Thursday, October 06, 2005

Mematahkan Mitos Tukak Lambung (Artikel Kompas Agnes aristiarini)

Foto: www.gihealth.com/newsletter/32/marshall.jpg pada situs http://www.gihealth.com/newsletter/previous/032.html

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/06/Sosok/2106516.htm
KOMPAS--Sosok || Kamis, 06 Oktober 2005

Mematahkan Mitos Tukak Lambung
Agnes Aristiarini

Siapa pun akan sulit meyakinkan adanya kebenaran baru, kalau kebenaran yang lama dikukuhi kelompok mayoritas. Sejarah mencatat Galileo Galilei, yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati karena ia percaya justru Bumilah yang mengelilingi Matahari, bukan Matahari mengelilingi Bumi dalam dogma yang diwariskan berabad-abad.

Dalam kehidupan modern, Barry Marshall dan Robin Warren harus bekerja keras bertahun-tahun untuk membuktikan bahwa tukak lambung bukan disebabkan oleh stres, bukan pula oleh makanan yang pedas berbumbu.

Mitos itu bertahan lama di dunia kedokteran sehingga saat-saat mereka mempresentasikan temuan awal tentang kaitan tukak lambung dengan bakteri, tak ada yang percaya. �Saya seperti bicara dengan bahasa planet,� kata Robin Warren, seperti dikutip kantor berita AFP.

Dicap eksentrik dan sering jadi tertawaan para koleganya, Marshall nekat meminum larutan bakteri yang dipercayanya sebagai penyebab utama gangguan di perut itu untuk membuktikan hipotesisnya.

Apa yang dialami Marshall dan Warren memang tak sedramatis Galileo, bahkan lebih dari 20 tahun kemudian temuan keduanya mendapat penghargaan Nobel Kedokteran 2005.

Namun, mereka mengikuti Galileo untuk berpikiran terbuka terhadap kebenaran baru dan penuh ketabahan saat berupaya membuktikannya.

Tahun 1982

Temuan keduanya berawal tahun 1982, ketika Warren ahli patologi kelahiran Adelaide, Australia, 11 Juni 1937 tengah memeriksa biopsi tukak lambung. Ia melihat sampel-sampel yang menunjukkan pembengkakan dan luka-luka itu dipenuhi bakteri berbentuk tongkat ketika diamati di mikroskop.

Maka, Warren pun mengajak Marshall, saat itu sedang mengambil spesialisasi penyakit dalam, untuk menginvestigasi bakteri ini bersama.

Dengan kesabaran dan kehati-hatian, akhirnya mereka berhasil mengisolasi dan menumbuhkan bakteri itu, yang kemudian disebut sebagai Helicobacter pylori. Bakteri ini muncul pada hampir semua pasien yang terkena gastritis atau pembengkakan pada permukaan lambung, usus halus, maupun luka (tukak) pada lambung.

Namun, keduanya tidak punya bukti akhir yang menunjukkan bahwa H pylori-lah sumber segala masalah. Percobaan pada binatang di laboratorium tidak memberi hasil memuaskan.

Putus asa mencari bukti ilmiah, Marshall dan seorang sukarelawan akhirnya menguji coba pada tubuhnya sendiri. Habis minum larutan bakteri pylori, mereka jatuh sakit tiga hari. Sesuai hipotesis, mereka sembuh setelah minum antibiotik.

Kalau saat itu sempat berpikir panjang, mungkin saya tak berani melakukannya, kata Marshall dalam jumpa pers yang dipublikasikan Reuters.

Hasil pemeriksaan endoskopi Marshall dan sukarelawan itu membuktikan adanya gastritis di lambung. Walau pada keduanya tak ditemukan tukak, momentum telah terbentuk.

Peneliti lain berhasil mengonfirmasi penelitian Warren dan Marshall dengan mengulturkan bakteri dari tukak lambung pasien. Kemudian korelasi pylori dengan tukak lambung terbukti lewat berbagai penelitian epidemiologis.

Terobosan pengobatan

Penelitian Warren dan Marshall membuka cakrawala pengobatan baru. Setelah terbukti bahwa lebih dari 90 persen tukak di usus halus dan 80 persen tukak lambung disebabkan oleh H pylori, metode pengobatan pun dikembangkan.

Sekarang ada berbagai metode diagnostik tukak lambung, mulai dari uji serologi darah untuk melihat antibodi terhadap bakteri ini, uji sampel biopsi lewat endoskopi, sampai uji urea dalam pernapasan.

Pengobatannya pun berbalik jadi murah: cukup dengan antibiotik. Padahal, sebelumnya masalah diselesaikan dengan operasi pemotongan bagian yang luka, yang sering kali berakhir dengan kematian penderitanya.

Terima kasih atas rintisan Warren dan Marshall. Mereka sudah membuat tukak lambung bukan lagi penyakit kronik yang membuat penderitanya tak mampu beraktivitas, melainkan penyakit biasa yang sembuh dengan pengobatan antibiotik sederhana dan penghambat sekresi asam, kata Panitia Nobel saat pengumuman pemenang di Stockholm, Swedia, Selasa (4/10).

Temuan keduanya menolong jutaan orang di seluruh dunia karena H pylori bisa ditemukan pada 50 persen umat manusia. Bahkan di negara miskin, di mana setiap orang berisiko terpapar bakteri karena higiene dan sanitasi kurang, hampir seluruh populasi mungkin terinfeksi.

Masyarakat Indonesia pun termasuk yang diuntungkan dengan pengobatan murah dan mudah ini. Soalnya, seperti yang pernah diperkirakan guru besar gastroenterologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Daldiyono H, 40 persen dari 200 juta penduduk Indonesia terinfeksi H pylori.

Memang yang berkembang menjadi tukak hanya 0,5 persen dan kanker 0,01 persen, namun perubahan rezim pengobatan itu tetaplah bermakna.

Ilmuwan Australia

Bagi bangsa Australia, ini adalah penghargaan Nobel Kedokteran pertama yang diterima. Tidaklah mengherankan bila Perdana Menteri Australia John Howard ikut bangga berkomentar, Ini sekadar mengingatkan, betapa kuatnya perkembangan Australia dalam ilmu dan riset kedokteran. Kini semua mata akan memandang pada pencapaian besar kita.

Warren yang sudah pensiun masih mengajar beberapa hari dalam seminggu. Ia juga sibuk menginspirasi para peneliti muda untuk mendalami riset dengan sepenuh hati.

Adapun Marshall, yang lahir tahun 1951 di Kalgoorlie, kini menangani laboratorium biologi molekuler di Perth. Ia masih berkutat dengan dampak pylori pada manusia dan binatang.

Bedanya, sekarang saya meneliti secara molekuler, mencoba membuat kloningnya, mencari vaksin yang tepat, dan sejenisnya. Kalau cuma mau meneliti tukak lambung, Anda tidak bisa lagi melakukannya di Australia karena tukak lambung setiap penduduk Australia sudah berhasil disembuhkan.[]

------oooOooo-------

No comments: