Saturday, October 08, 2005

Selamat Tinggal, Ramadan!

http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=192317

Jumat, 07 Okt 2005,
Selamat Tinggal, Ramadan!


Oleh Reza Indragiri Amriel *

Orang-orang di negeri ini memang benar-benar piawai dalam mengemas
setiap kesempatan menjadi peristiwa yang seolah monumental. Ambil
misal, pada Agustus, bendera Merah Putih senantiasa dikibarkan di
sana-sini. Pekik merdeka guna meneguhkan kembali semangat kebangsaan
juga berkumandang di seluruh sudut negeri.

Lantas, perubahan apa yang terjadi setelah itu? Tidak ada!
Ketidaksemenggahan berperilaku, mulai dari megakorupsi hingga yang
sebatas meludah di sembarang tempat, tetap saja menjadi perangai
membusukkan negeri yang terjadi setiap hari.

Respons masyarakat terhadap hari-hari besar keagamaan pun setali tiga
uang. Ayat-ayat suci dikumandangkan, pengkhotbah bertebaran berupaya
menggugah nurani. Air mata bercucuran dibuatnya. Tapi, dalam tempo
beberapa jam sesudahnya, semua orang sudah dapat kembali menyaksikan
bahkan menjadi korban tindak-tanduk jahiliah.

Pemandangan seperti itu pula yang, menurut saya, akan segera
berlangsung dalam Ramadan kali ini. Berbagai hal telah dilakukan guna
membangun nuansa bahwa Ramadan memang berbeda dengan bulan-bulan
lainnya. Semangat kemanusiaan, kekhusyukan vertikal, dan beraneka
suasana lain gencar dicoba untuk dihidupkan. Namun, alih-alih tumbuh
perasaan sakral menyongsong bulan suci, justru kemuakan yang muncul
di hati.

Bukan udara segar berisi kebeningan agamis yang terhirup, melainkan
ekstremisme. Lebih tragis lagi, tidak hanya satu ekstremisme seperti
pada Ramadan tahun silam, ekstremisme telah mencapai bentuk
paripurnanya pada tahun ini, yakni dengan terdapatnya dua ekstremisme
yang sama-sama mengklaim tengah melakukan revitalisasi terhadap
Ramadan. Ekstremisme yang saya maksud adalah dua fenomena kontras
yang dialami oleh sejumlah pihak sebagai ilusi atas keagungan Ramadan.

***

Pada salah satu sudut, ekstremisme mempertontonkan dirinya dalam
paras apokaliptik. Bali menjadi panggungnya. Karena -menurut
investigasi sementara Polri- rentetan aksi bom bunuh diri itu
memiliki pola yang biasa dilakukan Azhari dan Noordin M. Top, maka
dapat dipastikan bahwa lagi-lagi motif agama merupakan alasan para
teroris brutal itu dalam membantai sekian banyak manusia.

Pertanyaannya, pemurnian terhadap Ramadan macam apa yang mereka
lakukan apabila aksi penghancuran mereka tidak memiliki batasan sama
sekali mengenai siapa kawan dan siapa lawan? Bagaimana mungkin
kebiadaban terhadap pihak yang dianggap musuh dianggap sebagai kunci
untuk memastikan kemuliaan Ramadan?

Bahkan, pada tataran paling pribadi, adalah omong kosong mereka -yang
bisa jadi seagama dengan saya- menyebut ulah mereka sebagai bentuk
perjuangan agama jika kelakuan tanpa diskriminasi itu juga berpeluang
besar merenggut nyawa anak-anak saya sendiri! Keislaman saya sungguh
tidak terwakili oleh para teroris itu!

Jangankan mengimpikan hidup keberagaman yang secara minimalis akan
sama kualitasnya dengan tahun lalu, akibat aksi teroris, Ramadan yang
pada dasarnya dapat mengangkat derajat manusia itu justru secara
sesat menyemaikan cara pandang yang fatalistis. Seperti kata Victor
Frankl (pencetus Logoterapi), situasi yang fatalistis mengakibatkan
hidup tidak lagi sebatas stagnan, melainkan menyeret mundur manusia
ke dalam sebuah persepsi bahwa hidup adalah penantian akan marabahaya.

Akibatnya, betapa menjijikkannya bahwa ada segelintir orang yang
tersenyum menyaksikan tangan mereka telah memuncratkan sekian banyak
darah. Termasuk darah mereka yang barangkali beberapa saat sebelumnya
juga telah beriktikad menegakkan puasa pada tahun ini.

Pada saat yang sama, betapa menyedihkannya bahwa kedatangan Ramadan
tahun ini terpaksa disambut dengan hela napas keprihatinan sekaligus
perasaan waswas akan terjadinya peristiwa destruktif susulan.

Begitulah ekstremisme jenis pertama, dengan kebrutalan yang kasat
mata. Ekstremisme berwujud keperkasaan yang sejatinya menyelubungi
perasaan kalah sekaligus watak pengecut kronis. Bukan purifikasi
Ramadan, melainkan menjadikan Ramadan sebagai justifikasi atas adiksi
akan kehancuran.

***

Pada sudut seberang, adalah media massa yang berlomba memunculkan
kesyahduan sekaligus keceriaan Ramadan. Manakala kesyahduan
diciptakan melalui drama dan berita menyentuh hati, keceriaan
ditebarkan lewat paket hiburan serba berhadiah. Di permukaan, siapa
pun bisa larut dalam suasana batiniah yang dikehendaki oleh media.

Namun, di balik itu, kekuatan persuasif media dikerahkan tidak lain
untuk memosisikan pemirsa sebagai objek potensial dari gelombang
masif komersialisasi segala produk yang berkaitan dengan rutinitas
Ramadan.

Ramadan di media bukan mengajar masyarakat agar lebih ekonomis,
tetapi justru memancing munculnya naluri-naluri hedonis. Saat
rasionalitas menipis, kepedulian akan sesama pun pada gilirannya
ternistai watak ekshibisionis. Menarik untuk diketahui nanti, apakah
tahun ini Ramadan syndrome (baca: Insting menghambur-hamburkan uang)
akan mereda karena terpengaruh musibah kemanusiaan silih berganti dan
naiknya harga bahan bakar minyak sekian kali lipat.

Demikianlah ekstremisme jenis kedua. Tidak berdarah-darah, memang.
Tetapi, ia tetap saja memperbudak. Kendati penuh dengan tawa, tawa
itu sesungguhnya terarah pada diri sendiri yang bersuka cita di atas
realita semakin banyaknya fakir miskin di negeri ini. Bukan
purifikasi Ramadan, melainkan komersialisasi Ramadan.

***

Bagaimana nasib orang-orang negeri ini di ujung Ramadan nanti?
Percayalah, tidak akan ada beda! Kegetiran yang monumental.
Walllahu a'lam.


* Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi UGM, Jogjakarta

No comments: