Monday, October 10, 2005

Gde Wiratha: Bali Hanya Yoyo

KOMPAS--Persona | Minggu, 09 Oktober 2005

Gde Wiratha: Bali Hanya Yoyo
Putu Fajar Arcana

Kadin
Gde Wiratha (48) adalah manusia perbatasan. Ia representasi dari realitas kontemporer Bali. Rumahnya di Jalan Nakula, Kuta, Bali, tidak saja berfungsi sebagai hotel yang berkelas internasional, tetapi di salah satu sudut ruangannya dimanfaatkan untuk memelihara benda-benda sakral.

Di situ tersimpan ribuan keris, tombak, arca, bebatuan, serta beberapa artefak kultural lain yang oleh pemiliknya sangat disucikan. Begitu pulalah Bali, ia memelihara spirit kultural sebagai dasar-dasar moralitas, tetapi pada saat bersamaan mengadopsi industri pelesiran sebagai landasan pergerakan ekonomi.

Hebatnya sinergi itu telah membawa ekonomi Bali tumbuh 7,7 persen pasca-bom Legian, 12 Oktober 2002. Sebelum bom, tingkat pertumbuhan berkisar pada angka 6,3 persen. Selama kurun waktu tiga tahun ekonomi Bali telah pulih, bahkan melampaui angka pertumbuhan nasional yang berkisar lima persen. Realitas itu, kata Wiratha, menunjukkan daya survivalitas masyarakat Bali sangat tinggi. Bom, yang selain menghantam Sari Club dan Paddys Cafe (milik Wiratha), terbukti tidak mampu menggoyahkan sendi-sendi ekonomi Bali.

Ketika bom meledak di dua lokasi (Kuta dan Jimbaran), Sabtu (1/10) lalu, Wiratha menanggapinya semata-mata sebagai kasus ekonomi. Bagaimana orang tidak iri melihat daya recovery yang luar biasa itu. Mereka, siapa pun itu, para eksekutor bom ingin studi bagaimana masyarakat yang tinggal di pulau kecil ini bisa survive. Lalu dirancanglah bom kedua. Buat saya dan sebagian orang Bali, ini biasa saja. Awal-awalnya boleh kita kaget, tetapi begitu terjadi lagi, jelas motifnya ekonomi, kata Wiratha yang juga menjadi pemilik sebuah perusahaan jasa penerbangan.

Tinjauan ekonomi ini bukan berarti ia melupakan kemungkinan dampak sosial-psikologis orang Bali ketika peledakan bom berulang. Cuma harus ditegaskan, tidak ada di dalam pikiran orang Bali bahwa bom ini bermotif agama. Jangan bawa-bawa etnis atau prasangka agama. Orang Bali tidak pernah berpikir bahwa yang melakukan pengeboman itu orang Islam. Bahkan Amrozi (terhukum kasus bom Legian Red) masih ada orang Bali yang menjenguknya membawakan nasi ke penjara. Itu etika bahwa yang bisa mengeksekusi manusia itu hanyalah Tuhan kata pemilik Bounty Hotel di Kuta itu.

Anda tidak berpikir bahwa pengeboman Bali dari kasus Legian sampai Kuta dan Jimbaran adalah perang ideologi antara kaum fundamentalis agama dan kapitalis?

Sudah saya bilang ini soal ekonomi. Grand design-nya adalah ada pihak-pihak yang sedang mempelajari keunikan Bali. Karena tidak ada lagi di dunia masyarakat seperti ini. Cacing saja dipelajari, apalagi ini menyangkut kultur. Setidaknya ada yang sedang mengetes, apakah Indonesia masih sanggup mengendalikan Bali….

Apa yang ingin mereka pelajari dari Bali?

Lho. Bom itu hanyalah semacam alat evaluasi untuk membuktikan teori-teori mereka tentang Bali. Bali dijadikan semacam yoyo semata…. Selama ini peran pemerintah sungguh kecil. Dalam anggaran pembangunannya pemerintah hanya memegang 15 persen, sementara sektor swasta bergerak dengan 85 persen. Jadi tanpa pemerintah pun orang Bali akan bergerak lebih cepat. Terbukti kan begitu ada bom, pemerintah kan selalu terkesan terlambat melakukan antisipasi.

Berarti orang Bali kan juga lengah?

Ya di situ juga letak soalnya. Orang Bali kadang terlalu percaya diri, lalu mereka lengah. Boleh berserah kepada yang di atas (maksudnya: Tuhan—Red), tetapi tetap harus menjaga kenyataan-kenyataan rasional.

Wiratha mengatakan ia sangat paham jika para teroris terus-menerus memilih Bali sebagai setting cerita. Oleh karena keunikan tadi, provokasi media bisa dengan sangat mudah digerakkan. Dan jika hal ini tidak segera dibenahi dengan hal-hal yang fundamental, termasuk perubahan-perubahan konstitusi khusus menyangkut Bali, Wiratha memprediksi tak sampai bulan Desember 2005 nanti bom akan meledak lagi. Soalnya tidak sebatas kelonggaran pengamanan, tetapi sistem yang kini diberlakukan terhadap Bali, di mana pemerintah nyaris tidak bisa lagi melakukan kontrol menyeluruh telah memberi peluang terjadinya tindakan teroris.

Kalau begitu Anda ingin otonomi khusus?

Oh tidak, itu buat saya (konstitusi) banci. Lihat saja daerah-daerah (istimewa) atau khusus yang sudah ada, apakah ada perubahan yang signifikan pada mereka? Tidak kan? Saya justru ingin usulkan perlakukan Bali seperti China memperlakukan Hongkong.

Apa itu tidak dianggap sebagai cikal-bakal untuk merdeka?

Lho jangan salah dulu. Keinginan itu tidak bisa disamakan dengan kemauan untuk merdeka. Hongkong tidak merdeka dari China. Mungkin Pemerintah China beranggapan buat apa mengurus negeri yang sudah jadi begitu, yang penting ada pemasukan pajak dari situ. Lebih baik mengurus begitu banyak provinsi lainnya di negeri itu. Komitmen kita tetap kepada NKRI, hanya model pengelolaannya coba kita ikuti Hongkong.

Hal yang sedang kita bicarakan bagaimana menangkal bom. Adakah relevansi pilihan model ini dengan penangkalan terhadap bom, karena tadi Anda bilang kemungkinan besar bom itu akan berulang?

Oh pasti mampu. Sebuah kultur bernegara akan selalu hormati etika-etika yang ada di masyarakat. Itu etika negara. Undang-undang pun harus ambil makna dari etika sebuah komunitas, maka undang-undang tidak sama. Dalam menghadapi terpaan modernisasi, tidak terjadi apa yang disebut degradasi terhadap perilaku berbudaya di Bali.

Maksudnya apa ini?

Ya kita akan selenggarakan soal-soal pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, politik, ekonomi, dan atribut-atribut lain sebagaimana yang dilakukan oleh Hongkong.

Apakah ini sebuah pernyataan ketidakpercayaan kepada pemerintah di dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat Bali?

Anda yang bilang begitu. Ya bagaimana kita percaya. Bom berulang dua kali di Bali, seolah bom pertama dahulu bukan sebuah pukulan untuk melecut diri membangun sistem keamanan yang memadai. Sampai sekarang kan tak ada perubahan apa-apa dalam soal itu.

Bagaimana gagasan menjadi Hongkong itu bisa diwujudkan?

Memerlukan keberanian dari tokoh-tokoh Bali, serta adanya tekanan dari pihak luar.

Anak desa

Gde Wiratha adalah anak desa yang berasal dari Desa Poh Santen, Kabupaten Jembrana, Bali. Tetapi ia lahir di Singajara. Kini tak kurang ia memiliki 28 perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, hiburan malam, dan jasa angkutan. Ia memasuki Kuta tahun 1973, di awal daerah itu beringsut menjadi destinasi wisata baru dengan kedatangan para kaum hippies dari daratan Amerika dan Eropa. Ia selalu muncul dengan gagasan-gagasan yang kemudian memancing kontroversi di masyarakat. Ia pernah melancarkan pembangunan sirkuit Formula 1 (F1) di Jembrana atau lokalisasi perjudian di Pulau Nusa Penida. Belakangan ia juga melansir kembali gagasan pendirian bandar udara di Jembrana, kabupaten terbarat dari Pulau Bali yang kehidupan ekonomi terkebelakang. Harus ada revolusi ekonomi di daerah itu, kata dia.

Apa posisi tawar Bali untuk bicara soal mengadopsi model Hongkong itu kepada pemerintah pusat? Salah-salah ini dipahami sebagai keinginan lepas dari Indonesia?

Harusnya pemerintah pusat lihat ini sebagai potensi yang luar biasa. Kalau kita usulkan dari bawah nanti terjadi distorsi, pusat enggak punya wibawa, malah dianggap pembangkangan segala. Ini bisa beri cermin kepada dunia bahwa Indonesia bisa melakukan seperti China. Karena sebenarnya negeri- negeri adidaya itu tidak ingin Indonesia seperti China yang tidak lagi bisa dikendalikan mereka. Cuma di situ saja soalnya kok.

Ini sekali lagi beda lho dengan merdeka. Sebab pengelolaan negara modern dengan mensinergikan kandungan kultur lokal akan menjadi inspirasi dan cermin dunia. Dari sekian komunitas etnik yang unik di Indonesia, kalau dikelola dengan sistem modern akan mendorong ekonomi lain tumbuh dengan cepat.

Kalau ide ini dianggap belum cocok untuk masa kini, ya biar saja bahan renungan dahulu. Tetapi rasanya sudah mulai harus dipikirkan konstitusi-konstitusi untuk mengelola negara yang begini besar.

Ini soal lain. Anda termasuk salah satu orang Bali yang begitu sukses menggeluti dunia pariwisata, kok masih saja bergelut dengan benda-benda kultur. Apa itu bukan klenik?

Anda keliru. Coba perhatikan mungkin orang yang paling banyak memanfaatkan bunga di dalam kesehariannya itu orang Bali. Bunga itu simbol kedekatan dengan alam. Dan benda-benda yang saya pelihara ini bukan permintaan atau membeli, ia datang sendiri ke rumah. Tetapi saya membacanya sebagai moral kultur. Lalu saya temukan filosofi bahwa orang Bali bekerja tidak pernah atas dasar materi. Kerja itu yadnya (ibadah). Orang lain yang kemudian mengukurnya dengan uang.

Aspek modern itu selalu dipikirkan dengan pengembangan intelektual, etos kerja dengan kemampuan berpikir yang rasional. Alam tidak begitu. Apa yang kita dapatkan pada era modern ini masih jauh di bawah kuasa alam.

Bagaimana kita bisa mengukur benda kecil seperti mirah delima sebesar telur cecak bisa ditawar ratusan juta rupiah? Itu bukti bahwa uang tidak artinya bagi kekuatan alam.

Apa karena Anda sudah mantap secara ekonomi lalu bergerak ke soal-soal spiritual?

Ah tidak. Konsep saya bagaimana menyeimbangkan spiritual dan material itu.

No comments: