Monday, October 10, 2005

Kemartiran sebagai Pedagogi Rohani

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/10/opini/2110530.htm
KOMPAS--Opini | Senin, 10 Oktober 2005

Kemartiran sebagai Pedagogi Rohani
Doni Koesoema, A

Terorisme di Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan karakter bangsa
Indonesia, tetapi lebih merupakan konflik politik dan ekonomi yang
menggunakan agama dan memanfaatkan orang-orang beriman.

Analisis KH Hasyim Muzadi dalam seminar ”Islam in a pluralistic Society,”
yang diadakan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan
(KBRI-TSV) di auditorium Yohanes Paulus II, Universitas Kepausan
Urbaniana, Roma, 30 September, mengingatkan, kecerobohan dalam
menggeneralisasi akar persoalan terorisme bisa berakibat fatal dalam
kerangka membangun dialog persaudaraan antarumat beriman, terlebih dalam
menakar kesejatian pengalaman iman.

KH Hasyim Muzadi juga menegaskan, persentase kelompok teroris dibanding
umat beriman yang memiliki kehendak baik untuk membangun persaudaraan
sejati amatlah kecil.

Demikian juga Rm Thomas Michel sebagai anggota dewan penasihat kepausan
untuk urusan dialog antaragama, misalnya, memaparkan, sejak reformasi 1998
telah hadir sekitar 465 lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik lokal
maupun internasional, yang bekerja dalam membangun perdamaian di daerah
konflik (peacebuilding Ngo’s) yang memiliki ciri lintas agama.

Karena itu, konflik yang menciptakan teror yang bermula dari sikap salah
interpretasi, baik atas ajaran agama maupun simbol agama, merupakan bagian
kecil yang kadang tidak selalu menghadirkan teror. Namun yang signifikan
adalah saat salah tafsir dan penyalahgunaan agama dan simbol agama
berbenturan dengan kepentingan politik, ketidakadilan, rendahnya mutu
pendidikan, kemiskinan, dan ketidakadilan ekonomi.

Selama politisi masih berkelahi mempertahankan kekuasaan, alih-alih
menggunakan kewenangan untuk melayani rakyat, selama ketidakadilan tak
dapat ditemukan di pengadilan, selama dunia pendidikan ditelantarkan,
negeri kita akan menjadi sekam membara yang mudah disulut kelompok teroris
guna menghanguskan keberadaban negeri ini.

Bom Bali II

Bom bunuh diri jilid II di Bali mengingatkan kita betapa pedagogi rohani
yang keliru dalam memaknai kemartiran bisa berakibat fatal bagi
keberlangsungan hidup manusia.

Dalam sebuah negara yang sistem keamanannya masih kedodoran seperti di
negeri kita, di mana di setiap tempat para teroris bisa berpesta pora dan
melakukan aksinya tanpa perlu melukai diri sendiri, di mana kaum teroris
dengan mudah melancarkan aksinya tanpa halangan ketatnya penjagaan petugas
keamanan, bom bunuh diri di Bali hanya menyiratkan satu pesan: keyakinan
iman akan kemartiran telah ada pada level personal yang tak bisa dibendung
oleh satu instansi manapun!

Membunuh semakin banyak orang seolah sebuah keyakinan integral akan
keselamatan. Seolah ingin mengatakan, baik pengebom maupun korban adalah
jiwa-jiwa yang mati syahid, sehingga layak langsung menerima mahkota
surga. Betapa ironisnya pedagogi kerohanian seperti ini.

Pedagogi rohani

Pedagogi macam apa yang bisa diwariskan dan ditanamkan pada anak didik
kita dalam situasi seperti ini?

Dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan sebagai sang sumber hidup,
anak didik semestinya belajar memahami bahwa kemartiran sebenarnya
merupakan ekspresi terdalam sebuah keyakinan iman yang fondasi utamanya
adalah penghargaan atas hidup itu sendiri. Kemartiran sejati bukan bom
bunuh diri yang mengajak orang lain mati suci, seolah diri adalah Tuhan,
sang penentu hidup mati orang lain.

Kemartiran sejati adalah kesediaan untuk memberi diri secara total bagi
berlangsungnya kehidupan orang lain secara pribadi maupun sebagai sebuah
masyarakat. Kemartiran Riyanto, pemuda NU yang menyelamatkan umat Kristen
yang sedang beribadah, kemartiran Romo Dewanto yang melindungi jemaat di
Gereja Suai, Timor-Timur, kemartiran Munir sang pembela orang hilang, dan
sebagainya merupakan contoh kemartiran lokal yang sebenarnya menjadi saksi
bahwa kemartiran otentik seperti ini dapat terwujud di negeri kita dan
bukan impian semata.

Teladan kemartiran seperti ini bukan ide di awang-awang yang tidak
memiliki relevansi dan dampak berhadapan dengan berbagai macam krisis
multidimensi yang dihadapi bangsa kita.

Bagi sebuah masyarakat yang kian beradab, memupuk sebuah keyakinan dalam
diri tiap anak didik bahwa nilai-nilai luhur religiusitas, seperti
pengorbanan diri, jerih payah dan pelayanan total demi kepentingan orang
banyak, kejujuran, belas kasih, pengampunan, merupakan bagian keluhuran
nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya masih ada, masih relevan, masih
dapat diraih dalam menciptakan sebuah masyarakat yang kian menghargai
kemartabatan setiap orang sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Pembela kehidupan

Tepatlah jika KH Hasyim Muzadi mengatakan, terorisme bukan karakter bangsa
kita. Jika terorisme akhir-akhir ini mencoreng muka sehingga kita menjadi
bangsa yang tidak memiliki kepribadian, bahkan dicap bangsa yang menyemai
teroris, mungkin baik jika kita kembali bercermin pada para pahlawan
kemanusiaan, para martir seperti Riyanto, Romo Dewanto, Munir, dan masih
banyak lagi yang menjalani kemartiran tersembunyi yang tak perlu secara
gegap gempita dirayakan. Sebab, hidup manusia itu menjadi saksi paling
jujur atas kesahihan kemartiran seseorang.

Teladan para pembela hidup dan kemartabatan manusia ini semestinya menjadi
pedagogi rohani bagi setiap orang dalam memurnikan keaslian pengalaman
imannya dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan, di mana keadilan dan
keberadaban manusia merupakan jaminan nyata dan bukti dihargainya
keluhuran hidup manusia itu sendiri di hadapan Tuhan dan sesama.[]

Doni Koesoema, A Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan
Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

-------oooOooo-------

No comments: