Saturday, October 08, 2005

Kekerasan Atas Nama Fatwa

Tulisan ini bagus sekali. Semestinya beginilah dampak fatwa tentang
MUI itu ditulis.

Selamat membaca sambil berbuka,
Luthfi
------



Kekerasan Atas Nama Fatwa
Oleh M. Guntur Romli

Kolom | 06/10/2005

Koran Tempo, Jum'at, 23 September 2005 Rubrik Opini

Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia kembali terjadi.
Sekitar seribu orang menyerbu perkampungan Ahmadiyah di Neglasari,
Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat, Senin (19/9)
malam hingga Selasa (20/9) dini hari (Koran Tempo, 21/9). Seperti
diketahui, ajaran Ahmadiyah divonis sesat oleh Majelis Ulama
Indonesia. Saya tidak ingin menghubungkan fatwa MUI dengan tindakan
kriminal itu. Apalagi, dalam rapat dengar pendapat umum antara Komisi
VIII DPR, yang antara lain membidangi masalah keagamaan, dan MUI
(31/8), Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amien menafikan keterkaitan
antara fatwa MUI dan aksi-aksi kekerasan (Jawa Pos, 1/9). Pernyataan
senada disampaikan oleh Ma'ruf Amien berkali-kali dalam pelbagai
kesempatan. Dalam pertemuan itu juga, anggota Komisi VIII, Agung
Sasongko, meminta MUI "mengeluarkan fatwa baru mengenai larangan
menyelesaikan perbedaan pendapat lewat tindak anarkis dan kekerasan".

Meskipun demikian, nasib malang Jemaah Ahmadiyah itu mengajak kita
kembali untuk bersikap kritis terhadap fatwa ataupun pendapat yang
bisa memancing emosi masa. Tentu saja, dalam materi fatwa MUI, tidak
ada klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan kekerasan terhadap
kelompok atau aliran yang dianggap "sesat" dan "diharamkan". Namun,
sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itulah yang
paling efektif menggerakkan nalar dan emosi manusia untuk melakukan
tindakan kekerasan dan main hakim sendiri.

Dalam konteks umat Islam yang masih dibelenggu doktrin fikih klasik,
kelompok atau individu yang sudah divonis "murtad", "kafir",
atau "sesat" berarti telah dihalalkan untuk dibunuh! Secara sewenang-
wenang, mereka menggunakan sebaris hadis, "man baddala dînahu
faqtulûhu" ("barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah
ia"). "Mengganti agama" dimaknai murtad, kafir, atau sesat. Fatwa
tersebut seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa
klarifikasi dan pembelaan, dengan dakwaan sepihak. Meskipun demikian,
umat Islam yang awam tidak mau tahu dengan prosedur yang tidak sehat
itu; yang ditangkap hanya ujungnya: orang ini murtad, kelompok itu
sesat, maka dibunuh saja!

Penggunaan idiom-idiom teologis pada fatwa--yang pada hakikatnya
adalah "opini legal manusia"--mampu meniupkan roh kekuatan dan
kebanggaan bagi siapa saja yang bersedia "mengorbankan dirinya" untuk
menjalankan "misi suci" itu. Imam Samudra, terpidana kasus bom Bali,
tersenyum lebar, tidak merasa bersalah atau berdosa, bahkan bangga,
setelah membunuh ratusan orang sipil di Bali, yang diyakini sebagai
jihad. Hukuman mati kepadanya dianggap sebagai pintu menuju
kesyahidan: masuk surga tanpa hisab.

Dalam sejarah Islam klasik, mudah dijumpai fenomena seperti itu. Abu
Bakar menjatuhkan fatwa "murtad" terhadap kelompok yang tidak mau
menyerahkan zakat sehingga wajib diperangi. Pada awalnya, para
sahabat tidak setuju dengan fatwa itu. Menurut Umar, misalnya,
dakwaan murtad tidak tepat bagi orang Islam yang masih bersyahadat
dan salat. Namun, Abu Bakar tetap berkeras, otoritas seorang khalifah
tidak bisa ditolak.

Muhammad Imarah dalam bukunya, Al-Islam wal Hurûb al-Dîniyah,
menorehkan catatan kritis terhadap sejarah "perang terhadap orang
murtad" (harb al-murtaddîn) itu. Label "murtad" bukan dalam ranah
teologis--dalam arti, keluar dari agama--tapi dalam ranah politis.
Kelompok itu bukan tidak mau membayar zakat, tapi tidak mau
menyerahkan zakat kepada pemerintah pusat yang dipimpin Abu Bakar
setelah Rasulullah mangkat. Mereka merupakan kelompok pembangkang (al-
bughât) dan menolak kepemimpinan Abu Bakar. Pemikir politik Islam
asal Maroko, Muhammad Abid Jabiri, memberikan kesan yang sama. Perang
itu bertujuan menjaga formasi kedaulatan Islam yang masih dini.

Namun, penggunaan label "murtad" itu tetap bermasalah hingga kini.
Kebanyakan umat Islam tetap memaknainya secara teologis. Kelompok
yang divonis "murtad" atau "kafir" wajib diperangi, seperti yang
dilakukan oleh Abu Bakar. Khalifah ketiga, Utsman bin 'Affan,
mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Dia dituduh "melampaui
wewenangnya sebagai pemimpin umat Islam yang digariskan oleh Allah
dan Rasul-Nya" alias "kafir". Setelah fatwa itu keluar, Utsman
bin 'Affan pun dibunuh. Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, juga
dijatuhi fatwa mati oleh kelompok Khawarij, yang sebelumnya pendukung
Ali. Menantu Rasulullah itu dituduh percaya kepada "hukum manusia"
karena setuju dengan arbitrase (tahkîm) yang merupakan akal-akalan
Mu'awiyah, musuh politik Ali. Padahal, menurut Khawarij, "Tiada Hukum
selain Hukum Tuhan" (lâ hukm illâ hukm Allâh). Kelompok radikal itu
secara sewenang-wenang menafsirkan ayat 44, 45, dan 47 surat Al-
Maidah, "Seorang yang tidak menggunakan hukum Allah, maka dia kafir,
zalim, dan fasik." Hukuman bagi orang kafir, zalim, dan fasik adalah
dibunuh. Fatwa yang keluar: Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash
telah "kafir", "zalim", dan "fasik". Ali bin Abi Thalib terbunuh,
sedangkan Mu'awiyah dan Amr bin Ash selamat.

Demikian salah satu episode kelam dari sejarah umat Islam. Fatwa-
fatwa otoriter terbukti sangat efektif menimbulkan tindakan anarki
dan kekerasan. Dalam sejarah umat Islam modern, petaka itu kembali
terjadi. Syekh Muhammad al-Dzahabi, ulama Al-Azhar yang mumpuni,
dibunuh setelah dijatuhi fatwa murtad dan kafir oleh Jamaâh Takfîr
wal Jihâd (Kelompok Pengkafir dan Jihad). Farag Fouda ditembak mati
di halaman rumahnya oleh pengikut kelompok radikal setelah atasannya
menjatuhkan fatwa kafir dan murtad terhadap dia. Percobaan pembunuhan
juga dialami novelis Naguib Mahfouz setelah ada fatwa bahwa novelnya,
Awlâd Hârâtinâ, bertentangan dengan Islam. Sedangkan di Sudan,
pemikir Islam Ustad Muhammad Mahmoud Thaha digantung sampai mati
setelah divonis murtad.

Karena itu, fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu,
kelompok, atau aliran sebagai "sesat", "kafir", dan "murtad"
merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination)
dalam ranah teologis, yang acap kali diikuti dengan pembunuhan fisik.
Seorang intelektual Mesir, Muhammad Said Asymawi, menyebut fatwa-
fatwa model itu sebagai "terorisme pemikiran" (al-irhâb al-fikrî)
atau "kekerasan pemikiran" (al-'unf al-fikrî) yang sering berujung
pada "kekerasan dan terorisme yang sebenar-benarnya" (al-irhâb al-
haqîqî wal 'unf al-haqîqî).

Padahal fatwa-fatwa model itu bertentangan dengan mekanisme fatwa
dalam tradisi hukum Islam. Fatwa itu relatif, kondisional, dan
fleksibel. Lebih penting lagi: tidak otoriter. Seruan Khaled Abou el-
Fadl (2003) untuk melawan otoritarianisme fatwa layak diapresiasi.
Bagi Khaled, hukum Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan
penyeragaman (Islamic law has staunchly resisted codification or
uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan
antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its
open-ended and anti-authoritarian character). Namun, yang menjadi
persoalan dewasa ini adalah kecenderungan praktek hukum Islam yang
memperlakukan syariat Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm) yang
mapan, statis, dan tertutup yang harus diterapkan tanpa menyisakan
ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Singkatnya, hukum
Islam pada era modern ini dipandang sebagai perangkat aturan (ahkâm),
bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh). Kecenderungan ini
berpotensi melahirkan otoritarianisme dalam memahami hukum Islam.

Nah, jika MUI telah mengeluarkan fatwa yang mendamaikan, toleran, dan
apresiatif terhadap pluralitas pendapat, lembaga ulama itu tidak
perlu capek-capek memberikan pernyataan yang menafikan antara fatwa
itu dan tindakan-tindakan kekerasan yang saat ini terjadi.
Wallahualam!

Mohamad Guntur Romli aktivis Jaringan Islam Liberal

No comments: