Saturday, October 08, 2005

Berani Mati, Takut Hidup

KOMPAS--Opini | Sabtu, 08 Oktober 2005

Berani Mati, Takut Hidup
Syafiq Hasyim

Mereka hanya berani mati, tidak berani hidup.” Ungkapan yang sering dikemukakan Buya Syafii Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, ini terasa amat cocok dialamatkan kepada pelaku Bom Bali II.

Sampai kini mungkin kita masih menebak-nebak untuk apa mereka rela melakukan bom bunuh diri, mengorbankan nyawa, memutus kasih sayang orangtua, istri, anak, dan keluarga? Di balik itu semua, pasti ada cita-cita amat agung yang mereka yakini.

Hegel pernah menyatakan, seseorang amat ingin dengan kematian karena mengejar nilai lebih besar dari kehidupan. Juga sebaliknya, orang akan akan membunuh karena keinginan untuk mengejar nilai yang lebih besar melalui pembunuhan itu. Pernyataan Hegel ini memiliki korelasi amat dekat dengan cerita-cerita mengenai doktrin yang dianut dan diembuskan di kalangan pelaku bom bunuh diri (suicide bomber). Tulisan ini akan melihat masalah bunuh diri melalui penjelasan kebudayaan (cultural talk) dan politik (political talk).

Kekerasan sebagai penggerak

Salah satu tanda kehadiran politik modern adalah kekerasan dinobatkan sebagai keharusan untuk mencapai kemajuan politik. Fenomena kekerasan sebagai penggerak sejarah modern ini bisa dirunut, misalnya, sejak Pencerahan Eropa, 1942, yang dianggap sebagai tonggak kelahiran politik modern. Revolusi Prancis, misalnya, telah memberi banyak pelajaran bagi kita tentang pentingnya teror dan orang-orang yang rela mati karena ingin mengejar nilai yang lebih besar. Keberhasilan Napoleon dalam memenangi pertempuran karena didukung para patriot (bukan tentara), sebutan yang digunakan Napoleon untuk mereka yang rela mati karena ingin membela negara. Fenomena serupa juga ditemukan dalam revolusi dunia lainnya. Di sini kekerasan terlegitimasi, bahkan merupakan midwife of history dari politik modern (Mahmood Mamdani, Good Muslim, Bad Muslim, America, The Cold Wars, and The Root of Terror, 2004, hal 3).

Kini kekerasan dalam wujud bom bunuh diri sebagai alat untuk melakukan teror menjadi kecenderungan baru di Indonesia. Dalam hitungan kita, setidaknya sudah dua peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di negara kita, Bom Kuningan dan Bom Bali 2. Mungkin para pelaku (perpetrator) terilhami kejadian-kejadian bom bunuh diri di Timur Tengah (Irak, Palestina, dan Israel) yang dianggap cara baru paling efektif.

Namun, dalam perspektif kesejarahan, Sven Lindqvist dalam A History of Bombing, menyatakan, pengeboman semula dijadikan alat yang hanya cocok untuk memerangi musuh-musuh yang tidak beradab. Namun, kini pengeboman tidak hanya digunakan untuk menyerang uncivilised adversaries, tetapi lebih dari itu, menyerang wilayah-wilayah yang beradab, negara-negara merdeka dan warga sipil yang tidak berdosa. Di sini, pendefinisian tentang �musuh yang tidak beradab� menjadi amat relatif dan nisbi.

Bahkan dalam konteks bom bunuh diri (suicide bombing), pendefinisian tentang siapa musuh yang tidak beradab dan harus diperangi tidak hanya datang dari mereka yang memegang power of discourse, tetapi juga bisa didefinisikan oleh mereka yang powerless dalam pembuatan diskursus. Kini tidak hanya kekuatan superpower yang bisa meneror, tetapi orang seperti Imam Samudra dan Henri Gulun yang sebelumnya tidak pernah tampil sebagai discourse maker bisa menentukan siapa yang beradab dan tidak beradab.

Dengan melakukan pengeboman, kini mereka tampil sebagai teroris yang ditakuti dunia. Fenomena seperti ini memberi pelajaran berharga bagi kita ihwal perubahan pola relasi kekuatan dalam sejarah modern. Kini kekuatan menjadi tersebar di mana-mana, tidak hanya milik bangsa atau kelompok yang menguasai kapital dan persenjataan canggih, tetapi juga mereka yang terpinggirkan.

Politik dan budaya

Ada dua cara yang biasanya dipakai untuk menjelaskan bom bunuh diri sebagai alat terorisme.

Pertama, penjelasan politik (political talk) yang menganggap tindakan bom bunuh diri merupakan alat protes dan bentuk respons terhadap isu-isu yang sedang terjadi atau konteks politik tentang adanya ketidakadilan yang tidak diperhatikan pemegang otoritas. Penjelasan politik ini lebih bersifat struktural, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kenegaraan.

Kedua, penjelasan kebudayaan (cultural talk) yang menganggap tindakan bom bunuh diri merupakan tindakan yang berkaitan dengan latar belakang kebudayaan dari para pelakunya (tradisi).

Dari sisi penjelasan politik, mereka meledakkan bom di Bali karena Bali merupakan kota yang amat strategis untuk dijadikan target guna mengguncang tatanan politik Indonesia. Persoalannya mungkin saja tidak berkaitan dengan Bali, namun karena mereka membutuhkan medium yang amat besar dan berdaya pikat luar biasa guna mengingatkan pemerintah, lalu mereka menjadikan Bali sebagai alatnya. Dalam penjelasan politik, hal-hal yang bisa menyulut adalah persoalan-persoalan dan gejolak politik dari seperti ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah (kehidupan yang kian tak terjangkau), perlakuan tidak adil terhadap kelompok tertentu, sampai persoalan politik persaingan wisata, membutuhkan target cukup besar guna mendapatkan perhatian pemerintah. Selain bersifat politik lokal, tindakan berani mati takut hidup ini juga bisa digunakan untuk memprotes tatanan dunia internasional yang tidak adil.

Dari penjelasan kebudayaan, para pelaku peledakan bom itu terkait kebudayaan tertentu yang dianutnya. Makna kebudayaan di sini amat luas dan agama bisa dimasukkan di dalamnya. Penjelasan kebudayaan ini berasumsi, yang menggerakkan mereka adalah sebuah nilai luhur yang diyakini akan memberi kebahagiaan dan capaian terhadap mereka yang meyakininya. Bom bunuh diri sebagai alat berbakti kepada agama, misalnya.

Dalam penjelasan kebudayaan ini, sikap berani mati takut hidup (bom bunuh diri) muncul karena tidak adanya modernitas, absence of modernity, dalam diri pelaku. Yang dimaksud dengan ketidakhadiran modernitas bukannya mereka tidak menggunakan alat-alat modern, terbukti para pelaku amat mahir dalam menggunakan teknologi informasi dan alat-alat lainnya, tetapi penggunaan alat-alat modern itu tidak disertai mentalitas modernitas (mentality of modernity) pada dirinya.

Mentalitas modernitas di sini tidak hanya bagaimana memanfaatkan teknologi dengan benar, tetapi juga menyadari bahwa teknologi itu ditemukan karena adanya penghargaan terhadap kebebasan berpikir, sikap toleran dan terbuka menerima kebenaran orang lain, dan penghargaan terhadap kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, kedua penjelasan itu tampaknya tidak bisa digunakan secara sendiri-sendiri. Penggunaan secara terpisah-pisah akan berakibat pada penjelasan yang tidak utuh mengenai fenomena bom bunuh diri.

Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism, Jakarta

No comments: