Tuesday, December 05, 2006

Dua Macam IQBAL

Uraian ini adalah tanggapan pertama atas buku Ahmadiyah Telanjang Bulat Di Panggung Sejarah, karangan Abdullah Hasan Alhadar,. 223 halaman, P.T. Alma’arif, Bandung, 1980. – Red.

Setelah membaca judul buku ini Ahmadiyah Telanjang Bulat Di Panggung Sejarah penulis menduga keras bahwa pengarangnya, Abdullah Hasan Alhadar, adalah seorang pelanggan tetap dari suatu perusahaan show strip and tease yang ada di kota buaya Surabaya. Hobinya itu rupanya telah memberinya ilham untuk membuat judul bagi bukunya itu. Hanya suatu watak sudah bejat yang bisa melahirkan ungkapan pornografis seperti yang terpancar pada judul buku itu. Jiwa yang porno jugalah yang mendorongnya melukiskan Ahmadiyah sebagai pribadi yang “sekujur tubuhnya kelihatan mulus dan cantik” (halaman 17).

Ketika penulis mendengar adanya buku itu dan mendengar bahwa ia dijual pada salah satu toko buku di Pusat Perdagangan Senen, timbul segera keinginan penulis untuk memperoleh buku itu. Tetapi usaha ini dibarengi dengan resiko yang memalukan. Setiap penulis menyebutkan judul buku yang dikehendaki kepada beberapa pedagang buku semua orang yang meladeni memandangi penulis dengan jidat bekernyit dan senyuman ejekan yang tersungging di mulut mereka. Rupanya pedagang-pedagang buku itu masih mempunyai perasaan yang lebih halus dari pengarang buku itu, yang selanjutnya kita pendekkan saja namanya dengan AHA untuk memudahkan. Perkataan “telanjang bulat” rupanya menimbulkan asosiasi negatif pada pikiran pedagang-pedagang itu. Malu penulis memuncak ketika perkataan penulis kepada pedagang buku itu terdengar oleh seorang gadis. “0 bapak”, katanya sambil mendekat. Mula-mula penulis tidak mengenalnya. Tetapi sesudah ia menjelaskan dirinya barulah penulis ketahui bahwa ia seorang anggota kaum kerabat juga dari penulis. Ketika itu yang mengamuk dalam hati penulis ialah pikiran: Apa anggapan, anak gadis itu? Mungkinkah ia akan menaruh salah anggapan kepada penulis? Semua itu gara-gara jalan pikiran porno dari pengarang AHA itu pada judul bukunya.

AHA berpretensi bahwa tulisannya merupakan “pangkal Study mendalam” dan berharap agar itu menjadi “bahan-bahan tambahan untuk Lembaga Research Islam” (halaman 17). Yang mengherankan ialah kenapakah tujuan baik itu diwarnai dengan judul porno dan dituangkan dalam kata-kata kasar bahkan keji terhadap pemimpin-pemimpin suatu gerakan yang sudah tersebar di seluruh dunia? Hal-hal ini hanya menunjukkan bahwa pengarang AHA tidak mampu mengemukakan yang dikatakannya benar dengan kata-kata ilmiah yang beradab. Untuk menarik perhatian pembaca-pembaca ia perlu menggunakan suatu cara yang sudah menjadi ketagihannya: unsur porno dan ucapan-ucapan keji.

Pada waktu membeli buku itu penulis juga membeli sebuah buku yang juga keluaran kota buaya, dengan judul Romans Perkawinan Nabi-nabi. Apa yang penulis duga ternyata benar. Kata romans sengaja diimbuhkan pada judul itu karena .dalam buku itu riwayat perkawinan nabi-nabi, yang seharusnya menimbulkan rasa hormat terhadap kesucian nabi-nabi, meninggalkan kesan seperti yang dibekaskan oleh cerita-cerita percintaan yang dewasa ini telah membanjiri pasaran bacaan. Dalam buku itu riwayat perkawinan nabi-nabi telah dibumbui oleh pengarang dengan adegan-adegan khayalannya sendiri, yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran. Rupanya pengarang itu berbuat demikian untuk dapat bersaing dengan buku-buku cerita hiburan. Pengarang AHA juga tampaknya berpikir demikian. Supaya laku ia harus menggunakan juga unsur porno.

Dalam Bab I yang bersifat pengantar AHA mengemukakan riwayat penyaliban Nabi Isa seperti yang diceritakan Bijbel. Kematian Nabi Isa di atas salib menimbulkan keputusasaan pada pemuka-pemuka pertama Kristen. Keputusasaan ini kemudian mereka atasi dengan menciptakan suatu ajaran bahwa sesudah mati Nabi Isa hidup kembali. Sesudah tinggal beberapa lama di langit Nabi Isa itu akan turun dari langit. Sambil lalu AHA menunjukkan hal yang sama dengan yang terdapat pada kaum Muslimin. Mereka juga menunggu kedatangan kembali Nabi Isa dan kedatangan seorang yang disebutkan Imam Mahdi. Pengarang menguraikan semua itu dengan maksud bahwa timbulnya gerakan Ahmadiyah adalah tersebab kepercayaan-kepercayaan itu. Dalam uraian ini AHA memutar yang sekunder menjadi yang primer.

Gerakan Ahmadiyah timbul dalam lingkungan Islam. Yang menjadi sebab adalah ajaran Islam sendiri. Karena dalam teologi Islam ajaran tentang kedatangan Almasih dan Almahdi bersumber pada hadits-hadits shahih dari Nabi Muhammad s.a.w. Kebetulan ajaran-ajaran Islam itu didukung oleh garis besar ajaran Kristen mengenai kedatangan Almasih. Yang demikian juga terdapat dalam ajaran agama-agama lain, yakni tentang kedatangan guru mereka pada zaman akhir. Tetapi semua ajaran agama-agama lain itu bagi Ahmadiyah hanya tambahan. Yang pokok ialah ajaran Islam sendiri. Sekiranya ajaran-ajaran agama-agama lain itu tidak ada, namun ajaran-ajaran, yang dikemukakan Ahmadiyah akan tetap ada. Karena, sebagailmana dikatakan tadi, ajaran-ajaran Ahmadiyah mempunyai rationale atau sumber pada ajaran Islam sendiri, Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad s.a.w.

Sikap AHA membuat yang sekunder menjadi primer dan sebaliknya mungkin sekali karena ia tidak mampu menghadapi Ahmadiyah secara teologis. Sikap AHA demikian itu tidak mengherankan. Karena ia sendiri melihat bahwa kebanyakan penulis yang menghadapi Ahmadiyah tidak lagi mendasarkan pemikiran mereka pada ajaran Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad s.a.w. Ia menyaksikan betapa tidak berdaya lawan-lawan Ahmadiyah beragumentasi dalam bidang itu. Karena tidak mampu dalam bidang ini mereka melarikan diri ke bidang lain yang sifatnya umum. Mereka berkelahi dalam sektor sejarah dengan mengemukakan riwayat-riwayat atau cerita-cerita yang pada umumnya palsu. Tetapi cara yang dilakukan AHA dalam melarikan diri dari argumentasi menurut teologi agak lihai. Ia bersembunyi di bawah ketiak Dr. Mohamad Iqbal untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah di bidang-bidang lain selain bidang teologi.

AHA bersetumpu pada pendapat Dr. Iqbal yang mengatakan “Para ulama di India yang menggunakan pedoman atau hujjah-hujjah Theologis untuk berhadapan dengan alirah Ahmadiyah, pada kenyataannya tidak berhasil mencapai kesempurnaan buat menengok kebahagiaan sebelah dalam dari Ahmadiyah. Cara-cara mereka itu bukan suatu methode yang effektif. Bahkan bila mereka mencapai suatu succes, itu hanya semu (sementara) belaka” (halaman 32). Oleh karena itu Dr. Iqbal mengemukakan suatu methode untuk menghadapi Ahmadiyah yaitu: Menyusuri jejak-langkah, sepak-terjang, maupun tingkah laku Mirza Ghulam Ahmad, ajaran-ajarannya, contoh-contoh wahyu yang ia terima dari Tuhannya, dan jika ditambah lagi, kehidupan keluarganya. Methode lainnya, yang juga penting dan effektif ialah, mencari dan menggaris-bawahi letak-letak Ahmadiyah dan pendirinya di dalam mata rantai sejarah kaum Muslimin India, sebelum abad keduapuluh atau meneliti situasi dan kondisi Muslim India dalam abad kesembilanbelas itu, sejak jatuhnya Sultan Tippu (halaman 43, 44). AHA merasa terpanggil untuk menempuh methode yang digariskan Iqbal itu. Dan cara inilah yang dilakukan AHA dalam bukunya ini. Tetapi apakah methode-methode itu betul effektif akan terlihat dalam karangan ini dan karangan-karangan berikutnya.

Sebenarnya keengganan Dr.Iqbal beragumentasi dengan Ahmadiyah secara teologis dapat dipahamkan. Ia telah menyaksikan betapa tidak berdayanya ulama-ulama India mempertahankan pendirian mereka terhadap dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang diberikan pihak Ahmadiyah berdasarkan Al-Quran, hadits-hadits dan pendapat ulama-ulama Islam mutaqaddimin. Kalau ulama-ulama besar India itu sudah tidak berdaya menghadapi kejituan dan kebenaran pendirian Ahmadiyah bagaimana bisa Iqbal akan ikut pula menghadapi Ahmadiyah secara teologi? la sendiri tidak berpengetahuan dalam teologi Islam. Hal ini diakuinya sendiri dalam suratnya kepada Jawaharlal Nehru ketika ia ini mengeritik Iqbal dalam karangan-karangannya. Dalam surat itu, yang dalam buku ini dikutip selengkapnya (halaman 24, 25). Dr. Iqbal mengatakan antara lain “Selanjutnya perlu saya utarakan di sini bahwa perhatian saya terhadap ilmu keTuhanan, kurang.” Karena perhatiannya kurang terhadap ilmu keTuhanan maka dengan sendirinya pengetahuannya tentang teologi tentu kurang juga. Pengakuan itu amat penting karena disampaikan kepada seorang yang bukan Muslim yang ternama, yang telah mengejek Iqbal dalam karangan-karangan-nya mengenai sikapnya terhadap Ahmadiyah.

Berkenaan dengan kehidupan Dr. Iqbal, terutama yang bertalian dengan Jemaat Ahmadiyah, dapat dikatakan bahwa riwayat hidupnya dapat dibagi dua sebelum akhir 1931 dan mulai awal 1932. Sampai akhir 1931 tak ada suara-suara atau pendapat-pendapat yang menentang Ahmadiyah. Malahan sebaliknya. Dalam tahun 1900 ia menulis surat kepada ‘Dr. Nicholson di mana ia mengatakan “Sesungguhnya Pendiri Gerakan Ahmadiyah adalah seorang pemikir ulung keagamaan di tengah ummat Islam”. Dalam pidatonya berjudul “Millate baidha par ek imrani nazhar” (suatu pandangan pembinaan atas agama Islam) yang dicetak dalam tahun 1919 ia mengata kan antara lain “Sesungguhnya Jemaat Ahmadiyah adalah suri teladan bagi sirat Islam”. Seorang temannya Maulwi Ghulam Muhyiddin Qushuri menyatakan bahwa Igbal pernah bergabung pada Jemaat Ahmadiyah ketika ia belajar pada perguruan tinggi dalam tahun 1896—7.

Pada pertengahan pertama tahun 1931 rakyat Kashmir yang 90 persen beragama Islam mengalami penindasan besar dari raja mereka yang beragama Hindu. Mengingat hal ini Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. mengundang setengah lusin pemimpin besar Islam di India, di antaranya Dr. Iqbal, supaya mengadakan pertemuan 25 Juli 1931 di Simla. Pertemuan itu menghasilkan suatu badan yang bernama All India Kashmir Committee. Atas usul Iqbal dan disokong oleh Khawaja Hasan Nizami Sahib, Imam Jemaat Ahmadiyah dipilih sebagai ketua badan itu. Dan Iqbal sendiri menjadi wakil ketua. Mula-mula Imam Ahmadiyah menolak usul penunjukan beliau sebagai ketua. Demikian juga ketika badan itu sudah berjalan beberapa lama dengan prestasi yang baik dan Imam Ahmadiyah menyatakan ingin mengundurkan diri dari keketuaan badan itu, dengan alasan bahwa beliau adalah pemimpin Ahmadiyah yang tidak disukai oleh kaum Muslim India, adalah Dr. Iqbal sendiri yang mendorong Imam Ahmadiyah supaya tetap memegang pimpinan itu, demi kepentingan berjuta-juta kaum Muslim Kashmir. Jadi di dalam pikiran dan perbuatan sampai akhir 1931 Dr. Iqbal dekat sekali bahkan bersatu dengan Ahmadiyah dan Pemimpinnya.

Tetapi mulai awal 1932 Dr. Iqbal yang pujangga, mencempelungkan dirinya kedalam politik. Iqbal mulai bermain-mata dengan Ahrar, suatu partai yang beranggotakan orang-orang Islam, tetapi yang berorientasi politik pada Partai Kongres yang dikuasai Hindu. Karena politik Dr. Igbal mulai menentang dan memusuhi Ahmadiyah. Tetapi dalam teologi ia tetap menghargai Ahmadiyah. Hal ini terbukti dalam suratnya tanggal 7 April 1932 kepada Choudhry Mohamad Ahsan, di mana antara lain ia berkata: “Adapun menggabungkan diri atau tidak ke dalam Jemaat Ahmadiyah adalah suatu hal yang tergantung umumnya pada tabiat insani. Tuan bebas memilih apakah akan bergabung atau tidak kepada gerakan ini. Adapun mengenai cara berdakwah yang berbeda-beda saya berpendapat bahwa cara dakwah yang dipilih oleh Pendiri Gerakan Ahmadiyah tidak sesuai dengan selera zaman sekarang. Yang sudah terang, keberanian semangat menyiarkan Islam yang kita lihat dalam kebanyakan anggota Jemaat Ahmadiyah patut sekali dihargai” (Surat-surat Iqbal, Juz II, h. 232).

Dalam suratnya kepada Nehru itu Iqbal mengatakan bahwa “orang-orang Ahmadiyah itu, adalah pengkhianat-pengkhianat terhadap Islam dan India” (h. 25). Yang menjadi soal ialah: Sejak kapan kaum Ahmadiyah beserta pemimpin mereka menjadi pengkhianat? Ketika Imam Ahmadiyah memimpin All India Kashmir Committee bersama setengah lusin putera Islam India terbaik berjuang membela berjuta-juta kaum Muslim Kashmir dari penindasan raja Hindu, yang berada dibawah pengaruh kerajaan Inggeris, adakah perbuatan itu pengkhianatan? Jika itu memang pengkhianatan maka bukankah Iqbal sendiri harus disebutkan pengkhianat kedua, karena ia menjadi wakil ketua Kashmir Committee itu? Baiklah Iqbal menjawab pertentangan hati sanubarinya sendiri. Dan AHA sendiri baiklah meninjau kembali kesimpulannya.

Meskipun secara politik Dr. Iqbal menentang Ahmadiyah tetapi dalam ideologi ia banyak sependapat dengan Ahmadiyah. Umpamanya, mengenai peperangan untuk agama Iqbal berkata: “Adapun bantahan yang mengatakan bahwa Iqbal menyokong pendirian wajib jihad agama pada masa kebangunan sekarang ini adalah suatu kekeliruan yang sangat keji. Aku tidak mengatakan demikian selama-lamanya dan tidak mungkin seorang Islam mana pun akan mengatakan seperti itu, karena melihat batas-batas yang sudah ditentukan oleh syariat, yaitu sesungguhnya jihad (perang) dapat dilakukan menurut ajaran Quran hanya dengan dua jalan saja. Pertama, untuk mempertahankan ummat Islam dari serangan yang dilakukan musuh terhadap mereka dan pengusiran mereka dari negeri. Kedua, untuk memperbaiki kekacauan di negeri dan menghukum mereka yang mengacau . . . Aku tidak melihat bahwa perang agama dibolehkan hanya dengan adanya dua syarat tersebut. Adapun peperangan mengisi perut dan memperluas daerah maka aku berpendapat bahwa yang demikian itu dilarang dalam Islam. Demikian pula halnya mengangkat senjata untuk menyiarkan agama dilarang sama sekali” (Surat-surat Iqbal, Juz I, h. 203, 204).

Seperti dengan Ahmadiyah juga Iqbal berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dajjal dan Ya’juj ma’juj adalah agama dan kekuasaan negara-negara barat. Berkata Iqbal dalam sajaknya: “Khol gae ya’juj aur ma’juj ke lasykar tamam, casyam muslim dekh le tafsir harf yansilun” (sesungguhnya tentara ya’juj dan ma’juj telah terlepas dari rantainya, maka orang Islam hendaklah memperhatikan perkataan yansilun” (Baang Dara, h. 334). Dalam Al-Quran perkataan yansilun (bergerak maju) dipergunakan dalam ayat “Sampai ya’juj dan ma’juj dilepaskan dan mereka bergerak maju dari tempat ketinggian” (21:97).

Bersambung.

Dikutip dari majalah Sinar Islam Edisi 3, Maret 1981

Wednesday, July 19, 2006

[Khutbah] Pertolongan Allah swt. kepada para Pengikut Hadhrat Masih Mau’ud a.s.


Pertolongan Allah swt. kepada para Pengikut Hadhrat Masih Mau’ud a.s.


Jumat (14/7), LB—Melanjutkan dari topik tentang bantuan dan pertolongan Allah swt., Khotbah Jumat Imam Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih V atba. dari Mesjid Baitul Futuh Morden-London, Inggris, dikutip www.ahmadiyya.or.id dari alislam.org, menguraikan beberapa peristiwa besar tentang pertolongan Allah swt., Jumat (14/7).

Melalui khotbah yang dipancarluaskan Muslim Television Ahmadiyya (MTA) ke seluruh dunia via satelit, Hudhur atba. menerangkan bahwa Allah swt. memberikan pertolongan kepada para Nabi-Nya dengan cara-cara yang luar biasa. Namun, setelah mereka (para nabi a.s.) wafat, pertolongan ini diteruskan kepada jamaahnya baik dalam kapasitas jamaah secara keseluruhan maupun perseorangan.

Sesuai dengan sabda-sabda Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Masih Mau’ud as, setelah beliau a.s. wafat, manifestasi (qudrat) kedua tanda Kekuasaan Allah swt. terwujud dalam bentuk Kekhalifahan beliau a.s. yang pertama Hadhrat Alhajj Maulana Hakim Nuruddin r.h.—walau ada penentangan yang akan menghancurkan.

Di zaman Khalifah kedua, kita lihat berbagai upaya penentangan baik dari dalam maupun dari luar Jemaat telah dilumpuhkan. Jemaah Islam Ahmadiyah bertambah kuat—dan makin kuat—dengan dipimpin seorang yang masih sangat muda. Beliaulah putra pendiri jemaah ini, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a..

Demikian pula di zaman Hadhrat Mirza Nasir Ahmad Khalifatul Masih III r.h., jemaah kita mengalami masa-masa genting. Para penentang mencoba membendung cita-cita Jemaat. Rupanya, mereka mencoba untuk memutuskan ‘tangan-tangan’ jemaah kita. Namun, dukungan dan pertolongan Allah swt. datang dan benar terjadi. Para penentang tidak hanya ‘tangan’-nya yang terputus, bahkan leher mereka pun juga terputus.

Di masa Kekhalifahan Almasih yang keempat Mirza Tahir Ahmad r.h., suatu rencana nyata mereka lakukan guna membatasi dan melarang Ahmadiyah dengan berbagai cara dan dirancang agar Jemaat berakhir secara alami. Namun, sesuai dengan banyaknya wahyu-wahyu Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Allah swt. menolong dan menurunkan petunjuk-Nya yang benar kepada para Khalifatul Masih. Semua musuh pergi dengan penuh kekecewaan. Sebaliknya, sebagai penggenapan wahyu “Aku akan sampaikan tabligh engkau ke seluruh penjuru dunia”, begitu banyaknya jalan terbuka yang membuat frustasi para penentang.

Setelah kewafatan Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h., para penentang berharap bahwa sepeninggal beliau puncak pengharapan mereka tercapai, yakni sekaranglah saatnya kemunduran bagi Jemaat. Mereka bodoh dan tidak sadar akan adanya rencana Allah swt..

Kenyataannya, kemenangan Almasih Muhammadi-Nya tidak akan berakhir seperti apa yang mereka harapkan dan upayakan. Kemenangan ini juga tidaklah berkenaan dengan waktu atau orang tertentu. Kemenangan ini berkenaan dengan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan jemaah beliau. Tidak ada kekuatan apapun yang mampu menghentikannya.

Hudhur atba. menjelaskan, Allah swt. membuktikan pertolongan dan karunia-Nya kepada para Muslim Ahmadi yang sepanjang hidup menerapkan ajaran-ajaran-Nya dan menaati Hadhrat Rasulullah saw. dengan teguh—menjalankan salat, mengorbankan harta dan menaati Nizam (Institusi) Khilafat.

Berkaitan dengan pertolongan Allah swt. yang diteruskan kepada warga jemaah Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Hudhur atba. bersabda, tentunya hal ini merupakan bukti kebenaran beliau a.s. dan juga sumber kekuatan rohani bagi orang-orang yang telah mengimani beliau.

Selanjutnya, Hudhur atba. meriwayatkan beberapa peristiwa yang dialami oleh para Ahmadi yang saleh dan suci. Diantaranya bernama Hadhrat Maulana Ghulam Rasul Rajiki r.a.. Beliau adalah seorang Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

Dalam perjalanan tablig ke sebuah desa, Hadhrat Maulana Ghulam Rasul Rajiki r.a. menulis beberapa bait sajak bahasa Punjab tentang kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di papan pengumuman beranda mesjid setempat. Para sesepuh desa tersebut melihat bait sajak itu. Mereka memutuskan untuk mengirim tujuh pemuda kuat untuk mengejar Maulana Rajiki r.a. dan membawanya kembali agar menghapus bait-bait sajak tersebut dari dinding beranda masjid dan kemudian dibunuh.

Namun, Maulana Rajiki r.a. tiba di rumahnya dengan selamat. Begitu mengetahui rencana para penentang, beliau r.a. berdoa khusyuk dalam salat, khawatir kalau orang tersebut akan menghentikan syiar Jemaat menyampaikan kedatangan Almasih.

Maulana Rajiki r.a. pun mengantuk dan tertidur di sajadah. Allah swt. memberikan ilham kepada beliau bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menghentikannya dari bertabligh, dan salah satu dari dua orang penentang akan meninggal dunia sebelas hari sesudahnya. Keesokan harinya, Maulana Rajiki r.a. pergi dan menyampaikan kepada setiap orang mengenai hal ini dan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mencegah takdir ini. Orang-orang menjadi terkesima olehnya. Ternyata, setelah menderita sakit yang tidak begitu lama, penentang tersebut meninggal tepat sebelas hari seperti ilham yang diterimanya.

Kemudian, Hudhur atba. Menceritakan riwayat tablighnya Maulana Nazir Ahmad Mubashir r.h. di Ghana. Suatu berada di Ghana, ada seorang anak muda yang pulang dari Mekkah, mulai memproklamirkan dirinya sendiri serta mulai menentang Jemaat Ahmadiyah. Berbagai upaya melalui perdebatan dan berbagai argumentasi tak penting, ia dan para sahabatnya mengumpulkan orang-orang sambil menunjukkan bahwa Almasih belum datang jika tidak ada tanda gempa bumi yang datang. Maulana Nazir berdoa selama seminggu dengan sungguh-dungguh, memohon diturunkan gempa bumi kepada mereka sebagai pertanda kedatangan Almasih Yang Dijanjikan a.s.. Beliau r.h. memiliki keyakinan yang penuh bahwa tanda tersebut akan muncul. Jadi, beliau mengatur tiga pertemuan dan menyampaikan peringatan bahwa gempa bumi benar-benar akan terjadi. Hanya dua dari tiga pertemuan dapat diselenggarakan. Kemudian, sebuah gempa bumi yang besar terjadi di seluruh negeri Ghana yang mengagetkan orang-orang. Akibatnya, 180 orang dari desa tersebut bai’at, masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.

Hudhur atba. menceritakan peristiwa pertolongan Allah swt. kepada Hadhrat Syeikh Zainal Abidin Sahib dan Hafiz Hamid Ali r.h. Sahib ketika mereka sedang melakukan perjalanan ke Afrika menumpang sebuah kapal. Di tengah perjalanan, kapal tersebut terkena badai dan kapten kapal memperingatkan akan keadaan yang kritis dan gawat. Namun, kedua Ahmadi saleh itu yakin bahwa kapal tidak akan tenggelam karena kapal ini mengangkut ‘dua orang murid Hadhrat Masih Mau’ud a.s.’. Dengan menghalau berbagai rintangan, akhirnya kapal sampai pada salah satu tempat tujuan mereka. Namun, ketika mereka turun dari kapal, kapal tersebut melanjutkan perjalanan. Lalu, kapal tersebut hancur dekat Zanzibar.

Ketika perang dunia kedua berkecamuk, Hadhrat Maulana Muhammad Sadiq r.a. Sahib yang hendak menjalankan misi tablig ke negeri Paman Sam Amerika Serikat, transit di Jepang. Di sana, beliau dituduh bersalah dan dihukum karena telah melakukan pembunuhan. Kemudian, beliau r.a. berdoa khusyuk. Di dalam kasyaf beliau, ada yang mengatakan mengenai akhir kekuatan Jepang. Walhasil, hanya sepuluh hari beliau dihukum tanpa ada kesalahan, kota Hiroshima dan Nagasaki di bom sehingga perkara tersebut pun berakhir.

Di Fiji, Hadhrat Syeikh Wajid r.h. Sahib dan Jemaat Ahmadiyah mengalami penentangan yang begitu hebat. Para penentang mencoba membakar gedung rumah misi. Luar biasanya, kebakaran tersebut tak membuat kerusakan yang parah meskipun gedung tersebut terbuat dari kayu-kayuan. Mubaligh setempat pun mengungkapkan, “Semoga Allah swt. membakar rumah siapa pun yang telah membakar rumah Allah.” Beberapa hari berikutnya, rumah pimpinan para penentang hangus terbakar.

Peristiwa sama terjadi ketika api membakar sekitar rumah Hadhrat Maulana Ghulam Hussein r.h.. Beliau mengatakan, “Jangan khawatir, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah menerima sebuah wahyu yang mana ‘api adalah budak kita dan budak dari budak kita’. Allah swt. mendengar panggilan hamba-Nya yang lemah dan rumahnya pun terlindungi dari api.

Hudhur atba. juga menyampaikan peristiwa yang membuktikan adanya pertolongan Allah swt. bersumber riwayat Hadhrat Maulana Rahmat Ali r.a. H.A.O.T dan Muhammad Sadiq Sumatri r.h. Sahib dari Indonesia. Demikian pula dari Hadhrat Maulana Muhammad Sadiq Sahib Amritsari dan Maula Baksh Sahib r.h..

Di zaman ini, lanjut Hudhur atba., kita menyaksikan bahwa orang-orang yang menjalankan perintah-perintah Allah swt. hanyalah orang-orang yang benar-benar berada dalam jemaah Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Orang-orang suci dan saleh yang diriwayatkan Hudhur atba. itu, Hadhrat Masih Mau’ud as telah mendoakan mereka dalam jemaah ini.

Di akhir khotbah, Hudhur atba. berdoa, semoga Allah swt. terus mengaruniakan jemaah Hadhrat Masih Mau’ud a.s. ini berisikan orang-orang yang unggul dalam hal ketulus-ikhlasannya, orang-orang yang menyaksikan adanya pertolongan dan karunia Allah swt., dan juga orang-orang penerima kemurahan Allah swt., dan orang yang menolong serta membantu keutuhan Khilafat Ahmadiyah.*** (Pent. A. Riyanto/ahmadiyya.or.id/Ali/LB)

Tuesday, July 18, 2006

[Tempo Interaktif] Menteri Minta Waspadai Pencurian Anggrek Indonesia

Bbrp thn yll, sy pernah ikut jambore (Ijtima) yg diadakan oleh Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia di sebuah Bumi Perkemahan dekat Gunung Gede-Pangrango Sukabumi, Jawa Barat

Sekali waktu, sy sedang meniti sungai kecil dekat lokasi ijtima. Sy melihat seonggok tanaman anggrek beserta bunganya yang cantik lengkap dg akar2nya tersangkut di bebatuan sungai. Saat itu juga, petugas kehutanan melintas dekat saya. Hihihi...rupanya sy sdh di-amat2inya. "Adik, tolong taruh lagi anggrek itu di tempat semula," kata petugas itu dengan suaranya yang ramah dan lembut.

Ya Allah, saat itu saya insaf. Sy yakin, petugas itu berjiwa malaikat yang dikirimkan Allah swt. kepada saya. Terima kasih, Tuhan! Terima kasih, Pak Penjaga Hutan! Jazaakumullaahu ahsanal-jazaa'.

--

Menteri Minta Waspadai Pencurian Anggrek Indonesia
Selasa, 18 Juli 2006 | 05:41 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, menyatakan Indonesia perlu mewaspadai pencurian spesies anggrek khas nusantara. "Anggrek eksotis kita banyak dikembangkan di luar," kata Anton kepada wartawan usai pelantikan Pengurus Perhimpunan Anggrek Indonesia di Kantor Wakil Presiden, kemarin.

Anton mengatakan potensi anggrek di Indonesia sangat baik dan mempunyai peluang ekspor yang sangat besar dan saingan terbesarnya adalah Thailand. Ia menyayangkan minimnya dokumentasi terhadap budidaya dan ekspor anggrek di Indonesia.

Menurutnya, potensi penjualan di dalam negeri juga besar karena banyak acara-acara yang menggunakan anggrek untuk dekorasi. Anton juga meminta agar Indonesia memaksimalkan produksi anggrek lokal dan tidak perlu melakukan impor.

Indonesia, kata dia, harus melakukan konservasi terhadap anggrek-anggrek khas. Untuk meningkatkan keberagaman, lanjutnya, perkawinan silang juga perlu dilakukan.

Oktamandjaya Wiguna


[Was Re: [surau] PERDA SYARIAH TIDAK MENJAMIN KENYAMANAN KITA..]

Assalamualaikum wr.wb.

> Sekuler adalah memisahkan agama dari kehidupan bernegara, kebencian
> itulah yg ditunjukkan oleh orang-orang anti syari'at yang sekuler.

> By the way, kenapa anda menentang Negara Islam, bukankah anda punya
> khalifah yang notabene mempunyai konsep Negara Islam. Meskipun
> khalifahnya sekarang berlindung dibawah ketiak negara kafir Inggris.

Rasulullah SAW mendirikan negara Islam sesuai dengan Piagam Madinah yang jelas sekuler dimana dipisahkan antara negara dan agama. Tidak satu contoh dimasa lampau konsepsi negara Islam yang menyamai konsepsi Piagam Madinah yang dipraktekkan Rasulullah SAW itu. Rasulullah SAW memprioritaskan masyarakat Islam lebih dahulu baru belakangan negara Islam... Sementara orang sekarang dengan arahan ulama-ulama mereka mendahulukan negara Islam baru mewujudkan masyarakat Islam... Kekuasaan dahulu baru masyarakatnya. Dan yang demikian tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan telah terbukti gagal dimana kendatipun mereka berhasil merebut kekuasaan tetapi tidak berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang damai...

Anda benar... Dan kami memang satu2nya komuniti Islam yang punya khalifah. Konsep negara Islam memang ada, tetapi yang lebih penting lebih dahulu adalah mewujudkan masyarakat Islamnya. Dari masyarakat Islamlah titik tolak selanjutnya menuju negara Islam... Perjuangan kami selama seratus tahun lebih telah menjadi bukti bahwa kami telah menembus lebih dari 190 negara didunia dengan damai tanpa ada satupun negara yang merasa cemas dengan kami akan merebut kekuasaan politik mereka. Kami bisa berdamai dengan mereka kendatipun apa yang kami tablighkan berlawanan dengan keyakinan dan agama mereka.

Kami ingin mewujudkan masyarakat Islam yang damai dan tenteram baru kemudian negara Islam akan muncul dengan sendirinya. Tidak ada perbenturan kami dengan pemerintah manapun di dunia ini dalam usaha kami mentablighkan Islam kecuali di negara-negara mayoritas penduduknya muslim dimana lantaran mereka tidak memahami perjuangan kami maka ulama-ulama mereka itu menghasut orang-orang Islam di negeri itu untuk memusuhi kami. Tidak terkecuali di negara Indonesia tercinta ini dimana secara pribadi dan diam-diam penguasa-2 negeri ini yang memahami perjuangan kami telah memberikan banyak kemudahan kepada kami. Namun karena saking takutnya penguasa-2 itu kepada ulama-ulama ortodok semisal MUI , FPI, dll maka mereka terpaksa berdiam diri atau bermuka dua dng membiarkan penganiayaan banyak terjadi terhadap kami...

Sekali lagi kami tidak menentang konsep negara Islam namun konsep negara yang dimaksud tidak seperti yang ada dalam benak ulama-ulama Islam ini. Konsep negara Islam yang kami cita-citakan adalah sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkannya. Kita perlu mewujudkan masyarakatnya lebih dahulu baru kekuasaan politik akan datang dengan sendirinya. Orang yang mendambakan kulit pasti berkemungkinan tak akan mendapat isi dan orang yang mendambakan isi pasti akan memperoleh kulitnya juga... Masyarakat Islam adalah isi dan negara Islam adalah kulitnya... Kami dengan khalifah kami memang sedang mengarah kesana dan isyaallah fajar kemenangan Islam itu segera menyingsing , matahari kebangkitan Islam itu akan segera terbit...

Wassalamualaikum wr.wb.
H.Nadri Saaduddin
Jalan Imam Bonjol 12 A
Balaikandi
Koto Nan Ompek
Telp.+62-0752 (92367)
Mobile:081363259195
Payakumbuh 26225
Sumatera Barat
INDONESIA

Wednesday, May 31, 2006

[So far of...] Pengamat PKS yang masih Mencurigakan

##
[So far of...] Pengamat PKS yang masih Mencurigakan
##


Doktrin universalitas Islam mengandaikan adanya penyeragaman konsep Negara
dan pemerintahan Islam di seluruh Negara-negara yang mayoritas penduduknya
muslim. Kaum fundamentalis berpandangan Negara-negara Arab yang identik
dengan asal Islam diposisikan sebagai centrum sedangkan Negara-negara diluar
itu hanya sebagai peripheral saja. Sampai kapanpun kaum fundamentalis Islam
akan selalu berusaha untuk menerapkan syariat Islam bagaimanapun caranya
bahkan ketika terdesak dihalalkan berbohong dengan alasan demi kebaikan,
cara pandang mereka terhadap the others yang berbeda atau diluar konteks
gagasan pemikirannya harus ditolak atau bahkan dihancurkan bukan hanya pada
level pemikiran tetapi juga bagi mereka yang mengimplementasikan perbedaan
itu. Termasuk JA yang berbeda tentunya, apalagi sama-sama menganut system
kekhalifahan yang bisa dijadikan tandingan system kehalifahan mereka.
Ditambah lagi kekuatan pengikut Ahmadiyah yang menjalar hampir di seluruh
dunia tentu sebagai sesuatu yang harus diwaspadai.



Kasus di Indonesia dengan adanya indiginisasi Islam atau penyesuaian Islam
dengan situasi dan kondisi Indonesia baik budaya atau aneka ragam
kemajemukannya jelas akan ditolak karena bertentangan dengan syariat Islam
yang kaffah itu. Apalagi gerakan-gerakan liberal yang dipandang dari
"Barat", dan dianalogikan dengan globalisasi yang menghasilkan
ketimpangan-ketimpangan ekonomi, social dan budaya, serta kebijakan politik
yang cenderung meminggirkan kepentingan-kepentingan kaum fundamentalis jelas
sangat mengancam keberadaan kaum fundamentalis. Karena memang secara nyata
dampak globalisasi selalu meminggirkan dan merugikan kaum fundamentalis
bahkan gerakan-gerakan nyata seperti terorisme yang dilakukan
cenderung ditumpangi
pihak ketiga. Dengan demikian indiginisasi dan gerakan-gerakan pro
globalisasi harus juga dienyahkan.



Tak heran kalau gerakan-gerakan kaum fundamentalis yang dimotori oleh
Ikhwanul Muslimin cenderung radikal karena mereka menganggap jalur demokrasi
dan jalan damai lain sudah jelas tidak akan dimenangkan oleh mereka, apalagi
kalau sudah berlawanan dengan hegemoni Amrik misalnya kasus pembelaan
terhadap Palestina . Akan tetapi gebrakan radikal seperti aksi terorisme
sebenarnya hanya sempalan saja dari gerakan IM jadi bukan merupakan gerakan
mainstream.

Mainstream sendiri bekerja secara terorganisir, rapi dan sistematis. Jikalau
disuatu Negara terdapat kesempatan untuk mendirikan partai, mereka pun
mendirikan partai dengan cara kerja seperti ormas dan cenderung ikut dalam
kontestasi politik yang memasyarakat dengan melakukan kegiatan-kegiatan
(aksi-aksi) yang menarik simpati massa. Dengan cara ini dalam jangka waktu
relative cepat mereka bisa berhasil menjadi partai dengan dukungan
massabesar. Bersamaan dengan langkah politiknya, mainstream IM ini
melakukan
recruitment terhadap mahasiswa atau akademisi dengan memberikan perspektif
islam ala mereka, sehingga terbentuk kaderisasi yang menguasai
kampus-kampus. Dilegislatif sendiri, walaupun masuk dengan cara bukan dengan
partai Islam akan tetapi serta merta segera memanfaatkan kesempatan untuk
melaksanakan tujuan politiknya "menegakan syariat" seperti kasus munculnya
perda-perda aneh bin ajaib.



So siapakah mainstream IM di Indonesia yang banyak melakukan aksi nyata di
masyarakat dan cenderung menarik simpati massa ???

Referensi Buku : Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi

Diterbitkan oleh Spectrum

Maret 2006

Desain : Johannes Edi Juwono (Aktifis No Violence, Mr. Edie Kita di Bulletin
Warna Bangsa)

--

Tulisan di bawah ini dibuat oleh PKS-watch berkaitan dengan
pernyataan HNW bahwa kita sebaiknya membikin agama baru supaya
enggak rusuh.

Walaupun kelihatannya berisi sedikit simpati terhadap JA namun masih
terlihat kebijakan diplomatis PKS/IM yang berbahaya dan sesungguhnya
persis seperti apa yang saya kemukakan sebelumnya mengenai pendapat
kawan kantor saya yang member PKS.

Kebijakan itu adalah bahwa dalam kehidupan bernegara suatu kelompok
tertentu tidak dapat memaksakan atau melarang pandangan orang lain
yang berbeda dengan mereka.

Yang "berhak" untuk melarang adalah Negara.

Jadi memang demikianlah permainan mereka bahwa suatu waktu mereka
akan mengusahakan Pelarangan JA secara legal melalui keputusan hukum
Negara yang disetujui melalui proses yang demokratis. Lihat
pernyataan "kalau Ahmadiyah dilarang yang melarang itu haruslah
Negara".......

Saya hanya berdoa agar mereka ini semua dibalikkan hatinya kembali
oleh Allah SWT agar betul-betul memprjuangkan keadilan bagi semua
orang.....Amin.


http://pkswatch.blogspot.com/2006/05/ulasan-atas-beberapa-paradigma-
tipikal.html

Ulasan Atas Beberapa Paradigma Tipikal Kader PKS
Beberapa Minggu yang lalu, Google mengirimkan alert bahwa ada
artikel yang mengulas blog ini, iseng-iseng saya ikuti URLnya,
ternyata dari blog Doni Riadi, dalam sebuah artikel bertajuk 'Tidak
Setangguh yang Diduga'.

Waktu membacanya, terus terang saya jadi cengar-cengir sendiri.
Ternyata tulisan itu adalah curahan hati sang blogger atas diskusi
yang terjadi di artikel 'Surat Terbuka kepada Ketua MPR'. Dimulai
dari komentarnya pada komentar #43, yang kemudian saya tanggapi pada
komentar #45. Dalam menanggapi sebuah komentar, saya biasanya
menanggapi satu per satu dengan alur logika dan dasar yang jelas.
Kalau belakangan banyak komentar yang belum saya tanggapi, itu
semata karena saya belakangan ini sibuk berat. Bukan karena
sudah 'bertobat untuk tidak mengkritik PKS' seperti yang diduga
beberapa orang. Sorry ya akhi, dugaan antum pada salah tuh :-).

Ternyata tanggapan saya terhadap komentar #43 tersebut membuat Doni
ini menjadi rada 'patah hati', seperti yang ditulisnya:

Namun, mungkin tanpa disadari olehnya, kesemangatannya membantah
telah menelanjangi dirinya sendiri. Dalam hal ini, saya bisa
menangkap bahwa empunya blog itu ilmunya tidaklah sedalam dan
sebijak yang saya duga. Bahwa, dia ternyata tidak setangguh yang
saya kira.

Ini memberikan efek kepada saya, sehingga timbul rasa malas untuk
menulis atau memberi koment lagi di blog itu. Karena bagi saya,
pilihan-pilihan kata, dan cara berpikir empunya PKSWatch tidaklah
menunjukkan karakter da'i, tapi awam kebanyakan. Padahal, saya
berharap, mungkin saya dapat belajar sesuatu hal darinya, dari
empunya blog itu.

Biasanya, kalau membaca sebuah artikel di blog saya hanya melakukan
eye scanning, tapi ungkapan patah hati si Doni ini membuat saya
membaca satu per satu secara jelas isi curhatnya. Awalnya, saya
cukup bereaksi dengan senyam-senyum sendiri, tapi setelah beberapa
waktu akhirnya saya putuskan untuk menanggapi tulisannya. Bukan
karena ingin membalas, tapi karena masalah paradigma. Paradigma yang
diperlihatkan oleh Doni di tulisan itu betul-betul memperlihatkan
paradigma khas kaum muda militan PKS yang merasa benar sendiri,
menganggap salah pendapat di luar kelompoknya dan tidak siap mental
untuk adu argumentasi secara fair. Karena kesibukan belakangan ini,
saya baru sempat menuliskannya hari ini. Mudah-mudahan tanggapan ini
bisa menjadi masukan atau opini alternatif buat siapapun.

Seperti biasa saya mengupas satu per satu topik yang ditanggapi
sehingga bisa diikuti secara jelas. Meskipun cuma curhat singkat
dari Doni, tapi topik yang disinggung itu bukan pula topik trivial
yang bisa dijawab dengan satu dua paragraf pula, sehingga pembahasan
agak panjang. Meskipun (lagi) tanggapan saya di sini juga bukan
jawaban komprehensif atas pikiran-pikiran yang mungkin serupa dengan
curhatnya Doni.

Lagipula entah apa sebabnya Doni ini sepertinya mengharapkan saya
untuk menunjukkan karakter da'i. Selain saya merasa tidak jelas sama
sekali apa definisi karakter da'i itu, saya juga tipikal orang yang
selalu menggolongkan diri ke dalam kelompok awam, kelompok rakyat
kecil atau rakyat pupu. Kalau Tifatul Sembiring sih memang terang-
terangan mengklaim bahwa dia dan koleganya di PKS adalah da'i.
Meskipun setelah itu dia menyetujui penunjukan Exxon sebagai
pengelola blok Cepu dan kenaikan harga BBM yang bikin jutaan nelayan
dan keluarganya bangkrut dan keleleran. Apakah itu bagian dari
karakter da'i? Entahlah, tapi itulah sebabnya saya katakan bahwa
saya merasa tidak jelas apa itu 'karakter dai' yang disebut oleh
Doni.

Doni melanjutkan curhatnya sbb:

Entahlah, mungkin blog itu suatu saat akan menjadi berat sebelah,
tidak imbang, dan akhirnya : menjadi tak berkualitas dan tak dapat
direkomendasikan untuk dibaca, karena isinya melulu caci maki,
sumpah serapah, keluhan, ketidakpercayaan, dan kekecewaan. Jika ini
menumpuk di memori, maka dijamin, saya dan mungkin juga anda bakalan
cepat tua. :>

Saya sangat heran dengan bagian yang ini. Sudah jelas bahwa blog ini
bertajuk PKS Watch, sudah jelas pula tema blog ini mengulas sepak
terjang politik PKS dengan jujur dan tanpa basa-basi, bagaimana
mungkin dia masih berkomentar bahwa suatu saat blog ini tidak
seimbang?

Kalau keseimbangan yang dimaksudkan adalah blog ini juga harus
menampilkan kebaikan-kebaikan PKS, alangkah mubazirnya. Begitu
banyak website PKS di seluruh dunia, dan isinya 99% tentang kebaikan-
kebaikan PKS. Jelas ini tidak seimbang, karena tidak ada yang
mengkritisi PKS secara lugas tanpa basa-basi. Lalu muncullah blog
PKS Watch karena keinginan untuk memberikan ulasan atau opini
alternatif. Malah kalau melihat dari scope yang lebih luas, blog ini
justru menjadi penyeimbang opini. Tapi kalau isinya dianggap tidak
berkualitas dan tak dapat direkomendasikan untuk dibaca, well, itu
saya pulangkan kepada para pemirsa yang budiman. Bagaimana para
pemirsa?

Kalau menurut Doni sih blog ini isinya melulu (cuma atau hanya) caci
maki, sumpah serapah, dst. Doni ini 'mungkin' terlalu terbiasa
berdiskusi ala milis-milis PKS yang isinya kebanyakan sanjungan,
pujian atau kata-kata yang mendayu-dayu terhadap PKS dan tokoh-
tokohnya. Biasanya disertai kata-kata standar seperti "Subhanallah,
ana sampai meneteskan air mata", dan sejenisnya. Sehingga bagi Doni,
opini alternatif yang ada di blog ini isinya bagaikan caci maki dan
sumpah serapah. Padahal saya belum pernah sekalipun mencaci atau
menyumpahi atau mengeluarkan 'koleksi kebun binatang' kepada satu
orang pun di blog ini, silahkan cari buktinya. Bahkan kalau ada
komentar yang seperti itu, selalu saya reject kecuali caci maki
terhadap diri saya sendiri.

Nah, sekarang tiba saatnya mengulas beberapa paradigma Doni, yang
sering pula saya jumpai pada kader-kader PKS lainnya. Mungkin karena
berasal dari satu patron, maka model berpikir seperti itu bisa
muncul di mana-mana. Sungguh memprihatinkan.

1. Klaimnya tentang sumber-sumber hukum. Khususnya pendapatnya
tentang keputusan OKI, ulama di MUI, orang-orang soleh terdahulu,
saudara muslim di negara sahabat, bahkan ucapan seorang presiden,
sebagai sumber yang tak dapat dipatuhi atau dijadikan pegangan. Ini
adalah ciri nasionalisme sempit dan bukan universalitas Islam.

Curhatnya yang ini mengenai pelarangan Ahmadiyah. Saya tidak akan
membahas mengenai akidah di sini, karena kalau mengenai sesat atau
tidaknya Ahmadiyah maka saya berpegang kepada fatwa MUI. Insya Allah
saya yakin, sampai mati saya tidak akan mengakui ada nabi setelah
Muhammad.

Tapi kalau mengenai pelarangan, persekusi atau tindakan fisik
lainnya, nanti dulu. Pelarangan adalah sebuah tindakan yang disertai
dengan pemaksaan. Siapa yang bisa memaksa? Jawabannya negara!

Mengapa demikian?

Mari kita lihat salah satu rujukan ilmu yang kompeten. Prof. Miriam
Budiardjo di dalam buku 'Dasar-Dasar Ilmu Politik' mendefinisikan
negara sebagai sebuah daerah teritorial yang rakyatnya diperintah
(governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya
melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
[1]

Prof. Miriam dalam mendefinisikan negara juga mengutip Max
Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah".

Mudah-mudahan dengan rujukan yang sedemikian jelas, kita semua
menjadi paham bahwa HANYA negara yang berhak melakukan tindakan yang
bersifat memaksa apalagi menggunakan kekerasan fisik terhadap
rakyatnya.

Dengan demikian jelas, bahwa kelompok masyarakat, ormas, parpol atau
apapun tidak berhak untuk melakukan tindakan yang bersifat memaksa
kepada sekelompok masyarakat lainnya, apapun alasannya.

Kembali kepada masalah pelarangan Ahmadiyah, jelas dalam hal ini
hanya negaralah yang berhak melarang Ahmadiyah hidup di bumi
Indonesia ini.

Kalau kita sudah clear mengenai otoritas yang berhak melarang, mari
kita lanjutkan membahas dasar pelarangan. Bagaimana sebuah negara
melarang atau menuntut ketaatan dari warganya? Apakah cukup dengan
ucapan presiden atau rajanya? Kalau seperti itu, maka kita akan
kembali menjadi negara yang bersifat despotism, di mana kelaliman
merajalela karena ucapan pemimpin langsung menjadi hukum.

Prof. Miriam dalam mendefinisikan negara menekankan bahwa ketaatan
warganegara itu adalah kepada peraturan perundang-undangan, bukan
kepada sang pejabat. Sehingga, jika harus ada hal larang-melarang di
Indonesia ini, maka itu haruslah dalam bentuk perundang-undangan
sesuai dengan tata hukum yang berlaku.

Misalnya masalah pelarangan komunis, jelas tertera di dalam TAP MPRS
xxV/1966, bukan hanya ucapan seorang presiden. Terlepas dari situasi
politik pada waktu itu, tapi pelarangan komunis jelas tercantum
dalam aturan perundang-undangan yang ada.

Belakangan, hukum yang diakui di Indonesia dipertegas kembali dalam
UU No 10 tahun 2004, dalam pasal 7 dinyatakan bahwa urutan aturan
hukum itu adalah: UUD 45, UU/Perppu, PP, Perpres dan Perda. Jadi,
kalau negara ingin melarang atau menuntut ketaatan warganya maka
haruslah diundangkan dalam aturan hukum yang berlaku.

Ucapan presiden, ketua MPR, ulama, fatwa MUI, hasil kongres OKI,
bukanlah produk hukum di Indonesia, dan sama sekali tidak bisa
menjadi dasar hukum untuk sebuah tindakan memaksa (represif). Dalam
kasus Ahmadiyah, fatwa MUI buat saya hanyalah semata pedoman dari
ulama, pedoman biasa yang saya dapatkan tentang jalan lurus dan
sesat. Tapi itu tetap bukan produk hukum yang berkekuatan memaksa.

Kembali lagi ke masalah Ahmadiyah, jelas belum ada satupun produk
hukum yang secara tegas melarang Ahmadiyah. Jadi saya sungguh
prihatin dengan wawasan kenegaraan si Doni ini, karena membenarkan
pelarangan Ahmadiyah itu hanya berdasarkan ucapan presiden,
keputusan OKI, dll. Selama belum ada produk hukum yang secara tegas
melarang Ahmadiyah, maka mereka memiliki hak untuk hidup di
Indonesia seperti halnya umat lainnya.

Hal seperti ini juga terjadi dalam sejarah Islam. Khalifah Abu Bakar
memerangi orang yang tidak berzakat, karena zakat adalah bagian dari
hukum negara waktu itu. Tidak membayar zakat berarti melanggar
hukum. Melanggar hukum akan berhadapan dengan konsekuensi pemaksaan
dari negara.

Demikian pula contoh yang diperlihatkan oleh Wali Songo dalam
menyikapi penyimpangan Syekh Siti Jenar. Meskipun sudah divonis
sesat dan dihukum mati, tapi eksekusi (pemaksaan) tidak dilakukan
sampai berdirinya negara Islam Demak, yang memiliki otoritas
memaksa. Kalau mengikuti logikanya Doni bahwa karena fatwa MUI
menyatakan Ahmadiyah sesat maka kita sudah bisa melarang Ahmadiyah
dari Indonesia, maka Wali Songo juga tidak akan repot-repot menunggu
berdirinya negara Demak untuk melakukan eksekusi.

Bagaimana kalau negara tidak bisa juga atau lamban mengambil
tindakan? Ibnu Taimiyah dalam kitab Kumpulan Fatwa Amar Makruf Nahi
Munkar dan Kekuasaan menjelaskan bahwa rakyat harus bersabar
terhadap kezhaliman dan kediktatoran para pemimpin [2]. Seperti
apakah bersabar di sini? Apakah hanya tinggal pasrah dan do nothing?
Tidak! Di bagian lain Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa wajib atas
masing-masing pemimpin dan rakyat untuk memperhatikan hak satu sama
lain. Sang Syaikhul Islam merujuk kepada surat Al Balad ayat 17 "Dan
saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang".

So, sabar di sini adalah tetap berikhtiar tapi tidak melakukan
anarki. Jika negara tidak langsung melakukan apa yang kita inginkan,
kita bisa mengusahakan itu lewat berbagai jalur. Dalam kasus
Ahmadiyah ini, misalnya lewat jalur hukum dengan cara menuntut
pidana atas pelanggaran KUHP pasal 156a tentang penodaan agama.
Lewat jalur politik dengan cara membuat aturan hukum yang mendukung
hal tersebut. Lewat jalur penggalangan opini publik, misalnya
melalui tulisan, media, milis atau blog. Dan jangan lupa melalui
dakwah.

Saya juga mencoba bersabar terhadap kepemimpinan PKS dengan cara
tetap berikhtiar meluruskan apa yang saya anggap sudah menyimpang,
dengan cara menuliskan opini alternatif melalui blog. Yang jelas
saya tidak pernah melakukan anarki fisik.

Doni menulis "Ini adalah ciri nasionalisme sempit dan bukan
universalitas Islam". Kita bicara tentang tindakan pelarangan dan
represi, artinya kita bicara negara bukan akidah lagi. Kalau bicara
negara, maka bicaralah dengan aturan-aturan negara. Apanya
yang 'nasionalisme sempit'?

Untuk yang ke sekian kalinya saya menemukan fenomena seperti ini
dari kader PKS. Ketika kehabisan argumentasi, lalu mengeluarkan
tuduhan. Padahal ulasan saya di komentar itu dan di artikel ini
bersumber dari rujukan yang kredibel, bukan buah pikiran saya
sendiri yang hanya seorang rakyat kecil nan awam. Tolong para pakar
politik dan tata negara yang kebetulan membaca artikel ini beri
masukan buat saya, ngacokah pemahaman saya mengenai negara seperti
yang saya ulas di atas?

2. Penafsiran sepihak ayat : tidak ada paksaan dalam agama (QS.
Albaqoroh). Ini adalah ciri orang yang doyan mengedepankan logika
sendiri saat mentafsirkan ayat-ayat Allah.

Ini bagian dari curhatnya yang kemudian membuat saya memutuskan
untuk memberikan tanggapan yang semoga bisa menjadi masukan.

Ini berawal dari komentar Doni sbb: Jika ada yang mengatakan adalah
hak setiap orang untuk memeluk agama dan keyakinan apapun, termasuk
yang dianggap sesat sekalipun, maka sesungguhnya inilah yang disebut
dengan karakter kejahiliyahan (kebodohan) abadi.

Kemudian saya tanggapi dengan merujuk kepada Al Quran surat Al
Baqarah ayat 256 yang berbunyi "Tidak ada paksaan untuk agama;
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."

Lalu saya tambahkan: Anda sadar Anda sedang bicara apa? Allah SWT
sudah menyatakan bahwa agama yang diridhaiNya hanyalah Islam, tapi
untuk berislam atau tidak itu adalah sebuah pilihan setiap orang,
karena tidak ada paksaan dalam agama. Hak untuk memilih agama apapun
meskipun sesat itu tertera dalam Quran. Kok Anda sebut karakter
jahiliyah sih?

Ternyata lagi-lagi mendapat tanggapan khas kader mabok ghirah (maaf
ya Don), pokoknya apapun argumen, sejelas apapun rujukannya, sesahih
apapun isinya, kalau bertentangan dengan pendapatnya atau
pendapat 'jamaahnya', pasti akan disalahkan atau minimal
dituding 'miring'.

Saya tidak tahu apakah si Doni ini seorang ahli tafsir Quran, yang
jelas saya bukan. Oleh sebab itu, saya tidak berani berusaha
menafsirkan sendiri seperti yang dituduhkan Doni: "Ini adalah ciri
orang yang doyan mengedepankan logika sendiri saat mentafsirkan ayat-
ayat Allah". Saya selalu mencoba merujuk kepada tafsir dari ulama
kredibel, di antaranya Quraish Shihab, Sayyid Quthb dan Hamka.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al Misbah menjelaskan
makna ayat itu beberapa halaman [3]. Di antaranya Quraish
menulis: ...bahwa Dia memiliki kekuasaan yang tidak terbendung, maka
bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan
bagi Allah untuk memaksa makhluk menganut agamaNya. Untuk menampik
dugaan ini, datanglah ayat 256 di atas.

Mengapa ada paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu. Mengapa
ada paksaan, padahal sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat saja (Al Maidah:48).

Sayyid Quthb dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Quran juga menjelaskan
cukup panjang lebar makna ayat ini [4]. Beliau di antaranya
menjelaskan: Masalah akidah, sebagaimana yang dibawa oleh Islam,
adalah masalah kerelaan hati setelah mendapatkan keterangan dan
penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan.

Pada bagian lain beliau menjelaskan: Dalam prinsip ini tampaklah
dengan jelas betapa Allah memuliakan manusia, menghormati kehendak,
pikiran dan perasaannya. Juga menyerahkan urusan mereka kepada
dirinya sendiri mengenai masalah yang khusus berkaitan dengan
petunjuk dan kesesatan dalam iktikad, dan memikulkan tanggung jawab
atas dirinya sebagai konsekuensi amal perbuatannya. Ini merupakan
kebebasan manusia yang amat khusus.

Pada alinea berikutnya beliau menjelaskan: Kebebasan beriktikad
(beragama) adalah hak asasi manusia yang karena iktikadnya itulah
dia layak disebut manusia.

Sayang tafsir Al Azhar dari Hamka tidak ketahuan rimbanya. Tapi
cukuplah dua ulama ahli tafsir di atas.

Bisa dilihat dari tafsir dua ulama besar tersebut bahwa Allah SWT
memberikan kebebasan untuk memilih agama, memilih jalan sesat dan
lurus. Sayyid Quthb bahkan menyebutnya sebagai bagian dari HAM.
Berani-beraninya si Doni ini mengatakan bahwa kebebasan untuk
memilih itu adalah karakter jahiliyah. Ketika saya berikan rujukan
di Quran, Doni kemudian menuduh itu penafsiran sepihak dan doyan
mengedepankan logika sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Allah.

Entahlah, apakah si Doni ini seorang ahli tafsir yang punya
pemahaman sendiri?

Point berikutnya dari curhat si Doni adalah sebagai berikut:

3. Sikapnya terhadap aliran sesat dan menyesatkan. Saya sungguh
tidak paham tentang kalimat : "Orisinal menurut siapa ?" , pada saat
saya katakan bahwa HNW, sama dengan ulama lain sekedar berusaha
menjaga kemurnian/orisinalitas Islam.

Ini berawal dari pernyataan Doni: "Umat Islam, mestinya justru
bersyukur memiliki sosok pemimpin negara yang mampu melindungi
orisinalitas agama yang dianut oleh warga negaranya"

Lalu saya tanggapi: "Orisinal menurut siapa? Anda tanya penganut
syiah deh, menurut mereka Islamnya HNW itu benar atau tidak?"

Ini kembali terkait dengan kasus Ahmadiyah. Kalau bicara dari sisi
akidah, sebagai muslim sunni, mudah-mudahan juga bagian ahlus sunnah
wal jamaah, saya bersyukur adanya ulama seperti HNW atau ulama-ulama
lain yang secara aktif mendakwahi umat, memberikan pencerahan, dll.

Tapi kalau terkait dengan kehidupan bernegara, di mana negaranya
bukan negara Islam, tapi sekuler, maka kita harus berhati-hati.
Islam yang ada di Indonesia ini bukan hanya Islam seperti yang saya
dan HNW pahami (Insya Allah pemahaman Islam saya dan HNW pada jalur
yang sama, bedanya saya awam dan HNW pakar). Banyak Islam lainnya,
yang juga merasa memiliki hak yang sama untuk mengakui diri sebagai
Islam. Sebutlah Syi'ah, kelompok Islam jamaah, mutazilah, sempalan
NII, sampai Ahmadiyah.

Sehingga ketika kita bicara orisinalitas agama dalam tataran negara,
maka kita akan berhadapan pada berbagai kelompok yang belum tentu
sepaham. Bagi kaum Syi'ah, tentunya akidah saya dan HNW yang
menganggap Ali hanya sebagai sahabat dan khalifah adalah keliru.
Itulah sebabnya saya challenge "Orisinal menurut siapa?".

Ternyata Doni tidak paham atas pertanyaan yang bersifat challenge
itu. Kalau melihat pemahaman kenegaraannya, ya saya jadi maklum.

Selanjutnya Doni curhat sbb:

4. Solusi yang ditawarkannya : Mendidik anak an-sich. Tanpa usaha
proteksi, tanpa ada sanksi/penghukuman, tanpa ada 'serangan' balik.
Jelas,ini bukan karakter pergerakan Islam.

Yang ini sih mestinya klir kalau kita sudah memahami hakikat negara
dan rakyatnya. Dalam menjaga akidah keluarga atau anak, ada dua cara
yaitu secara internal dan eksternal.

Secara internal (bersifat preventif), salah satu yang harus kita
lakukan adalah menjaga pendidikan sang anak.

Secara eksternal (bersifat represif), tentunya melalui aturan-aturan
dari pihak yang berwenang, katakanlah dalam hal ini negara. Usaha-
usaha yang disebut oleh Doni itu seperti proteksi, sanksi, hukuman
dan 'serangan' balik hanya bisa dilakukan oleh negara. Di atas sudah
saya ulas panjang lebar.

Sekali lagi, hanya negara yang berhak melakukan usaha-usaha yang
bersifat represif tersebut. Ormas, forum ulama, atau siapaun tidak
punya hak untuk melakukan usaha-usaha represif tersebut. Contoh
kisah Wali Songo di atas mestinya cukup jelas memberikan pemahaman
tersebut kepada kita semua.

Seperti apa karakter pergerakan Islam menurut Doni ini? Apakah
menyerang sambil bakar-bakaran penuh amarah dan teriak Allahu Akbar?
Mengerikan sekali kalau begitu. Mudah-mudahan tidak demikian.

Point curhat yang terakhir sbb:

5. Klaim sepihak atas : Islam sebagai agama rahmatan lil alamin,
dikorelasikan dengan minimnya sikap dan simpati PKS kepada korban
pengrusakan. Jelas, ini adalah bukti miskinnya data dan kepahaman
tentang PKS. Walaupun di blognya mengutip banyak sumber berita
(sekunder) dari media massa dan media online tentang PKS.

Jadi seperti apa sih seseorang kalau sudah memiliki 'kepahaman'
tentang PKS? Apakah dengan menuliskan "Subhanallah, kader-kader PKS
melakukan baksos di Aceh", atau berbagai komentar yang bersifat riya
lainnya?

Ini adalah keputusan Munas PKS tanggal 23-31 Juli 2005 point ke 12
[5] yang saya kutip dari situs HNW sendiri: "Mengenai kasus
penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah, PKS menghimbau agar
masyarakat, khususnya kaum muslimin menyikapinya dengan lebih arif
dan tidak bertindak anarkis. Perbedaan pemahaman sebaiknya
diselesaikan dengan penyadaran-penyadaran yang bersifat persuasif."

Jelas PKS menyatakan bahwa perbedaan dengan Ahmadiyah itu haruslah
disikapi dengan arif dan tidak anarkis. Penyelesaian perbedaan itu
hendaklah dengan cara penyadaran yang bersifat persuasif atau dakwah.

Sikap PKS di sini sudah menampilkan wajah Islam sebagai rahmatan lil
alamin, tapi sayangnya tidak sinkron dengan tanggapan HNW yang
kurang manusiawi itu. Beliau sama sekali tidak mengutuk kekerasan
itu (padahal sikap Munas PKS melarang kekerasan terhadap Ahmadiyah),
dan dengan gampangnya menyatakan agar kaum Ahmadi meninggalkan
keyakinan Ahmadiahnya supaya masalah tidak rumit (tidak rusuh),
padahal sikap Munas PKS menyatakan supaya menyelesaikan perbedaan
pemahaman itu secara persuasif, bukan dengan cara ngancem biar gak
rusuh.

Belum lagi sikap itu langsung didukung kader-kader fanatikun yang
mungkin tidak mengikuti hasil Munas partainya sendiri. Di mana letak
kasih sayang Islam? Mana rahmatan lil alamin? Sudahlah tidak baksos
terhadap kaum Ahmadi yang kena musibah (setahu saya), malahan
mengeluarkan pernyataan tidak simpatik pula.

Kemudian Doni menambahkan curhatnya:

Dan masih ada lagi sih, tapi, sudahlah... mending sekarang aku
menulis hal lain aja deh, yang jauh lebih bermanfaat.

Ini saya setuju. Sudahlah, ketimbang cuma curhat begini mendingan
tulislah yang lebih bermanfaat dan mencerahkan, dengan logika dan
referensi yang jelas. Akur?

Btw, saya jadi bingung, apa definisi tangguh si Doni ini? Apakah
saya harus menanggapi komentar #43 di artikel 'Surat Terbuka kepada
Ketua MPR' itu dengan mengatakan "syukron akhi atas tausiyah antum",
lalu tidak usah meng-argue lagi?

Terakhir, masukan saya buat PKS, model pemahaman seperti Doni ini
adalah pe-er buat PKS. Kalau mau terjun ke dunia politik praktis dan
nyebur ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka pahamilah
hakikat bernegara, sehingga tidak campur aduk antara tujuan ideal
sebuah negara berlandaskan syariah, dan realitas sebuah negara
sekuler. Kemudian doronglah selalu kader untuk selalu mencari
rujukan dari berbagai sumber, meskipun itu adalah sumber di luar
jamaah sehingga tidak merasa benar sendiri.

Biblio
[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,
Juni 2005 (cetakan ke 27)
[2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Tentang Amar Ma'ruf
Nahi Munkar dan Kekuasaan, Siyasah Syar'iyah dan Jihad fi
Sabilillah, Darul Haq, Jakarta, 2005
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Volume 1 (Al Fatihah dan Al
Baqarah), Lentera Hati, Jakarta, 2002
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 1 (Al Faatihah dan
Al Baqarah), Gema Insani, Jakarta, 2000
[5] Keputusan Munas PKS, Jakarta, 23-31 Juli 2005

Thursday, April 27, 2006

[ARTIKEL Nadirsyah Hosen] Reformasi Syariat Birokrasi


From: "Nadirsyah Hosen" <
nhosen@gmail.com>Date: Wed, 26 Apr 2006 10:03:28 -0000Subject: Reformasi Syariat Birokrasi


Reformasi Syariat Birokrasi
Nadirsyah Hosen*)


Berakhirnya kekuasaan Orde Baru (1966-1998) ditandai dengan semangatmelakukan reformasi. Setelah tuntasnya reformasi personal (tahappertama) yang dicirikan dengan naiknya para pemain baru di gelanggangpolitik nasional, reformasi tahap kedua digelar dengan melakukanamandemen UUD 1945. Periode reformasi konstitusional ini kemudiandiikuti dengan tahapan berikutnya: reformasi birokrasi.

Unsur pelayanan publik dan penataan kembali aparat pemerintah baik dipusat maupun di daerah guna menjadikan birokrasi lebih efisien danefektif adalah unsur penting dari reformasi birokrasi. Tersendatnyareformasi pada periode ini bukan saja mempersulit amanat gerakanmahasiswa 1998 untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),tapi juga membuat masyarakat luas tidak merasakan dampak positifgerakan reformasi paska Orde Baru.

Dalam konteks ini menarik dicermati respon sejumlah kelompok Islamuntuk turut serta dalam proses reformasi. Mereka memaknai reformasisebagai cara agar syariat Islam dapat diterapkan di Indonesia. Setelahgagal mendesakkan usulannya untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945dengan memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta, sejumlahelemen di tubuh umat mempromosikan ide penerapan syariat Islam dibeberapa daerah.

Bukannya turut serta menggagas dan mengisi program reformasibirokrasi, sesuai prinsip negara hukum dan pemerintahan yang baik,mereka malah asyik mempromosikan syariat versi mereka melaluitangan-tangan birokrasi. Ini yang saya sebut dengan "syariatbirokrasi".

Topik yang diatur mulai dari masalah aturan berpakaian, pembuatanpapan nama Arab Melayu, pemberlakuan "jam malam" bagi perempuan sampaidengan diadakannya program baca tulis al-Qur'an bagi calon pengantin.Bentuk perangkat hukum yang digunakan mulai dari Surat Edaran Bupati,Instruksi Walikota, Surat Gubernur sampai dengan Peraturan Daerah(Perda).

Syariat birokrasi semacam ini paling tidak mengandung tiga persoalan.Pertama, syariah Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit sematayang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagalmempromosikan susbtansi ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalamkonteks pelayanan publik. Bagi masyarakat, syariat Islam dianggapberhasil diterapkan apabila pegawai di kantor bupati melayani publikdengan baik, efektif, efisien dan tidak ada unsur KKN. Bukanlahmenjadi soal apakah pegawai tersebut berjilbab dan apakah papan namakantor bertuliskan huruf Arab Melayu atau tidak.

Contoh lain adalah bagaimana para penggagas penerapan syariat Islamitu memberikan kontribusi pemikiran agar birokrasi kita di daerahlebih ramping dan tepat sasaran serta membenahi sistem penggajian daninsentif yang adil sesuai dengan merit system.

Indikator berikutnya adalah fasilitas publik seperti toilet umum,jalan raya, air bersih, lampu penerangan, angkutan umum, dan gedungsekolah terpelihara dengan baik dan dapat dimanfaatkan sepenuhnya olehmasyarakat. Ini semua termasuk inti atau substansi dari syariat Islam.Dan celakanya, ini pula yang sulit kita dapati di daerah yangmenerapkan atau tidak menerapkan syariat birokrasi. Lalu apa bedanyabagi masyarakat antara menerapkan syariat atau tidak?

Kedua, sebagian topik yang diatur dalam syariat birokrasi sebenarnyasudah kebablasan. Tidak ada aturan fiqh yang mengatur pasangan calonpengantin untuk pandai baca-tulis al-Qur'an. Fiqh juga tidakmemberikan sanksi duniawi baik administratif ataupun pidana, bagiperempuan yang tidak menutup rambutnya. Kalaupun pemakaian jilbabdianggap kewajiban syar'i, maka ini merupakan urusan individu dengansang Khalik. Syariat birokrasi telah mencampuradukkan mana yangtuntunan moral, mana yang berupa anjuran dan mana yang berupakewajiban agama.

Ketiga, syariat birokrasi di sejumlah dareah juga tidak memenuhiparadigma birokrasi modern: catalytic government dan community-ownedgovernment (David Osborne dan Ted Gaebler, 1993). Birokrasipemerintahan seharusnya lebih berfungsi sebagai katalis, yangmelepaskan bidang-bidang yang seharusnya dapat dikerjakan sendiri olehmasyarakat. Masalah berpakaian dan kemampuan memahami huruf Arabsejatinya merupakan urusan masyarakat bukan urusan birokrasi.Birokrasi seharusnya memberdayakan masyarakat agar tidak tergantungsepenuhnya kepada pemerintah. Yang kita saksikan beban birokrasi kitamalah menjadi semakin bertambah.

Kegairahan sejumlah daerah menerapkan syariat birokrasi justru dapatmenjadi bumerang ketika masyarakat lambat laun akan menyadari bahwahidup mereka tidak berubah menjadi lebih baik. Reformasi bukan sekedarmengubah aturan. Menurut Justice Kirby, reform is a change for thebetter.

Kita pantas untuk khawatir kalau syariat birokrasi ini dapatmelalaikan kita untuk fokus pada tahapan reformasi yang amat mendesakkita lakukan saat ini: reformasi birokrasi!

*) Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Australia-Selandia Baru, dan peraihdua gelar PhD dari National University of Singapore dan University ofWollongong.
 Posted by Picasa

Wednesday, April 19, 2006

Gus Dur: Terorisme Bermula dari Globalisasi

Gus Dur: Terorisme Bermula dari Globalisasi

Jakarta, gusdur.net
Peluncuran dan Bedah BukuMantan presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan, fenomena terorisme yang kian marak akhir-akhir ini disebabkan adanya penduniaan (globalization) yang diawali dari sistem perdagangan bebas.

“Perdagangan bebas ini didukung negara adi kuasa Amerika Serikat untuk menguasai seluruh dunia. Upaya penguasaan dunia inilah yang menimbulkan reaksi.”

Demikian disampaikan Ketua Dewan Syura DPP PKB itu saat menjadi keynote speaker pada Launching dan Bedah Buku Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi karya KH Abdurrahman Wahid dkk., Selasa (18/4/06) siang, di Hotel Acacia Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan seperti PMII, GMKI, PMKRI, IMM, IPNU, IRM, GMNI, KMHDI, HIKMAHBUDHI, dan SPECTRUM.

Menurut mantan Ketua Umum PBNU itu, setidaknya ada tiga reaksi yang muncul akibat upaya penguasaan dunia itu. Pertama, reaksi yang sehat dan proporsional, yang tidak langsung menolaknya secara membabi buta. Kedua, reaksi yang berbentuk fundamentalisme Islam. Kelompok ini merasa Islam terancam oleh kemajuan teknologi Barat. Karenanya Islam harus melawan. “Reaksi ini dipegang oleh orang seperti Habib Riziq Shihab,” tegas Gus Dur.

Dan ketiga, reaksi nasionalisme sempit yang dimotori kalangan yang mengaku paling nasionalis. “Mereka menggangap diri paling nasionalis sementara yang lain tidak. Contohnya, orang-orang yang teriak-teriak saat pemberian visa sementara bagi 42 warga Papua oleh Pemerintah Australia,” imbuh Gus Dur.

Menurut Gus Dur, dalam proses sejarah, gelombang kemunculan terorisme sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dan akan hilang dengan sendirinya. “Itu akan hilang kalau sudah ditemukan obatnya. Dan sebentar lagi ditemukan,” katanya optimis.

Gus Dur juga menilai, apa yang dilakukan para teroris itu menunjukkan tindakan pengecut yang diklaim sebagai perjuangan. “Makanya nggak usah geger (resah, red), nanti akan selesai dengan sendirinya,” ujarnya.

RUU APP
Dalam kesempatan itu, Gus Dur juga menyentil Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang hingga kini masih menimbulkan pro-kontra hebat. Menurut Gus Dur, RUU ini dibikin hanya untuk mengalihkan tugas aparat keamanan.

“RUU APP ini tindakan yang akan menyimpangkan Polri dari kewajibannya. Nggak punya kerjaan saja,” tegas Gus Dur.

Dikatakan Gus Dur, sebenarnya KUHAP memiliki pasal-pasal yang mengatur perihal kesopanan. Karenanya, tidak perlu diwujudkan UU baru yang mengatur persoalan sama. “KUHAP itu saja dipakai, biar tidak rancu,” ujarnya.

Setelah orasi Gus Dur, acara dilanjutkan dengan diskusi buku, dengan menampilkan nara sumber Fadhli Zon, Agus Maftuh Abigibriel dan Imam al-Daruquthni.[]

NU Bantah Miring ke "Kanan"

http://www.kompas.com/utama/news/0604/19/092405.htm
NU Bantah Miring ke "Kanan"
Surabaya, Rabu


Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Timur membantah tuduhan bahwa NU telah "miring ke kanan" karena merespon persoalan Ahmadiyah, RUU APP, dan sejenisnya. "Saya banyak di-SMS para kiai/ulama, karena ada sekelompok orang yang menuduh NU telah ’miring ke kanan’ hanya gara-gara NU mengomentari soal Ahmadiyah, RUU APP," kata Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Rabu (19/4).

Menurut pengasuh Pesantren Miftahussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu, tuduhan tak berdasar itu sesungguhnya merupakan akibat dari sikap NU selama ini yang kurang responsif, cenderung banyak diam, dan dikesankan terlalu "kekiri-kirian".

"Padahal, sikap responsif NU itu sebenarnya merupakan sikap lurus NU yang tidak ke ’kanan’ dan ke ’kiri’, bahkan sikap responsif yang sudah dilupakan NU itu merupakan khittah kelahiran NU yang merespon terhadap kelompok Wahabi yang akan menyelewengkan Islam," katanya.

Selain itu, katanya, sikap responsif itu juga merupakan wasiat pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi yang memang sudah lama tidak dikaji, dibaca, dan dibahas anak-anak muda dan intelektual NU sendiri. "Jadi, kalau NU merespon RUU APP bukan berarti NU terlalu miring ke ’kanan’ atau NU telah menyerahkan urusan moral kepada negara, tapi NU memang sudah seharusnya merespon persoalan moral masyarakat yang perlu diluruskan," katanya.

Namun, katanya, respon NU atas RUU APP yang kebetulan menjadi kebijakan negara itu seolah-olah NU menyerahkan persoalan moral kepada negara, padahal sebenarnya hanya kebetulan dan NU sudah selayaknya merespon dengan atau tanpa dengan peran negara. "Bahkan, PWNU Jatim telah mengusulkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi diubah saja menjadi RUU Pornografi dan Pornoaksi, sebab adanya kalimat ’anti’ menimbulkan kesan kurang baik. Usulan PWNU Jatim itu agaknya mulai didengar DPR RI dan pemerintah," katanya.

Ia menambahkan sikap responsif NU tanpa bias kepentingan apa un itu bukan berarti NU terpengaruh faham Wahabi yang akan menformalkan syariat (ajaran Islam), melainkan NU berupaya mengembalikan posisi ke jalur semula (khittah). "Kalau ada seseorang mengaku sebagai bagian dari NU ya seharusnya melakukan tabayyun (klarifikasi) lebih dahulu melalui sowan (silaturrahmi) dan bukan dengan menabrak rambu-rambu NU serta menggoyang sendi-sendinya yang mengundang kecurigaan," katanya.

Senada dengan itu, Wakil Katib Syuriah PBNU KH A Sadid Jauhari menyatakan jika PBNU sekarang dituduh "kekanan-kananan", maka PBNU selama ini barangkali sudah "kekiri-kirian", sehingga ketika PBNU mencoba akan bersikap lurus justru dianggap miring ke "kanan". "Karena itu, kami akan mengadakan pembahasan masalah itu, termasuk kemungkinan menyampaikan teguran tertulis kepada kelompok yang asal menuduh tanpa tabayyun itu," kata pengasuh Pesantren As-Suniyah Kencong, Jember, Jatim itu.

Sumber: Ant
Penulis: Nik

Monday, April 17, 2006

Ulil Dengan Liberalismenya (2)*


Ulil Dengan Liberalismenya (2)*

thinker big12.jpg

Oleh: Abdurrahman Wahid

Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri.” Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim A Mustofa Bisri. Sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainnya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan Assalamu’alaikum dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu, sehingga penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya. KH. Syukron Makmun dari Jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan Takbiratul Al-Ihram dan disudahi dengan ucapan Salam. Jadi, menurut paham Mazhab al-Syafi’i, Penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/kyai yang menjadi dosen juga sering mengubah “tanda perkenalan” tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah” (shabah al-nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada Penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

*****

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur’an: “Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan “ (wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (man kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun).

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat, Averros juga di“kafir”kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis Ahl al-Naqli (kaum tekstualis) dan penganut paham serba akal Ahl al-Aqli (kaum rasional) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi” (Ahl al-Dzawq), seperti dikemukakan oleh Al-Jabiri dari Universitas Yar’muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Imam al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), Ihya’ ’Ulum al-Din, yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci Al-Qur’an menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini” (Alyawma akmaltu lakum dinakum) dan “Masuklah ke dalam Islam/kedamaian secara menyeluruh” (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.

Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar-Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “muslim pinggiran” merasa di rumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar-Abdalla tersebut.

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat” (ikhtilaf al-A’immh rahmah al-‘ummah).

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahir terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghinggapi dunia Islam.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa yang dibawa Ulil Abhsar dalam bentuk pandangan liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU sendiri? Jawabnya terletak dalam kenyataan, bahwa di lingkungan NU, pembaruan pada umumnya terjadi tanpa menggunakan label apapun. Sewaktu KH. A. Wahid Hasyim kembali dari Mekkah pada tahun 1931, ia langsung mengadakan perombakan pada kurikulum madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berhasil, karena justru perombakan itu dilakukan tanpa nama apapun. Seolah-olah tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, ia menjaga perasaan orang yang masih mengikuti cara berpikir lama.

Yang menolak perubahan/karena perasaan dan pikiran mereka termasuk ayahnya sendiri (KH. M. Hasjim Asy’ari), dihargai dan di “orangkan”. Merekapun menahan diri dan tidak mengadakan perlawanan terbuka terhadap apa yang dilakukan. Demikian pula, ketika KH. Mahfudz Sidiq melansir gagasannya tentang prinsip-prinsip kebaikan masyarakat (Mabadi’ Khairah ‘Ummah) diawal-awal dasawarsa empat puluhan ia meletakannya dalam konteks memperkuat susunan masyarakat yang sudah ada. Maka gagasan itu langsung diterima tanpa kritikan apapun dari semua pihak di lingkungan NU. Sayangnya, beliau tidak berumur panjang dan meninggal dunia sewaktu pihak Jepang mulai menanamkan pengaruhnya di negeri ini. Demikian pula, ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Penulis juga melakukan perubahan-perubahan drastis, antara lain dengan memasukkan tokoh-tokoh muda pada kedudukan strategis di lingkungan NU. Tetapi itu semua dilakukan tanpa embel-embel apapun.

Lalu terjadilah perubahan-perubahan drastis, tanpa ada gejolak-gejolak apa-apa. Hal itu dilakukannya juga di lingkungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu banyak anak-anak muda menjadi fungsionaris penting dalam PKB, tanpa ada perlawanan berarti. Di sinilah letak pentingnya sikap yang jelas dari seorang pimpinan yang mengerti apa yang harus dilakukan. Nah, hal inilah yang justru diabaikan oleh Ulil Abshar Abdalla yang “terjebak” dalam label yang dibuatnya sendiri, atau yang dibiarkan tumbuh. Tentu saja perkembangan belum berakhir, karena Ulil kemudian “berdiam diri” dengan cara belajar di luar negeri. Sewaktu ia kembali ke tanah air nanti, mungkin ia dapat mengorganisir penerimaan lebih luas di lingkungan NU dengan cara “berdiam diri” seperti itu dulu.

Tuduhan bahwa ia selama ini tidak ikhlas memimpin umat, mungkin dapat ia tolak dengan cara seperti itu. Mungkin dukungan terhadap dirinya akan berkurang, namun di lingkungan NU ia akan diterima secara lebih luas, karena ia akan dilihat sebagai “orang sendiri”. Style atau gaya kepemimpinan seperti ini, memang merupakan ciri yang berdiri sendiri di lingkungan NU. Hal semacam inilah yang jarang dimengerti oleh orang-orang dari gerakan Islam yang lain. Penulis sendiri banyak melakukan perubahan-perubahan mengenai apa-apa yang ada di lingkungan NU, tetapi tidak pernah menyebutkan apa-apa yang dibiarkan. Ada anggapan orang akan perlunya perubahan di lingkungan luar NU agar orang-orang di luar NU lebih dapat menerima perubahan.

“Pengenalan keadaan” seperti inilah yang harus kita mengerti baik di lingkungan NU maupun di luarnya dan mengetahui keadaan seperti itu, kita akan dapat melakukan perubahan-perubahan di lingkungan gerakan Islam. Memang hal ini adalah sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Nah, kemampuan menyusun kepemimpinan yang berlandaskan tidak hanya pikiran-pikiran, tetapi juga didasarkan pada hal-hal praktis semacam ini, adalah sebuah “modal” yang diperlukan. Antara gaya dan substansi kepemimpinan, harus ada keseimbangan yang menentukan kualitasnya. Ulil Abshar-Abdalla masih berusia muda tetapi memiliki potensi besar untuk menjadi pimpinan yang diakui semua pihak, dan untuk itu ia harus juga “memahami” hal itu. Kalau hal itu terjadi, maka Penulis makalah ini adalah orang paling berbahagia, di samping orang tua dan mertuanya sendiri. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan, bukan?

Jakarta, 28 November 2005

*Naskah ini penyempurnaan dari tulisan dengan judul yang sama sebelumnya. Disampaikan pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Menjadi Muslim Liberal”karya Ulil Abshar-Abdalla di Universitas Paramadina, Selasa 29 November 2005.

Teks Sebagai Jendela dan Cermin

Teks kuno Kitab Suci (atau teks apa pun) secara metaforis dapat diperlakukan sebagai sebuah “jendela” (atau sebuah teropong atau sebuah lubang kunci atau sebagai sebuah jembatan). Ketika berhadapan dengan sebuah jendela, orang tidak tertawan oleh papan jendela, tetapi membukanya, lalu melalui jendela itu ia memandang ke dunia di luar jendela, dunia yang lain.

Teks kuno Kitab Suci (atau teks apa pun) secara metaforis dapat diperlakukan sebagai sebuah “jendela” (atau sebuah teropong atau sebuah lubang kunci atau sebagai sebuah jembatan). Ketika berhadapan dengan sebuah jendela, orang tidak tertawan oleh papan jendela, tetapi membukanya, lalu melalui jendela itu ia memandang ke dunia di luar jendela, dunia yang lain. Demikian juga, ketika orang memegang sebuah teropong, ia tidak berhenti hanya pada memandangi saja teropong itu, tetapi menggunakannya untuk melihat suatu kawasan atau dunia yang lain di tempat yang jauh darinya.

Dengan teks sebagai sebuah jendela, maka ketika si pembaca (atau si penafsir) memandang kepada teks, ia tidak sedang memandang kepada teks itu sendiri, tetapi kepada dunia di balik teks. Dengan demikian, ia memandang kepada sejarah teks (the history of text) dan kepada komunitas (atau individu) yang menghasilkan teks itu dalam sejarah, Untuk sampai pada bentuknya yang sekarang (bentuk kanonik, bentuk yang dipandang normatif), teks suci telah melewati sejarah pembentukan, penyusunan, penerusan dan perkembangannya, dari bentuk awalnya (bisa sederhana) yang bisa berbentuk tradisi lisan atau pun tradisi tertulis, sampai kepada bentuk final (bisa lebih rumit) sebagai teks seperti yang sekarang dimiliki si penafsir. Pembentukan, penyusunan, penerusan dan perkembangan teks ini berlangsung di dalam komunitas asali penghasil teks itu dan di dalam komunitas-komunitas lanjutan yang menyunting atau memelihara teks itu sebagai tradisi warisan. Penyusunan teks suci dan segala perubahan yang terjadi pada teks di dalam sejarah penerusan dan perkembangannya mencerminkan juga situasi dan kondisi sosial-budaya dan politis riil yang sedang dihadapi komunitas-komunitas yang memiliki hubungan dengan teks itu. Sosiologi pengetahuan telah berhasil menyingkapkan bahwa selalu ada relasi timbal balik antara teks yang disusun dan berkembang dengan sejarah sosial komunitas penghasil dan penerus teks itu.

Ketika orang melakukan penelitian terhadap sejarah teks, ia sedang melakukan penelitian dengan pendekatan diakronik (dari dua kata Yunani: dia + khronos; artinya "melintasi" atau "melewati perjalanan waktu"). Ketika si penafsir meneliti sejarah teks, ia sebetulnya sedang merekonstruksi bentuk-bentuk teks, dari bentuk awalnya (lisan atau pun tulisan) sampai mencapai bentuk teks akhir kanoniknya. Usaha penelitian dan rekonstruksi semacam ini disebut kritik bentuk (form criticism). Selain itu, si penafsir masih harus bisa menempatkan bentuk-bentuk teks yang sudah direkonstruksi itu dalam konteks-konteks riil kehidupan (Sitzen im Leben) komunitas-komunitas penghasil, pemelihara dan pengembang teks. Ia juga masih harus menemukan apa fungsi-fungsi teks itu dalam Sitzen im Leben-nya. Usaha-usaha rekonstruktif ini, dengan dilengkapi oleh analisis-analisis sosiologis-antropologis, akan bermuara pada deskripsi sejarah sosial komunitas yang menghasilkan dan mengembangkan teks itu, sebab, seperti telah dikatakan di atas, antara teks dan komunitas penghasil teks selalu ada interaksi.

Pendekatan diakronik yang memperlakukan teks suci sebagai jendela ini dipakai oleh setiap pendekatan kritis historis (historical criticism) terhadap teks suci. Form criticism adalah salah satu bentuk dari kritik historis. Pendekatan diakronik historis kritis ini memang tidak disukai kalangan keagamaan konservatif fundamentalis, yang umumnya bisa sangat cemas ketika sejarah suatu teks diteliti, sebab mereka kuatir dengan meneliti sejarah suatu teks (dus berarti juga meneliti sejarah komunitas-komunitas penghasil, penerus dan penyunting teks) atau dengan mengetahui maksud-maksud para penulisnya dulu, kemapanan dogma atau akidah ortodoks yang didasarkan pada suatu tafsiran tunggal atas teks akhir kanonik akan jadi terguncang. Pendekatan diakronik historis kritis ini menyadarkan orang bahwa ada tempat di zaman dulu untuk setiap teks suci, dan setiap teks suci memiliki tempatnya masing-masing di zaman dulu. Beragama itu selalu harus dalam suatu konteks, tidak bisa untuk segala konteks. Kesadaran semacam ini membebaskan, bukan memenjarakan, orang.

Kalangan keagamaan konservatif lebih memilih memperlakukan teks suci sebagai sebuah “cermin” atau sebagai permukaan air bening di danau. Ketika orang memandang sebuah cermin, ia tidak sedang memandang ke ruangan atau dunia di balik cermin, tetapi kepada cermin itu sendiri dan sekaligus kepada gambar dirinya di dalam cermin itu. Ketika orang memandang cermin, orang akan menemukan kalau cermin itu memiliki dunianya sendiri dan ia terhisap ke dalamnya.

Ketika teks suci diperlakukan sebagai sebuah cermin, si pembaca atau si penafsir teks tidak sedang melihat ke dunia di balik teks (seperti pada pendekatan teks sebagai jendela), melainkan kepada teks sendiri dengan dunianya sendiri (text world), dan sekaligus kepada dirinya dan dunianya yang terhisab ke dalam teks. Fokus tertuju kepada dunia teks atau dunia kisah (story world) di dalam teks akhir kanonik yang normatif, bukan kepada dunia si penulis teks dulu, bukan kepada sejarah teks, dan juga bukan kepada bentuk-bentuk teks sebelum mencapai bentuk akhirnya. Ke dalam dunia teks atau dunia kisah inilah si penafsir memasukkan dirinya, supaya ia bisa ikut serta menentukan makna atau pesan teks yang sedang dibacanya dalam bentuk akhir kanoniknya. Bak seorang anak yang sangat terpesona memandang sebuah lukisan indah dan karenanya ingin menyatu dengan lukisan itu dan ingin mengambil peran menentukan di dalam dunia lukisan.

Ketika teks diperlakukan sebagai sebuah cermin, subyektivitas si pembaca atau si penafsir sangat menentukan apa yang akan menjadi makna teks yang akan diperoleh. Pendekatan ini disebut pendekatan sinkronik (dari dua kata Yunani: syn + khronos; artinya: "bersamaan waktu", atau lebih tepat: pendekatan a-historis atau a-temporal), sebab pendekatan ini tidak mau meneliti sejarah teks di masa lalu, tetapi hanya mau mencari makna teks yang muncul ketika si pembaca atau si penafsir berinteraksi dengan dan bersama teks dalam proses pembacaan teks. Para pembela pendekatan ini biasa mengatakan "penulis aslinya sudah mati", jadi tidak perlu diperhatikan.

Karena peran si penafsir teks di masa kini sangat besar dalam menentukan makna teks yang akan didapat, maka pendekatan ini memang sangat subyektif. Setiap penafsir bisa menemukan beragam makna dan pesan dari suatu teks, bergantung pada kondisi mental dan dunia sosial-intelektual dan religiusnya. Metode tafsir "reader-response criticism" dan "strukturalisme" ada dalam jalur pendekatan tafsir yang sinkronik subyektif ini.

Dengan pendekatan sinkronik dan subyektif ini, si pembaca teks yang warna teologinya konservatif akan menemukan di dalam teks segala sesuatu yang dibutuhkan untuk ia mempertahankan dogma atau akidah konservatifnya itu. Tidak ada patokan atau rambu-rambu untuk menetapkan yang ini makna teks, bukan yang itu; sebab makna teks tergantung pada si pembaca atau si penafsir. Pendekatan ini, karena sangat subyektif, menimbulkan banyak problem hermeneutik dan epistemologis. Contoh: Apakah karena si penulis surat wasiat sudah mati, maka isi surat wasiat itu boleh ditafsir sembarang saja menurut kemauan si ahli waris? Juga, jika semua tokoh sejarah di masa lampau sudah mati, apakah setiap historiografi boleh ditulis sembarang saja menurut ideologi si penulis sejarah? Jawab untuk keduanya tentu Tidak! Tambahan pula, dengan memandang si penulis asli teks dulu sudah mati, maka si penafsir masa kini secara subyektif telah mengambil peran sebagai penulis teks itu sendiri yang berhak menentukan makna atau pesan teks.

Konservatisme religius memang kerap kali dipertahankan bukan dengan penggalian teks-teks suci secara kritis historis, tetapi dengan memakai wewenang para tokoh religius yang diberi kuasa mutlak untuk secara subyektif menentukan makna teks suci. []

* Dr. Ioanes Rakhmat, pengamat sosial keagamaan, tinggal di Jakarta
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1029

[Luthfi Assyaukanie] Belajar Kembali Bernegara

Editorial
Belajar Kembali Bernegara
Oleh Luthfi Assyaukanie
10/04/2006


Kita tampaknya harus kembali belajar bernegara. Beberapa peristiwa nasional akhir-akhir ini membuktikan betapa sebagian kelompok Islam di negeri ini gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Kita tampaknya harus kembali belajar bernegara. Beberapa peristiwa nasional akhir-akhir ini membuktikan betapa sebagian kelompok Islam di negeri ini gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Contohnya adalah perilaku Majelis Ulama Indonesia dan organisasi Islam yang mendukung fatwanya tentang Ahmadiyah. Fatwa tentang Ahmadiyah yang disusul serangkaian tindak kekerasan itu telah menunjukkan kalau tokoh-tokoh MUI lebih mendahulukan pemahaman sempit yang dianutnya ketimbang kebersamaan dalam bernegara.

Konstitusi kita jelas-jelas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945: Pasal 29, Ayat 2). Tapi, para tokoh MUI justru melecehkan rumusan itu dengan mengintimidasi Ahmadiyah lewat fatwa-fatwa.

Kita juga prihatin melihat tokoh Islam di lembaga lain. Pimpinan Departemen Agama (Depag) yang harusnya menjadi contoh pengayom semua agama malah tampil menjadi tokoh antagonis. Permusuhan yang diperlihatkannya terhadap Ahmadiyah jelas menunjukkan bahwa ia lebih mementingkan keyakinan sempit ketimbang arti bernegara yang baik.

Beberapa tokoh Islam organisasi besar seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah juga memperlihatkan gejala serupa. Mereka gagal memahami Konstitusi kita dan lebih senang mengutamakan pemikiran keagamaan yang sempit. Dalam isu-isu hubungan agama dan negara, mereka tampaknya lebih suka “mengarab” ketimbang “mengindonesia.”

Para tokoh Islam di dua lembaga itu juga bersemangat mendukung setiap rancangan undang-undang (RUU) yang berbau Islam, sembari mengabaikan konteks keindonesiaan yang majemuk. Kacamata yang mereka gunakan bukanlah Indonesia yang majemuk dan beragam, tapi kacamata dari Timur Tengah yang bernuansa doktrin-doktrin wahabisme.

Kita kaum muslim agaknya memang harus belajar lagi tentang Indonesia kita, tentang bagaimana membangun sebuah negara modern.

Para pendiri republik ini, sejak dulu sudah sepakat membangun Indonesia sebagai negara modern yang dilandasi semangat kebersamaan dan kerukunan. Mereka tak pernah menginginkan negara agama, apalagi negara Islam. Para pendahulu kita itu juga sudah lelah berdiskusi soal dasar negara. Kini, kita juga lelah melayani hasrat-hasrat ideologis kaum Islamis yang mungkin akan lebih mengakibatkan perpecahan ketimbang memajukan negeri ini.

Sebuah negara modern, dalam konsensus ilmuwan politik dan umat manusia kini, tidak bisa lagi dibangun atas dasar ideologi keagamaan tertentu, apalagi yang sendi-sendinya diambil dari abad pertengahan. Negara modern membutuhkan aturan dan perundang-undangan yang dibuat serasional mungkin dengan memperhatikan semua elemen penghuninya.

Setelah lebih setengah abad merdeka, kita layak berharap para pemimpin Islam Indonesia makin matang dan lebih dewasa dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan isu agama dan negara. Jika bersedia menerima bentuk dan dasar negara Indonesia, mereka harusnya juga bersedia menerima segala konsekuensinya. Yang saya maksud “segala konsekuensinya” itu adalah: setiap upaya pembangunan negara haruslah sejalan dengan semangat konstitusi kita.

Jika para pemimpin Islam negeri ini bersedia menerima Pancasila sebagai falsafah dasar negara, mereka harusnya juga bersedia menerima konsekuensi dari asas itu. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara Islam. Karenanya, setiap upaya untuk menggolkan peraturan yang potensial memicu perpecahan dan diskriminasi, secara otomatis telah bertentangan dengan Pancasila.

Sejak merdeka, para pemimpin Islam memang tampak tertarih-tatih untuk menerima konsep Indonesia modern yang majemuk. Di tahun 1950-an, lewat partai-partai Islam, mereka berupaya mendesakkan agenda yang ingin mengubah asas Pancasila menjadi asas Islam. Keinginan itu gagal, karena partai-partai Islam kalah Pemilu 1955. Tak patah arang dengan kegagalan itu, mereka kembali mencobanya lewat debat-debat konstituante (1957-1959). Tapi, usaha inipun kembali gagal.

Di masa Soeharto yang represif, para pemimpin Islam yang cenderung ideologis memang tak memiliki tempat. Suara mereka dibungkam dan dipaksa menerima asas tunggal Pancasila. Tapi, keinginan untuk “mengislamkan” Indonesia tak pernah padam. Sejak reformasi, muncul lagi suara-suara yang berusaha untuk ke arah itu, baik lewat partai-partai Islam, organisasi massa, lembaga pemerintah, dan cara-cara lain yang mungkin. Sebagian gagal dan sebagian berhasil.

Karena itu, saya berpendapat bahwa carut-marutnya kehidupan bernegara kita akhir-akhir ini, khususnya soal hubungan agama dan negara, sebagian juga merupakan cerminan kegagapan banyak kaum muslim dalam memahami konsep Indonesia kita. Obsesi yang terus hidup untuk “mengislamkan” Indonesia telah menjadi semacam ranjau yang terus-menerus mengancam keutuhan negeri ini.

Energi yang seharusnya disalurkan untuk proyek-proyek pembangunan negara, terkuras untuk mengurusi agama yang lazimnya menjadi soal pribadi setiap warga negara. Fatwa, RUU, dan Perda yang seharusnya diabdikan untuk membantu pembangunan negara, berbalik jadi penghambat kemajuan dan proses modernisasi negeri ini.

Kita sebagai kaum muslim agaknya memang harus benar-benar kembali belajar bernegara dan mencari cara yang tepat dalam membangun negeri ini.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1030