Monday, April 03, 2006

Tentang Perda Pelacuran

Editorial
Tentang Perda Pelacuran
Oleh Abd Moqsith Ghazali
03/04/2006

Tidak terlalu jauh dari Jakarta, di Kota Tangerang, kita tengah menyaksikan peraturan daerah (Perda) No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Sesungguhnya telah banyak keluhan dan kritik disampaikan terkait dengan perda Tangerang, baik oleh para akademisi, pakar hukum maupun warga masyarakat Tangerang sendiri. Perda ini dikritik bukan hanya karena banyak bertentangan dengan peraturan di atasnya seperti KUHP, melainkan juga karena materi hukum dan kosa kata yang dipakainya sangat multitafsir, sehingga dapat dengan mudah dibelokkan oleh aparat penegak hukum.

Tidak terlalu jauh dari Jakarta, di Kota Tangerang, kita tengah menyaksikan peraturan daerah (Perda) No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Perda ini telah diundangkan pertanggal 27 Nopember 2005, dengan demikian mengikat secara langsung terhadap seluruh warga kota Tangerang. Beberapa kali media massa memberitakan tentang sejumlah perempuan yang ditangkap polisi karena diduga sebagai pelacur dengan ancaman sanksi yang telah diatur dalam Perda ini, yaitu pasal 9 ayat (1), hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya lima belas juta rupiah. Lilis Lindawati, warga Sepatan Tangerang, yang didakwa sebagai pelacur telah dihukum dengan membayar denda Rp. 300.000 atau kurungan delapan hari. Sebagian yang lain kemudian dilepas karena tak terbukti sebagai pelacur, tanpa ada upaya untuk memperbaiki nama baiknya yang telah tercemar akibat tuduhan pelacuran tersebut.

Sesungguhnya telah banyak keluhan dan kritik disampaikan terkait dengan perda Tangerang, baik oleh para akademisi, pakar hukum maupun warga masyarakat Tangerang sendiri. Perda ini dikritik bukan hanya karena banyak bertentangan dengan peraturan di atasnya seperti KUHP, melainkan juga karena materi hukum dan kosa kata yang dipakainya sangat multitafsir, sehingga dapat dengan mudah dibelokkan oleh aparat penegak hukum. Jika ini yang terjadi, pihak yang paling banyak dirugikan adalah kaum perempuan. Perda ini bisa menjerat kaum perempuan yang dicurigai sebagai pelacur. Tapi, ia tak pernah bisa menjangkau lelaki hidung belang yang menjadi pelanggannya. Perda ini mengandung bias, karena itu perlu direvisi secara mendasar dan substansial. Anehnya, walau banyak menuai kritik, Pemerintah Kota Tangerang tetap bersikukuh menerapkan perda tersebut.

Saya hanya akan menyoroti Perda ini dari perspektif fikih Islam. Karena, sekalipun tak disebut secara eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa disangkal bahwa ada ideologi keislaman yang hendak ditegakkan melalui perda tersebut. Yaitu, memberantas tindak pelacuran dengan asumsi-asumsi keislaman. Tentu itu sebuah tujuan yang mulia. Namun, ketika memasuki pasal demi pasalnya kita segera menemukan kelemahan pokoknya. Bahwa perda ini berdiri di atas basis epistemologis dan pangkal paradigma yang rapuh. Misalnya, pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa, "setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah".

Dengan pasal 4 di atas, cukup jelas bahwa perda tersebut didasarkan pada prasangka dan kecurigaan. Ini sangat problematis dari sudut fikih Islam. Sebab, menuduh orang lain (qadaf) sebagai pelacur atau pezina tanpa menghadirkan alat bukti yang valid, dalam fikih Islam, dapat diancam dengan hukuman jild (pukulan) sebanyak 80 kali. Si penuduh hanya akan selamat dari ancaman tersebut hanya jika ia dapat menghadirkan empat orang saksi yang melihat secara detail bahwa si tertuduh telah melakukan pelacuran. Atau, si pelacur mengakui perbuatannya (i'tiraf) bahwa dirinya benar-benar seorang pelacur. Cara pandang fikih klasik ini sengaja saya hadirkan untuk menunjukkan bahwa menuduh orang lain sebagai pelacur atau pezina tanpa ditunjang oleh bukti yang kuat tak bisa dibenarkan. Menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur hanya karena ia berada di pinggir jalan pada jam larut malam adalah sebentuk kesewenang-wenangan.

Semua pelajar muslim pasti tahu bahwa beberapa kali hukuman dijatuhkan oleh Rasulullah SAW kepada para pelaku tindak perzinaan bukan didasarkan atas prasangka dan kecurigaan, melainkan karena pengakuan jujur dari diri yang bersangkutan. Dengan kesadaran hatinya yang penuh, masing-masing mendatangi Nabi agar hukuman segera dijatuhkan pada dirinya. Cukup menarik, walau mereka mengakui kesalahannya karena telah melakukan perzinaan, Nabi tidak serta-merta memvonis. Nabi masih mencoba bertanya, "mungkin Anda lupa, mungkin Anda tak sengaja, mungkin Anda khilaf". Ini turut menegaskan bahwa sesungguhnya Nabi berharap agar yang bersangkutan melakukan perbaikan diri dan pertobatan secara langsung kepada Allah.

Melalui hadis ini bisa diambil kesimpulan bahwa Islam menganut asas praduga tak bersalah. Dalam pandangan fikih Islam, semua orang pada dasarnya adalah suci (tak berdosa) hingga ada dalil yang membuktikan sebaliknya. Dua orang berbeda jenis kelamin tanpa ada ikatan pernikahan yang sedang berada dalam satu kamar pun tak bisa divonis telah melakukan perzinaan, kecuali ada empat orang saksi yang mengetahui secara persis--menurut hadis--sebagaimana benang masuk ke dalam jarum atau timba masuk ke dalam sumur. Demikian sulitnya pembuktian perzinaan ini sehingga hukuman bagi para pezina, sepanjang kehidupan Nabi, tak pernah dijatuhkan dengan adanya kesaksian dari empat orang. Nabi pun tak pernah menghukum seseorang sebagai pezina atau pelacur karena ia berteman akrab atau berada di lingkungan pezina atau pelacur.

Berkebalikan dengan pandangan Islam di atas, perda Tangerang memegang satu perspektif bahwa seseorang pada hakekatnya adalah bersalah kecuali ada dalil lain yang menunjukkan bahwa dirinya adalah bersih-tak bersalah. Perda Tangerang menganut asas praduga bersalah. Dengan nalar seperti ini, polisi Tangerang dapat menangkap seseorang yang dicurigai sebagai pelacur. Bagaimana kriterianya sehingga seseorang bisa dicurigai sebagai pelacur, perda ini tak menjelaskannya secara clear-cut. Karena tak ada petunjuk-penjelasan itu, polisi bisa saja bergerak secara leluasa untuk menentukan kriterianya. Misalnya, perempuan yang patut dicurigai sebagai pelacur adalah perempuan yang berpakaian seksi, memakai parfum yang menyengat, memakai bedak yang tebal dan lipstik yang ngejreng. Bahkan, menurut pengakuan Lilis (sebagaimana dalam wawancara di TVRI 28 Maret 2006 pukul 22.00 WIB), dirinya divonis sebagai PSK (pekerja seks komersial) karena di dalam tasnya ada bedak dan lipstik. Jika demikian kriterianya, maka sekian ribu perempuan akan digiring masuk tahanan. Konon, sepanjang tahun 2005, Pemerintah Kota Tangerang telah menjaring tiga ratusan lebih perempuan yang diduga sebagai pelacur.

Paragraf demi paragraf di atas telah cukup untuk menegaskan bahwa Peraturan Daerah Kota Tangerang itu sangat problematis, bukan hanya dari sudut semantik dan koherensinya dengan peraturan-peraturan lain sebagaimana dikemukakan sejumlah pakar, melainkan juga bermasalah dari perspektif fikih Islam. Jika demikian jelasnya kelemahan-kelemahan dalam perda itu, maka tak bisa lain kecuali bahwa perda tersebut memang harus ditolak. Begitu juga terhadap perda-perda serupa yang kini banyak muncul di sejumlah kota dan kabupaten di Indonesia. []


Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1027

No comments: