Sunday, October 23, 2005

Petikan Langsung dari Wawancara tentang Pluralitas

*Bsmlh+Slwt+Slm*

Courtsey:
<http://situsonline.blogspot.com/2005/10/tugas-pancasila-part-2-by-adi.html>

Sunday, October 23, 2005
tugas pancasila part 2 by adi

petikan langsung dari wawancara tentang pluralitas

Sekarang kita ke Syafii Anwar direktur ICIP. Pluralisme ini
diharamkan, dan anda kelihatannya harus mengganti nama belakang
institut anda (pluralisme-red). Bagaimana anda menjawab pertanyaan
tadi ?

Syafii Anwar : Saya juga bertanya-tanya, kenapa pluralisme diharamkan.
Karena pemahaman saya terhadap pluralisme itu berbeda dengan pemahaman
MUI. Saya yang termasuk berpaham pluralisme bukan berarti menyamakan
semua agama. Saya termasuk yang menolak.. alasan pertama karena tidak
mungkin menyamakan karena masing-masing agama berangkat dari dasar dan
teologi yang berbeda, hanya saja saya melihat ada titik temu antar
masing-masing agama ini. Alasan kedua, pluralisme yang saya pahami
adalah saling menghormati, tidak cukup hanya toleransi. Saya juga agak
rancu kalau dikemukakan bahwa setiap agama itu benar dsb.
Dalam perspektif saya, kalau bicara agama orang akan selalu terlibat,
dan disini yang berlaku kadang-kadang adalah klaim kebenaran,
sebagaimana yang dikatakan Max Weber. Benar dalam konteks ini adalah
menurut pemeluk agama yang bersangkutan. Artinya saya sebagai muslim,
saya punya keyakinan bahwa agama saya yang saya peluk benar menurut
saya, bukan menurut orang dengan agama lain. Dalam konteks ini yang
kita kembangkan adalah kenyataan bahwa ini adalah negara yang sangat
plural, para founding fathers sepakat Indonesia bukan negara Islam,
melainkan negara Pancasila, bukan negara agama, kita sudah berkomitmen
soal itu, jadi kenapa di permasalahkan lagi ? Kalau fatwa MUI, seperti
dikatakan pak Makruf, tidak menimbulkan keresahan, apakah sudah ada
penelitian? Dalam konkeks ini kalau bapak-bapak bersedia juga
meluangkan waktu untuk menanyakan ke komunitas Kristen atau komunitas
di luar Islam lainnya, apakah fatwa MUI itu menyusahkan atau tidak ?
Saya berpendapat dan menyadari sebuah fatwa adalah legal opinion,
artinya pendapat hukum. Oleh karena itu saya punya kecenderungan untuk
menganggap itu tidak mesti harus meningkat, tapi supaya adil harus
dilakukan penelitian dan dialog dengan non muslim.

Ging Ginanjar : Sekarang ke Fauzan Al Ansyari, anda membuat surat
terbuka untuk barisan liberal atas nama Majelis Mujahidin Indonesia.
Bahkan disebutkan, MMI siap berada di barisan terdepan untuk
menghadapi kelompok penentang fatwa MUI, dengan jalan debat publik
maupun jihad fisabilillah. Kalau tadi pak Makruf bilang fatwa ini tak
menimbulkan konflik, kalimat MMI ini justru mengkhawatirkan. Karena
fatwa ini membuatat orang-orang seperti Fauzan siap mengobarkan jihad
untuk mempertahankan fatwa MUI ?
Fauzan Al Ansyari : Ya terima kasih. Sebenarnya yang menjadi pemicu
itu adalah munculnya aliran-aliran sesat yang oleh lembaga-lembaga
yang otoritatif di Indonesia baik itu Kejaksaan Agung, Pengawas Aliran
Kepercayaan PAKEM, sudah dinyatakan sebagai sesat dan menyesatkan.
Tetapi di Indonesia tidak ada mekanisme hukum seperti Mahkamah Syariah
yang memiliki otoritas penuh untuk menjaga otoritas akidah umat Islam,
yang perlu juga dilindungi dari serangan-serangan penyesatan. Nah itu
yang sebenarnya membuat keresahan, bukan fatwa MUI atau pernyataan
saya. Jadi kita melihat bagaimana secara kronologis keberadaan
Ahmadiah sebagai kasus yang telah berpuluh tahun menimbulkan keresahan
warga setempat, tapi keresahan itu tidak terakomodir, sehingga
keresahan itu memuncak. Jadi yang menjadi pemicu adalah aliran sesat
ini. Kenapa komunis bisa di larang dan dibubarkan tapi ini tidak ?
Kenapa kemudian muncul sekelompok orang yang membela mati-matian
keberadaan Ahmadiyah dengan dalil-dalil yang tidak argumentatif. Kami
menyesalkan pernyataan Ulil Abshar Abdalla di detik.com yang
melecehkan, dengan menyebut MUI tolol. Oleh sebab itu, meski MMI tidak
ikut munas MUI namun kami adalah institusi pertama
yang mendukung fatwa MUI tsb, dan siap menjadi bemper utk menjaga dan
mengimplementasikan fatwa tadi. Allahu akbar !!! Yang kami heran
kenapa yang membela ini adalah orang-orang yang selama ini
berkecimpung baik di LSM maupun di lembaga-lembaga yang memang didanai
The Asia Foundation, Ford Foundation, USAID dsb.
Tadi ada sebuah tulisan yang mengatakan MUI berada dalam dilema antara
liberalisme dan fundamentalisme. Jadi sebenarnya mereka sendiri yang
membuat satu front yang mereka sebut barisan liberal dan MUI dan
teman-teman sebagai fundamentalis. Saya sepakat Dawam Rahardjo cs
sebagai barisan liberal yang ingin melakukan liberalisme agama tidak
ingin ada aturan-aturan yang ketat tetapi ini maknanya adalah bahwa
liberalisasi itu juga bebas untuk tidak beragama. Oleh sebab itu maka
liberalisasi dlm makna yang seperti ini atau demokrasi jelas
bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara berketuhanan yang maha esa. Sehingga seluruh
aturan harus berdimensi Ketuhanan dan Negara harus memfasilitasi
warganya untuk menjalankan agama secara nyaman. Jaid ada campurtangan
negara terhadap umat. Baik Islam maupun yang lain. Ini sifatnya
akomodatif. Oleh sebab itu saya juga jadi heran terhadap difinisi
sekularisme, pluralisme, liberalisme, demokrasi, sehingga membuat kita
jadi kacau. Misalnya begini, atas nama demokrasi maka pelarangan
terhadap Ahmadiyah melanggar hak asasi manusia, kan begitu. Itu atas
nama demokrasi. Saya katakan atas nama Islam pembiaran terhadap aliran
sesat itu merupakan subversi terhadap hak-hak yang lebih luas. Ini
persoalannya. Nah kalo agama kemudian dibebaskan dari aturan yang yang
lebih ketat, misalnya masalah ushuludin : misalkan tuhan punya anak,
ini jelas akan rusaklah agama itu. Jadi masalah-masalah yang bisa
diperdebatkan adalah masalah muamallah yg sifatnya istihadiyah. Tapi
masalah usuludidn seperti. : maqdoh masalah aqohid it`s given tidak
bisa ditawar lagi. Kalo kemudian masalah Ahmadiyah memicu teman-teman
dari barisan liberal melakukan perlawanan atau penolakan atas
keluarnya 11 fatwa MUI, ya kami MMI harus maju ke depan untuk membuka
ruang debat publik sebagai satu tradisi para cendikiawan muslim untuk
mengadu argumentasi secara ilmiah dan naqliyh dan di ujung diskusi itu
harus ada sebuah mekanisme mubahalah dimana yang dusta atas nama agama
dan ilmu pengetahuan harus siap disambar petir. Nah ini mekanisme yg
diatur agama. Kalo kita kemudan hanya beradu retorika, mungkin saya
kalah. Tetapi kalau adu kebenaran, kita bisa melakukan mekanisme yang
diatur dalam agama. Kenapa MMI harus siap untuk debat publik maupun
jihad ? karena tidak tertutup kemungkinan dari barisan liberal pun
akan melakukan tindakan-tindakan tertentu atau provokasi tertentu
sehingga akan menimbulkan serangan-serangan fisik. Dan ini tidak akan
terjadi kalau dari pihak mereka yang melakukan penolakan tidak
melakukan serangan fisik, kalau mereka melakukan serangan opini maka
akan kami balas opini juga, tapi kalo mereka melakukan serangan fisik
apalagi mengundang Amerika Serikat, kami siap melayani. Terima kasih

Ging Ginanjar : Soal serangan fisik, pada kasus Ahmadiyah bukannya
yang pro fatwa yang melakukan ?
Fauzan Al Ansyari : Itu pertanyaan cerdas. Kenapa tindakan main hakim
sendiri muncul ? itu karena tersumbatnya mekanisme hukum. Misalnya
saya pernah mengadukan beberapa tulisan dari kelompok liberal, itu
selalu di beri pasal 156 a. Bahkan polisi saya beritahu ini pak
pasalnya seperti ini. Malah pada waktu kita melaporkan Ulil ke Mabes
Polri, diberitahu bahwa kami (polisi-red) diberi pesan harus
memelihara tiga orang, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Ulil Abshar
Abdalla. Jadi ini apa yang terjadi sebenarnya ? proses hukum macet
oleh sebab itu itu terjadi main hakim sendiri. MUI saja yang
mengeluarkan fatwa yang tidak mengikat itu menimbulkan prokontra. MMI
bahkan lebih dari itu mengusulkan di bentuk Mahkamah Syariah supaya
menjadi benteng bagi umat Islam menghadapi serangan-serangan terhadap
mereka yang ingin mengacaukan akidah umat islam, sekian itu dari MMI.

Makruf Amin : Jadi saya tadi bilang ini terjadi karena para penanggap
itu salah faham, tidak faham atau mengikuti faham yag salah. Selesai
mendengarkan pak Syafii Anwar, saya menjadi yakin bahwa pawa penanggap
itu ya seperti itu. Saya contohkan soal doa bersama. Tidak semua doa
beragama itu diharamkan, yang diharamkan kalau pemimpin doa non islam
dan yang mengamini orang Islam. Secara akidah tidak boleh tetapi kalau
tidak ada fatwa, umat Islam menjadi kesulitan kalau dia itu mengamini.
Mengikuti doa yang dibacakan orang Kristen misalnya Yesus Kristus
amin. Jadi kalau orang Islam itu syirik, tapi kalau dia tidak
mengangkat tangan dan tidak mengamini dianggap menghina maka tatkala
fatwa ini dikeluarkan, maka orang Islam menjadi tenang, dan orang
Kristen tahu kalau orang Islam tidak mengangkat tangan berarti oh dia
memnag sesuai dengan ajaran agamanya, dengan demikan tidak terjadi
konflik. Bukan menambah konflik. Menambah saling pengertian. Karena
itu kalau fawa ini menimbulkan konflik dimana ? Siapa yg tersinggung?
Tidak ada yang tersinggung si pendeta mengatakan dia menurut ajaran
agamanya. Itu karena ada fatwa, kalau tidak ada kan sama-sama
kesulitan. Karena itu yang menentang itu salah faham dari segi konflik
atau tidak faham. Katanya menimbulkan persoalan dari segi liberalisme,
pluralisme dan sekularlisme. Pertama yang harus di pahami bahwa
pengertian dalam fatwa ini, bukan dalam pengertian yang lain. Misalnya
pluralisme dalam fatwa artinya adalah membenarkan semua agama dan
menganggap semua agama benar. Ini menurut pandangan ulama tidak betul.
Pandangan pluralisme seperti itu tetapi tidak dalam arti kemajemukan
agama, pluralitas itu sesuatu realitas, kenyataan bahkan itu suatu
keharusan. Jadi untuk hidup berdampingan secara damai dalam fatwa
justru itu sangat dibenarkan dan harus disikapi dalam sikap toleransi.
Nah jadi yang tidak betul itu membenarkan semua agama. Itu pengertian
kita. Jadi kalau itu kemudian menimbulkan terjadinya konflik antara
agama tidak benar. Sebab dalam fatwa itu, kemajemukan agama itu adalah
harus kita terima sebagai satu kenyataan dan wajib kita terima.
Liberalisme dalam maksud fatwa itu adalah orang yang mengedepankan
akal fikiran, dan apabila akal fikiran ini berbeda dengan nash
tuntunan agama, maka yang harus di kedepankan adalah akal fikiran.
Menurut para ulama, cara berfikir seperti itu tidak benar. Saya kira
itu menurut pandangan agama
Sekularisme juga begitu. Menurut fatwa adalah membedakan antara urusan
keagamaan dan urusan kepentingan kepuasan. Kalau urusan keagamaan
urusannya ibadah saja kalau sekular yang dipakai kesepakatan sosial.
Menurut pandangan ulama cara berfikir seperti itu tidak benar, karena
Islam didalamnya ada aspek aqidah, ibadah, muamalah dan berbagai aspek
lain. Jadi cara berfikir seperti itu menurut pengertian-pengertian
dari pada fatwa itulah yang tidak benar. Makanya saya mengatakan
dimana yg menimbulkan konflik menurut hemat saya tdk ada. Makanya saya
ulangi lagi, bukan fatwa yang kontroversi tapi tanggapan yang
kontroversi karena dia tidak faham, karena dia salah faham karena dia
mengikuti faham yang salah.

Ging Ginanjar : Kita ke pak Dawam Rahardjo yang dianggap pak Makruf
tidak faham, karena dia salah faham, atau karena dia mengikuti faham
yang salah.

Dawam Rahardjo : Jadi di situ, fatwa MUI mengharamkan liberalisme,
pluralisme dan sekularisme. Nah yang dianggap sebagai liberalisme itu,
menurut fatwa itu adalah suatu paham keagamaan yang menampilkan, lebih
menampilkan pikiran manusia daripada petunjuk Al Quran dan Hadits.
Menurut saya, itu buikan liberalisme, tapi rasionalisme. Tapi
rasionalisme pun ada dalam Islam. Contohnya Ibnu Rusyd, dikenal
sebagai filsuf yang rasionalis. Sekalipun begitu, dia tidak seperti
yang dirumuskan dalam fatwa MUI. Menurut saya, liberalisme adalah
doktrin politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai individu. Dan
sebagai konsekuensinya, menghendaki minimal government. Itu definisi
yagn jelas, yang ebrasal dari ensiklopedia, kamus, dsb. Lalu apa yang
dikritik? Jadi menurut saya, fatwa MUI itu tidak paham. Tidak paham
itu. Bukan saja salah paham, tapi tidak paham.
Saya kira komentar-komentar seperti itu harus ditertibkan, teriakan
Allahu Akbar dan sebagainya. Saya kira itu harus dilarang. Tahun 1933
ada debat, orang dilarang keluarkan isyarat, apalagi perkataan yang
bisa mengganggu diskusi. Itu tahun 1933. Debat Islam waktu itu.

Ging Ginanjar : Kutukan dan yel-yel mohon direm (saat itu, beberapa
orang di pojok kiri ruangan mulai meneriakkan Allahu Akbar dan
mengakibatkan diskusi sedikit terganggu)

Dawam Rahardjo : Mengenai pluralisme, dikatakan bahwa itu adalah paham
yang didasarkan pada pendapat bahwa semua agama itu sama. Dan sebagai
konsekuensinya maka kebenaran agama itu bersifat relatif. Itu rumusan
dalam fatwa. Pluralisme itu bukan begitu. Pluralisme itu justru
sebaliknya, pluralisme justru mengakui perbedaan agama dan menghargai
perbedaan agama. Bukannya menganggap semua agama salah. Jadi
pluralisme justru mengakui perbedaan agama, tapi karena ini
menimbulkan potensi konflik, makanya hendaknya dilakukan ta'aruf,
dilakukan saling understanding. Itulah pluralisme. Jadi siapa yang
tidak tahu ini? Saya setuju dengan pendapat pak syafii maarif, MUI
perlu lebih banyak belajar tentang apa itu pluralisme. Karena
betul-betul MUI itu tidak tahu apa yang dimaksud dengan pluralisme
itu.
Kemudian Pak Makruf mengatakan, beliau bedakan pluralitas dan
pluralisme. Pluralitas adalah kenyataan, keharusan, sementara
pluralisme adalah yang dilarang, yang diharamkan. Ini cerminan dari
orang yang tidak tahu. Dalam definisi, boleh liat di kampus, pluralism
is isme based on plurality. Pluralisme adalah paham yang dikembangkan
berdasarkan pluralitas, sebagai suatu kenyataan. Kduanya tidak bisa
dipisahkan, satu diterima, yang lain ditolak. Padahal, pluralisme itu
sudah diterima oleh, sudah merupakan kesepakatan, yaitu Pancasila.
Pancasila itu dirumuskan berdasarkan paham pluralisme. UUD kita
didasarkan pada pluralisme. Pada bhinneka tunggal ika. Berbeda tapi
satu. Walaupun berbeda tapi hendaknya asling berkomunikasi,s ehingga
bisa ciptakan persatuan. Ini adalah suatu paham… ini adalah suatu
ketidakpahaman.
Kemudian, kebenaran relatif. Golongan liberal dituduh menganut
kebenaran relatif. Tidak ada kebenaran mutlak dalam agama. Justru
orang-orang liberal ini berpendapat bahwa ada dua macam kebenaran
yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. KEbenaran mutlak itu
hanya dimiliki oleh tuhan dan tidak boleh diklaim oleh manusia.
Sedangkan pemikiran manusia itu relatif. Kaum liberal berpendapat,
pemikiran manusia apa pun juga tdiak bisa mencapai kebenaran.
Meragukan kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran, karena kebenaran
mutlak itu punya tuhan. Tapi orang-orang ini mengklaim kebenaran.
Saya mendapat cerita, orang yang melakukan teror di Ahmadiyah. Mereka
teriak, berpapasan dengan orang-orang HAM, ini bukan lagi hak manusia,
tapi sudah merupakan hak tuhan. Biar saja Tuhan menutup Ahmadiyah itu.
Jangan kamu dong yang menyerang dengan terorisme. Nah, fatwa MUI ini
menimbulkan keresahan dan aksi yang tidak terkontrol dan MUI tidak
keluarkan fatwa tentang hal ini. Saya dapat informasi, ada orang dari
Garut, datang menceritakan betapa rombongan orang datang, dipimpin
oleh seorang jawara. Kemudian mereka datangi kantor cabang Ahmadiyah
di situ, ketuanya dipanggil. Orang itu memang ahli jawara. Dia bawa
pedang dan golok, ditaruhkan di leher si ketua Ahmadiyah itu, dipaksa
untuk menandatangani. Isinya, bahwa kami betul-betul telah insyaf dari
kesesatan kami, kami menyatakan keluar dari Ahmadiyah dan masuk Islam.
Masa orang disuruh masuk Islam dengan golok ?
Ini adalah akibat dari fatwa MUI. Terserah mau dikatakan fatwa MUI
tidak kontroversial atau gimana, tapi kenyataannya, fatwa ini
menimbulkan kontroversi. Ada yang pro dan kontra, itu yang
kontroversi. Menimbulkan keresahan. Banyak fatwa MUI yang menimbulkan
keresahan, misalnya soal bunga bank. Dikatakan masa darurat bunga bank
sudah habis. Artinya, kaum muslim yang 99 persen dewasa ini masih
bekerja di bank, harus keluar dari bank. Kalau tidak sama saja dengan
makan babi. Menerima gaji dari bank konvensional dianggap sama saja
dengan makan babi. Apakah MUI sanggup menampung pegawai bank yang
keluar dari bank itu? Ini kan menimbulkan konflik batin yang luar
biasa. Memang ada yang sebagian, yang bisa pindah. Saya juga menolong
beberapa orang untuk pindah dari bank konvensional ke bank syariah.
Anak saya ingin kerja di bank syariah, saya bantu. Tapi 99 persen itu
tidak begitu. Dia tidak bisa ditampung oleh bank syariah. Karena bank
itu kan pangsanya baru 1 persen. Apa itu tidak menimbulkan kersehatan?
Ini didasarkan pada ketidatahuan. Saya tidak mengikuti. Saya paham
kalau Ulil mengatakan hal itu (MUI tolol-red). Ini contoh MUI
betul-betul tidak tahu pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Karena
justru MUI mendorong sekularisme.

Musdah Mulia : Tahun 2003 saya melakukan penelitian terhadap fatwa
MUI. Saya teliti fatwa dari tahun 1975 sampai 1997, ada 76 fatwa yang
dilahirkan MUI selama rentang itu. Saya mencoba melihatnya dari
perspektif perempuan. Yang pertama, saya ingin simpulkan bahwa
sepanjang sejarah Islam, produk pemikiran Islam itu dalam kitab fikih,
yang kedua dalam keputusan pengadilan agama, yang ketiga, dalam
perundang-undangan di negara muslim. Kita bukan negara muslim, kita
nggak punya itu. Yang keempat, fatwa. Yang menarik di Indonesia,
adalah fatwa, karena dilahirkan oleh sebuah lembaga, yaitu MUI, yang
banyak back-up kebijakan pemerintah selama orde baru. Ini adalah
lembaga swasta, ormas yang menadpat bantuan dari pemerintah lebih
banyak. Kita bisa kejar, bantuan dari pemerintah untuk MUI ini untuk
apa, pernah nggak ada audit.
Dari sejumlah fatwa yang saya teliti, ada 6 fatwa khusus soal
perkawinan. Satu, fatwa sebelum 1976, tentang prosedur perkawinan.
Kedua, tentang sigat taklik itu, MUI menghimbau masyarakat Islam untuk
tidak ucapkan sigat taklik akad pada saat akad nikah. Ketiga tentang
haram nikah beda agama, tentang nikah mut'ah, talak tiga dan idah
wafad pada perempuan, selama 40 hari tidak boleh keluar malam. Lalu
saya lakukan penelitian terhadap fatwa MUI ini. Di lapangan, tidak
mengikat, buktinya tidak ada yang melakukan. Soal sigat taklik talak,
buktinya semua orang tetap saja mengucapkan. Ini tidak mengikatkan,
sehingga masyarakat perlu diberitahu lah kalau fatwa ini tidak mesti
diikuti. Soal nikah beda agama, juga. Ternyata makin sekarang nikah
beda agama malah mengalami eskalasi, bukannya menurun karena adanya
fatwa MUI. Artinya fatwa MUI ini sama sekali tidak berguna.
Nikah Mut'ah itu juga di mana-mana terjadi. Talak tiga, idah wafat,
wanita bekerja ya tetap saja. Mana ada wanita dikekang karena suaminya
meninggal. Terakhir, fatwa tentang larangan imam shalat. Karena di
Indonesia ini tidak ada perempuan yang jadi imam, buat apa difatwakan?
Soal fatwa ini saya punya kesimpulan. Fatwa MUI itu tidak peka, tidak
sensitif terhadap problem sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat.
Fatwa MUI ini tidak respek terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 45.
Fatwa ini bertentangan dengan ajaran Islam yang hakiki, yang
mengedepankan perdamaian, pluralisme dan persatuan. Jadi seperti itu
saya membaca fatwa MUI. Saya berharap pada MUI, daripada lahirkan
fatwa yang banyak sekali, bagaimana sebaiknya mereka lakukan kajian
kembali, evaluasi kembali fatwa yang sudah keluar, apakah itu berguna,
bermanfaat. Saya pikir, sebagai lembaga yang diharapkan sangat
strategis, lahirkan fatwa berguna. Orang yang biarkan busung lapar itu
haram. Orang yang lakukan money laundring itu haram. Pernahkah MUI
fatwakan pentingnya kita membangun pendidikan murah dan gratis untuk
masyarakat? Atau fatwa tentang membela trafficking, bahwa semua orang
yang lakukan perdagangan perempuan dan anak itu haram? Pernah gak MUI
keluarkan fatwa yang bantu pemerintah dorong perbaikan kepada
masyarakat? Karena kalau saya lihat, tugas MUI itu adalah mengawal
pemerintah, membangun memberdayakan umat dalam bidang agama. Karena
saya lihat musuh yang paling besar yang dihadapi agama adalah
kemiskinan dan kebodohan. Ini sama dengan prolog UUD, tujuan kita
bernegara adalah untuk sejahterakan kehidupan bangsa, cerdaskan.
Karena itu kita sepakat musuh kita ada dua, kemiskinan dan kebodohan.
Sekarang, apa sih yang sudah dilakukan MUI untuk eliminasi semua
bentuk kemiskinan dan kebodohan? Fatwa MUI ini justru membiadabkan
masyarakat.
Amidhan (salah satu ketua MUI) : Pak Dawam setahu saya mengusung
ekonomi kerakyatan dan anti ekonomi liberalisme. Bahkan sekarang
neo-liberalisme. Neo-kapitalisme. Nah, dalam hal ini, pemikiran
liberalisme yang dikaitkan dengan konteks teologi atau agama itu,
seperti dikatakan Pak Dawam tadi, bahwa kebenaran yang mutlak itu
hanya di tangan Yang Maha Kuasa. Di tangan Allah. Tapi sebelum sampai
ke sana, ulama itu berpegang kepada Al-Qur'an dan As-sunnah. Ada yang
dikatakan yang dibenarkan itu ada. Makanya ada orang yang mengusung
pikiran liberalisme menulis, katanya nanti di akherat suatu ketika
Tuhan tersenyum melihat di dalam surganya yang luas itu ada Yesus,
Muhammad, Luther King, Umar bin Khotob, mungkin ada Baharudin Lopa
atau Munir. Kumpul semua pokoknya. Kalau tidak salah, yang
didefinisikan di sini, liberalisme agama itu adalah pemahaman agama
yang mengedepankan akal pikiran yang bebas. Kalau bertentangan dengan
nash ya akal pikiran ini. Sebab pikiran bebas ini kan serba mungkin.
Apa salahnya kan kalau orang berpaham gitu. Sehingga terkait dengan
sekularisme. Sekularisme itu kan pada dasarnya memisahkan antara agama
dengan negara. Negara tidak boleh campur tangan urusan agama. Agama
itu urusan pribadi. Maka kalau ada perkawinan satu sama lain itu bukan
ibadah seperti dalam undang-undang perkawinan. Tapi, kata Bu Musdah
Mulia, ini sekedar kontrak sosial. Dan juga apa salahnya orang kawin
antara agama. Islam dengan Kong Hu Chu misalnya. Kaum liberal
boleh-boleh saja. Orang cinta kok dibatasi. Allah saja belum tentu
membatasi. Karena serba mungkin. Kalau pluralisme itu saya baca
tulisan Pak Syafi'i Anawar. Saya oke-oke saja. Setuju begitu. Atau
yang disinggung oleh Azyumardi Azra. Bahwa pluralisme itu, agama itu,
ada otonomi masing-masing agama. Itu setuju. Tapi yang bergerak
sekarang ini kan bukan itu. Yang bergerak sekarang ini kan agama itu
sama benar. Sama baik. Masuk agama ini silahkan. Masuk itu silahkan.
Nanti di surga juga berdampingan. Nah ulama pemahaman yang seperti itu
yang gak mau. Pemahaman yang berakar pada sinkretisme. Yang memadukan
yang baik-baik menjadi satu pemahaman. Ini terjadi misalnya Usman Roy
yang sholat dua bahasa. Ada teman saya yang liberal ini, apa
urusannya. Biar saja dia shalat dua bahasa. Apa urusannya dengan kita.
Tapi kalau ulama, kalau untuk umat sudah ada pakemnya. Ndak mau dong
yang asal masuk akal pikiran diikuti. Begitu juga di dalam semua
kegiatan agama itu yang dikedepankan akal pikiran bebas. Kalau menurut
common sense kita itu boleh ya boleh. Ulama ndak mau begini. Jadi saya
kira kita diskusi secara tenang. Tak perlulah bilang ulama itu tolol,
tidak paham, tidak mengerti, teroris. Karena di komisi fatwa (MUI) itu
ada 40 orangdari berbagai disiplin ilmu. Bukan mereka tidak membaca.

posted by admin_situs @ 4:14 PM

--
*Istghfr+Tsbh+Slwt+Wslm
Rahmat Ali

------- ::: END ::: -------

No comments: