Monday, October 10, 2005

Revitalisasi Pemerintahan SBY-JK

SUARA KARYA | Senin, 10 Oktober 2005
Revitalisasi Pemerintahan SBY-JK
Oleh Ricky Rachmadi

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) telah berjalan hampir setahun. Keduanya memiliki legitimasi sangat kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Simpati dan ekspektasi rakyat terhadap mereka untuk membawa bangsa ini ke arah perubahan dan perbaikan ekonomi atau kesejahteraan sangat tinggi. Nah, bagaimana potret negara-bangsa kita sekarang ini? Apakah terdapat indikasi kuat ke arah tercapainya harapan-harapan tersebut?

Namun, sebelum masuk pada kinerja setahun pemerintahan SBY-JK dan prediksinya ke depan, terutama melihat adakah kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik, tidak ada salahnya kita me-review beberapa pemerintahan era sebelumnya. Review difokuskan pada era Orde Baru karena merupakan era bangsa ini bertekad memperbaiki berbagai kesalahan yang terjadi di era Orde Lama dan melaksanakan demokratisasi. Karena itu, akan selintas ditilik masa kepresidenan Soeharto (1968-1998), BJ Habibie (1998-1999), KH Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri (2001-2004).

Era kepresiden Soeharto ditandai dengan pelaksanaan demokrasi Pancasila sebagai koreksi atas demokrasi terpimpin di masa Orde Lama yang beraroma otoritarian. Soeharto menjadikan pembangunan dan pencapaian kesejahteraan rakyat sebagai sacred mission pemerintahan. Untuk itu, dia menempatkan stabilitas sebagai faktor utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dan kemudian pemerataan kue pembangunan. Security approach dilaksanakan dengan ketat.

Dalam perkembangannya, step by step pemerintahan Soeharto ternyata berkembang menjadi pemerintahan otoriter dalam arti yang sesungguhnya dan ditopang kuat oleh militer. Era Soeharto akhirnya disebut sebagai era authoritarian regime.

Pemerintahan dilaksanakan sentralistis dan penyeragaman dilakukan di berbagai bidang kehidupan. Demokrasi dipraktikkan semu. Parlemen menjadi panggung sandiwara praktik berdemokrasi. Perencanaan pembangunan cukup baik, namun dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sehingga, walaupun pada dua dasawarsa pemerintahan Soeharto terdapat berbagai kemajuan dalam bidang ekonomi, pada satu dasawarsa terakhir dari pemerintahannya ekonomi merosot tajam dan terjadi krisis pada tahun 1997 karena ternyata fundamental ekonomi lemah. Krisis yang berkembang menjadi krisis multidimensi itu mendorong Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, dan digantikan oleh BJ Habibie.

Era kepresidenan BJ Habibie merupakan era reformasi dan Indonesia mengalami perubahan dahsyat dalam berbagai bidang kehidupan karena demokratisasi. Rakyat berada dalam suasana eforia demokrasi. Reformasi dilaksanakan demi perbaikan dan kesejahteraan. Ratusan partai politik berdiri dan pemilu demokratis dilaksanakan. Inilah era transformation regimeyang diharapkan dapat mengantarkan kepada tujuan dan cita-cita masyarakat adil makmur.

Akan tetapi di era kepresidenan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masyarakat sering bingung. Gus Dur memimpin pemerintahan dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang sering sulit diduga. Inilah era drunken master tactic regime. Pada era ini apa yang telah dibangun oleh rezim Habibie satu per satu dibuat berantakan oleh Gus Dur. Akhirnya dia dilengserkan dan diganti Megawati melalui SI MPR setelah krisis politik akibat Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen dan Golkar.

Kita melangkah ke era kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Inilah era jalan di tempat yang disebut sebagai era muddling through regime. Reformasi politik dan ekonomi tidak berjalan. Yang ada hanya reformasi TNI, sehingga upaya pengorbanan TNI dalam mereformasi diriya menjadi sia-sia. Ciri-ciri lain rezim ini adalah KKN tumbuh subur dan kepemimpinan bermain gendang sendiri. Namun, pada era ini berhasil dilaksanakan untuk pertama kalinya pemilu presiden secara langsung (direct general election) tahun 2004. SBY-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.

Masuklah kita ke era SBY-JK. Dalam setahun perjalanan kepresidenannya ternyata SBY tidak mampu menunjukkan karakter kepemimpin yang kuat. Sifat peragunya sangat dominan. Dia tidak bisa merespons dengan baik harapan rakyat yang ingin hidup lebih baik. Kebijakan-kebijakan yang ditelurkan terasa tidak pro-rakyat. Akhirnya, dari waktu ke waktu harapan dan kepercayaan rakyat terhadap SBY terus menurun.

Tercatat, pemeritah kurang cepat dan tanggap dalam menangani bencana tsunami Aceh (akhir Desember 2004), juga tidak sepenuh hati menangani bencana gempa di Nias, Maret 2005. Kekecewaan rakyat terjadi dengan kenaikan BBM pada 1 Maret 2005, juga pelaksanaan KTT Asia Afrika sekaligus peringatan emas KAA yang dihadiri oleh 82 kepala negara namun berlangsung tanpa makna bagi Indonesia. Kekecewaan makin meningkat karena pelaksanaan program dana kompensasi kenaikan harga BBM Maret tersendat-sendat. Kabinet, terutama tim ekonomi dinilai tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga tuntutan reshuffle kabinet terus menguat. Kekecewaan makin memuncak akibat kenaikan harga BBM, 1 Oktober 2005.

Pada pascalebaran nanti, apabila pemerintah tidak memiliki progress yang jelas maka situasinya bisa berkembang menjadi lebih tidak terkendali. Masyarakat kehilangan harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah. Kemungkinan yang terjadi; continuity without hope, continuity with fading hope, continuity with hope there are economic progress for the people, dan continuity with new regime.

Inilah akibat chaotic regime yang ditandai dengan 4 hal. Pertama, tidak ada kebijakan politik prioritas untuk mengubah situasi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan mayoritas rakyat. Kedua, tidak ada langkah dan upaya strategis untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Contoh: memilih jajaran pejabat eselon I dengan proses tarik-ulur yang memakan waktu hampir 200 hari. Ketiga, pelaksanaan program pemerintah tersendat-sendat. Keempat, ungovernance. SBY sebagai pemegang mandat dari rakyat terjebak dalam hal-hal teknis operasional.

Chaotic regime membuat situasi saat ini diwarnai pemerintahan yang hanya berputar-putar pada wacana tanpa action. Kebijakan tidak pro-rakyat, penegakan hukum lemah, dan pemberantasan korupsi setengah hati, sehingga KKN tetap merajalela. Keamanan dan rasa aman, kesehatan, dan pendidikan menjadi barang mewah. Perekonomian terpuruk, rakyat miskin bertambah, pengangguran meningkat, dan masyarakat di akar rumput makin termarginalisasi. Situasi itu makin parah oleh kenyataan menguatnya radikalisme dan ancaman disintegrasi bangsa. Quo vadis Indonesia!

Maka, apa yang perlu dilakukan SBY-JK? Realisasi kompensasi kenaikan harga BBM harus tepat sasaran. Pemerintahan perlu direvitalisasi visi dan misinya dengan membuat kebijakan-kebijakan, terutama ekonomi yang pro-rakyat. Aceh dan Nias serius dibangun kembali. Akhirnya, sebagai pembantu dan pelaksana program dan kebijakan presiden, para menteri perlu dikocok ulang (rehuffle) mengingat kinerja mereka yang jeblok selama setahun ini. Pilihlah menteri-menteri yang bisa bekerja dan pro-rakyat, terutama menteri-menteri di bidang ekonomi. Jangan terlambat. Kalau pada kenaikan harga BBM, 1 Maret 2005, rakyat "mantab" (makan tabungan), maka pada kenaikan harga BBM, 1 Oktober 2005, rakyat "manut" (makan utang) kiri-kanan, dan pada pascalebaran nanti...

Penulis adalah Kalitbang HU Suara Karya, Wakil Sekjen DPP Ormas MKGR dan Wakil Sekjen DPP AMPI

No comments: