Saturday, June 02, 2007

Kebohongan Ahmadiyah dan Islam Liberal

Wednesday, May 30, 2007

Kebohongan Ahmadiyah dan Islam Liberal

KISDI: Hentikan Kebohongan Ahmadiyah dan Islam Liberal


Dengan dukungan aliran Jaringan Islam Liberal
(JIL),
kelompok Ahmadiyah semakin gencar menebarkan
kebohongan ke tengah masyarakat. Yang terakhir ini,
(25 Juli 2006), Ketua Pemuda Ahmadiyah, Abdul Musawir
(AM), diwawancarai oleh website JIL. Berikut ini
bukti-bukti kebohongan Ketua Pemuda Ahmadiyah
tersebut, beserta jawaban KISDI:

AM: "Ahmadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang
didirikan oleh Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau
mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan Almasih yang
dijanjikan, sebagaimana yang pernah dinubuatkan Nabi
Muhammad sendiri. Tapi berkaitan dengan semuanya, kami
meyakini beliau (Ghulam Ahmad) adalah nabi tanpa
syariat. Itu yang kebanyakan disalahartikan orang.
Beliau sendiri pernah menyatakan: "Saya bisa menjadi
nabi, justru karena mengikuti sunnah-sunnah Nabi
Muhammad. Saya tidak akan pernah bisa mencapai tingkat
keruhanian seperti ini kalau tidak mengikuti beliau
(Nabi Muhammad)." Beliau juga pernah bersabda: "Saya
tidak ada artinya dibandingkan Rasulullah. Bahkan,
saya lebih rendah dari debu sepatu beliau." Artinya,
beliau begitu mengagungkan Rasulullah. Sebab kalau
kita lihat ketinggian ruhani Nabi Muhammad, cukup aneh
kalau beliau tidak dapat mengantarkan pengikutnya
untuk mencapai tingkat keruhanian yang sama."

Jawaban: Dengan meneliti "wahyu-wahyu" versi Ghulam
Ahmad, terbukti bahwa dia nabi palsu. Masalah ini
sudah berpuluh tahun diteliti dan dibuktikan oleh para
cendekiawan dan ulama Islam. Akan tetapi, untuk
meyakinkan dan menakut-nakuti orang yang tidak percaya
kepadanya, Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu-wahyu
yang mengutuk orang-orang yang mengingkarinya.
Misalnya, pengakuannya, : "Dan dari sejumlah
ilham-ilham itu, ada diantaranya yang didalamnya
sejumlah ulama yang menentangku dinamakan Yahudi dan
Nasrani." (Mirza Ghulam Ahmad, Hamamat al-Bushra, hal.
19). Dan katanya, "Maka barangsiapa yang tidak percaya
pada wahyu yang diterima Imam yang dijanjikan (Ghulam
Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya,
dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia
mengutamakan keraguan atas keyakinan." (Mirza Ghulam
Ahmad, Mawahib al-Rahman, hal. 38). Ghulam Ahmad juga
mengaku, "dan termasuk diantara tanda-tanda (kebenaran
dakwahku) yang nampak dalam zaman ini ialah matinya
orang-orang yang menentangku dan menyakitiku serta
memusuhiku habis-habisan."

Jadi memang ada persamaan antara Ahmadiyah dengan
Islam, tetapi juga ada perbedaan yang fundamental.
Cendekiawan Muslim Pakistan, Dr. Moh. Iqbal pernah
ditanya oleh Jawaharlal Nehru mengapa kaum Muslimin
bersikap keras untuk memisahkan Ahmadiyah dari Islam?
Iqbal menjawab: "Ahmadiyah berkeinginan untuk
membentuk dari umat nabi Arabi (Muhammad saw) satu
ummat yang baru bagi nabi Hindi."

Pengakuan AM bahwa Ghulam Ahmad tidak ada artinya
dibandingkan Rasulullah saw, juga bertentangan dengan
ucapannya:
"Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku
Rasul-Nya,karena
sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin
Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatkan
manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama
mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku
Ishaq, aku Ismail, aku Ya'qub, aku Yusuf, aku Musa,
aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna
dari Nabi Muhammad saw, yakni aku adalah Muhammad dan
Ahmad sebagai refleksi (Haqiqatul Wahyi, h. 72).
(Majalah Sinar Islam (terbitan Ahmadiyah) edisi 1
Nopember 1985).

AM: Rukun Islam kami sama, lima. Rukun iman kami pun
sama, yakni enam, seperti yang dikatakan hadis, "An
tu'mina bilLâhi wa malâikatihî wa kutubihi..." dan
seterusnya. Alqur'an kami pun Qur'an yang 30 juz itu
juga, tidak lebih satu huruf pun dan tidak ditambah
satu apa pun. Salat kami pun juga 5 waktu. Kami juga
melakukan tahajud, puasa Ramadhan, dan ibadah lainnya.
Praktis, syariat kami tidak ada perbedaan. Kalau pun
ada bedanya, saya kira seperti perbedaan antara
mazhab-mazhab fikih Hanafi, Syafii, Maliki, dan
Hanbali.

Jawaban: Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad yang
dikutip sebelumnya menunjukkan, bahwa rukun iman
mereka bertambah, yakni wajib percaya kepada nabi
Mirza Ghulam Ahmad, dan sesatlah orang yang
mengingkarinya. Konsepsi kenabian menurut Ghulam Ahmad
juga berbeda dengan konsepsi Islam. Dalam Islam, tugas
utama para Nabi adalah menegakkan kalimah tauhid dan
menjauhi thaghut (QS 16:36). Tetapi, bagi Ghulam
Ahmad, tokoh-tokoh yang ajaran ketuhanannya
jelas-jelas bertentangan dengan Islam juga disebut
sebagai nabi. Krishna, yang dalam kepercayaan Hindu
disebut sebagai inkarnasi Dewa Wishnu, dikatakan oleh
Ghulam Ahmad sebagai nabi pilihan Tuhan (awatar).
Katanya, "He was the awatar of God i.e. His Prophet,
on whom descended the holy Ghost... he was the prophet
of that era." (Mirza Bashir Ahmad, Durr-i-Manthur,
hal. 40). Begitu juga Baba Nanak, tokoh agama di India
dan pendiri sekte Hindu Sikh, juga dikatakan oleh
Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kata dia, "Baba Nanak was a
righteous man, a chosen one of God." (ibid, hal. 41).

AM (tentang Kitab kumpulan wahyu Mirza Ghulam Ahmad):
"Bukan, itu bukan Alqur'an. Itu bukan kitab suci kami.
Posisinya hanya wahyu-wahyu. Itu memang wahyu dan
ilham yang beliau (Ghulam Ahmad) terima. Itu juga
bukan semacam fatwa yang menghakimi Alqur'an. Kita
juga tahu, Rasulullah pernah bersabda: "Aku tinggalkan
2 warisan, Alqur'an dan Sunnahku." Jadi buku itu
sifatnya hanya menjelaskan, dan statusnya agak mirip
hadis, tapi tidak sama persis juga. Itu hanya untuk
mengingatkan kita. Itu bukan kitab suci, sama sekali
bukan.

Jawaban: Seperti disebut sebelumnya, Mirza Ghulam
Ahmad sendiri menyatakan: "Maka barangsiapa yang tidak
percaya pada wahyu yang diterima Imam yang dijanjikan
(Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat,
sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian
jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas
keyakinan." (Mirza Ghulam Ahmad, Mawahib al-Rahman,
hal. 38).
Jadi, ketua pemuda Ahmadiyah itu sangat jelas
berbohong!

AM (menjawab pertanyaan JIL, Jadi tuduhan Ahmadiyah
eksklusif, punya syariat dan nabi berbeda itu tidak
benar?): Tepat sekali. Departemen Agama sudah pernah
memanggil kami ketika wacana ini mulai terangkat
kembali beberapa tahun lalu. Dan setelah dijelaskan,
mereka pun paham bahwa praktis tidak ada perbedaan.
Mengutip ungkapan Pak Dawam Rahardjo beberapa waktu
lalu, "Jangan-jangan perbedaannya hanya pada level
tafsir."

Jawaban: Balitbang Depag RI, tahun 1995 menerbitkan
hasil penelitiannya tentang Ahmadiyah, yang antara
lain menyimpulkan: "Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah
menerima wahyu, dengan dengan wahyu itu dia diangkat
sebagai Nabi, rasul, Almasih Mau'ud dan Imam Mahdi.
Ajaran dan faham yang dikembangkan oleh pengikut
jemaat Ahmadiyah Indonesia khususnya terdapat
penyimpangan dari ajaran Islam berdasarkan Al-Quran
dan al-Hadits yang menjadi keyakinan umat Islam
umumnya, antara lain tentang kenabian dan kerasulan
Mirza Ghulam Ahmad sesudah Rasulullah saw."
Rasyid Ridha, dalam Tafsir Almanar, Juz II,
menyatakan: "Mereka (Ahmadiyah) itu ada dua golongan.
Segolongan menyatakan (Mirza Ghulam Ahmad) al-Qadiyani
adalah pembaharu dan bukannya nabi. Mereka ini ialah
ahli bid'ah. Segolongan lagi menyatakan bahwa ia
adalah seorang (nabi) yang diberi wahyu oleh Allah.
Mereka ini adalah orang-orang kafir, murtad.

AM: "Kita bukan agen kolonialisme sama sekali, apalagi
beliau (Ghulan Ahmad) justru banyak mengeluarkan
buku-buku yang menjelaskan bahwa Nabi Isa itu sama
seperti nabi-nabi yang lain."
Jawaban: Di saat umat Islam sedang berjuang melawan
penjajah Inggris di India, Mirza Ghulam Ahmad membuat
pernyataan: "Bagi saya, rakyat India yang beragama
Islam tidak boleh memberontak atau mengangkat senjata
terhadap kerajaan yang mengadakan perbaikan ini (yaitu
kerajaan/penjajah Inggris) ... semua itu adalah haram
secara mutlak dan barangsiapa yang merencanakannya
maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
telah sesat senyata-nyatanya."

AM: "Soal pengkultusan, kita tetap menganggap manusia
yang tertinggi dan paling agung adalah Nabi Muhammad.
Itu juga yang selalu kami tekankan dalam khotbah kami.
Imam Mirza Ghulam Ahmad Alaihissalam sendiri selalu
merujukkan fatwa-fatwa beliau kepada hadis Nabi
Muhammad serta Alqur'an."

Jawaban: "Masalah mendasar yang dipersoalkan, adalah
apakah pantas Ghulam Ahmad diberi sebutan "alaihi
salam" sebagaimana para nabi dan rasul Allah lainnya."
Jelas, sudah terbukti, tidak layak.

AM: "Kami mengartikan Nabi Muhammad sebagai "nabi
pembawa syariat terakhir". Kita tidak punya ajaran
atau syariat yang spesifik. Ajaran Islam terakhir
semata-mata yang dibawa Nabi Muhammad. Hadzrat Mirza
Ghulam Ahmad Alaihissalam hanya menghidupkan kembali
syariat yang telah dibawa Nabi Muhammad. Beliau tetap
berada dalam koridor Islam."
Jawaban: "Hal yang pokok dalam Islam adalah masalah
aqidah. Jika dalam masalah aqidah sudah berbeda, maka
jelas sudah berbeda agama."

AM: "Karena itu, wahyu tidak mungkin berhenti. Nah,
itulah yang sering Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad
sampaikan. Soal penerimaan wahyu, kalau merujuk
Alqur'an, bahkan semut dan Ibunda Siti Maryam pun
menerima wahyu. Tapi agama yang terakhir hanya Islam.
Sementara istilah kenabian pada Hadzrat Mirza Ghulam
Ahmad adalah kenabian yang merupakan bayangan atau
dhill, pantulan dari kenabian Muhammad itu sendiri.
Jadi beliau itu nabi pantulan dari Nabi Muhammad pada
akhir zaman."

Jawaban: "Istilah wahyu untuk semut dan Siti Maryam
adalah wahyu dalam makna lughawi, bukan dalam makna
istilahi. Karena itu, meskipun menerima "wahyu", semut
tidak diberi julukan "alaihi salam". Soal bukti-bukti
kebohongan kenabian Ghulam Ahmad sudah dikaji dalam
ribuan lembar buku. Sepanjang sejarahnya, umat Islam
tidak pernah gentar untuk berdebat dengan Ahmadiyah
atau pendukung aliran-aliran sesat lainnya, seperti
Jaringan Islam Liberal. Bahkan, bukan hanya berdebat,
bermubahalah pun, banyak ulama Islam yang siap.
Wallahu a'lam.

Demikianlah jawaban KISDI terhadap kebohongan yang
ditebarkan oleh Ahmadiyah dan JIL. Sangat disesalkan,
di era imperialisme modern, seperti sekarang ini,
kerjasama wakil imperialis sekular Barat dengan
Ahmadiyah untuk menghancurkan Islam kembali terjadi,
sebagaimana di masa-masa awal perkembangan Ahmadiyah.

Jakarta, 20 Jumadilakhir 1426 H/27 Juli 2005

Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI)

Ttd

HM Aru Syeif Asad
(Ketua Humas)

Diambil dari http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg00576.html

8 comments:

Dildaar Ahmad Dartono said...

Jika orang Ahmadiyah tak boleh menggunakan simbol-simbol Islam dan tak boleh beramal sesuai ajaran Islam, maka logis muncul pertanyaan sebagai berikut:

1. Siapakah pemilik Islam? Bukan tah Allah yang Maha Kuasa pemiliknya?

2. Jika Allah pemilik Islam, dan hanya Dia, maka manusia hanyalah penerima amanat untuk melaksanakannya.

3. Jika manusia diberi amanat untuk menerapkan agama Islam sebagai ajaran terbaik yg difahaminya, maka adakah yg lebih berkuasa di atas Allah dengan menetapkan pelarangan mengamalkan ajaran terbaik itu?

4. Jika ada yg melarang pengamalan ajaran terbaik ini, berarti orang yg melarang tersebut memiliki kerancuan berpikir dan memiliki salah satu dari dua sikap berikut:

a. Tidak menghendaki org lain menjadi baik

b. Tidak mengakui kelebihan dan kehebatan ajaran Islam yg bisa membuat orang menjadi baik.

Dari sudut pandang ini maka, orang yg melarang warga Ahmadiyah menerapkan ajaran Islam, berarti orang tersebut melarang hal-hal berikut: warga Ahmadiyah tidak boleh mengamalkan tauhid Ilahi, tidak boleh membaca Al Quran suci, tidak boleh terakhlak mulia, tidak boleh menerapkan hukum-hukum Al Quran suci, tidak boleh mengirimkan Shalawat bagi yg Mulia Nabi Muhammad SHALLALLAAHU 'alaihi wasallam, tidak boleh santun, tidak boleh Shalat fardhu 5 waktu dan tidak boleh melakukan kebaikan-kebaikan lainnya yg diajarkan Islam. Maasyaa-aLLAAH. InnaaLILLAAHI wa innaa ILAIHI raaji'uun. Kami berlindung kepada Allah terhadap kerancuan berpikir seperti itu..

by Zafrullah Ahmad Pontoh

Dildaar Ahmad Dartono said...

MENJAWAB BERBAGAI TUDUHAN THEOLOGIS

اَشْهَدُ اَنْ لاَّ اِلهَ اِلّا الله وَاَشْهَدُ اَنّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ الله اَمّا بَعْدُ فَاَ عُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشّيْطَانِ الرّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرّحْمنِ الرّحِيْم

Yth. Bp. Pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Yth. Bp. Kepada Puslit Kemasyarakatan & Kebudayaan (PMB) – LIPI

Hadirin Hadirat peserta seminar yang saya muliakan.
Alhamdulillah, dengan karunia Nya semata-mata kita diberikan taufiq untuk bersama-sama dalam seminar ini. Shalawat dan Salam semoga di anugerahkan kepada yang Mulia Nabi Besar Muhammad Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dan para Sahabat (Radhiallahu ‘anhum). Terimakasih kami haturkan kepada Pimpinan LIPI dan Panitia yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk menyampaikan makalah kami dengan judul “Menjawab Berbagai Tuduhan Theologis”.

Jika kita menyimak literatur-literatur yang diterbitkan oleh pihak luar Ahmadiyah, literatur yang berisikan tuduhan, dapat kita klasifikasi menjadi dua bentuk. Bentuk pertama berupa tuduhan yang semata-mata opini dari pihak tertentu. Bentuk kedua berupa rekayasa dan pemutarbalikan pemahaman Ahmadiyah dengan cara mengutip literatur Ahmadiyah lalu memberi komentar sendiri dan dinisbahkan kepada Ahmadiyah. Tuduhan-tuduhan dan fitnah-fitnah tersebut telah dimulai sekitar seabad yang lalu dengan terus-menerus diulangi oleh generasi-generasi penentang dari masa-kemasa.


Pengulangan tuduhan-tuduhan tersebut disajikan kemasyarakat dalam berbagai tulisan dengan judul yang berbeda atau tata letak yang berbeda, atau juga demikian, yakni pada penerbitan pertama pengulangan mengutip sebagian tuduhan/fitnah yang belum dikutip sebelumnya sehingga nampak seolah ada ilmu baru yang muncul. Pengulangan dengan penambahan atau perubahan tata letak, judul dan materi, memberi kesempatan munculnya buku-buku terbitan baru, menciptakan pasar buku yang diharapkan laris di masyarakat.
Yang kami sayangkan ialah pemutarbalikan fakta dengan rekayasa arti, atau pun mengenyampingkan pemahaman yang semestinya disampaikan ke masyarakat itu dengan mengatasnamakan Islam, bahkan membawa nama Allah Yang Maha Qudduus. Padahal Islam sangat melarang penyebaran fitnah dan tuduhan palsu, apalagi dengan membawa nama Allah.

Dildaar Ahmad Dartono said...

Jawaban spesifik terhadap tuduhan dan fitnah tersebut telah diterbitkan baik dalam bentuk tulisan, maupun video dan CD. Bahkan dapat di akses melalui website http://www.alislam.org. Waktu yang singkat dan terbatas seperti ini tidak cukup untuk menjawab satu persatu tuduhan-tuduhan tersebut secara spesifik. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami memilih untuk menyampaikan penjelasan akidah Islam yang kami-Jemaat Ahmadiyah-yakini. Dengan penyampaian penjelasan ini, kami menyatakan bahwa pernyataan segelintir orang tentang Jemaat Ahmadiyah, yang tidak sesuai dengan penjelasan kami, atau provokasi yang dilontarkan pihak tertentu tentang Ahmadiyah adalah dusta belaka dan menjadi tanggung jawabnya di depan hukum dan terutama dihadapan Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Pemberi Balasan. Sejarah Ahmadiyah sedunia yang lebih dari 100 tahun, menjadi saksi tak terbantahkan atas nasib orang-orang yang memfitnah dan menimpakan keaniayaan terhadap orang-orang Ahmadiyah yang tidak berdosa. Penjelasan kami ini sekaligus merupakan harapan kami kepada masyarakat agar tidak terprovokasi oleh sekelompok orang yang akan membawa mereka kepada langkah yang dapat mengundang kemurkaan Allah, sebab Allah Taala berfirman :: “Sesungguhnya orang-orang yang memfitnah/menganiaya orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan lalu mereka tidak bertobat, niscaya bagi mereka ada adzab neraka jahanam dan bagi mereka ada adzab yang membakar.” (QS. Al-Buruj / 85 : 11).
Semoga Allah yang Maha Pengasih, melindungi umat Islam dan Bangsa Indonesia dari terpengaruh oleh provokasi yang hanya akan merugikan diri sendiri, aamiin.

*Disajikan pada Seminar Sehari dengan Tema “Kritik Atas Kebebasan Beragama di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) – LIPI, di ruang Seminar Lt. 1 gedung Widya Graha LIPI, Jl. Jendral Gatot Subroto, No. 10, Jaksel.

Dildaar Ahmad Dartono said...

Adapun penjelasan Aqidah Islam yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah, dapat kami uraikan satu demi satu Rukun Iman dan Rukun Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Suci Muhammad Rasulullah Shallallaaahu ‘alaihi wasallam yang penjelasannya kami kutip dari wejangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salaam dan para Khalifah beliau –Imam International Jemaat Ahmadiyah.

I. Rukun Iman
1. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya
3. Beriman kepada Kitab-kitab-Nya
4. Beriman kepada Rasul-rasul-Nya
5. Beriman kepada Hari Akhir
6. Beriman kepada Qadha & Qadar, baik dan buruknya.

II. Rukun Islam
1. Mengucapkan Dua Kalimah Syahadat
2. Melaksanakan/Menegakan Shalat
3. Berpuasa di bulan Ramadhan
4. Membayar Zakat
5. Menunaikan Ibadah Haji ke Baitullah (Mekkah).

Penjelasan :
I. Rukun Iman

I.1. Beriman kepada Allah
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. menjelaskan:
“Untuk mengikuti ajaranku seseksama-seksamanya dikehendaki, bahwa mereka harus berkeyakinan, bahwa mereka mempunyai satu Tuhan yang Qadir (Maha Kuasa), Qayyum (Yang Berdiri Sendiri) dan Khaaliqul Kul (Pencipta segala sesuatu yang ada), yang sifat-sifat-Nya tak kunjung berubah, serta kekal dan abadi. Ia tidak mempunyai anak. Ia Suci-Murni dari jejak penderitaan, dari dinaikkan ke tiang salib dan dari mengalami suatu kematian. Ia sedemikian rupa, bahwa meskipun dekat namun jauh. Walaupun Tunggal, tapi penjelmaan-Nya nampak dalam bermacam ragam corak. Manakala ada terjadi suatu perobahan di dalam diri seorang manusia, bagi orang itu Dia menjadi Tuhan yang baru, dan Dia memperlakukannya dengan penjelmaan-Nya yang baru. Orang itu melihat suatu perubahan di dalam wujud Tuhan menurut proporsi dari perubahan yang ada pada dirinya – tetapi, hal ini bukanlah seakan-akan terjadi suatu perobahan di dalam Wujud Tuhan, karena sesungguhnya Dia tidak akan sekali-kali mengalami perobahan, dan Wujud-Nya memang paripurna; tetapi dengan tiap-tiap perobahan yang berlaku di dalam diri manusia yang menjurus kearah kebaikan, Tuhan pun menjelmakan diri-Nya terhadap manusia itu di dalam bentuk penjelmaan baru. Dengan tiap-tiap usaha kemajuan pada diri manusia, Tuhan pun memperlihatkan diri-Nya dengan penjelmaan yang lebih agung lagi perkasa. Ia menampakkan sesuatu penjelmaan dari kodrat-Nya yang luar biasa, hanya apabila manusia memperlihatkan suatu perubahan di dalam dirinya secara luar biasa pula; inilah akar dan landasan dari keajaiban dan mu’jizat-mu’jizat yang dipersaksikan oleh sekalian hamba-hamba Allah. Beriman kepada Allah swt., serta kepada segala kekuatan-kekuatan itu, merupakan syarat yang penting bagi Jema’at kita. Resapkanlah keimanan ini ke dalam kalbumu. Berikanlah tempat yang utama kepada keimanan itu lebih daripada kepada urusan pribadi, kesenangan-kesenganmu dan segala hubungan-hubunganmu. Dengan perbuatan-perbuatan nyata disertai keberanian yang tak kenal menyerah, perlihatkanlah kesetiaan dengan sejujur-jujurnya.
Orang-orang lain di dunia ini, tidak menganggap Tuhan sebagai suatu Zat yang lebih penting dari harta benda mereka dan sanak saudara serta karib kerabat mereka. Akan tetapi kamu harus memberikan kepada-Nya tempat yang paling utama, agar supaya di Langit kamu dituliskan di dalam daftar Jema’at-Nya.” (Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, hal. 1-3, Penerbit Yayasan Wisma Damai, Bogor, 1993)

Dildaar Ahmad Dartono said...

I.2. Beriman kepada malaikat-malaikat-Nya

وَ اَعْتقَِدْ اَنّ لِلّهِ مَلَاءِكَةً مُقَرّبِيْنَ لِكُلِّ وَاحِدِ مِنْهُمْ مَقَامٌ مَعْلُوْمٌ
Dan aku berkeyakinan bahwa sesungguhnya Allah itu mempunyai malaikat-malaikat yang dekat, masing-masing dari mereka mempunyai kedudukan tertentu …. (Aainah Kamalaati Islaam, Hal. 384)

“Dari antara keberatan-keberatan yang diajukan ialah “Apa perlunya bagi Allah Ta’ala menggunakan malaikat-malaikat? Apakah kekuasaan Allah Ta’ala seperti pemerintahan manusia yang memerlukan pegawai dan memerlukan lasykar-lasykar sebagaimana manusia membutuhkannya?

Jawabannya ialah, hendaknya difahami bahwa Allah Ta’ala tidak memerlukan apapun, tidak memerlukan malaikat, tidak memerlukan matahari tidak bulan dan tidak bintang-bintang. Tapi Dia berkehendak agar qudrat-qudrat-Nya zahir melalui sesuatu sarana agar supaya dengan jalan demikian hikmah dan ilmu menyebar dikalangan manusia. Jika suatu sarana perantara tak ada, maka didunia ilmu tak mungkin ada Ilmu Hayat (Biologi), Ilmu Astronomi, Ilmu Alam (Fisika), Ilmu Kedokteran, Ilmu Botani.
Sarana-sarana inilah yang telah menumbuhkan ilmu pengetahuan, renungkan dan perhatikanlah oleh kalian jika kamu berkeberatan menerima pengkhidmatan para malaikat, maka keberatan seperti itulah yang mestinya muncul ketika memanfaatkan matahari, bulan, bintang-bintang, planet, benda-benda, unsur-unsur. Orang yang memiliki sedikit saja ma’rifat, iapun mengetahui bahwa setiap zarrah bekerja sesuai dengan iradah Allah Ta’ala dan setiap tetes air yang masuk kedalam tubuh kita, air itupun tidak akan berpengaruh baik atau buruk terhadap tubuh kita tanpa izin Allah. Jadi semua zarrah dan bintang-bintang dan lain-lain pada hakikatnya merupakan sejenis malaikat yang siang malam sibuk memberikan pengkhidmatan. Sebagian sibuk berkhidmat pada jasmani manusia, sebagian berkhidmat pada ruh. Dan Allah Yang Maha Bijaksana, jika demi untuk memelihara tubuh manusia berkehendak menggunakan banyak sekali sarana dan menciptakan berbagai macam pengaruh lahiriah agar dapat berpengaruh pada tubuh manusia dengan berbagai macam cara, Tuhan yang Tunggal dan tidak memiliki serikat itulah yang didalam pekerjaan-pekerjaan-Nya nampak kesatuan dan keharmonisan, Dia-pun menghendaki agar pemeliharaan rohani manusia pun sesuai dengan sistem dan cara demikian sebagaimana yang telah diterapkan pada pemeliharaan jasmani agar kedua sistem (Jasmani dan Rohani), secara zahiriah dan bathiniah, dan secara rohani dan jasmani melalui keseimbangan dan kesatuan itulah dapat menunjukkan adanya Wujud Maha Pencipta, Maha Tunggal dan Yang Maha Mengatur dan Ber-iradah.

Jadi inilah sebabnya pemeliharaan rohani manusia bahkan bagi pemeliharaan jasmani pun telah ditetapkan sarana-sarana berupa para malaikat. Namun sarana-sarana ini berada didalam kekuasaan Allah Ta’ala, dan laksana sebuah alat yang digerakkan oleh tangan suci-Nya, dan alat itu tidak memiliki iradah sendiri dan tidak memiliki kemampuan bergerak. Sebagaimana udara masuk kedalam tubuh kita atas perintah Allah Ta’ala dan atas perintah-Nya pula keluar dari tubuh kita, dan atas perintah-Nya pula memberikan pengaruh, maka demikian pula bentuk dan keadaan para malaikat sebagaimana firman-Nya:
   
Artinya: “Mereka melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka” (Q.S. At-Tahrim: 7)

Keberatan yang diajukan oleh Pandit Dianand berkenaan dengan sistem para malaikat, alangkah baiknya jika dia mendapatkan pengetahuan tentang sistem yang dijalankan oleh Allah Ta’ala pada jasmani dan rohani agar supaya bukannya dia mengajukan keberatan tapi justru ia mengakui kesempurnaan ajaran Al Qur’an bahwa betapa di dalam kitab suci ini terdapat gambaran yang benar dan tepat tentang hukum alam (Aina Kamalaati Islaam, catatan kaki halaman 85 -88).

Dildaar Ahmad Dartono said...

I.3. Beriman kepada kitab-kitab-Nya
Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan: “Al Qur’anul Karim adalah suatu Mu’jizat sedemikian rupa yang tidak ada bandingnya baik dimasa dahulu maupun dimasa yang akan datang. Mutiara karunia-karunia dan berkat-berkatnya terus menerus berlangsung dan setiap zaman terus menerus unggul dan cemerlang sebagaimana dimasa yang mulia Rasulullah saw.; selain itu hendaknya diingat juga hal ini bahwa kalam setiap orang bersesuaian dengan kemampuannya sebagaimana tingginya kemampuan; tekad dan maksud maka sederajat itu juga kalam yang diperolehnya. Jadi dalam hal wahyu Ilahi pun keadaan itulah yang nampak. Seorang yang menerima wahyu, setinggi apa kemampuannya maka sederajat itu juga kalam yang akan diperolehnya. Dikarenakan jangkauan kemampuan, kesanggupan dan tekad Yang Mulia Rasulullah saw. sangat luas, maka kalam yang beliau peroleh pun sederajat dengan itu, dimana tak akan ada orang lain yang akan lahir memiliki kemampuan dan kesanggupan demikian, sebab penda’waan beliau tidak hanya terbatas untuk waktu tertentu atau kaum tertentu, sebagaimana keadaan nabi-nabi sebelum beliau. Bahkan berkenaan dengan beliau, Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ ... اِنِّىْ رَسُوْلُ اللهِ اِلَيْكُمْ جمَِيْعًا dan وَ مَا اَرْسَلْنَاكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ
Seorang yang jangkauan pengutusan dan risalahnya demikian luasnya, maka siapakah yang akan dapat menandinginya. Jika sekarang ini ada orang yang mendapatkan ilham berupa ayat-ayat Al Qur’an maka menurut pendirian kami jangkauan ilham orang itu tidak akan seluas jangkauan ayat yang diterima oleh yang mulia Rasulullah Saw karena berbeda.” (Malfoozhaat jld. 3 hal. 57).

I.4. Beriman kepada Rasul-rasul-Nya.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan: “Aku senantiasa memandang dengan pandangan kekagum-kaguman kepada sang Nabi Arabi yang bernama Muhammad (ribuan salawat dan salam semoga terlimpah kepada beliau). Betapa tingginya martabat beliau ini, kita tidak dapat meng-agak-agak batas puncak ketinggian kedudukannya. Bukanlah pekerjaan manusia untuk menilai quwwat qudsiah-nya (daya pengqudusan), dengan sepenuh-penuhnya. Sungguh sayang, martabatnya yang luhur itu tidak dikenal manusia sebagaimana seharusnya dikenal. Tauhid yang telah lenyap dari muka bumi telah dibawa kembali untuk kedua kalinya oleh sang pahlawan itu, ia mencintai Tuhan dengan kecintaan yang sedalam-dalamnya. Dalam pada itu jiwanya larut selarut-larutnya di dalam memperlihatkan rasa kasih kepada sesama umat manusia. Oleh karena itu, Tuhan yang mengenal rahasia hati beliau melimpahkan kepadanya, keutamaan diatas para nabi seluruhnya dan diatas segala generasi masa lampau dan masa yang akan datang. Dia menggenapi segala hasrat yang dikandung hati beliau di dalam masa hidupnya. (Rukhani Khazaain, jilid 22; Hakikatul Wahyi hal. 118 – 119).

“Bila kita memperhatikan dengan pandangan yang adil, maka kita akan mengetahui bahwa dari seluruh mata rantai kenabian hanya seorang yang gagah berani, hidupnya penuh semangat dan paling dikasihi Tuhan, yaitu penghulu segala Nabi, kebanggaan para Rasul, mahkota seluruh Utusan Tuhan yang bernama Muhammad Musthafa saw. (Rukhani Khazaain, jilid 12; Sirajum Munir hal. 82).

Dildaar Ahmad Dartono said...

II. . RUKUN ISLAM
II.1. Dua Kalimah Syahadat
Sehubungan dengan Rukun Islam pertama, beliau ‘Alaihis-salaam bersabda, “Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Allah Swt.” (Malfoozhat, Vol. I. hal. 307, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

“Hamba yang lemah ini telah diutus ke dunia menyampaikan pesan Allah Swt untuk menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah Swt adalah yang dikemukakan oleh Al Qur’an dan Laa ilaaha illallaahu Muhammadur Rasuulullaah – tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad Utusan Allah – adalah pintu untuk memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfoozhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

II.2. Menegakkan Shalat
Sehubungan dengan Rukun Islam kedua, Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerangkan, “Apa yang dimaksud dengan Shalat? Ia merupakan suatu do’a khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak faham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah Subhaanahu wa Ta’alaa ke Maha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam do’a, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Saya sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Kerena faktor itulah kecintaan terhadap Allah Subhaanahu wa Ta’alaa menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tidak ada lagi.” (Malfoozhat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjauhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah swt datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi, kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah Swt.” (Malfoozhat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Dildaar Ahmad Dartono said...

II.3. Puasa Bulan Ramadhan
Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan: “Masalah ketiga, yang merupakan Rukun Islam adalah Puasa. Kebanyakan orang tidak mengetahui akan hakikat puasa sedikitpun. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, dia memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (pensucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah (kemampuan menerima kasyaf) pun bertambah. Maksud Allah swt. dalam hal itu adalah: kurangilah satu makanan jasmaniah dan tingkatkanlah makanan rohaniah. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berdzikir kepada Allah swt., sehingga ia memperoleh tabattul (surat Al-Muzammil, 73:9) dan inqithaa’ (memutuskan hubungan dengan urusan-urusan duniawi). Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah swt., bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah Swt., yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfoozhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

II.4. Membayar Zakat
Pendiri Jemaat Ahmadiyah menjelaskan: “Perintah Zakat berulang-ulang disebutkan dalam kitab suci Al Qur’an, sedang penjelasannya secara rinci terdapat dalam Hadits-hadits Rasululah saw.
Allah Ta’ala berfirman: “Ambillah dari orang-orang beriman (yang bernaung di bawah pemerintah Islam) sedekah/zakat, agar engkau (Muhammad saw.) akan dapat membersihkan (hati mereka) dan juga engkau akan dapat membersihkan (harta benda (zakat)) mereka dari campuran harta orang lain dan do’akanlah mereka.” (At-Taubah, 9:104).

Perhiasan yang disimpan tapi kadang-kadang dipakai, zakatnya dibayarkan juga hendaknya. Pakaian perhiasan yang dipakai dan kadang-kadang dipinjamkan kepada orang-orang miskin, maka menurut fatwa setengah ulama, tidak wajib zakatnya. Pakaian yang dipakai sendiri dan tidak dipinjamkan kepada orang lain, lebih baik dizakatkan karena dia dipakai untuk sendiri. Di rumah kami, inilah yang dilakukan dan tiap-tiap tahun kami mengeluarkan zakat perhiasan di rumah kami. Tapi, perhiasan dan uang yang disimpan wajib zakatnya. Tidak ada ikhtilaf (pertikaian pendapat).” (Majmu’ah Fatawa-e-Ahmadiyah, Jld. I, hal. 163; terjemahan Mln. Ahmad Nuruddin r.a.)