubang kunci atau sebagai sebuah jembatan). Ketika berhadapan dengan sebuah jendela, orang tidak tertawan oleh papan jendela, tetapi membukanya, lalu melalui jendela itu ia memandang ke dunia di luar jendela, dunia yang lain. Demikian juga, ketika orang memegang sebuah teropong, ia tidak berhenti hanya pada memandangi saja teropong itu, tetapi menggunakannya untuk melihat suatu kawasan atau dunia yang lain di tempat yang jauh darinya.

Dengan teks sebagai sebuah jendela, maka ketika si pembaca (atau si penafsir) memandang kepada teks, ia tidak sedang memandang kepada teks itu sendiri, tetapi kepada dunia di balik teks. Dengan demikian, ia memandang kepada sejarah teks (the history of text) dan kepada komunitas (atau individu) yang menghasilkan teks itu dalam sejarah, Untuk sampai pada bentuknya yang sekarang (bentuk kanonik, bentuk yang dipandang normatif), teks suci telah melewati sejarah pembentukan, penyusunan, penerusan dan perkembangannya, dari bentuk awalnya (bisa sederhana) yang bisa berbentuk tradisi lisan atau pun tradisi tertulis, sampai kepada bentuk final (bisa lebih rumit) sebagai teks seperti yang sekarang dimiliki si penafsir. Pembentukan, penyusunan, penerusan dan perkembangan teks ini berlangsung di dalam komunitas asali penghasil teks itu dan di dalam komunitas-komunitas lanjutan yang menyunting atau memelihara teks itu sebagai tradisi warisan. Penyusunan teks suci dan segala perubahan yang terjadi pada teks di dalam sejarah penerusan dan perkembangannya mencerminkan juga situasi dan kondisi sosial-budaya dan politis riil yang sedang dihadapi komunitas-komunitas yang memiliki hubungan dengan teks itu. Sosiologi pengetahuan telah berhasil menyingkapkan bahwa selalu ada relasi timbal balik antara teks yang disusun dan berkembang dengan sejarah sosial komunitas penghasil dan penerus teks itu.

Ketika orang melakukan penelitian terhadap sejarah teks, ia sedang melakukan penelitian dengan pendekatan diakronik (dari dua kata Yunani: dia + khronos; artinya "melintasi" atau "melewati perjalanan waktu"). Ketika si penafsir meneliti sejarah teks, ia sebetulnya sedang merekonstruksi bentuk-bentuk teks, dari bentuk awalnya (lisan atau pun tulisan) sampai mencapai bentuk teks akhir kanoniknya. Usaha penelitian dan rekonstruksi semacam ini disebut kritik bentuk (form criticism). Selain itu, si penafsir masih harus bisa menempatkan bentuk-bentuk teks yang sudah direkonstruksi itu dalam konteks-konteks riil kehidupan (Sitzen im Leben) komunitas-komunitas penghasil, pemelihara dan pengembang teks. Ia juga masih harus menemukan apa fungsi-fungsi teks itu dalam Sitzen im Leben-nya. Usaha-usaha rekonstruktif ini, dengan dilengkapi oleh analisis-analisis sosiologis-antropologis, akan bermuara pada deskripsi sejarah sosial komunitas yang menghasilkan dan mengembangkan teks itu, sebab, seperti telah dikatakan di atas, antara teks dan komunitas penghasil teks selalu ada interaksi.

Pendekatan diakronik yang memperlakukan teks suci sebagai jendela ini dipakai oleh setiap pendekatan kritis historis (historical criticism) terhadap teks suci. Form criticism adalah salah satu bentuk dari kritik historis. Pendekatan diakronik historis kritis ini memang tidak disukai kalangan keagamaan konservatif fundamentalis, yang umumnya bisa sangat cemas ketika sejarah suatu teks diteliti, sebab mereka kuatir dengan meneliti sejarah suatu teks (dus berarti juga meneliti sejarah komunitas-komunitas penghasil, penerus dan penyunting teks) atau dengan mengetahui maksud-maksud para penulisnya dulu, kemapanan dogma atau akidah ortodoks yang didasarkan pada suatu tafsiran tunggal atas teks akhir kanonik akan jadi terguncang. Pendekatan diakronik historis kritis ini menyadarkan orang bahwa ada tempat di zaman dulu untuk setiap teks suci, dan setiap teks suci memiliki tempatnya masing-masing di zaman dulu. Beragama itu selalu harus dalam suatu konteks, tidak bisa untuk segala konteks. Kesadaran semacam ini membebaskan, bukan memenjarakan, orang.

Kalangan keagamaan konservatif lebih memilih memperlakukan teks suci sebagai sebuah “cermin” atau sebagai permukaan air bening di danau. Ketika orang memandang sebuah cermin, ia tidak sedang memandang ke ruangan atau dunia di balik cermin, tetapi kepada cermin itu sendiri dan sekaligus kepada gambar dirinya di dalam cermin itu. Ketika orang memandang cermin, orang akan menemukan kalau cermin itu memiliki dunianya sendiri dan ia terhisap ke dalamnya.

Ketika teks suci diperlakukan sebagai sebuah cermin, si pembaca atau si penafsir teks tidak sedang melihat ke dunia di balik teks (seperti pada pendekatan teks sebagai jendela), melainkan kepada teks sendiri dengan dunianya sendiri (text world), dan sekaligus kepada dirinya dan dunianya yang terhisab ke dalam teks. Fokus tertuju kepada dunia teks atau dunia kisah (story world) di dalam teks akhir kanonik yang normatif, bukan kepada dunia si penulis teks dulu, bukan kepada sejarah teks, dan juga bukan kepada bentuk-bentuk teks sebelum mencapai bentuk akhirnya. Ke dalam dunia teks atau dunia kisah inilah si penafsir memasukkan dirinya, supaya ia bisa ikut serta menentukan makna atau pesan teks yang sedang dibacanya dalam bentuk akhir kanoniknya. Bak seorang anak yang sangat terpesona memandang sebuah lukisan indah dan karenanya ingin menyatu dengan lukisan itu dan ingin mengambil peran menentukan di dalam dunia lukisan.

Ketika teks diperlakukan sebagai sebuah cermin, subyektivitas si pembaca atau si penafsir sangat menentukan apa yang akan menjadi makna teks yang akan diperoleh. Pendekatan ini disebut pendekatan sinkronik (dari dua kata Yunani: syn + khronos; artinya: "bersamaan waktu", atau lebih tepat: pendekatan a-historis atau a-temporal), sebab pendekatan ini tidak mau meneliti sejarah teks di masa lalu, tetapi hanya mau mencari makna teks yang muncul ketika si pembaca atau si penafsir berinteraksi dengan dan bersama teks dalam proses pembacaan teks. Para pembela pendekatan ini biasa mengatakan "penulis aslinya sudah mati", jadi tidak perlu diperhatikan.

Karena peran si penafsir teks di masa kini sangat besar dalam menentukan makna teks yang akan didapat, maka pendekatan ini memang sangat subyektif. Setiap penafsir bisa menemukan beragam makna dan pesan dari suatu teks, bergantung pada kondisi mental dan dunia sosial-intelektual dan religiusnya. Metode tafsir "reader-response criticism" dan "strukturalisme" ada dalam jalur pendekatan tafsir yang sinkronik subyektif ini.

Dengan pendekatan sinkronik dan subyektif ini, si pembaca teks yang warna teologinya konservatif akan menemukan di dalam teks segala sesuatu yang dibutuhkan untuk ia mempertahankan dogma atau akidah konservatifnya itu. Tidak ada patokan atau rambu-rambu untuk menetapkan yang ini makna teks, bukan yang itu; sebab makna teks tergantung pada si pembaca atau si penafsir. Pendekatan ini, karena sangat subyektif, menimbulkan banyak problem hermeneutik dan epistemologis. Contoh: Apakah karena si penulis surat wasiat sudah mati, maka isi surat wasiat itu boleh ditafsir sembarang saja menurut kemauan si ahli waris? Juga, jika semua tokoh sejarah di masa lampau sudah mati, apakah setiap historiografi boleh ditulis sembarang saja menurut ideologi si penulis sejarah? Jawab untuk keduanya tentu Tidak! Tambahan pula, dengan memandang si penulis asli teks dulu sudah mati, maka si penafsir masa kini secara subyektif telah mengambil peran sebagai penulis teks itu sendiri yang berhak menentukan makna atau pesan teks.

Konservatisme religius memang kerap kali dipertahankan bukan dengan penggalian teks-teks suci secara kritis historis, tetapi dengan memakai wewenang para tokoh religius yang diberi kuasa mutlak untuk secara subyektif menentukan makna teks suci. []

* Dr. Ioanes Rakhmat, pengamat sosial keagamaan, tinggal di Jakarta
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1029

[Luthfi Assyaukanie] Belajar Kembali Bernegara

Editorial
Belajar Kembali Bernegara
Oleh Luthfi Assyaukanie
10/04/2006


Kita tampaknya harus kembali belajar bernegara. Beberapa peristiwa nasional akhir-akhir ini membuktikan betapa sebagian kelompok Islam di negeri ini gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Kita tampaknya harus kembali belajar bernegara. Beberapa peristiwa nasional akhir-akhir ini membuktikan betapa sebagian kelompok Islam di negeri ini gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Contohnya adalah perilaku Majelis Ulama Indonesia dan organisasi Islam yang mendukung fatwanya tentang Ahmadiyah. Fatwa tentang Ahmadiyah yang disusul serangkaian tindak kekerasan itu telah menunjukkan kalau tokoh-tokoh MUI lebih mendahulukan pemahaman sempit yang dianutnya ketimbang kebersamaan dalam bernegara.

Konstitusi kita jelas-jelas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945: Pasal 29, Ayat 2). Tapi, para tokoh MUI justru melecehkan rumusan itu dengan mengintimidasi Ahmadiyah lewat fatwa-fatwa.

Kita juga prihatin melihat tokoh Islam di lembaga lain. Pimpinan Departemen Agama (Depag) yang harusnya menjadi contoh pengayom semua agama malah tampil menjadi tokoh antagonis. Permusuhan yang diperlihatkannya terhadap Ahmadiyah jelas menunjukkan bahwa ia lebih mementingkan keyakinan sempit ketimbang arti bernegara yang baik.

Beberapa tokoh Islam organisasi besar seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah juga memperlihatkan gejala serupa. Mereka gagal memahami Konstitusi kita dan lebih senang mengutamakan pemikiran keagamaan yang sempit. Dalam isu-isu hubungan agama dan negara, mereka tampaknya lebih suka “mengarab” ketimbang “mengindonesia.”

Para tokoh Islam di dua lembaga itu juga bersemangat mendukung setiap rancangan undang-undang (RUU) yang berbau Islam, sembari mengabaikan konteks keindonesiaan yang majemuk. Kacamata yang mereka gunakan bukanlah Indonesia yang majemuk dan beragam, tapi kacamata dari Timur Tengah yang bernuansa doktrin-doktrin wahabisme.

Kita kaum muslim agaknya memang harus belajar lagi tentang Indonesia kita, tentang bagaimana membangun sebuah negara modern.

Para pendiri republik ini, sejak dulu sudah sepakat membangun Indonesia sebagai negara modern yang dilandasi semangat kebersamaan dan kerukunan. Mereka tak pernah menginginkan negara agama, apalagi negara Islam. Para pendahulu kita itu juga sudah lelah berdiskusi soal dasar negara. Kini, kita juga lelah melayani hasrat-hasrat ideologis kaum Islamis yang mungkin akan lebih mengakibatkan perpecahan ketimbang memajukan negeri ini.

Sebuah negara modern, dalam konsensus ilmuwan politik dan umat manusia kini, tidak bisa lagi dibangun atas dasar ideologi keagamaan tertentu, apalagi yang sendi-sendinya diambil dari abad pertengahan. Negara modern membutuhkan aturan dan perundang-undangan yang dibuat serasional mungkin dengan memperhatikan semua elemen penghuninya.

Setelah lebih setengah abad merdeka, kita layak berharap para pemimpin Islam Indonesia makin matang dan lebih dewasa dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan isu agama dan negara. Jika bersedia menerima bentuk dan dasar negara Indonesia, mereka harusnya juga bersedia menerima segala konsekuensinya. Yang saya maksud “segala konsekuensinya” itu adalah: setiap upaya pembangunan negara haruslah sejalan dengan semangat konstitusi kita.

Jika para pemimpin Islam negeri ini bersedia menerima Pancasila sebagai falsafah dasar negara, mereka harusnya juga bersedia menerima konsekuensi dari asas itu. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara Islam. Karenanya, setiap upaya untuk menggolkan peraturan yang potensial memicu perpecahan dan diskriminasi, secara otomatis telah bertentangan dengan Pancasila.

Sejak merdeka, para pemimpin Islam memang tampak tertarih-tatih untuk menerima konsep Indonesia modern yang majemuk. Di tahun 1950-an, lewat partai-partai Islam, mereka berupaya mendesakkan agenda yang ingin mengubah asas Pancasila menjadi asas Islam. Keinginan itu gagal, karena partai-partai Islam kalah Pemilu 1955. Tak patah arang dengan kegagalan itu, mereka kembali mencobanya lewat debat-debat konstituante (1957-1959). Tapi, usaha inipun kembali gagal.

Di masa Soeharto yang represif, para pemimpin Islam yang cenderung ideologis memang tak memiliki tempat. Suara mereka dibungkam dan dipaksa menerima asas tunggal Pancasila. Tapi, keinginan untuk “mengislamkan” Indonesia tak pernah padam. Sejak reformasi, muncul lagi suara-suara yang berusaha untuk ke arah itu, baik lewat partai-partai Islam, organisasi massa, lembaga pemerintah, dan cara-cara lain yang mungkin. Sebagian gagal dan sebagian berhasil.

Karena itu, saya berpendapat bahwa carut-marutnya kehidupan bernegara kita akhir-akhir ini, khususnya soal hubungan agama dan negara, sebagian juga merupakan cerminan kegagapan banyak kaum muslim dalam memahami konsep Indonesia kita. Obsesi yang terus hidup untuk “mengislamkan” Indonesia telah menjadi semacam ranjau yang terus-menerus mengancam keutuhan negeri ini.

Energi yang seharusnya disalurkan untuk proyek-proyek pembangunan negara, terkuras untuk mengurusi agama yang lazimnya menjadi soal pribadi setiap warga negara. Fatwa, RUU, dan Perda yang seharusnya diabdikan untuk membantu pembangunan negara, berbalik jadi penghambat kemajuan dan proses modernisasi negeri ini.

Kita sebagai kaum muslim agaknya memang harus benar-benar kembali belajar bernegara dan mencari cara yang tepat dalam membangun negeri ini.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1030

Gus Dur: Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!

WAWANCARA
KH. Abdurrahman Wahid:
Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
10/04/2006

Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini.

Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini. Berikut petikan wawancara M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir negeri ini pekan lalu.

--

JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang tentang pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa pandang bulu itu?

KH Abdurrahman WahidKH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur itu?! Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur. Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum menetapkan undang-undang. Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan kedua tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukannya adalah Mahkamah Agung.

Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara kita yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi prioritas kita bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu pelacuran itu juga sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau bikin seribu peraturan, tapi tidak ada peningkatan taraf kehidupan, pelacuran tidak akan pernah bisa tersentuh, boro-boro bisa dihilangkan. Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan berfungsi apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar.

JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?

Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik. Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun negara-negara bagian lain menggunakan undang-undang Anglo-Saxon. Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam undang-undang dasar mereka di sana semenjak awal, bukan ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.

JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?

Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.

JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah?

Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.

JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan “diarabkan”. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu?

Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.

JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?

Ya itulah… Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya itu-itu saja.

JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?

Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.

JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?

Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha… Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum—penyanyi legendaris Mesir—bisa sambil teriak-teriak “Allah… Allah…” Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca.

Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.

JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?

Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).

JIL: Maksudnya?

Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…

JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?

Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian… ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.

Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah… saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.

JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah disahkan. Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu?

Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling bertentangan. Di satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan beragama yang belum ada aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan dari berbagai pihak soal jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju pembangunan rumah ibadah, Red). Kedua, soal memberi hak kepada siapapun untuk melakukan ibadah. Di sini terjadi persinggungan.

Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama ini, saya menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A akan disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini terus, negara kita akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan suatu keputusan, isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita tahu sendirilah, Departemen Agama itu adalah departemen yang paling brengsek. Hal lain, pemerintah tidak boleh campur terlalu banyak dalam soal-soal agama, karena itu akan menggiring kita menjadi negara agama.

JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah yang konon serampangan?

Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan yang benar. Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah ibadah. Hal itu sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu mestinya bisa ditentukan dan dimediasi oleh kepala daerah masing-masing, bukan oleh peraturan. Dan, peraturan yang sudah ada saja yang dijalankan. Kalau ada pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di negara hukum.

JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur Jawa Barat yang tidak adil dong, Gus?

Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya yang dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?!

JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik Syiah-Sunni?

Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî`ah. Selanjutnya kata syî`ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.

Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib.

Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan problem agama.

JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?

Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap berpotensi merebut kekuasaan.

Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas. Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.

JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?

Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlawâhir walLâh yatawalla al-sarâ’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!

JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?

Begini ya… Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!

Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh… selesai, kan? Gitu aja repot. []

Wednesday, April 12, 2006

JIHAD

J i h a d
Selasa April 11, 2006

Oleh : Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.as

Penterjemah : A.Q.Khalid

Dari karya tulis Hazrat Masih Maud.as, dimana artikel ini ditulis tahun 1900. Sebuah naskah terjemahannya disimpan di India Office Library, London, namun selama beberapa waktu tidak diketahui keberadaannya. Terjemah di bawah diambil dari buku A Study of Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad’s Exposition of Jihad yang diterbitkan Islam International Publications Ltd. pada tahun 1993
=======================

Filsafat dan hakikat fitrat daripada Jihad adalah suatu hal yang
pelik dan kompleks dimana kekurang-pahaman atasnya telah menjadikan manusia di masa ini dan yang hidup di abad pertengahan telah melakukan kesalahan besar. Dengan rasa malu, kita harus mengakui bahwa akibat dari kesalahan demikian kita telah memberikan kesempatan kepada lawan-lawan Islam untuk memburukkan agama ini padahal tidak ada agama lain yang semurni dan sesuci Islam yang merupakan cerminan dari hukum alam semesta serta demikian luhur mengungkapkan keakbaran dari wujud Tuhan yang hidup. Kita perlu mengetahui kalau kata jihad itu berasal dari kata juhd yang berarti berjuang dan digunakan secara metaforika untuk perang keagamaan. Kelihatannya kata Yuddha yang biasa digunakan bangsa Hindu untuk menggambarkan perang, kenyataannya merupakan perubahan dari kata jihad dalam bahasa Arab. Mengingat bahasa Arab adalah induk dari segala bahasa di dunia, cukup alasan mengira bahwa kata Yuddha yang dalam bahasa Sanskerta berarti perang, sebenarnya berakar kata sama dengan Juhd atau Jihad.

Sekarang mari kita lihat jawaban atas pertanyaan mengapa Islam mengedepankan Jihad dan apa yang dimaksud dengan Jihad tersebut. Jelas menurut sejarah kalau Islam sejak kemunculannya selalu menghadapi bermacam kesulitan dimana segenap bangsa di tempat itu sama memusuhinya. Adalah suatu realitas umum bahwa jika Tuhan mengutus seorang rasul atau nabi maka para pengikutnya akan terlihat lebih tinggi derajatnya dalam laku kebenaran, kesalehan dan progresifitas. Akibatnya, sisa manusia lainnya dalam bangsa bersangkutan menjadi cemburu dan serta merta tumbuh sikap memusuhi dalam hati mereka. Sikap permusuhan tersebut paling mencolok diperlihatkan oleh para ulama dan pimpinan keagamaan, karena eksistensi dari ‘hamba Allah’ tersebut bisa menjadi ancaman atas penghasilan atau harkat diri mereka. Para murid dan pengikut lalu menyempal dari jerat mereka setelah melihat nilai-nilai keimanan, akhlak dan pengetahuan yang dimiliki hamba yang diberkati Tuhan tersebut. Yang tadinya menjadi murid para ulama dan pimpinan keagamaan mulai menyadari bahwa yang menjadi panutan selama ini sebenarnya tidak patut menerima hormat mereka karena kekurangan di bidang pengetahuan, kesalehan dan sifat menahan diri dari segala laku tercela. Karena itu lalu istilah-istilah Najmul Umma, Shamsul Umma, Sheikul Mashaikh dan lain-lainnya menjadi tidak lagi pantas bagi mereka itu. Demikian itulah maka orang-orang yang memiliki perasaan lalu menghindari dan meninggalkan para ulama tersebut karena mereka tidak ingin kehilangan keimanan mereka.

Menghadapi potensi kehilangan muka dan mata pencarian maka kelompok ulama dan pimpinan keagamaan ini menjadi sangat cemburu terhadap para nabi dan rasul Ilahi. Alasan daripada ini ialah di masa kedatangan para nabi dan rasul tersebut, cacat mereka menjadi terbuka karena pada dasarnya mereka itu memang kurang atau tidak memiliki keimanan cukup yang mendasari perilaku mereka. Rasa permusuhan mereka terhadap para nabi-nabi Ilahi dan orang-orang muttaqi hanyalah karena laku mementingkan diri sendiri dan karena perasaan ini pula mereka lalu merancang cara-cara untuk mencederai orang-orang suci tersebut. Terkadang mereka ini menyadari kelakuan mereka tetapi tetap saja mencoba mencederai hamba-hamba Tuhan yang berhati suci. Hati nurani mereka memberitahukan kalau kelakuan tersebut termasuk dosa, namun api kecemburuan yang marak di hati mereka telah menyeret lebih jauh lagi tenggelam ke dalam jurang rasa permusuhan mereka.

Adalah pertimbangan demikian juga maka para ulama pagan, Yahudi dan Kristiani di masa Rasulullahsaw bukan saja tidak mau menerima kebenaran tetapi juga menjadikan mereka menjadi sangat memusuhi beliau. Karena itu mereka menjadi terobsesi dengan masalah bagaimana memunahkan Islam dari muka bumi. Mengingat di awal sejarahnya sangat sedikit sekali jumlah umat Muslim maka lawan-lawan Islam karena keangkuhan inheren dalam diri mereka telah menganggap diri mereka sebagai lebih unggul dalam jumlah dan derajat sehingga lalu amat memusuhi para sahabat Hazrat Rasulullahsaw. Mereka tidak ingin pohon surgawi itu sempat berakar kuat dan mereka mati-matian berusaha memerangi orang-orang muttaqi tersebut. Yang amat mereka takuti adalah agama tersebut akan berakar kuat sehingga menjadi benih kehancuran bagi bangsa dan agama mereka sendiri. Karena ketakutan yang demikian teruk itulah mereka berusaha sekuat tenaga mencederai bahkan membunuh umat Muslim dengan cara yang amat mengerikan. Sepanjang suatu jangka panjang yang berlangsung selama tigabelas tahun, cara-cara mereka itu tidak berubah dan banyak sekali yang beriman kepada Allahswt yang mereka tebas dengan pedang. Anak-anak yatim dan janda orang-orang malang ini pun dibantai di jalan-jalan. Namun Tuhan tetap saja memerintahkan kepada umat Muslim untuk sabar tidak membalas kejahatan tersebut. Perintah itu dipatuhi sepenuhnya oleh orang-orang muttaqi yang terpilih itu. Ketika jalan-jalan dialiri darah mereka, mereka sama sekali tidak mengeluh. Mereka dibantai laiknya hewan, namun mereka tidak mengeluh. Wujud mulia yang diberkati langit dan bumi, Hazrat Rasulullahsaw sendiri malah seringkali dilempari batu. Meski tubuh bersimbah darah, gunung kebenaran tersebut tetap berdiri tegak menerimakan saja perlakuan mereka dan membalas dengan kasih dan keterbukaan hati. Karena sikap yang lembut dan merendah itu, kejahatan para musuh bukannya berkurang malah meningkat dari hari ke hari dan mereka menganggap jemaat kecil tersebut sebagai mangsa mereka.

Kemudian Allah swt yang tidak menghendaki kekejaman dan penindasan meraja-lela tak terkendali di muka bumi, lalu bangkit kemurkaan-Nya terhadap orang-orang jahat tersebut. Dia lalu berfirman melalui Al-Quran kepada umat-Nya yang tertindas dan menyampaikan kepada mereka ‘Aku mengawasi segala hal yang terjadi atas kalian dan karena itu Aku memberikan izin kepada kalian untuk membalas perlakuan mereka. Aku adalah Allah yang Maha Kuasa dan Aku tidak akan mengizinkan para penindas kalian bisa bebas tanpa hukuman.’ Adalah perintah ini yang kemudian dikenal sebagai perintah jihad. Kata-kata tepatnya dari firman tersebut dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

‘Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah mereka tanpa sebab yang benar, hanya karena mereka berkata “Tuhan kami ialah Allah” . . .’ (S.22 Al-Hajj:40-41)

Dengan kata lain, Tuhan telah mendengar rintihan permohonan tolong dari para korban kekejaman yang dibantai dan yang secara tidak sah diusir dari rumah mereka.

Mereka diberikan izin untuk melawan demi mempertahankan hak mereka. Allah Maha Kuasa dan selalu menolong mereka yang teraniaya. Hanya saja yang perlu diperhatikan, perintah itu cuma dimaksudkan untuk suatu jangka waktu tertentu saja dan tidak bersifat selamanya. Perintah tersebut hanya berlaku untuk masa itu saja ketika mereka yang baiat ke dalam Islam dijagal seperti kambing atau domba. Namun sayangnya setelah masa Rasulullahsaw dan para Khalifah, umat Muslim telah melakukan kesalahan besar dalam memahami filsafat daripada jihad yang esensinya tertera dalam ayat di atas. Berikutnya yang terjadi ialah pembantaian umat Ilahi yang dianggap sebagai tanda atau bukti dari suatu amal keagamaan yang katanya saleh.

Adalah suatu kebetulan yang aneh bahwa umat Kristiani juga melakukan kesalah-pahaman yang sama berkaitan dengan hak-hak Ilahi dan manusiawi. Berkaitan dengan kaum Nasrani, mereka telah menjadikan seorang manusia yang lemah menjadi Tuhan sehingga hak-hak Ilahi yang Maha Agung dan Maha Kekal telah dicurangi, karena Dia tidak ada yang menyamai di bumi atau pun di langit. Dengan alur yang sama, umat Muslim dengan menghunus pedang terhadap manusia lainnya dan menyebutnya sebagai jihad, nyatanya telah mengingkari hak manusia. Dengan kata lain, umat Kristiani mengikuti suatu alur untuk mengkhianati hak dan umat Muslim mengikuti alur lainnya. Adalah suatu hal yang menyedihkan dari periode demikian ketika kedua belah pihak menganggap laku lajak mereka sebagai suatu hal yang baik, sedemikian rupa sehingga tiap kelompok lalu mengembangkan akidah sendiri dan menganggapnya sebagai yang terbaik. Masing-masing pihak menganggap pandangannya sebagai jalan pintas satu-satunya menuju surga. Walau dosa mencederai hak Tuhan sebenarnya jauh lebih besar dari segalanya, namun bukan tujuanku sekarang ini mengungkap laku berbahaya yang dikerjakan umat Kristiani karena aku sekarang ini ingin menyoroti laku lajak pelanggaran yang dilakukan umat Muslim yang tetap saja masih berlanjut terus.

Perhatikanlah bahwa cara-cara yang dilakukan para ulama Muslim yang biasa disebut sebagai maulvi sekarang ini dalam memberikan pemahaman dan khutbah tentang jihad kepada umat adalah sama sekali tidak benar. Hasil utama dari khutbah mereka yang berapi-api itu hanya akan membangkitkan nafsu kekerasan dalam diri manusia yang akan menjadikannya seperti hewan buas yang kalis dari segala nilai-nilai luhur manusiawi dimana kenyataan menunjukkan demikian itulah adanya. Aku meyakini bahwa dosa-dosa yang dilakukan orang-orang bodoh yang hanyut dibawa oleh nafsu bejat tersebut menjadi tanggung-jawab para ulama yang telah mengajarkan prinsip-prinsip jihad secara disamarkan sehingga umat tidak mengetahui sepenuhnya alasan mengapa di masa awalnya Islam terpaksa harus berperang mempertahankan diri. Akibatnya muncul berbagai tindakan tragis yang mengalirkan darah manusia.

Jika para ulama ini berhadapan dengan penguasa yang sedang memerintah, mereka merendahkan diri sedemikian rupa sepertinya mereka siap bersujud di hadapannya. Tetapi jika sedang berada di antara umat mereka sendiri, mereka berulang-kali menyatakan bahwa negeri ini adalah darul harb (daerah perang) dimana umat semuanya harus menanamkan dalam diri mereka kewajiban untuk jihad. Hanya sedikit sekali yang tidak berfikir demikian karena sebagian besar berpegang pada akidah jihad ini yang sebenarnya malah bertentangan sama sekali dengan ajaran Al-Quran dan Hadith, dimana mereka mencap yang tidak sama jalan fikirannya sebagai dajjal. Mereka menganggap para dajjal demikian wajib dibunuh. Ini juga yang menjadi fatwa terhadap diriku sendiri beberapa waktu ini.

Beberapa ulama telah menggelari diriku sebagai dajjal dan kafir dan tanpa takut kepada pemerintahan Inggris, mereka telah mencetak sebuah fatwa terhadap diriku yang menyatakan bahwa ‘orang ini harus dibunuh, harta bendanya dirampas dan wanita isi rumahnya direbut.’ Apa sesungguhnya yang mereka jadikan sebagai alasan? Alasannya adalah karena aku sebagai Masih Maud telah mengajarkan hal yang bertentangan dengan pengertian mereka tentang jihad serta menentang konsep mereka tentang ‘sosok Mahdi atau Masih yang berdarah-darah’ sebagaimana sosok bayangan yang sedang mereka tunggu kedatangannya. Mereka menganggap kedatangan Mahdi atau Masih yang dijanjikan itu akan diiringi banjir darah dan penjarahan yang menjadi keinginan mereka. Sepatutnya mereka menyadari kalau akidah jihad yang ada dalam hati mereka itu sama sekali tidak benar dan menjadi langkah pertama ke arah punahnya rasa iba kasihan di antara manusia.

Mereka salah sama sekali jika menganggap bahwa jihad yang diizinkan di awal masa Islam, sekarang ini juga boleh dilakukan sama seperti itu. Mengenai hal ini jawabanku ada dua. Pertama, keseluruhan konsep pemikiran mereka sama sekali tidak berdasar. Tidak pernah sekali pun Hazrat Rasulullahsaw pernah mengangkat pedang terhadap siapa pun kecuali mereka yang mengangkat pedang terlebih dahulu dengan membunuhi laki-laki, wanita dan anak-anak yang tidak berdosa sedemikian kejamnya sehingga sekarang ini pun jika kita mendengarnya akan menimbulkan kesedihan yang sangat. Kedua, kalau pun ada akidah jihad sebagaimana yang dikemukakan para ulama tersebut, perlu diketahui bahwa jihad demikian tidak lagi berlaku di abad dan zaman sekarang. Hal ini berkenaan dengan nubuatan yang menyatakan bahwa jika datang Masih yang Dijanjikan maka akan berakhir jihad dengan pedang dan perang keagamaan karena Masih yang Dijanjikan itu tidak akan menghunus pedang atau senjata duniawi lainnya. Senjata yang digunakannya hanyalah doa dimana keteguhan keimanan yang menjadi pedangnya. Ia akan meletakkan fondasi perdamaian yang akan menjadikan domba dan singa minum bersama dari satu mata air. Zaman ini adalah masa kedamaian, kelembutan hati dan simpati antar manusia.

Alangkah menyedihkannya bahwa umat kini tidak lagi memperhatikan bahwa tiga belas abad yang lalu Hazrat Rasulullahsaw telah mengutarakan kata-kata yadda ul-harb dari bibir beliau berkenaan dengan Masih yang Dijanjikan. Dari sana patut diartikan bahwa jika Masih yang Dijanjikan itu telah datang maka ia akan menghentikan segala perang. Ayat di dalam Al-Quran menyatakan hal yang sama (S.47 Muhammad:5) yaitu mengenai perlu tidaknya perang sampai kedatangan sosok Al-Masih yang Dijanjikan. Inilah yang dimaksud dengan Yadda ul-Harb sebagaimana yang dimaksud Sahih Bukhari sebagai kitab yang dianggap paling autentik setelah Al-Quran.

Aku menghimbau para ulama dan cendekiawan Muslim agar mendengarkan apa kataku jika aku katakan bahwa sekarang ini bukan lagi saatnya jihad dalam pengertian demikian, karena apa yang aku sampaikan adalah kebenaran hakiki. Jangan kalian mengingkari Rasulullahsaw. Al-Masih yang Dijanjikan yang selama ini ditunggu-tunggu kini telah datang dan ia memerintahkan agar menghentikan segala perang keagamaan yang menggunakan pedang yang hanya akan membawa pertumpahan darah dan pembunuhan. Dengan demikian maka laku pertumpahan darah bukanlah ajaran Islam. Barangsiapa yang beriman kepadaku tidak saja akan menahan diri dari menyampaikan hal yang salah itu tetapi juga ikut mengutuk laku demikian karena menyadari bahwa hal itu tidak terpuji dan hanya akan mengundang kemurkaan Ilahi.

Yang menyedihkan hatiku ini ialah di satu pihak terdapat para ulama bodoh yang menyembunyikan dari umat tentang hakikat daripada jihad serta menyusun berbagai rencana untuk mengajar umat cara-cara merampok, menyerang dan membunuh manusia dengan alasan dan di bawah bendera jihad. Di sisi lain, para pendeta Kristen juga melakukan hal yang sama. Mereka telah mempublikasikan ribuan pamflet dan selebaran dalam bahasa Urdu, Pashtun dan lain-lain serta mengedarkannya di seluruh tanah Hindustan, Punjab dan daerah perbatasan dimana mereka menyatakan bahwa Islam disebarluaskan dengan pedang dan kebiasaan menghunus pedang adalah laku Islam. Orang awam yang mendengar kata-kata para ulama Muslim dan membaca selebaran Kristiani itu dengan sendirinya lalu muncul nafsu hewaniahnya. Menurut pendapatku, adalah menjadi tugas pemerintah untuk menghentikan fabrikasi kedustaan yang dilakukan oleh para pendeta dan ulama tersebut karena hanya akan menimbulkan keguncangan dan pemberontakan di dalam negeri. Adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi umat Muslim untuk meninggalkan agama mereka akibat dari fabrikasi kedustaan yang dilakukan para pendeta tersebut. Bahkan karena itu mereka lalu selalu diingatkan kepada masalah jihad yang akan terus menerus menggugah perasaan mereka yang terlena.

Sekarang setelah Al-Masih yang Dijanjikan telah datang, adalah kewajiban bagi setiap Muslim untuk menahan diri dari laku jihad demikian itu. Kalau saja aku belum diutus, bisa jadi kesalah-pahaman demikian dapat dimaafkan. Tetapi karena sekarang aku telah datang dan kalian telah melihat hari yang telah dijanjikan, maka mereka yang menggunakan pedang atas nama agama, tidak akan memiliki kebenaran di hadapan Allahswt. Barangsiapa yang memiliki mata, bacalah Hadith dan pelajari Al-Quran, dimana kalian akan mengetahui bahwa laku jihad sebagaimana yang dianut orang-orang barbar di masa kini sesungguhnya bukanlah jihad dalam pengertian Islamiah. Laku demikian malah didasari nafsu rendah serta harapan memasuki surga yang rata menjadi keyakinan umat Muslim.

Sebagaimana telah aku kemukakan, di masa lalu Hazrat Rasulullahsaw tidak pernah mendahului menghunus pedang, bahkan menerimakan menderita sekian lamanya di tangan para kafir serta memperlihatkan kesabaran yang tidak pernah ada taranya di antara manusia. Begitu juga para sahabat beliau yang mematuhi perintah atas mereka agar bersabar dan tetap beriman. Mereka diinjak-injak di bawah tapak kaki tetapi tetap saja mereka tidak mengeluh. Anak-anak mereka dicabik di depan mata mereka, mereka dirajam dalam api dan air, namun tetap mereka menahan diri untuk membalas segala kejahatan yang ditimpakan atas diri mereka laiknya seorang anak yang tak berdosa.

Apakah pernah ada teladan lain dalam sejarah dimana seorang nabi dan para pengikutnya bisa menahan diri padahal mereka sebenarnya mampu melawan, hanya karena mematuhi perintah Tuhan? Bisakah dibuktikan keberadaan sekelompok orang yang gagah berani, bersatu dan memiliki senjata serta memiliki keberanian dan kelelakian tetapi menahan diri dari tindak pembalasan terhadap musuh yang haus darah yang telah menindas mereka selama tiga belas tahun?

Kesabaran yang diperlihatkan Junjungan kita yang mulia beserta para sahabat beliau bukan karena mereka tidak berdaya. Faktanya, para sahabat yang setia yang demikian sabarnya itu juga yang telah menghantam balik para orang kafir itu ketika perintah jihad telah turun. Seribu anak-anak muda bahkan bisa mengalahkan seratus ribu lawannya yang terdiri dari para prajurit kawakan. Hal demikian menunjukkan bahwa kesabaran yang diperlihatkan umat Muslim di Mekah terhadap musuh yang mengalirkan darah mereka bukanlah karena kelemahan atau sifat kepengecutan, tetapi karena mereka mematuhi firman Tuhan. Karena kepatuhan demikian itulah mereka menerimakan dirinya dijagal seperti domba atau kambing. Jelas bahwa kesabaran demikian berada di luar kemampuan manusia biasa. Jika ada yang mempelajari sejarah dunia ini dan tentang para rasul, ia tidak akan menemukan citra kebajikan dalam komunitas mana pun atau pengikut dari nabi apa pun yang bisa menyamai bentuk kesabaran seperti yang diperlihatkan umat Muslim saat itu. Bagi suatu kelompok yang memiliki keterampilan militer, bersifat gagah berani, memiliki keteguhan hati, kemudian sabar menerimakan derita yang ditimpakan atas diri mereka, anak-anak mereka dibantai, mereka sendiri dilukai dengan pedang dan tombak tetapi tetap saja tidak membalas, sesungguhnya yang seperti itulah nilai kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Rasulullahsaw dan para sahabat beliau selama tiga belas tahun secara berkesinambungan. Bentuk kesabaran dalam menghadapi cobaan yang tiada habisnya seperti itu yang berjalan selama tiga belas tahun memang sungguh suatu hal yang unik. Barangsiapa yang meragukan keunikan ini, silakan memberi contoh kesabaran dari umat saleh lainnya di masa lalu.

Patut diperhatikan bahwa selama periode penindasan yang dikenakan kepada para sahabatnya demikian, Rasulullahsaw tidak ada memerintahkan kepada umatnya untuk merekayasa cara menghindari cobaan, bahkan secara terus menerus mengingatkan agar mereka menerima cobaan mereka dengan kesabaran. Jika ada yang mengusulkan tindak balasan, beliau menahan mereka dan berujar ‘Aku telah diperintahkan untuk bersabar.’ Karena itulah Rasulullahsaw tetap menekankan kesabaran sampai turun perkenan dari langit untuk membalas. Silakan cari contoh keteguhan hati seperti itu dari antara umat di masa lalu. Jika memungkinkan, coba cari contoh demikian dari antara umat Musaas atau pengikut Isaas dan tolong sampaikan kepadaku.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, mengapa umat Muslim yang memiliki teladan kesabaran, laku menghindari dosa dan perilaku agung yang dibanggakan dunia demikian lalu bisa terseret kepada laku lajak, kebodohan dan kejahatan yang menjadikan mereka lupa sama sekali akan teladan mulia tadi? Semoga Allahswt membimbing para ulama bodoh yang telah mengelabui umatnya dengan pandangan yang salah dan menyampaikan kepada mereka bahwa laku demikian akan menjadi kunci masuk surga. Jelas kalau pandangan seperti itu bersifat opresif, kejam dan melanggar semua nilai-nilai akhlak yang mulia. Apakah bisa dikatakan sebagai suatu kelakuan saleh dimana kita melihat seseorang yang tidak kita kenal dan tidak diketahui namanya sedang berjalan di pasar dengan urusannya sendiri, lalu tiba-tiba kita mencabut pistol dan menembaknya dengan tujuan membunuhnya? Apakah ini yang disebut kebajikan? Jika memang demikian adanya maka ternyata hewan liar lebih baik kapasitas keagamaannya dibanding manusia!

Maha Suci Allah! Betapa takwanya umat yang telah menyerap semangat para nabi di dalam batin mereka sehingga ketika Tuhan memerintahkan mereka di kota Mekah agar bersabar dan tidak melawan laku jahat orang-orang sekelilingnya dan tetap bersabar meski mereka harus tercabik-cabik, namun mereka tetap patuh atas perintah itu laiknya seorang bayi. Mereka seperti telah menjadi lemah tak berdaya seolah-olah tidak lagi memiliki tenaga di tangannya. Sebagian dari mereka terbunuh secara mengerikan dimana dua ekor unta yang masing-masing diikatkan pada setiap kaki seorang korban lalu dipecut untuk berlari ke arah yang berlawanan. Tubuh mereka terbelah dua seperti halnya kita membelah wortel atau lobak. Hanya saja sayang sekali bahwa umat Muslim sekarang ini, terutama para ulamanya telah mengabaikan kejadian itu dan malah menganggap dunia sekarang ini sebagai ladang perburuan mereka. Sebagaimana seorang pemburu yang mengendap-endap di hutan untuk kemudian menembaknya pada saat yang tepat, begitu jugalah yang dilakukan para ulama tersebut. Mereka sama sekali tidak mengenal satu kata pun yang berkaitan dengan welas asih kemanusiaan. Nyatanya, menurut mereka itu, membunuh seseorang yang tidak berdosa tanpa alasan sama sekali dengan sebuah pistol atau senjata lain, malah dianggap sebagai laku Islamiah. Kemana perginya orang-orang yang seperti para sahabat Rasulullahsaw yang bisa bersabar meski dalam penderitaan? Apakah ada Tuhan memerintahkan kepada kita untuk menangkap dan membunuh seseorang tanpa adanya suatu alasan atau bukti pelanggaran? Apakah mungkin menyebut agama demikian sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan dimana diajarkan untuk membunuh mahluk Tuhan yang tak berdosa tanpa diberi petunjuk atau tabligh terlebih dahulu, dan karena itu kalian lantas bisa masuk surga?

Betapa menyedihkan dan memalukannya bahwa seseorang yang tidak ada menunjukkan rasa permusuhan, bahkan tidak kita kenal, yang kebetulan sedang berbelanja di warung untuk anak-anaknya, lalu kita serang tanpa alasan sama sekali sehingga isterinya lalu menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim serta rumahnya berkabung. Dalam Hadith mana dan ayat Al-Quran mana laku demikian itu diatur? Apakah ada ulama yang bisa menjawab hal ini? Begitu mendengar kata jihad maka orang-orang awam itu langsung menjadikannya sebagai alasan guna memuaskan nafsu dangkal mereka. Atau bisa jadi mereka itu memang haus darah hanya karena kegilaan semata?

Menekankan kembali apa yang aku kemukakan di atas, di masa Rasulullahsaw nyatanya Islam mengangkat senjata hanya setelah diperintahkan oleh Tuhan. Hal ini dilakukan setelah sekian banyak Muslim yang dikirim ke kuburan oleh pedang umat kafir. Akhirnya kemurkaan Tuhan bangkit dan menetapkan mereka yang membunuh dengan pedang harus juga dibunuh dengan pedang pula. Allah itu Maha Pemurah dan Maha Pengasih namun pada akhirnya Dia murka demi para penganut-Nya yang setia. Aku merasa heran dimana di masa ini ketika tidak ada Muslim yang dibunuh karena keimanan agamanya, lalu berdasar perintah apa mereka kemudian membunuhi orang-orang yang tidak berdosa? Mengapa para ulama mereka tidak menahan kelakuan orang-orang yang telah menistakan nama Islam itu?

Tidak mampukah mereka melihat bahwa keadaan umat Muslim sekarang dalam pemerintahan Inggris ini sesungguhnya dalam keadaan aman tanpa gangguan? Masih banyak orang-orang yang hidup di masa kini yang telah mengalami dan menyaksikan bagaimana keadaan kehidupan di bawah pemerintahan bangsa Sikh. Mereka bisa memberitahukan kepada kalian tentang keadaan Islam dan umat Muslim di bawah pemerintahan bangsa tersebut. Salah satu fungsi utama dalam agama Islam adalah panggilan azan, namun ini malah dianggap sebagai suatu tindakan kriminal. Tidak ada seorang pun saat itu yang berani azan dengan suara keras karena ia pasti akan menghadapi tombak atau lembing bangsa Sikh. Sekarang ini, apakah Tuhan telah berlaku salah dengan membebaskan umat Muslim dari gangguan bangsa Sikh dan meletakkan mereka dalam perlindungan pemerintahan Inggris? Kita bisa mengatakan bahwa dengan kedatangan pemerintahan Inggris, umat Muslim di Punjab malah seperti mendapat berkat Islam yang baru. Karena suatu perbuatan baik sewajarnya dibalas dengan kebaikan pula, sepatutnya kita tidak mengingkari rahmat Ilahi yang kita pohonkan dalam ribuan doa untuk membebaskan kita dari pemerintahan bangsa Sikh.

Saat ini aku secara khusus mengingatkan Jemaatku yang mengakui diriku sebagai Al-Masih yang Dijanjikan agar mereka menahan diri dari melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu. Allahswt telah mengutus diriku sebagai Masih Maud dan telah mengenakan jubah Al-Masih ibnu Maryam pada diriku. Atas dasar pertimbangan tersebut, aku menasihati kalian agar menahan diri dari laku dosa, mengasihi sesama manusia dan menghargai hak-hak mereka. Sucikan hati kalian dari kebencian dan kedengkian. Dengan cara itulah kalian bisa menjadi seperti malaikat.

Keyakinan yang tidak mengajarkan peri kemanusian adalah suatu agama yang kotor dan tidak suci. Jadinya hanya akan merupakan jalan nista yang dipenuhi dengan duri kedengkian. Karena itu kalian yang mengikuti aku, janganlah kalian meniru hal demikian. Fikirkan apa yang akan kalian peroleh dari agama. Apakah mencederai orang lain harus menjadi fitrat dalam diri kalian? TIDAK DEMIKIAN! Sesungguhnya yang bernama agama itu adalah upaya untuk mencoba dan menggapai suatu kehidupan yang mendekati fitrat Ilahi, dimana hal itu tidak akan mungkin dicapai kecuali fitrat tersebut telah tertanam dalam diri kalian. Rahmat Ilahi bersifat kasih terhadap manusia, karena itu kalian juga harus sama agar Tuhan juga merahmati kalian.

Mari aku ajarkan kepada kalian suatu cara agar nur cahaya kalian bisa mengalahkan segala cahaya lainnya. Jalan itu mengkaliskan semua kejahatan yang mendasar secara tegas dan menganjurkan simpati kepada kemanusiaan, yang mana mengharuskan seseorang untuk tenggelam dalam fitrat Ketuhanan guna mencapai ketinggian kesucian ruhani. Jalan ini membawa segala mukjizat dan pengabulan doa serta membawa turun malaikat untuk datang menolong. Namun hal itu tidak mungkin dicapai dalam kurun waktu satu hari. Kalian harus terus berjuang sampai kalbu kalian menjadi bersih. Lihatlah cara kerja seorang tukang cuci(1) yang mula-mula akan menggodok pakaian kotor dalam sebuah belanga sampai efek panas telah memisahkan kotoran dari pakaian. Kemudian ia akan bangun pada pagi berikutnya untuk merendam pakaian tersebut di air bersih dan membanting-banting pakaian tersebut di atas sebuah batu. Hanya dengan cara itulah maka kotoran akan lepas sama sekali dari pakaian tersebut. Pakaian itu akan kembali menjadi putih bersih seperti saat pertama dibuat. Demikian juga caranya batin manusia bisa menjadi putih. Keselamatan diri kalian semua amat bergantung pada tingkat kebersihan demikian. Allah swt mengingatkan hal ini dalam ayat:

‘Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya.’ (S.91 Asy-Syams:10)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jiwa yang memperoleh keselamatan adalah yang telah bersih dari segala noda dan kekotoran. Perhatikanlah bahwa aku datang kepada kalian dengan perintah: ‘Sejak kini jihad dengan pedang sudah dihentikan, namun jihad membersihkan batin tetap berlanjut.’ Ini bukanlah kata-kataku sendiri tetapi merupakan perintah Tuhan. Ingatlah bahwa Hadith dalam Sahih Bukhari mengenai Al-Masih yang Dijanjikan tentang yaddaul harb dengan pengertian bahwa jika Masih tersebut datang ke dunia maka ia akan menghentikan perang keagamaan. Karena itu aku memerintahkan agar semua mereka yang bergabung dalam pasukanku untuk tidak lagi menganut jalan fikiran yang salah tersebut melainkan berusaha mensucikan hati mereka, meningkatkan kelemah-lembutan, simpati kepada yang sedang kesusahan, menyebarkan kedamaian di segenap penjuru, agar keimanan akan agama mereka juga berkembang jadinya.

Jangan meragukan bagaimana hal ini bisa terjadi, karena sebagaimana Tuhan memenuhi setiap kebutuhan jasmaniah tanpa suatu talangan apa pun dengan cara menggunakan berbagai unsur dan benda di bumi seperti kita lihat bagaimana kereta api sekarang telah melampaui kecepatan kuda, maka dalam bidang ruhani pun Tuhan tanpa bantuan tangan manusia akan mengutus para malaikat-Nya guna memenuhi kebutuhan spiritual. Akan muncul segala tanda-tanda surgawi yang akbar dan berbagai kecemerlangan lain yang akan membuka mata manusia. Pada akhirnya manusia akan menyadari bahwa adalah suatu kesalahan besar mengangkat seorang manusia dan benda lainnya setara dengan derajat Tuhan. Pasanglah mata secara awas karena sesungguhnya Tuhan itu lebih pencemburu akan Ketauhidan-Nya dibanding kalian. Tekunlah dalam ibadah kalian agar kalian tidak termasuk mereka yang durhaka.

Wahai kalian yang mengharap dan haus akan kebenaran, sekarang inilah saatnya yang telah dijanjikan sejak masa lalu. Tuhan tidak akan menjadikan saat itu berlarut-larut. Seperti halnya lampu di puncak sebuah menara bisa mengimbas sinarnya sampai jauh atau petir di satu sudut langit bisa menerangi langit keseluruhan, demikian juga hari-hari yang dijanjikan itu. Guna memenuhi nubuatan bahwa pernyataan al-Masih ini laiknya lampu di menara yang tinggi akan sampai ke empat penjuru dunia maka segala sarana telah disediakan di muka bumi. Kereta api, sistem telegram, kapal laut, sistem jasa pos dan kemudahan bepergian semuanya telah digerakkan bagi pemenuhan nubuatan itu. Semua hal itu muncul guna memenuhi nubuatan bahwa nur pesan Al-Masih yang Dijanjikan akan mencapai seluruh penjuru dunia seperti halnya halilintar. Menara yang disinggung dalam Hadith sebenarnya berkaitan dengan nur dan dakwah Al-Masih yang Dijanjikan yang akan menyebar seperti panggilan dan sinar dari puncak sebuah menara yang tinggi. Karena itulah kereta api, sistem telegram, kapal laut, sistem pos dan segala sarana untuk kemudahan tabligh dan perjalanan merupakan tanda khusus tentang masa dari Al-Masih tersebut, sebagaimana juga dinyatakan oleh banyak nabi serta dinyatakan dalam Al-Quran:

‘Apabila unta-unta betina bunting sepuluh bulan, ditinggalkan.’ (S.81 At-Takwir:5)

Yang dimaksud disini sebagai tanda saatnya kedatangan Al-Masih yang Dijanjikan adalah ketika sarana transportasi dengan unta sudah dianggap sebagai suatu hal yang obsolet. Saat itulah muncul sarana transportasi baru yang telah menggantikan kebutuhan akan unta. Hal ini juga diungkapkan dalam Hadith:

yang menyatakan saat ketika unta dianggap tidak lagi berguna(a).

Tanda tersebut tidak diberikan untuk saat kedatangan sembarang nabi lain. Karena itu bersyukurlah kepada Allahswt bahwa sudah disiapkan segala sarana untuk menyebarkan nur cahaya ke seluruh langit. Di bumi muncul keberkatan lain seperti kemudahan dalam perjalanan, akomodasi dan lain-lainnya, semuanya merupakan hal yang tidak dikenal oleh nenek moyang kalian. Seolah-olah dunia menjelma baru. Buah-buahan di luar musim kini bisa dibeli kapan saja. Perjalanan yang tadinya perlu waktu enam bulan sekarang cukup beberapa hari. Berita-berita dari ribuan kilometer jauhnya sekarang bisa diterima seketika. Berbagai mesin dan peralatan telah memudahkan kerja manusia dan kalian bisa bepergian dalam kereta api seperti sedang beristirahat di rumah pesiar.

Karena adanya revolusi luar biasa di bumi seperti itu maka Allahswt juga menghendaki harus ada revolusi akbar juga di surgawi. Keduanya menjadi tanda-tanda sebagaimana dikemukakan dalam kitab Barahini Ahmadiyah yang ditulis duapuluh tahun yang lalu yaitu:

‘. . . bahwa seluruh langit dan bumi keduanya dahulu suatu massa yang menggumpal, lalu Kami pisahkan keduanya?. . .’ (S.21 Al-Anbiya:31)

Dengan kata lain, langit dan bumi dulu menjadi satu seperti sebuah buhul atau simpul dimana rahasianya masih tersembunyi. Di masa Al-Masih yang Dijanjikan manusia akan menyaksikan pengungkapan rahasia yang tadinya tersembunyi mengenai langit dan bumi(b).

Selanjutnya, patut diingat meski aku telah menulis tentang hal ini secara rinci dalam pamflet ini, kebiasaan umat Muslim menyerang mereka yang beragama lain dan yang mereka sebut sebagai jihad, sesungguhnya bukanlah jihad dalam syariah Islam karena bertentangan dengan kaidah Tuhan dan Rasul-Nya serta merupakan suatu dosa besar. Hanya saja karena hal ini sudah menjadi kebiasaan lama yang dianut umat Muslim, jelas tidak mudah bagi mereka guna meninggalkannya segera. Bisa jadi malah mereka memusuhi dan akan membunuh orang-orang yang memberikan nasihat demikian hanya karena dibakar oleh hasrat membela agama.

Salah satu solusi yang mungkin diterapkan ialah jika Amir© yang Mulia dari negeri Kabul yang memiliki pengaruh besar atas suku-suku bangsa Afghanistan yang tidak ada taranya dibanding para Amir terdahulu, ia mau mengumpulkan semua ulama untuk membahas makna hakiki daripada jihad. Melalui ulama ini maka rakyat umum diingatkan mengenai perilaku mereka. Sebaiknya para ulama itu menyusun sebuah pamflet dalam bahasa Pushtun yang diterbitkan serta didistribusikan kepada rakyat. Sudah pasti kegiatan demikian akan berpengaruh besar pada umat dan nafsu garang yang ditanamkan para ulama di antara rakyat umum akan berkurang secara gradual.

Sial benar bagi rakyat sang Amir jika ia tidak memperhatikan hal ini. Akibat dari suatu pemerintahan yang mendiamkan fatwa para ulama itu adalah keresahan dan mala petaka, apalagi sudah menjadi kebiasaan para ulama dan mullah tersebut untuk langsung mencap sebagai kafir orang-orang atau suatu kumpulan yang memiliki perbedaan pandangan dalam keagamaan dibanding yang mereka sendiri anut. Pada akhirnya fatwa jihad yang dilancarkan terhadap orang yang dianggap kafir itu akan dikenakan pada diri pimpinan pemerintahan juga. Dalam hal ini sang Amir tidak akan selamat dari fatwa demikian. Bisa saja para ulama itu akan menjatuhkan sang Amir karena dianggap berada di luar tatanan Islam karena perbedaan pandangan yang tidak berarti, dimana ia pun akan dikenai fatwa jihad sebagaimana yang mereka lontarkan terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai kafir.

Sungguh berbahaya adanya orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk mencap seseorang sebagai mukminin atau kafir untuk kemudian melancarkan fatwa terhadap mereka, dimana seorang Raja tidak patut mendiamkannya. Jelas bahwa orang-orang seperti itu hanya akan merupakan sumber atau cukal bakal pemberontakan bagi suatu pemerintahan. Rakyat miskin yang awam berada di bawah kuasa para ulama yang memegang kunci ke hati mereka dan dengan demikian bisa menggiring rakyat ini kemana mereka suka.

Karena itu yang sebaik-baiknya adalah membebaskan rakyat tersebut dengan cara menjelaskan kepada mereka apa sebenarnya makna dan hakikat daripada jihad. Tidak ada sama sekali ajaran dalam Islam yang mengajarkan umat Muslim berlaku bagai perampok dan bandit dengan menggunakan jihad sebagai alasan untuk memenuhi nafsu kotor mereka. Lagipula rakyat awam tidak mengetahui kalau Islam tidak mengizinkan jihad kecuali atas perintah pimpinan tertinggi (atau raja) sehingga mereka mungkin salah mengambil kesimpulan dan mengira perintah jihad yang ada sebagai perintah dari sang Amir. Karena itu menjadi kewajiban Amir agar berusaha sedapat mungkin guna menghentikan fatwa-fatwa yang tidak karuan tersebut. Dengan cara ini sang Raja bisa membebaskan dirinya, bersih dari segala tuduhan dimana ia pun akan diberkati dengan karunia surgawi.
Dari penelitian atas tugas kewajiban yang patut dilaksanakan mahluk kepada Tuhan-nya, tidak ada laku saleh yang lebih akbar daripada upaya membebaskan yang tertindas dari tekanan para penindas mereka. Mengingat sebagian besar yang melakukan hal ini adalah bangsa Afghan yang didorong oleh semangat menjadi ghazi, sedangkan mereka itu hidup di lingkungan Amir, karena itulah Allahswt telah memberikan kesempatan ini bagi sang Amir untuk meninggalkan catatan harum dalam sejarah kepemimpinannya. Ia harus berupaya sekuat mungkin membebaskan suku bangsa Afghan dari praktek-praktek barbar demikian yang telah mencoreng nama baik Islam. Jika ia tidak melakukannya, mengingat sekarang ini adalah masa dari Masih Maud, maka Tuhan akan memberikan sarana lain untuk membuat bumi yang penuh dengan tirani dan pertumpahan darah itu, beralih dipenuhi dengan keadilan, kedamaian dan kerukunan. Berberkatlah para Amir dan Raja yang ikut mengambil peran dalam hal ini.

Selanjutnya aku ingin mengajukan permohonan kepada pemerintah kami yang telah demikian berbaik hati. Meski aku menyadari kalau pemerintahan ini bersifat bijak dan piawai, namun tetap menjadi tugasku untuk mengemukakan permohonan yang akan bermaslahat bagi pemerintah mau pun rakyat awam. Apa yang ingin aku kemukakan adalah adanya fakta yang jelas dan pasti bahwa kebiasaan laku barbar yang terdapat pada bangsa Afghan di perbatasan yang hari-hari telah menimbulkan korban jiwa dari orang-orang tak berdosa, sebenarnya ditimbulkan oleh dua hal sebagaimana telah dikemukakan yaitu:

1. Keberadaan kaum ulama yang berkeyakinan bahwa membunuh orang-orang non-Muslim atau Kristiani dianggap sebagai pahala besar dan karena itu akan mendapat ganjaran surgawi yang akbar, dan bukannya dari shalat, naik haji, membayar zakat atau pun amal ibadah lainnya. Aku mengetahui benar bahwa orang-orang ini terus saja berbicara di muka umum secara terselubung. Jika rakyat awam mendengarkan khutbah para ulama itu dari hari ke hari maka hati mereka yang sederhana akan amat terpengaruh. Mereka lalu seperti menjadi hewan pemburu yang sama sekali tidak lagi memiliki rasa welas asih. Akibatnya mereka ini telah mengakibatkan pertumpahan darah yang mengerikan. Daerah perbatasan dan teritorial Afghanistan penuh dengan ulama jenis ini yang terus saja menghasut rakyat. Aku yakin bahwa daerah Punjab dan India juga tidak terbebas dari ulama-ulama jenis ini. Kalau pemerintah mengira bahwa semua ulama di negeri ini sebagai tidak berdosa dan terbebas dari jalan fikiran seperti itu, rasanya perlu berfikir lagi.

Aku berpendapat bahwa mayoritas ulama umum yang beringas dan bodoh di mesjid-mesjid tidak terbebas dari fikiran-fikiran jahat demikian. Sesungguhnya mereka itu bodoh jika menganggap bahwa opini mereka itu sejalan dengan petunjuk Al-Quran. Sebagaimana mereka itu telah melalaikan kewajiban kepada pemerintah sehingga karenanya menjadi musuh tersembunyi, begitu jugalah mereka itu telah bersalah dan mengingkari Tuhan. Aku telah menjelaskan secara rinci bahwa tidak ada dalam firman Tuhan mana pun agar kita menumpahkan darah orang yang tidak berdosa, barangsiapa yang berfikir demikian sesungguhnya ia telah murtad.

2. Menurut pendapatku, penyebab kedua dari tindakan kriminal penumpahan darah demikian didasarkan pada keinginan menjadi ghazi, karena para ulama tersebut secara terus menerus menekankan kalau jihad itu merupakan keharusan di dalam Islam dan bahwa laku membunuh komunitas lain merupakan bagian dari keimanan Islam yang dianggap sebagai amal saleh. Aku sepenuhnya yakin bahwa sebenarnya umat di daerah perbatasan itu pada dasarnya tidak mengerti mengenai masalah jihad sampai kemudian diingatkan oleh para ulama. Bukti dari pendapatku ini ialah tidak adanya kejadian berdarah demikian sebelum munculnya publikasi harian, buku dan majalah oleh para ulama. Adalah suatu fakta bahwa saat pemerintahan bangsa Sikh diusir dari negeri ini untuk digantikan oleh pemerintahan Inggris, umat Muslim umumnya, termasuk mereka yang berada di daerah perbatasan, sangat gembira dengan perubahan tersebut.
Kemudian ada pendeta bernama Pfander yang mempublikasikan bukunya berjudul Mizanul Haq(d) pada tahun 1849 di Punjab dan India serta daerah perbatasan, dimana dalam buku itu tidak saja ia telah menggunakan kata-kata kotor untuk menyerang Islam dan Rasulnya, malah ia juga menyebarkan rumor yang mengatakan bahwa dalam Islam, laku membunuh seorang non-Muslim dianggap sebagai amal saleh. Mendengar hal ini maka mereka yang berhati hewan di perbatasan itu yang sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang agamanya, tiba-tiba tergugah dan langsung meyakini kalau agama mereka menganjurkan pembunuhan non-Muslim sebagai suatu amal saleh. Dari hasil renunganku, aku mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar dari insiden dan kegalauan yang terdapat di antara suku-suku bangsa di daerah perbatasan, pada dasarnya ditimbulkan oleh buku-buku para ulama yang menggunakan kata-kata kasar berlebihan dan terus menerus mengingatkan umat akan jihad.

Akhirnya setelah muncul keriuhan akibat buku Mizanul Haq serta dampaknya yang beracun, pemerintah kita telah mengeluarkan Undang-undang nomor XXIII tahun 1867 guna mengendalikan pemikiran seperti ghazi dari suku-suku bangsa di perbatasan. Undang-undang ini dikenakan pada enam suku bangsa daerah perbatasan dan diharapkan bahwa insiden berikutnya akan berakhir. Namun yang menyedihkan setelah itu adalah terbitnya buku-buku dan tulisan dari pendeta Imadud Din(e) dari Amritsar dan beberapa ulama bermulut kotor yang kemudian mengeruhkan kembali kedamaian dan kerukunan. Banyak lagi buku-buku serupa dari para ulama lainnya, yang tidak perlu dirinci secara mendalam, yang ikut menyebarkan benih permusuhan di hati umat.

Menjadi jelas bahwa para ulama ini telah menjadi penghalang besar bagi pemerintah dalam usahanya untuk menerapkan kerukunan. Ada bagusnya bahwa pemerintah tidak melarang umat Muslim untuk menulis sebagai jawaban atas buku-buku itu. Keributan yang diperkirakan akan muncul akibat buku-buku yang menghujat itu ternyata bisa diredam akibat dari niat baik dan rasa keadilan pemerintah. Memang aku menyesali para ulama Muslim yang telah mensalah-artikan makna jihad dengan menganjurkan suku-suku bangsa di perbatasan agar mencelup pedang mereka dalam darah para perwira Inggris, namun aku juga menyesalkan para ulama Eropah yaitu para pendeta dengan karangan mereka yang kasar dan tidak adil yang nyatanya telah membakar nafsu orang-orang yang bodoh. Dengan mengemukakan keberatan atas jihad beribu kali, mereka tanpa disadari telah menanamkan pandangan tersebut di antara umat Muslim yang masih terbelakang sehingga mereka ini lalu menganggap bahwa jihad merupakan jalan pintas ke surga. Jika para pendeta (Kristiani) ini memang tidak mempunyai maksud buruk dalam hati mereka, mestinya mereka sendiri bisa melihat kebenaran dengan membandingkan jihad yang dilakukan Musa.as dan Joshua dengan jihad Rasulullah.saw.

Misal kita andaikan bahwa penyebab maraknya semangat jihad di kalangan umat adalah akibat pengaruh dari para ulama Muslim saja, maka rasa keadilan mengharuskan kita untuk juga melihat dampak tulisan para pendeta Kristiani yang memandang umat Muslim dengan mata curiga sehingga menimbulkan sikap perlawanan. Adalah suatu hal yang menyedihkan melihat bagaimana orang-orang itu lempar batu sembunyi tangan dan pemerintah yang harus memikul akibatnya. Menurut hematku, cara terbaik guna mengatasi kesulitan ini ialah meniru contoh dari pemerintahan Ottoman (Turki) masa kini. Mereka menetapkan suatu periode percobaan selama beberapa tahun dimana setiap komunitas dilarang keras menggunakan bahasa keras atau yang menghasut, baik implisit atau pun eksplisit, dalam khutbah-khutbah mereka yang bersifat menentang atau memburukkan agama lain. Namun tetap diperbolehkan untuk berbicara tentang keindahan agamanya sendiri sebanyak sukanya. Dengan cara demikian maka benih permusuhan baru bisa dihindari, masalah-masalah lama dilupakan dan umat akan lebih cenderung kepada welas asih dan kerukunan. Jika suku-suku bangsa yang terbelakang di daerah perbatasan bisa melihat persahabatan dan keserasian di antara bangsa-bangsa lain maka mereka itu pun akan menjadi terkesan dan pada akhirnya mereka juga akan menunjukkan simpati kepada umat Kristiani sebagaimana seorang Muslim memperlakukan saudaranya.

Usulan kedua ialah agar para ulama Punjab dan India yang menentang paham jihad yang salah, sepatutnya menulis mengenai hal itu. Setelah diterjemahkan ke bahasa Pushtun (Afghanistan) lalu didistribusikan di antara suku-suku bangsa di perbatasan. Jelas kegiatan demikian akan membawa dampak besar. Namun semua usaha demikian haruslah dilambari dengan hati yang jujur dan semangat yang baik, bukan oleh sikap munafik.

Referensi :

a. (Catatan Mirza Ghulam Ahmad): Aku telah berulangkali menyatakan bahwa Al-Masih yang Dijanjikan bukanlah nabi dari bangsa Israil, tetapi hanya mirip dalam fitrat dan kecenderungan saja. Mengingat dalam kitab Taurat, Nabisaw kita dinyatakan sebagai mirip dengan Musa, maka mestilah ada seorang Masih di akhir era Muhammad sebagaimana ada Masih di akhir era Musa.

b. (Catatan Mirza Ghulam Ahmad): Bukankah kini simpul-simpul bumi telah berhasil diuraikan dimana ribuan kebenaran baru, barang-barang dan sarana baru telah dimanifestasikan? Lalu mengapa simpul-simpul surgawi juga tidak terurai dan dianggap tetap terbuhul? Berkaitan dengan simpul-simpul surgawi, nabi-nabi terdahulu telah menubuatkan bahwa bahkan wanita dan anak-anak pun bisa memperoleh wahyu Ilahi dan saat itu adalah masanya Al-Masih yang Dijanjikan.

c. Amir bangsa Afghan saat itu adalah Abdur Rahman (1881 – 1901). Ia menduduki tahta setelah perang Afghan II (1878 – 1880) dan diakui sebagai Amir dari Kabul atas dasar pertimbangan tidak memiliki hubungan politik dengan siapa pun kecuali dengan Inggris.

d. Mizanul Haq (Neraca Kebenaran) ditulis oleh pendeta Karl Gottlieb Pfander (1803 – 1865). Merupakan bukunya yang pertama tentang Islam dan Kristen. Sebagian besar dari isi buku menjelaskan tentang integritas dan kewahyuan daripada kitab Injil sambil menyerang kewahyuan Al-Quran dan keabsahan kenabian dari Nabi Besar Muhammadsaw.

e. Pendeta Imadud Din adalah salah seorang dari sekian banyak pendeta yang mengarang secara ekstensif dalam kurun waktu tersebut. Sebagai mantan seorang Muslim, Imadud Din mengenal banyak tentang Islam dan karena itu dianggap membahayakan secara khusus.

Catatan :
1.Tukang cuci (dhobi) di masa Masih Maud a.s. merupakan suatu profesi tersendiri karena belum ada mesin-mesin seperti sekarang. (Penterjemah)