Monday, October 10, 2005

Jalan Perdamaian yang Berkerikil

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0510/10/Sosok/2111020.htm
KOMPAS--Sosok | Senin, 10 Oktober 2005

Jalan Perdamaian yang Berkerikil
Amir Sodikin dan Brigitta Isworo L

Sebuah komisi baru dibentuk oleh Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan
Pemerintah Timor Timur yang dinamai Komisi Kebenaran dan Persahabatan.
Berbeda dengan berbagai komisi yang menjamur di Indonesia akhir- akhir
ini, komisi yang dibentuk pada tanggal 11 Agustus 2005 itu beranggotakan
masing-masing lima orang dari Indonesia dan dari Timor Timur, ditambah
masing-masing tiga anggota cadangan.

Dalam sejarah, belum pernah ada komisi yang dibentuk oleh dua negara. Yang
umum ada adalah komisi bentukan suatu pemerintahan dari negara itu
sendiri,” demikian kata pembuka yang disampaikan oleh Ketua Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) pihak Indonesia, Benjamin Mangkoedilaga,
dalam perbincangan dengan Kompas di sebuah tempat makan pekan lalu.

Komisi-komisi itu adalah komisi untuk rekonsiliasi seperti yang dibentuk
di Brasil, Argentina, dan negara lain yang mengalami pergantian
pemerintahan secara inkonstitusional. Sementara negara-negara Jepang dan
China, AS dan Kuba, atau Pakistan dan India, yang hubungan antarnegaranya
bermasalah, belum pernah membentuk komisi (bersama).

Sejarah bertetangga Indonesia-Timor Timur, yang berawal pada tanggal 20
Mei 2002 saat Timor Timur secara resmi lepas dari Indonesia, adalah
sejarah dengan wajah bopeng. Hubungan di antara kedua negara sarat dengan
rasa saling curiga karena berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang terentang sejak tahun 1991, saat kejadian St Cruz.

Karena baru pertama kali dibentuk, implikasinya adalah, ”Kami bekerja
tanpa ada contoh model, tanpa ada yurisprudensi,” ujar Benjamin. Dengan
kondisi seperti itu, Benjamin mengakui komisi ini harus bertindak ekstra
hati-hati karena hilangnya rasa saling percaya. ”Maka, pertama-tama kami
harus membangun rasa saling percaya (trust building). Dan, itu tidak
gampang. Untuk itu kami harus memiliki nurani perdamaian,” ungkap
Benjamin. (Bagi dia, tugas sebagai hakim lebih dari 40 tahun adalah ajang
mengasah nurani perdamaian).

”Kami harus menanamkan pada kedua pihak tentang pentingnya hidup
bertetangga dengan damai. Kepada para korban, kami harus mendengarkan apa
yang mereka inginkan. Tidak perlu menengok ke belakang. Kalau begitu terus
tidak akan maju,” ujarnya.

Sementara kepada mereka yang diduga melakukan pelanggaran—ada sekitar
empat orang berpangkat jenderal, baik dari kepolisian maupun Angkatan
Darat—KKP harus meyakinkan bahwa tidak akan ada proses peradilan. ”Ada
budaya tidak mau dipermalukan. Perlu seni tersendiri untuk mengajak mereka
mau melihat lagi kejadian-kejadian itu dan mengklarifikasinya,” ujar ayah
dua putri tersebut.

Wujud konkret dari hasil kerja KKP antara lain berupa pengakuan dari pihak
yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM. ”Mereka harus didorong untuk
melakukan itu tanpa harus kehilangan kehormatan,” lanjutnya. Menurut dia,
jika sang pemimpin mau mengakui dengan sukarela, mereka yang di bawahnya
akan mengikuti. ”Follow the leader. itu kuncinya, sesuai dengan budaya
kita,” kata Benjamin, hakim yang namanya melambung setelah memenangkan
Tempo dalam kasus pembredelan.

Seperti ditegaskan kedua kepala negara, Xanana Gusmao dari Timor Timur dan
Susilo Bambang Yudhoyono dari Indonesia, tujuan kerja komisi ini adalah
perdamaian abadi. ”Jadi, jangan sampai ada ganjalan lagi di antara kedua
negara. Namun, saya akui proses ini tidak akan bisa berlangsung mulus
karena banyak tantangannya,” ujar dosen di tiga perguruan tinggi swasta
ini.

”Dari Indonesia banyak pihak ingin ada penuntutan dan pengadilan. Saya
tegaskan, komisi ini tidak menuju pada proses pengadilan. Kami tidak akan
mengutik-utik peradilan yang mana pun dan tidak akan merekomendasikan ke
arah sana, apalagi membentuk peradilan baru,” tutur pria kelahiran Garut,
30 September 1937, ini.

Dia menuturkan, hal yang sama juga dihadapi para anggota komisi dari Timor
Timur. ”Saya dengar, sepulang dari pertemuan di Bali, rekan-rekan kami
mendapat cemoohan dan demonstrasi,” tutur Benjamin.

Meski melihat banyak tantangan menghadang, Benjamin masih menyimpan
optimisme. ”Yang mendasari optimisme saya adalah anggota komisi dari Timor
Leste itu juga ada yang merupakan korban. Ada yang menjadi korban
kerusuhan di St Cruz, ada yang ditahan, dan ada yang keluarganya dibunuh,”
ujar ayah dua anak perempuan dari istri Roosliana ini.

Kini pihak Timor Timur telah mengajukan dokumentasi kasus hingga setebal
11.000 halaman. Sedangkan pihak Indonesia mengajukan dokumentasi kasus
sekitar 2.000 halaman. Saat ini anggota KKP sedang dalam proses memilah
dan memilih siapa dan di mana saja yang terkait dan tempat kejadian
peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.

”Kami memilih yang memiliki nilai strategis,” katanya. Kasus-kasus
tersebut adalah peristiwa-peristiwa di Liquisa, Suai, dan di Dili. Hasil
kerja komisi lainnya adalah pemberian kompensasi bagi para korban, berupa
pembangunan sarana dan prasarana publik. Sungguh sebuah jalan panjang
berkerikil. Di sana Benjamin bersama 15 orang lainnya harus meratakannya.

--
Using Opera's revolutionary e-mail client: http://www.opera.com/mail/

No comments: