Monday, November 14, 2005

MUI Jangan Hanya Jadi "Tukang Doa"

MUI Jangan Hanya Jadi "Tukang Doa"
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/14/0306.htm

BANDUNG, (PR).-
Menjelang musyawarah daerah (Musda) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar, berbagai kalangan meminta MUI Jabar bisa lebih banyak berperan untuk menasihati pemerintah dan memberikan bimbingan kepada umat. MUI Jabar jangan menjadi "cap stempel" bagi kebijakan pemerintah hanya karena kedekatan dan mendapat anggaran dari pemerintah.

Pernyataan itu dikemukakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Prof. K.H. Pupuh Fathurrahman, Ketua PW Mathlaul Anwar (MA) Jabar Drs. H. Fadhil Syamsuddin, dan Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jabar, HR Maulany, S.H., Minggu (13/11). Seperti diketahui, mulai Selasa-Kamis (15-17/11), MUI Jabar menggelar musda untuk memilih pengurus periode 2005-2010 di Hotel Savoy Homann.

Menurut Pupuh Fathurrahman, ia memang tidak masuk ke MUI secara struktural karena berbagai alasan dan pertimbangan. "Saya rasa, keberadaan MUI masih dibutuhkan di tengah-tengah kehidupan, meski dengan berbagai syarat agar lebih terasa manfaatnya."

Dalam pandangannya, MUI harus bisa memberikan nasihat-nasihat kepada pemerintah dan DPRD Jabar, apalagi misi dan visi Jawa Barat dimulai dengan kalimat "Dengan iman dan takwa" atau relijius.

"Selama ini, MUI Jabar kurang dilibatkan atau melibatkan diri dalam penyusunan aturan seperti peraturan daerah (perda), padahal misi dan visi pemerintah bersifat relijius. Untuk itu, dalam membahas paperda apa pun, sebaiknya MUI juga ikut dilibatkan karena raperda menyangkut masyarakat banyak," kata Pupuh.

Fungsi MUI lainnya, lanjutnya, adalah memberikan petunjuk atau fatwa kepada umat ketika umat bingung. "Bukan malah sebaliknya, membingungkan masyarakat. Kalau MUI Jabar sebagai pelopor berdirinya MUI seluruh Indonesia dapat berperan seperti itu, maka kedudukannya bisa dipertahankan. Tapi, kalau sebatas, cap stempel, atau 'tukang doa' lebih baik tidak usah ada MUI," tegasnya.

Bawahan umara

Pupuh mengharapkan agar sembilan formatur, yang akan dihasilkan dalam musda untuk menyusun kepengurusan lengkap MUI, harus menampung potensi ormas-ormas Islam, golongan, dan cendekiawan Muslim. "Jangan sampai MUI identik dengan satu golongan karena umat Islam itu heterogen. Jangan pula MUI didominasi oleh satu golongan meski di dalamnya terdapat perwakilan berbagai golongan."

Fadhil Syamsuddin juga menyatakan, MUI Jabar masih dibutuhkan untuk merespon permasalahan keagamaan di masyarakat seperti isu penutupan tempat-tempat ibadah baru-baru ini. "Ulama juga bisa bergandeng tangan secara harmonis dengan umara atau pemerintah untuk memajukan masyarakat. Tapi, jangan sampai ulama menjadi bawahan umara," katanya.

MUI Jabar, menurut Fadhil, harus merepresentasikan semua kalangan baik ormas Islam, pesantren, cendekiawan Muslim, maupun kalangan muda. "Dari sembilan formatur sudah diambil dua untuk K.H. Totoh Abdul Fatah sebagai penasihat MUI Jabar dan ketua umum sekarang, K.H. Hafizh Utsman. Sisanya empat formatur rencananya untuk perwakilan wlayah yakni Purwakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon, dan satu untuk pesantren."

Sedangkan H.R. Maulany mengatakan, banyak hal yang bisa dilakukan MUI Jabar sehingga keberadaannya lebih bermanfaat dan menunjang pencapaian pembangunan Jawa Barat melalui "indeks pembangunan manusia (IPM) plus".

"Karena visi dan misi Jabar yang relijius, maka pencapaian IPM juga harus IPM plus yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan plus kesalehan sosial. Nah, MUI Jabar dapat menempatkan dirinya untuk mendorong pencapaian IPM plus tersebut," katanya. (A-71)***

No comments: