Thursday, October 06, 2005

Jim Supangkat: Kita Belum Mati (Artikel: Putu Fajar Arcana)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/02/persona/2094122.htm
KOMPAS--Persona | Minggu, 02 Oktober 2005

Jim Supangkat: Kita Belum Mati
Oleh Putu Fajar Arcana

Jim Supangkat (57), orang yang selalu penuh semangat dan begitu mendalam mengupas konsepsi-konsepsi seni rupa, tiba-tiba mengaku kehilangan spirit. Suaranya memang masih berat, tetapi mengandung keputusasaan tiada tara. Awal pekan ini, ia meluncurkan satu pernyataan yang benar-benar ”menyambar” langit seni rupa Indonesia. CP Biennale yang ia gagas bersama beberapa maecenas dan didanai oleh badan-badan internasional sejak tahun 2003 tidak akan lagi diselenggarakan di masa mendatang.

Bahkan, pameran CP Biennale 2005 yang berlangsung pada 5 September- 5 Oktober 2005 di Museum Bank Indonesia Jakarta kemungkinan besar akan ditutup sebelum waktunya berakhir. Banyak yang beranggapan Jim mutung. Harusnya ia melakukan langkah dialog dengan pihak yang memprotes keberadaan karya perupa Agus Suwage dan Davy Linggar sebelum memutuskan menutup ruang di mana karya itu dipajang.

Pekan lalu memang sejumlah massa mendatangi pameran sebagai bentuk protes terhadap karya Agus dan Davy yang dicap mengumbar pornografi dan karenanya bertentangan dengan kaidah-kaidah agama. Sebelumnya, berita tentang pornografi itu di-blow-up sedemikian rupa di media massa (utamanya yang menamakan diri infotainment) sehingga dalam sekejap memancing reaksi massa.

”Selain hanya memunculkan ketelanjangan, yang lebih membuat sakit hati ada manipulasi fakta, seolah-olah figur yang ada telanjang bulat,” kata Jim Supangkat dalam temu pers, Selasa (27/9) di Jakarta.

CP Biennale 2005 dengan tajuk Urban/Culture, menurut Jim, disiapkan selama dua tahun dan dibiayai oleh badan-badan internasional. ”Saya tak mungkin cari sensasi murahan dengan mengekspose kelamin,” tambah Jim.

Banyak yang bilang Anda takut dan mutung?

Apa saya tak diperbolehkan untuk takut. Di sini ada 20 karya seniman asing dan gedung museum yang didirikan tahun 1828, siapa yang jamin tak ada perusakan. Memang ada jaminan dari polisi dan pimpinan pemrotes, tapi saya tetap tak yakin....

Protes ini tampaknya membuktikan premis Anda tentang clash of civilization itu. Benar?

Saya kira ya. Clash of civilization itu jadi kenyataan. Kalau saya pengamat, pasti akan bilang pameran ini berhasil. Tapi karena saya penyelenggara, ya boleh dibilang gagal. Spirit saya padam untuk terus bekerja. Kita berharap saja pemerintah yang ambil inisiatif untuk teruskan biennale ini.

Anda sepertinya termasuk kurator yang paling percaya terhadap peran seni dalam kehidupan sosial?

Saya pikir ini teoritis, dalam arti saya sendiri berpendapat bahwa kesenian dan kebudayaan itu adalah ruang antara. Dia tidak terlihat, tetapi sebenarnya dia menyatukan. Di sana tak ada fungsi praktis. Nah, di ruang antara itulah etika dipikirkan. Bukan mereka menjadi orang- orang yang lebih etis.... Dan saya kira etika adalah dasar-dasar pemikiran intelektual.

Intelektual yang saya maksud, bukan intelektual pintar, tetapi intelektual yang berarti orang- orang yang tidak terikat pada suatu lembaga pun dan berpikir bebas. Dan karena itu ia bisa mengkritik. Tetapi, dasar dari kritiknya itu adalah etika. Dia mengkritik bangsa Indonesia karena dia cinta. Jadi, etika itu semacam itu. Saya kira fungsi kesenian dan pemikiran tentang kebudayaan ada di situ.

Karena itukah kemudian CP Biennale 2005 ini diberi tajuk Urban/Culture. Anda ingin melihat sejauh mana keterlibatan para seniman/pemikir kita pada masalah-masalah di sekitar mereka?

Sebagian besar menampakkan refleksi mereka, menampilkan urban. Jadi, mereka tampilkan ikon-ikon urban, seperti blue jeans dan industri. Kalau diperhatikan satu per satu masih terselip rural-nya, tradisinya. Jadi Adidas yang dipasang di sini sangat bisa dibedakan dengan Adidas yang di Shanghai atau New York.

Jadi, pemahaman urban pada masyarakat kita sangat dekat dengan pembicaraan keadilan. Mereka sangat concern terhadap masalah-masalah masyarakat, terutama kemiskinan.

Kurator independen

Sekitar tahun 1990 Jim Supangkat memutuskan sepenuhnya hidup menjadi kurator. Ia bahkan mengundurkan diri dari sebuah penerbitan yang cukup mapan. Keputusan ini sangat tidak populer. Karena di masa itu belum dikenal istilah kurator independen. ”Semua orang mengkhawatirkan saya tidak akan bisa hidup. Saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa hidup...,” tutur Jim Supangkat.

Jim kemudian berkelana sebagai co-curator di berbagai biennale yang diselenggarakan di Jepang, Australia, Belanda, serta kemudian Amerika Serikat. Jim mengaku sangat berutang budi kepada Jepang. Ia pernah berkeliling negeri itu atas jasa Japan Foundation untuk belajar kepada kurator-kurator setempat.

Ada apa sebenarnya tahun 1990-an itu sehingga Anda berani memilih ”profesi” kurator dalam pengertian sekarang ini?

Saya lihat tahun itu ada perubahan-perubahan besar di dunia internasional. Segera saya lihat peluang untuk ngomong.... (Selain) karena saya sadar kita tak punya profesi kurator, dengan alasan-alasan etis saya berhenti berkarya (di seni). Sampai sekarang kalau ditanya, lebih enak jadi kurator atau seniman, saya pikir lebih enak jadi seniman.

Kurator itu bebannya macam- macam. Dan kurator di sini berbeda dengan kurator profesional di luar negeri. Di luar negeri mereka kan hanya menyeleksi seniman kemudian membuat pameran. Kurator di sini, komitmen dasarnya tak hanya fokus ke masalah kesenian, tetapi harus ada kerinduan pada fungsi seni rupa dalam kondisi yang lebih besar.

Maksudnya?

Pameran harus memiliki political impact. Bukan politik praktis, tetapi sebuah pameran harus political. Jadi, kalau sebuah pameran tidak mendapat perhatian, berarti gagal. Saya selalu bilang kepada kurator-kurator yang (bekerja dengan saya) bahwa saya tak mau dengar alasan publiknya yang tidak mengerti pameran. Itu omong kosong. Karena itu, presentasi pameran menjadi sangat penting. Harus ada curatorial introduction. Dulu kan tidak ada, orang disuruh masuk saja lihat pameran tanpa penjelasan.

Banyak yang mengira kerja kuratorial itu cuma menyusun karya-karya, apa begitu?

Menyusun pameran itu seperti menyusun sebuah (pementasan) teater, ada urutan-urutan dan hubungan-hubungan. Bahwa kanvas (kita) itu adalah pameran. Berbeda dengan seniman yang bermain dengan pikirannya sendiri. Sebagai kurator tidak ada pilihan lain selain harus berhadapan dengan publik. Jadi, jangan membuat kurasi untuk kepuasan sendiri.

Apa pendapat Anda tentang seni yang sekarang kayaknya cenderung diperlakukan sebagai komoditas? Apa itu masuk gejala urban juga?

Itu gejala urban yang kita kritik. Saya kira memang terjadi pembelokan dan itu tidak hanya di Indonesia. Istilah komodifikasi karya seni rupa pertama kali digunakan oleh kritikus-kritikus New York. Itu dramatis sekali. Komodifikasi itu membuat karya Van Gogh bisa laku sampai 100 juta dollar AS.

Itu sudah skandal secara (ke)manusia(an). Ada barang begitu kecil dihargai 100-150 juta dollar AS! Seberapa besar harganya kemajuan manusia.

Di Indonesia situasinya seperti apa?

Nah, komodifikasi yang terjadi di Indonesia lebih bodoh dari itu! Tetapi, sama eksesnya. Artinya, pencuri itu ada di mana- mana. Jadi, melihat peluang untuk mencari keuntungan sendiri itu harkat alamiah. Saya selalu membuat jarak dengan gejala ini. Itu sikap tak suka saya. Saya kadang-kadang berpikir, kalau mau cari uang, mbok jangan kesenian gitu lho....

Apa sudah separah itu ya?

Saya tak bisa menggeneralisasi. Ada kolektor-kolektor yang secara khusus punya perhatian. Jadi, ada gray areas. Dan saya melakukan kerja sama dengan mereka. Saya realistis saja. Tetapi, sebagai gejala komodifikasi itu mencemaskan.... Kita mau jadi bangsa apa? Satu contoh adalah dunia film. Film itu sangat dijajah oleh produser. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana film akan maju. Tak mungkin lagi memasukkan nilai- nilai dalam sebuah konstelasi yang sudah dikuasai mereka.

Belakangan seni tampaknya lebih bergantung pada publik. Pendapat Anda?

Saya percaya zaman sekarang kesenian juga ditentukan oleh publik. Dunia seni rupa tak hanya terdiri dari seniman, kurator, promotor, dan ahli sejarah. Publik juga merupakan komponen penting. Dalam pemikiran pascapencerahan, seniman adalah komponen utama. Sekarang pemikiran itu tidak laku, tanpa publik kesenian, itu tidak ada.

Kalau publiknya kuat dan dia mendominasi, tak bisa disalahkan. Tapi di situ nilai-nilai sudah berhenti dicari dan seni rupa hanya akan jadi ajang investasi, ajang spekulasi, dan ajang senang-senang belaka....

Dan saya akan berada di kutub yang selalu melawan supaya seni tetap eksis. Pameran ini (CP Biennale 2005—Red) dibuat untuk menunjukkan kita masih ada! Jumlahnya jauh lebih sedikit daripada balai lelang, tetapi kita belum mati!
(Dahono Fitrianto/ Jimmy S Harianto)

-------oooOooo-------

No comments: