Saturday, October 08, 2005

OPINI: Madenur di Bali

Dari: Miftah al-Zaman
Balas ke: islamliberal@yahoogroups.com
Kepada: islamliberal@yahoogroups.com, IslamProgresif@yahoogroups.com
Tanggal: Oct 6, 2005 8:45 PM
Judul: ~JIL~ Madenur di Bali

Media Indonesia On Line | Kamis, 06 Oktober 2005 00:00 WIB

OPINI: Madenur di Bali
Nono Anwar Makarim, Ketua Badan Pelaksana Yayasan Aksara, Jakarta

MADENUR, adalah seorang tuna-makna. Kehidupannya tak punya arti. Pekerjaan tak punya, keahlian tak punya, keluarga tak punya, pulang ke rumah orang tua malu dianggap gagal. Bertahun-tahun ia berkelana ke rumah teman-teman masa pendidikannya di padepokan Pmks. Di situ ia berdiam berminggu-minggu; kadang kala bahkan sampai bulanan. Teman-teman Madenur eks padepokan Pmks
bukan orang berada.

Mereka sekadar punya pekerjaan tetap dan, walaupun agak pas-pasan, masih sanggup menampung teman lama berminggu-minggu. Pengangguran berkepanjangan membuat keresahan Madenur meningkat dan harga dirinya merosot. Sering kali ia berpikir tentang kegunaan hidupnya. Pada saat-saat itu ia mulai mengarungi jurang-jurang depresi jiwanya.

Pada suatu hari seorang yang baru dikenalnya menghampiri dan menyampaikan pesan bahwa ia dicari
oleh seorang yang bernama Pul. Keesokan harinya Pul datang dan memberinya uang sebanyak Rp50.000. ''Dari pendoa PPSM,'' kata Pul. Ada sejam Pul duduk mengobrol ringan tentang 1.001 soal dalam kehidupan. Lalu Madenur diajak makan di warung dekat rumah di mana ia menginap. Tak lama kemudian Pul minta diri dan berjanji akan berkunjung lagi, 'kapan-kapan', katanya. Madenur termenung memikirkan peristiwa yang baru dialaminya. Uang Rp50.000 diraba-raba di kantong kemejanya. Seminggu kemudian Pul datang lagi dengan uang Rp50.000 lagi. Sebulan kemudian Madenur bergabung dengan kelompok pendoa PPSM.

Di situ sudah ada 8 pemuda. Mereka mendaraskan pujian dan lewat tengah malam berdoa utama. Pada tengah malam ke-100 Madenur diantar 8 pemuda ke tengah ladang. Di sana sang Guru sudah menanti. Di bawah sejuta bintang di langit, dengan kitab suci di atas kepala Madenur melintasi jembatan transenden, dan dalam kesucian masuk ke lingkaran gaib. Ia bersumpah taat sampai mati.

Perang Madenur

Pada 1 Oktober 2005 Indonesia menerima deklarasi perang dari Bali. Dalam deklarasi itu tergambar suatu ruang besar restoran yang hancur-lebur. Pecahan kaca berhambur-campur bata, genting, dan plafon yang remuk. Atapnya ambruk. Di dinding tertempel potongan daging, tipis-tipis seperti dipotong untuk membuat dendeng; darahnya masih mengalir kental, merah tua. Di kaki kursi tersangkut tangan kanan perempuan yang masih memegang tas. Pada bagian yang tersobek dari dadanya tampak daging memasir putih, tanpa darah. Suara merintih bersaing dengan jerit orang yang belum dibunuh. Seorang laki-laki tersenyum malu memandang orang yang bergegas mau mengangkatnya. Kepalanya masih belum sempat terangkat, ia sudah terburu meninggal. Orang yang mau mengangkatnya heran. Baru setelah tangannya lepas dari punggung jenazah ia sadar bahwa pundak orang yang mau ditolongnya sudah dikoyak serpihan bom.

Pernyataan perang Madenur ditujukan kepada bangsa Indonesia, tanpa pandang bulu apakah ia seorang Islam, Katolik, Kristen, Budhis, Hindu, Konghucu. Kebetulan saja mayoritas yang terbunuh beragama Islam. Madenur tidak ambil pusing akan hal itu. Instruksinya jelas: Pukul sasaran yang mengakibatkan kerugian besar, publisitas global, kerusakan parah dan jangka panjang: Bali.

Madenur berguru

Bagaimana bangsa berperadaban tinggi seperti Jerman bisa membantai 6 juta manusia? Pertanyaan ini mengganggu pikiran seorang mahasiswa S3 di Universitas Harvard. Namanya Stanley Milgram. Seperti Madenur yang taat pada sang Guru, para algojo Nazi juga patuh pada perintah atasan yang berwenang. Befehl ist Befehl!, kata mereka. Yang tetap mengherankan bagi Milgram adalah mengapa dalam tabrakan antara ketaatan dan hati nurani yang menang adalah ketaatan. Mengapa? Untuk disertasinya Stanley Milgram melakukan penelitian sosial-psikologis di Universitas Yale. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kebanyakan orang tidak terlalu peduli akan penderitaan orang yang disiksanya bila ia mengerti tujuan penyiksaan, dan disuruh menyiksa oleh figur-figur yang mengesankan berwenang.

Antara penelitian Milgram dan Madenur tidak banyak perbedaan. Madenur harus terlebih dulu dibuat mengerti akan penjelasan sang Guru tentang tujuan perang. Baru kemudian ia akan menaati perintah perang tanpa memedulikan apakah korbannya itu orang Indonesia atau orang asing, sesama muslim atau kafir.

Madenurisme dalam konteks

Di Indonesia ada banyak Madenur. Mereka tidak beroperasi dalam suatu vakum. Medan sosial-politik
mereka dewasa ini menunjukkan karakteristik tertentu. Secara makro kita menyaksikan dimainkannya suatu mitos di forum domestik maupun global: ''Islam di Indonesia itu moderat dan amat toleran! Yang ekstrem itu hanya suatu minoritas kecil!'' Ini merupakan suatu mitos karena yang menjajakannya pun tak percaya akan kekecilan para ekstremis. Kalau memang kecil, mengapa tidak dikecam dan difatwakan secara jelas kecamannya? Takutkah akan kehilangan dukungan politik si 'kecil'?

Mitos ini juga sudah dibubarkan oleh penelitian kuantitatif yang mengukur berapa jauh gairah demokrasi
di kalangan aliran-aliran besar Islam di Indonesia, yaitu mayoritas moderat dan toleran yang dikumandangkan di mana-mana. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa di kalangan aliran-aliran besar tersebut banyak sekali kantong-kantong besar kaum skripturalis fundamental. Secara makro kita saksikan juga bahwa elite politik Indonesia enggan menggelorakan konsepsi Pancasila, ide dasar negara Republik Indonesia.

Mereka takut akan dihubungkan dengan paksaan asas tunggal zaman Soeharto, dan dengan demikian mengambil risiko kehilangan dukungan ekstremis yang dikatakan 'minoritas kecil' itu. Aparatur negara juga ragu mencegah tindakan sepihak atas nama hak asasi dan agama kaum ekstremis. Keraguan itu sebagian disebabkan oleh ketidakpahaman tentang hak asasi, yang tidak boleh dilibas, yang mana yang harus dilibas karena melanggar hak asasi orang lain. Untuk sebagian lagi sebab-musababnya berada di sektor politik real. Gerakan ekstrem dipakai untuk tujuan politik jangka pendek pencari posisi kenegaraan.

Dalam menanggapi gerakan-gerakan garis keras, NU dan Muhammadiyah setengah-setengah. Polisi ragu, TNI dilarang berkutik, elite politik berlagak lupa Pancasila sebagai konsepsi yang melandasi dasar
negara. Konteks semacam ini adalah surga buat gerakan-gerakan ekstrem. Mereka bertindak sepihak tak ada yang melawan kecuali protes kecil di sana-sini. Tercatatlah kemenangan kecil. Protes mereda, mereka sekali lagi bertindak sepihak. Suara protes masih ada tapi mulai mengecil. Polisi diam di tempat, politisi takut menyebut Pancasila.

Tambahkan pada konteks tersebut berita tentang latihan perang di hutan Jawa Tengah. Lalu ada khotbah di Jakarta Utara yang menjamin bahwa setiap rupiah sumbangan umat akan digunakan untuk menjatuhkan pemerintah RI yang sekuler. Ratusan gereja ditutup. Ahmadiyah diserang di mana-mana. Islam Liberal harus dilarang. Dari aspek kontekstual inilah selayaknya kita membaca 11 fatwa MUI yang bersifat eksklusif dan bernada agresif. Kondusifkah atau tidak konteks semacam ini bagi teroris dan terorisme Indonesia. Ada seribu Madenur yang dengan berdebar hati menunggu gilirannya untuk dibaiat, untuk dikirim ke luar negeri menuntut ilmu perang, untuk melaksanakan perintah suci sang Guru. Saya persilakan mereka menjawab pertanyaan itu.***

Catatan: Nama-nama dalam tulisan ini adalah fiktif. Begitu pula kisah hidup Madenur.

-------oooOooo-------

No comments: