Saturday, June 02, 2007

Islam dan Radikalisme: Membela Demokrasi, Menggugat Neo Wahabi [1]

28 May, 2007

Islam dan Radikalisme: Membela Demokrasi, Menggugat Neo Wahabi [1]

OLEH : M. Najibur Rohman[2]

Akhir-akhir ini gerakan radikalisme Islam seperti mendapatkan tempat yang “sejuk” dalam percaturan wacana dan praksis keagamaan di Indonesia. Tumbangnya rezim orde baru menciptakan ruang bagi setiap kelompok keagamaan, dari yang konservatif hingga liberal, untuk “mencuat” ke wilayah publik dan “memengaruhi” massa. Ini tentu bisa dimengerti, reformasi –yang menjadi garis pemisah dengan otoriterisme orde baru selama 32 tahun– memberikan suatu tatanan kehidupan yang “bebas” bagi siapapun dan kelompok mana pun untuk melakukan perserikatan, berbicara dan berpendapat seperti yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945. Setiap orang juga dibebaskan untuk menjalankan segala keyakinannya (Pasal 29 ayat 2 UUD 1945) meskipun pada wilayah ini belum bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Gerakan radikalisme agama, tentu saja merupakan ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Bukan bermaksud apologis, tetapi kemudian, paham radikal menjelma menjadi pola-pola keyakinan dan aksi keagamaan yang tidak toleran, fanatik, dan cenderung menjustifikasi diri sebagai “yang terbenar” (claim of truth), “yang mendapatkan surga-Nya” (claim of salvation), dan sebagainya. Berangkat dari persoalan teologis kemudian berkembang menjadi wilayah sosio-politik yang penuh “gejolak”. Dalam wilayah politis misalnya, gerakan ini menjelma menjadi satu kekuatan besar yang tanpa disadari mampu mengambil “hati” masyarakat untuk menyetujui dan mendukung pandangan dan aksi-aksi mereka.
Bahkan terorisme sebagai aksi paling radikal sekalipun memiliki satu jejaring yang kuat sehingga tidak mudah untuk memutusnya. Di sinilah terdapat problem pelik mengenai Islam dan radikalisme. Pemahaman terhadap syari’at Islam[3] yang kaku menjadikan kelompok radikal senantiasa mencoba “menyingkirkan” siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinan dan ideologi radikal. Kasus peledakan bom di Bali tahun 2002, kedubes Australia, J.W Marriot, peledakan beberapa gereja, dan sebagainya membuktikan sebuah “semangat memperjuangkan” sesuatu yang diyakini sebagai “perintah Tuhan” tanpa mempedulikan apapun; lingkungan, sosial, efek baik buruknya, apalagi soal nyawa manusia. Seolah yang terpenting bagaimana berjihad (yang dimaknai al-qital) di Jalan Allah sehingga mendapatkan ridha-Nya.
Tidak hanya soal terorisme yang semakin menambah seram wajah Islam. Beberapa kasus kekerasan juga menimpa umat Islam sendiri (yang biasanya minoritas) seperti Ahmadiyah, Ustadz Yusman Roy yang dianggap “menyimpang” karena melakukan shalat dua bahasa, atau aksi kekerasan terhadap kelompok Lia Eden, dan aksi anarkis terhadap kelompok yang dianggap berbeda paham dan pandangan. Belum lagi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan ketika sweeping di tempat-tempat yang dianggap “maksiat”, “kotor”, dan tidak Islami.
Fenomena kekerasan yang ada di negeri ini semakin menampakkan kebenaran tesis Peter L. Berger yang dimuat dalam buku A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supranatural (1969). Bahwa dunia kita saat ini, kata Berger, bukan berjalan menuju tahap “sekularisasi tanpa iman” melainkan sebaliknya: melangkah menuju sakralisasi (istilah lain dari desekularisasi) yang penuh keimanan. Dunia bukan berjalan ke arah “rasionalisasi” yang mendeligitimasi segala bentuk firman-firman Tuhan, akan tetapi justru berada dalam fase spiritualisasi yang bertaburan wahyu, kitab suci, dan kalam Tuhan.[4]

Neo-Wahabi, spirit radikalisme
Secara umum, gerakan pembaruan (baca: purifikasi) yang menjadi “spirit” bagi kebangkitan radikalisme Islam sebenarnya sudah tercium di permulaan abad ke-20. Gerakan yang paling berpengaruh dilakukan oleh bani Wahhabian di Arab. Gerakan ini, seperti yang dicita-citakan oleh pemimpin mereka yakni Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab[5] (1703-1792), ingin menyegarkan Islam dengan menyapu bersih praktik-praktik korupsi, penyimpangan dan dosa.
Gerakan ini ditujukan untuk melakukan “sweeping” di daerah yang sudah kambuh dan jatuh ke dalam praktik-praktik yang dianggap mereka sebagai praktik kafir dan takhayul. Dalam persoalan ini, Wahabi mengidentifikasi aturan sufi dan Islam sah sebagai pelaku kejahatan utama.[6] Bahkan Muhammad Abdul Wahhab menganggap Sultan (wabil khusus Utsmani) yang tidak selaras dengan arah pemikirannya, sebagai kategori orang yang ingkar dan layak untuk dibunuh. Menurut Karen Armstrong, kerasnya sikap ini sangatlah wajar karena sebagai pembaharu lokal, Muhammad Ibn Abdul Wahhab ingin berusaha menbangun daerah kantong dengan kepercayaan murni berdasarkan pada pandangannya mengenai umat di abad ke-17.[7]
Gerakan Wahabi meraih kesuksesan luar biasa di Arab pada tahun 1924 setelah melalui “kongkalikong” dengan Abdul Aziz Ibnu Sa’ud. Ideologi dan aksi mereka menjadi mayoritas di Saudi Arabia yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Ustmani sejak 1813 di bawah komando Sultan Mahmud II. Sebagai pusat peradaban Islam, penguasaan atas Saudi Arabia tentu merupakan “berkah” karena dengan demikian akan memudahkan “mendoktrin” ideologi Wahabi kepada umat Islam di seluruh dunia melalui muslim yang menuntut ilmu ke Mekah atau yang melakukan ibadah haji.
Tiga orang nusantara yang tercatat sebagai membawa paham Wahabi ke tanah air adalah Haji Miskin dari Luhak Agam, Haji Piobang dari Luhak Lima Puluh Kota, dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar. Ketiga tokoh ini adalah tokoh kaum Padri di Minangkabau yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1803.[8]
Sebagaimana yang dilakukan para pengikut Wahabi, terutama di Saudi Arabia, di Minangkabau gerakan pembaruan yang dilakukan juga melalui cara yang ekstrim dan radikal. Berbagai aktivitas yang dipandang berbau bid’ah, khurafat, dan sesuatu yang tidak selaras dengan ajaran Islam yang ada dalam nash, semua hendak “disikat” habis. Ziarah kubur, sabung ayam, dan perjudian acap menjadi lontaran kritik dan penyerangan pengikut Wahabi. Tidak hanya itu, selain memerangi pria-pria pemakai emas dan pemadat tembakau, surau-surau yang mengembangkan tarekat juga menjadi sasaran bahkan mereka mengecam pemberian penghargaan berlebih kepada para syekh.[9]
Menyikapi paham Wahabi ini, Nur Khalik Ridwan melihat ada generalisasi yang dapat ditarik atas ideologi dan aksi keagamaan mereka. Menurutnya nampak jelas keinginan Wahabi untuk mendasarkan umat Islam secara penuh kepada tekstualitas al-Qur’an dan hadist serta melawan pluralitas yang distigma bid’ah. Ide-ide dasar inilah yang dikembangkan baik oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang sangat memengaruhi gerakan Wahabi. [10]
Dengan paham yang “eksklusif”, tentu saja Wahabi merupakan ancaman. Di dalam sejarah gerakan Wahabi di Indonesia, yang dibawa oleh tiga tokoh di atas, mendapat perlawanan dari masyarakat Minangkabau sendiri. Kaum adat di Minangkabau yang dalam persentase besar waktu itu beraliran syi’ah, melakukan “gugatan” atas gerakan Wahabi. Namun karena rumusan dialog tidak pernah ada, ketegangan antara kaum Padri dan Adat berbuntut panjang hingga akhirnya meletus perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau yang menelan korban cukup banyak.[11]
Pasca perang paderi, Wahabi menjadi kekuatan keagamaan yang cukup diperhitungkan di nusantara. Mereka mengelompokkan diri menjadi organisasi-organisasi yang puritan dan ingin melakukan “purifikasi” secara total terhadap masyarakat. Di berbagai daerah, Wahabi selalu tampil penuh konflik. Misalnya saja di Cirebon dan Tasikmalaya yang konon juga berseteru dengan tarekat yang disebut sebagai tarekat Tijaniyah karena dianggap “membahayakan”.[12]
Dalam uraian yang diberikan Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1996), Serikat Islam dan Muhammadiyah merupakan gerbang masuk Wahabian. Ibnu Saud sebagai penguasa Saudi Arabia pernah mengundang perwakilan umat Islam di Indonesia untuk datang. Rencana ini dibicarakan dalam kongres al-Islam ke-4 di Yogyakarta tanggal 21-27 Agustus 1925 dan di kongres ke-5 yang diselenggarakan di Bandung tanggal 6 Februari 1926. Tetapi sebelum pertemuan kedua digelar, organisasi pembaharu melakukan konsolidasi di Cianjur, Jawa Barat tanggal 8-10 Januari 1926 yang salah satunya memutuskan Tjokroaminoto (SI) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah) sebagai perwakilan pergi ke Mekkah. Tetapi kemudian gelagat ini diketahui oleh KH Abdul Wahab sebagai kalangan tradisional sehingga memutuskan keluar dari kelompok ini dan bersama kiai-kiai yang lain mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926.[13]
Dari eksplorasi di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa gerakan Islam bertumpu dalam dua arus besar. Pertama, gerakan salaf. Yakni gerakan yang berusaha keras melakukan pemurnian ajaran Islam dengan merujuk hanya pada al-Qur’an dan al-Hadist. Gerakan ini melakukan pola-pola radikal dalam upaya melakukan perombakan total pada semua lini kehidupan masyarakat yang sudah terlanjur mengakar dalam keseharian dan sulit diubah. Gerakan Wahabi masuk dalam kategori ini.
Kedua adalah gerakan refomasi yang sifatnya tidak ingin mengadakan perombakan total seperti halnya Wahabi, melainkan melakukan terhadap kondisi yang perlu dirombak. Ada proses filterisasi dalam kelompok ini. Gerakan ini dapat disebut juga dengan gerakan modernis Islam yang menghendaki perombakan cara hidup umat Islam yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.[14] Sikap moderat inilah yang awalnya ditonjolkan oleh Nahdlatul Ulama yang mengembangkan pemikiran dan aksi “toleran” terhadap tradisi. Karenanya, tahlilan, ziarah kubur ke makam wali, membaca doa dengan dalail khairat, dan sebagainya menjadi sesuatu yang “tidak haram” dan tetap “Islami”.
Pun demikian, dengan berbagai fenomena yang ada saat ini, gerakan radikalisme Islam tidak dapat kita tolak dan kesampingkan secara kesejarahan. Fenomena Wahabi di nusantara sebenarnya menjadi pengantar yang cukup “menjanjikan” untuk masuk dalam ideologi dan aksi-aksi radikal di Indonesia saat ini. Bagaimanapun Wahabi yang nampak “melegalkan” doktrin kekerasan menjadi fenomena tersendiri karena di dalam agama pun berpotensi demikian. Maka dengan karakter yang sama, neo-Wahabi muncul di Indonesia dalam suasana yang berbeda.
Secara ringkas Muqsith Gazali –dengan melihat berbagai fenomena kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini– melihat telah ada upaya-upaya Wahabisasi Islam Indonesia. Muqsith memberikan beberapa indikator mengenai kebangkitan neo Wahabi ini. Pertama, mereka selalu mempersoalkan Pancasila dan UUD 1945 karena dianggap bukan sebagai ijtihad Tuhan, melainkan ijtihad manusia. Kedua, adanya ciri penolakan terhadap sistem demokrasi yang dianggap sekuler. Ketiga, perjuangan legalisasi syari’at Islam yang lebih bersifat partikular. Dan keempat, penyangkalan terhadap tradisi atau adat.[15]
Kehadiran neo Wahabi di tengan bangsa yang “tercetak” dengan pluralitas, baik suku, agama, ras, dan budaya, memunculkan sebuah pertanyaan besar: mungkinkah Islam sebagai mayoritas dapat memaksakan diri untuk diikuti oleh semua golongan? Apakah dengan mengimplementasikan ajaran Islam yang –dipahami secara kaku dan statis dapat menciptakan pola dan tatanan masyarakat yang Islami, adil dan sejahtera? Tidak ada jaminan, apalagi plakat gerakan (neo) Wahabi adalah radikalisme, yang tentu saja tidak dapat dibenarkan.

Radikalisme dan paceklik demokrasi
Sebagai sebuah paham, radikalisme menjadi sisi yang tidak dapat dipisahkan dari wacana dan gerakan fundamentalisme Islam. Dalam tradisi Islam, baik istilah fundamentalisme maupun radikalisme, tidak cukup dikenal karena merupakan produk “impor” (dari Barat). Fundamentalisme sebagai sebuah istilah dalam konteks sosiologis memiliki cakupan yang cukup luas sehingga bisa diterapkan pada kondisi lain yang mempunyai kecenderungan dan pola tertentu. Tokoh seperti Gilles Kepel secara jelas menggunakan istilah “ekstrimisme Islam”, kemudian Emmanuel Sivan secara gamblang memakai “Islam radikal” dan yang lain menggunakan istilah-istilah seperti “integrisme”, “revivalisme”, atau “Islamisme”. Tetapi yang pasti istilah-istilah itu merujuk untuk suatu fenomena kebangkitan Islam atau paling tidak “intensifikasi Islam” dalam wajah yang baru.[16]
Tentang radikalisme Islam, Youssef M. Choueiri memberikan pemaparan yang cukup menarik:
“Radikalisme Islam merupakan sebuah gerakan politik kultural yang mengusung teori yang mempertentangkan secara kualitatif antara peradaban Barat dan agama Islam. Penekanannya terhadap Islam sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif dan transenden membuat mereka menanggap bahwa semua sistem dan nilai-nilai selain Islam adalah salah, dan mereka menyerukan penegakan kembali seperangkat kepercayaan normatif yang belum ternodai oleh perubahan sejarah”.[17]

Itu berarti radikalisme Islam berawal dari keinginan mereka untuk mengembalikan kepada “Islam” yang tidak Barat –sebagai pemegang kunci peradaban saat ini. Fenomena ini sekaligus mengantarkan satu keunikan tentang berbagai macam corak dan cara kerja dari gerakan radikalisme itu sendiri.
Sementara itu, dalam buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Mitsuo Nakamura memakai kata radikal untuk merujuk pada keberanian NU secara politis sebagai ormas keagamaan terbesar di negeri ini dalam melakukan kritik yang luas, terbuka dan mendasar pada status quo Soeharto. Lebih lanjut, Nakamura tidak menempelkan kata “radikal” dari segi keagamaan, karena menilai NU di masa orba masih tetap konstan dalam keagamaan. Yang telah berubah hanyalah ekspresinya dalam kancah politik sebagai respons terhadap perkembangan-perkembangan politik nasional pada waktu itu.[18]
Penggunaan term radikalisme untuk penulisan ini tentu saja dalam konteks sosial keagamaan. Artinya, langkah-langkah radikal dan anarkis yang dilakukan oleh beberapa kelompok keagamaan atau “kondisi” yang dianggap tidak sesuai dengan “syari’at Tuhan”. Bassam Tibi menunjuk gerakan radikalisme keagamaan modern muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas sistem yang telah ada. Negara-bangsa dianggap tidak mampu menciptakan kondisi politik yang demokratis, penyebab terjadinya krisis ekonomi, dan ketimpangan sosial yang membangkitkan frustasi masyarakat. Sehingga untuk keluar dari krisis itu, harus ada upaya delegitimasi negara-bangsa untuk menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi sekuler dengan tatanan yang sesuai dengan ajaran Islam.[19]
Bahkan dengan lebih tegas Bruce B. Lawerence mengungkapkan kekerasan yang terjadi di dalam dunia Islam –yang mendominasi Dunia Ketiga– sebagai akibat kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Tiga gerakan Islam yang berskala luas – revivalisme, reformisme, dan fundamentalisme– merupakan pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam.[20]
Namun, kebangkitan radikalisme Islam bukan persoalan mutlak dari relasi Islam dan dunia Barat yang senjang. Yusuf Qardlawi menguraikan bahwa gerakan radikalisme Islam harus dilihat dari berbagai penyebab yang berbeda; adakalanya murni dari agama, politik, sosial, ekonomi, kejawen, dan pemikiran. Tetapi Qardlawi memaparkan faktor munculnya gerakan radikal (ghuluw) dalam beragama dalam enam factor penting. Pertama, kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas ruh agama Islam. Kedua, kurangnya pemahaman dengan realitas yang ada, sejarah dan hukum-hukum kauniyah. Ketiga, hilangnya Islam dalam bumi yang mayoritas dihuni umat Islam. Keempat, serangan yang terang-terangan dan tersembunyi dari segala penjuru terhadap Islam dan umatnya. Kelima, tidak adanya ruang yang membawa Islam secara utuh, sehingga perlu diciptakan ruang baru. Dan keenam, penggunaan cara kekerasan dan tindakan sadis dari pemerintah terhadap rakyat.[21]
Apa yang dipaparkan oleh Qardlawi tentu dapat kita maknai sebagai asumsi awal dari radikalisme Islam yang bisa berawal dari konteks apapun. Ini sekaligus membuktikan kelahiran gerakan neo Wahabi dalam dunia modern. Bukan saja persoalan anarkisme dan kebrutalan dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman, melainkan sebagai bentuk kritik terhadap berbagai relasi kuasa yang ada; antara Islam dan Barat, pemerintah dan rakyat, muslim dan non muslim, dan sebagainya.
Memang, diakui atau tidak, demokrasi bukanlah segala-galanya. Secara empiris, demokrasi –paling tidak yang tampak nyata di negeri kita– hanya melahirkan sebuah tatanan baru yang “menindas” karena anarkisme mayoritas. Tetap saja kesenjangan antara kelas atas dan bawah tidak mampu diminimalisir. Para wakil rakyat yang menjadi bagian dari ajang demokrasi ternyata tidak mampu memberikan kenyamanan dalam kehidupan bernegara, khususnya kepada masyarakat yang memilihnya (konstituen). Sehingga lahirnya beberapa usulan untuk kembali kepada syari’at Islam mencuat akhir-akhir ini. Beberapa daerah telah menerapkan perda berbasis syari’at Islam dan di Nanggroe Aceh Darussalam telah diberikan otonomi khusus perihal pelaksanaan syari’at Islam di daerahnya.
Apakah fenomena ingin kembalinya ke “pangkuan Tuhan” ini sebagai sebuah kemunduran dalam kehidupan demokrasi? Atau apakah ini telah sesuai demokrasi karena masyarakat di NAD misalnya, memang menginginkan diri mereka (yang mayoritas muslim) diatur dalam hukum Islam? Sebelum pembahasan itu ada baiknya mengurai bagaimana demokrasi telah menjadi mimpi buruk bagi sebagian negara karena membuka kran “kolonialisme gaya baru” di negeri ini.
Dalam sebuah tulisannya berjudul Jihad vs Mc World, Benyamin R. Barber menguraikan bahwa dunia ini sedang dalam kondisi kritis dalam menyejahterakan umat secara menyeluruh karena dua hal, yakni Jihad yang kemudian disandarkan kepada muslim dan Mc. World sebagai simbol bagi kekuasaan baru yang lintas negara dan bangsa. Meskipun Jihad dan Mc World beroperasi dengan kekuatan setara dalam arah yang berlawanan, namun keduanya tertarik oleh benang merah ketidakacuhan terhadap kebebasan sipil. Yang satu didorong oleh kebencian sempit, yang lain oleh pasar universal.[22]
Kebebasan pasar telah mendorong sebagian orang tidak mempercayai sistem demokrasi karena ternyata terkalahkan oleh kekuatan modal atau pasar. Masyarakat sendiri telah terpecah dalam memandang sebuah sistem baru itu karena dianggap menelantarkan umat dan membiarkannya dalam “kesenjangan”. Usaha-usaha yang dilakukan dengan terorisme dan menawarkan sebuah khilafah baru yang diambil berdasarkan sejarah Nabi saw di Madinah membuat mereka melakukan perjuangan karena dianggap sebagai sistem yang terbaik dalam kekacauan yang terjadi.
Orang-orang konservatif di bidang agama sendiri memang berharap, dan banyak orang liberal khawatir; jangan-jangan kemunduran moral dapat dipecahkan dengan kembali sepenuhnya pada ajaran agama yang ketat, sejenis versi Barat dari Ayatollah Khomeini yang kembali ke Iran dengan pesawat jet. Ini bisa saja terjadi, namun Francis Fukuyama kemudian memiliki pandangan baik terhadap perubahan yang terjadi. Bahwa gerakan kembali ke dalam keberagamaan mungkin sekali akan mengambil bentuk lebih lunak dan terpisah-pisah; dalam hal ini keyakinan agama tidak berperan sebagai dogma melainkan lebih berupa norma-norma yang dianut masyarakat dan keinginan untuk hidup tertib dan aman.[23]
Paceklik demokrasi mengakibatkan masyarakat dengan cepat mengambil “ketransedenan” yang membuat mereka survive, “fly”, nyaman, dan sebagainya, terlebih di tengah kehidupan yang hedon, glamour, sekaligus penuh kesenjangan dan diskriminatif.
Maka di sinilah radikalisme itu muncul dalam berbagai ruang seperti yang disinyalir oleh Yusuf Qardlawi. Pertama, pada tingkat doktrin sendiri, agama dan sistem kepercayaan lainnya memiliki potensi untuk memunculkan “fundamentalisme”, “radikalisme”, dan “vandalisme”. Doktrin tentang jihad di dalam Islam memberikan potensi yang cukup besar untuk meningkatkan semangat memperjuangkan “kehendak Tuhan” dengan cara-cara keras. Belum lagi soal konsep seperti kafir, murtad, ahl kitab dan sebagainya yang seringkali dijadikan alasan untuk mengambil “jarak jauh” dengan kelompok lain.[24] Bahkan realitas sejarah juga menunjukkan Islam yang berkonflik baik dengan internal maupun agama lain yang juga berpotensi melakukan kekerasan.[25]
Kedua, agama dan sistem kepercayaan lain ditandai dengan munculnya “kekerasan spiritual” yang kemudian diekspresikan dalam “kekerasan sosial”. Janji kebebasan modern dan pluralisme ternyata tidak dipenuhi sehingga memunculkan kabut keraguan, kekaburan dan ambiguitas. Jalan keluar yang akhirnya ditempuh adalah dengan lari dan kebebasan (escape from freedom) unntuk memasuki dunia “pasti” yang menentramkan hati, atau janji akan kesenangan eskatologis, surgawi. Hal inilah yang mendorong tumbuhnya sekte-sekte keagamaan eksklusif yang sebenarnya “lari” dari kegemerlapan dunia penuh ambiguitas dan keraguan.
Ketiga, radikalisme saat ini muncul sebagai akibat tantangan yang diberikan oleh Barat yang sekuler yang dianggap mengancam umat Islam, baik dari sisi politik, budaya maupun ekonomi. Barat selalu dianggap kafir yang ingin menghancurkan Islam sehingga tidak ada jalan lain untuk izzul Islam wal muslimin kecuali dengan melawan Barat.[26] Di sinilah biasanya terjadi kekerasan atas simbol Barat seperti pengeboman Sari Club di Bali, J.W. Marriot, kedubes Australia, Mc Donald, atau apa saja yang dianggap “kafir” dan “menyesatkan”.
Tetapi yang menjadi kritik di sini; radikalisme Islam atau kelompok fundamentalis lain benci kepada Barat pada sisi konsep dan pemikiran, tetapi tidak pada kemodernan yang dihasilkan seperti teknologi dan sebagainya. Yang ditolak adalah paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme karena dianggap tidak sesuai “Islam”, tetapi untuk teknologi (seperti HP, motor, dsb.) tidak ditolak. Sehingga kekerasan yang umumnya terjadi lebih diakibatkan “pemahaman”. Seperti halnya bagaimana kekerasan pada tempat-tempat yang dianggap “maksiat” dan juga kasus “pengusiran” Gus Dur di Purwakarta oleh sekelompok umat Islam “garis keras” seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FUI (Forum Umat Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan FPI (Front Pembela Islam).
Kelompok-kelompok seperti HTI, FUI, MMI, dan FPI itulah yang saat ini sedang gencar melakukan gerakan “purifikasi” seperti yang dilakukan oleh Wahabi. Aksi-aksi “menyesatkan” sebisa mungkin harus diberangus seperti yang tampak ketika protes terhadap grup musik Dewa 19 karena logo album Laskar Cinta, Inul Daratista atau penyanyi lain yang dianggap “mesum”, dan dukungan kelompok umat Islam itu terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).
Dalam konteks politik sendiri, ketika fundamentalisme “diterjemahkan”, maka yang terjadi adalah sebuah radikalisme atau revolusi untuk mereformasi masyarakat.[27] Wilayah politik ini juga berkembang cukup pesat di negeri ini. Langkah neo Wahabi untuk “mengajak” kekuasaan bersanding seperti di Arab Saudi ketika Ibn Saud. Penerbitan perda-perda anti maksiat, perda berbau syari’at Islam dan dalam skala nasional adalah ajakan untuk memformalisasikan syari’at Islam menunjukkan gerakan neo Wahabi telah bangkit.
Menurut R. William Liddle (1999), gerakan-gerakan ini muncul karena tiga sebab khususnya pasca orde baru. Pertama, ajaran-ajaran kaum skripturalis lebih mudah diterima oleh kebanyakan kaum muslim di Indonesia. Kedua, kemungkinan aliansi politik antara kaum skripturalis dengan kelompok sosial lain yang berkembang dan ketiga, disebabkan oleh keinginan dari para elit politik untuk membangun basis massa.[28]
Hal lain yang bisa dilihat adalah ghirah mendirikan partai politik pasca orde baru yang berbasis agama. Th Sumartana melihat menjamurnya partai politik berbasis Islam ini dari beberapa sebab (terutama di pemilu 1999 dan 2004). Pertama, karena agama itu sendiri memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita berdasarkan gagasan-gagasan keagamaan yang dipercayai. Kedua, karena ikatan politik dan para warganya menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk mendukung pemimpin dari kelompok agama tersebut. Ketiga, karena umat agama tersebut merasa lebih nyaman dengan pemimpin politik yang lahir komunitasnya sendiri dan tidak percaya manakala politik dikuasai oleh golongan agama lain.[29]
Pun demikian, gerakan radikalisme dan spirit (neo) Wahabi telah merasuk sedemikian kuat dalam masyarakat Indonesia. Neo Wahabi saat ini menjadi sebuah “jejaring” yang kuat untuk melakukan transformasi sosial sesuai “kehendak Tuhan”. Lihatlah dalam beberapa fenomena, seperti keharusan berjilbab, bisa baca al-Qur’an bagi seorang pemimpin, penyerangan atas kelompok lain dan sebagainya, sepertinya menjadi “trend” dan demokrasi kita sendiri pun dalam masa “paceklik”.

Memotong simpul radikalisme neo-Wahabi:
Dalam buku Agama Borjuis (2004), Nur Khalik Ridwan mengidentifikasi gerakan purifikasi Islam melalui dua pengaruh besar, pertama adalah gerakan Wahabi sendiri dan yang kedua adalah pemikiran Muhammad Abduh-Rasyid Ridha. Selanjutnya, Kang Kelik –panggilan Nur Khalik Ridwan– mengeneralisir para penganut purifikasi dalam satu arus besar sebagai orang-orang yang bernalar Islam murni. Ideologi Islam murni sendiri dipetakan dalam tiga tingkat: cara berpikir, gagasan dasar dan metamorfosisis dari gagasan itu.[30]
Cara berpikir dan gagasan dasar dari Islam murni bisa dipastikan berada dalam ranah “wacana”. Tetapi kemudian matamorfosa dari Islam murni yang berada dalam ranah gerakan tentu saja perlu kita cermati. Kalangan pesantren misalnya, merupakan faktor penting untuk “dijaga” dari pengaruh ideologi Wahabi yang radikal. Karena itu berbagai upaya mesti dilakukan untuk menyelamatkan generasi muda dari pengaruh paham radikalisme keagamaan. Ini menjadi mendesak dilakukan karena negeri ini masih di bawah bayang-bayang radikalisme keagamaan.
Kita juga harus belajar dari apa yang pernah diungkapkan oleh Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS. Kimball yang mengatakan bahwa ada lima indikator besar agama bisa menjadi bencana. Pertama, bila agama mengedepankan klaim kebenaran secara mutlak dan tidak menyisakan sedikitpun ruang kebenaran kepada kelompok agama lain. Kedua, ketaatan buta kepada seorang pemimpin agama yang dianggap memiliki otoritas. Ketaatan ini akan menimbulkan bahaya seperti tragedi gerakan People Temple yang dipimpin Jim Jones di Guyana, Aum Shinkriyo di bawah Asahara Shoko di Jepang, gerakan David Koresh di Texas AS dan beberapa waktu lalu tragedi “Sekte Pondok Nabi” yang melakukan bunuh diri massal.
Ketiga, pemeluk agama yang selalu merindukan zaman ideal yang pernah ada di masa lalu dan bertekad merealisasikan di jaman sekarang. Di tingkat politik zaman ideal ini disimbolisasi dengan cita-cita memperjuangkan negara teokrasi, yaitu mendorong perjuangan negara agama. Keempat, apabila agama membiarkan terjadinya tujuan yang menghalalkan segala cara. Dan kelima, bila perang suci atas nama agama dipekikkan.[31]
Apa yang diuraikan oleh Charles Kimball tentu saja merupakan refleksi panjang atas berbagai fenomena yang hadir dalam pola keberagamaan. Sikap “kurang ramah” terhadap komunitas lain ini menjadi satu kisah pilu karena acap menjadi dorongan melakukan anarkisme keagamaan. Dan secara teologis, kelompok radikal ini sering mengklaim diri sebagai “yang terbenar”, pejuang Tuhan, dan jihad.
Karena itulah perlu dilakukan kritik atas berbagai dasar pemikiran gerakan Islam radikal untuk selanjutnya melakukan “penyembuhan” atas berbagai ekses yang ditimbulkan sebagai akibat pemahaman keagamaan yang sempit.
Pertama[32], meneguhkan kembali Pancasila dan semangat nasionalisme kebangsaan. Di dalam sila-silanya, Pancasila telah mencerminkan diri sebagai nilai universal yang lintas simbol, agama, suku, etnis, golongan dan sebagainya. Keberbedaan sangat diakui dan dihargai di dalam dasar negara kita. Karena itu, kekuatan Pancasila –meskipun cenderung tidak disukai di masa orba karena digunakan sebagai alat hegemoni– mestilah diteguhkan kembali sebagai dasar negara yang abadi dan kokoh yang menyatukan seluruh masyarakat Indonesia dalam satu wadah bersama: Indonesia.
Untuk menjaga identitas Pancasila memang tidak mudah, terlebih lagi demokrasi kita –dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla- adalah seolah-olah. Tetapi tentu saja itu bukan alasan bagi siapapun untuk mengganti dasar negara, apalagi sesuai syari’at Islam seperti yang diperjuangkan oleh MMI[33] (Majelis Mujahidin Indonesia) dan HTI[34] (Hizbut Tahrir Indonesia). Karena justru dengan reaksi-reaksi keras yang dilakukan oleh neo Wahabi akan menghadirkan problem baru yang rusuh dan penuh konflik sehingga NKRI terancam bubar.
Kedua, dalam konteks agama, harus dipisahkan antara ruang akidah dan muamalah. Ini penting untuk dilakukan karena seringkali kedua ruang tersebut dicampuradukkan sehingga menjadikan umat Islam terjebak pada penilaian hitam-putih atau salah-benar terhadap apa yang diyakininya. Untuk menancapkan penalaran semacam ini maka diperlukan faktor-faktor pendukung seperti aspek pendidikan, pelatihan-pelatihan dan advokasi kepada masyarakat.
Dalam konteks ini, menjadi penting untuk menanamkan keberbedaan. Bukankah Rasulullah sendiri telah bersabda “ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan umatku adalah rahmat)? Nasr Hamd Abu Zayd menyebut peradaban Islam adalah “peradaban teks” sehingga sangat membuka peluang terjadinya multitafsir. Karena itulah, tidak ada yang berhak mengklaim tafsirnya paling benar dan mengesampingkan tafsir lain apalagi dengan wajah pemaksaan dan kekerasan.
Ketiga, menciptakan piranti hukum yang jelas terhadap berbagai tindak anarkis yang seringkali dipakai kelompok-kelompok neo Wahabi. Jika selama ini aparat keamanan seringkali enggan menindak ketika melihat berbagai aksi neo Wahabi yang penuh “darah”, maka sekarang harus diubah. Karena, secara hukum kita tidak diperbolehkan main hakim sendiri untuk menutup paksa gereja, bertindak kasar terhadap aliran minoritas (semisal Ahmadiyah dan Lia Eden), penutupan tempat-tempat yang dianggap berbau maksiat dan sebagainya.
Memang tidak semua ormas-ormas radikal melakukan kekerasan pada tingkat praksis. MMI dan HTI selalu menolak jika dianggap melakukan kekerasan seperti Front Pembela Islam atau FPI[35]. Ismail Yusanto, juru bicara HTI menegaskan bahwa metodologi gerakan HTI adalah gerakan pemikiran (fikriyyah), politik (siyasiyah), dan non kekerasan (la madiyah). Sementara itu Irfan S. Awwas dalam satu seminar di Bali tahun 2003 menegaskan karakter non kekerasan Islam:
“Dalam rentang sejarahnya yang panjang, Islam tidak membenarkan dan tidak pernah memerintahkan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada siapapun dan atas nama apapun. Sebaliknya, Islam justru menganjurkan untuk berbuat baik dan adil, tanpa membedakan muslim atau non muslim. Islam senantiasa bersikap rasional dan proporsional, tidak pernah mendukung kezaliman sekalipun yang melakukan kezaliman itu sesama pemeluk Islam sendiri.”
Berperang melawan penghalang tegaknya Islam harus dilakukan dengan cara yang seimbang. Serangan fisik dilawan fisik, ideologi dilawan ideologi, dan politik dilawan politik. Hukum jihad, dalam pengertian serangan fisik, menurut Irfan hanya berlaku di medan jihad seperti Ambon, Poso, Palestina, dan lain-lain.”[36]

Tetapi sebagai negara demokrasi, pemerintah dibebani kewajiban untuk memberikan kenyamanan pada rakyatnya. Pertama, negara wajib melindungi setiap hak warga negara baik dengan hukum maupun kebijakannya. Kedua, negara tidak diperkenankan mengganggu, membatasi, apalagi melarang kebebasan orang untuk melaksanakan kegiatan pribadi. Ketiga, negara ––termasuk aparat kepolisian–– wajib mengambil tindakan yang semestinya ketika terjadi perbuatan kriminal yang menimpa warga negara. Keempat, negara ––melalui aparat pengadilan–– wajib melaksanakan proses hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan kejahatan. Jika negara tidak menjalankan keempat kewajiban tersebut maka bisa dipastikan bahwa negara tersebut telah melanggar hak asasi manusia (HAM).[37]
Di sinilah langkah pemerintah yang tidak dapat ditinggalkan. Apalagi rakyat yang harus dilindungi bukan saja dari kalangan umat Islam, melainkan umat-umat lain yang berada di bawah payung Indonesia.
Keempat, terciptanya ruang dialog yang dialogis. Beberapa kasus yang dilakukan oleh kelompok radikal Islam membuktikan belum adanya ruang dialog yang dialogis tersebut. Dengan dialog tersebut, diharapkan ada “sharing idea” di dalam sebuah forum atau arena tertentu agar saling memahami problem yang dibahas dengan komprehensif dan tidak asal tuding. Tentu saja pemerintah layak menjadi “mediator” yang baik dalam persoalan ini. Karena tanpa ada dialog akan sangat sulit menemukan benang merah antarberbagai kelompok keagamaan demi terciptanya masyarakat yang damai, plural, dan tidak radikal.
Memang di sinilah susahnya, karena terlanjur memahami Islam secara kaku dan statis, usaha dialog yang dilakukan seringkali gagal. Kasus pengusiran Gus Dur di Purwakarta atau ruang diskusi-diskusi lain merupakan bukti sulitnya untuk menembus semangat anti dialog kelompok neo Wahabi.
Kelima, memperkuat basis kultural masyarakat dengan model keagamaan yang arif dan bijak, bukan model ekstrim dan radikal. Selama ini, aspek ini seringkali dilupakan. Karena, ide-ide progresif lebih berorientasi akademik dari pada orientasi praksis di lapangan. Sehingga, ide-ide yang dicetuskan dalam rangka membentuk Islam yang humanis justru tidak mampu ditangkap oleh masyarakat karena kesulitan “menerjemahkan” gagasan yang “melangit” ke dalam gagasan yang “membumi”. Di sini peran ulama-ulama menjadi penting. Masyarakat harus “dinasehati” agar menghargai akan perbedaan dan sebagainya.
Agama selalu mengajarkan solusi paling maslahat untuk mencegah terjadinya kerusakan. Harus dipahami bahwa watak agama sangat arif, bijak, dan damai seperti yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Islam memang memberi peluang untuk melakukan kekerasan, tetapi itu tidak boleh melampaui batas (la ta’tadu). Bahkan ada sebuah kaidah fiqh yang menyatakan al-dhararu la yuzalu bi al-dharara (kerusakan itu tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan yang lain).[38]
Akhirnya, gerakan radikalisme Islam oleh (neo) Wahabi –dengan dalih apapun- tidak dapat dibenarkan. Agama bukanlah dasar untuk melakukan kekerasan, melainkan mengajarkan kasih sayang. Ini seperti tugas kenabian Muhammad: “Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus untuk menyepurnakan akhlak” (innama bu’istu li utammi makarim al akhlaq). Jika kita melakukan kekerasan, maka pantaslah kita bertanya; di mana akhlak atau moral kita? Wallahu a’lam bi al shawwab. ***
[1] Naskah ini ditulis untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka menyambut ulang tahun ke-50 ADIA-IAIN-UIN Jakarta.
[2] Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, aktif di Lembaga Penerbitan Mahasiswa JUSTISIA, Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), dan peneliti di ISSAC (Institute For Islamic Studies and Culture) Semarang.
[3] Sebenarnya perlu dibedakan penggunaan istilah syari’at Islam dengan fiqh. Apa yang diperjuangkan oleh kelompok radikal selama ini, misalnya saja terkait formalisasi syari’at Islam merupakan fiqh karena berdasarkan hasil pemahaman mereka. Penjelasan yang cukup akurat diberikan oleh Umar Sulaiman sebagaimana dikutip oleh Mun’im A Sirry. Pertama, syari’at bersifat sempurna serta permanen, sedangkan fiqh senantiasa berkembang dan berubah sesuai dengan konteks tempat, waktu dan pemahaman. Kedua, tujuan syari’at bersifat universal serta mencakup keseluruhan masyarakat. Ketiga, hasil ijtihad fiqh yang salah tidak dapat diidentifikasi sebagai syari’at. Keempat, ketentuan syari’at menjadikan manusia berkewajiban untuk melaksanakan dan meninggalkannya. Sedangkan fiqh yang dipahami oleh seseorang tidak untuk dilaksanakan oleh orang lain. Kelima, kebenaran syari’at absolut, sementara kebenaran fiqh temporal. Karenanya, fiqh berpotensi mengundang kesalahan. Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 16-18.
[4] Lihat Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama: Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal (Jogjakarta: Rumah Kata-Ilham Institute, 2005), hlm. 21-22.
[5] Tokoh ini menurut beberapa sumber disebutkan dilahirkan pada tahun 1115 H/1703 M di desa ‘Uyainah, sebuah kampung kecil di barat daya kota Riyadl. Abd Wahhab menghabiskan masa kecil di desa dan mendalami agama di bawah bimbingan ayahnya yang bernama Abd Wahhab Ibn Sulaiman. Sejak kecil Abd Wahhab sangat mengidolakan pemikiran Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah yang kelak sangat mempengaruhi pemikirannya sehingga menjadi “trend” dari gerakan Wahabi. Lihat Lebih lanjut pada Muhammad Ibn Abd Wahhab, Kitab al Kabair, (Beirut: Dar el Kotob el Ilmiyah, 1989), hlm. 3-4.
[6] Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed.), Ideologi-ideologi Politik Kontemporer, (Jatiwaringin: Mediator, 2003), hlm. 309.
[7] Selain Abdul Wahhab, di belahan dunia lain juga terjadi reformasi religius yang sama. Di Maroko misalnya, ada sufi pembaharu yang bernama Ahmad Ibnu Idris (1780-1836) yang mengajarkan rakyat untuk mencontoh manusia sempurna (yang nampak dalam figur Nabi) daripada harus mencari Tuhan yang jauh. Karen Armstrong menyebut gerakan ini sebagai humanisme ketaatan. Begitu pula di Lybia, ada gerakan reformasi di bawah Muhammad Ibn as-Sanusi (w.1832) yang mencetak gerakan Sanusiyah. Gerakan-gerakan ini lahir ketika dinasti Turki Ustmani mulai melemah. Lihat lebih lanjut di Karen Armstrong, Islam: A Short History, (Surabaya: Ikon Teralitera, 2004), hlm. 159-160.
[8] Lihat Herry Muhammad, Gatra, edisi Senin 28 April 2003.
[9] Ibid. Lihat pula dalam M. Najibur Rohman, Wahabi vs Islam Lokal Nusantara: Melacak Historisitas Puritanisme Islam di Indonesia, dalam jurnal Justisia IAIN Walisongo Semarang, Edisi 28 Tahun XIII 2005, hlm. 29-30.
[10] Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis: Kritik Atas Nalar Islam Murni, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2004), hlm. 66-71.
[11] M. Najibur Rohman, Wahabi vs Islam Lokal Nusantara, Loc. Cit.
[12] Lihat lebih lanjut dalam GF Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 81-82.
[13] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm 243
[14] Ika Nurfajar Roudlatul Jinan, Wahabi dalam Kompetisi Wacana dan Aksi Keagamaan di Indonesia, dalam Jurnal Justisia edisi 28 Tahun XIII 2005, hlm. 37.
[15] Muqsith Gazali, Wahabisasi Islam Indonesia, dalam situs Jaringan Islam Liberal (www.islamlib.com) tanggal 6 Februari 2006. Lihat Juga M. Najibur Rohman, Menggugat Neo Wahabi, di www.gusdur.net edisi Juli 2006.
[16] Rumadi, Renungan Santri: dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 26-27.
[17] Pemaknaan radikalisme ini didasarkan pada pemikiran Sayyid Qutb yang dianggap sebagai respon atas reformisme Islam dan nasionalisme Arab. Youssef M. Choueiri, Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme, (Jogjakarta: Qonun, 2003), hlm. 239.
[18] Mitsuo Nakamura, Tradisionalisme Radikal: Catatan Muktamar Semarang 1979, dalam Greg Fealy dan Gred Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogkayarta: LkiS, 1997), hlm. 72.
[19] Lihat M. Aniv Najibur Rohman, Membubarkan Ormas Sektarian, Jawa Pos edisi 29 Juni 2006.
[20] Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, Jakarta: Serambi, 2000, hlm. 59. Paling tidak ada empat faktor yang menjadikan radikalisme menjadi trend kebangkitan agama saat ini. Pertama, kekecewaan terhadap sistem demokrasi yang dinilai sekuler sehingga tidak memberikan ruang kepada agama. Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan oleh ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Ketiga, ketidakadilan dalam wilayah politik. Dan keempat, ketidakadilan tata hubungan antarbangsa yang makin didominasi imperialisme Amerika Serikat. Lihat lebih lanjut uraiannya dalam Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005).
[21] Habiburrahman Saerozi, Kritik Radikalisme Agama: Studi Pemikiran Yusuf Qardlawi dalam “as-Shahwah al Islamiyyah Bain al Juhud wa at Tatharruf”, dalam Jurnal Justisia edisi 23 Tahun XI 2003, hlm. 158-159.
[22] Benjamin R. Barber, Jihad vs Mc World, dalam buku pegangan Demokrasi adalah Sebuah Diskusi, (Jakarta: Kedubes Amerika: 2007), hlm. 44-45.
[23] Francis Fukuyama, The Great Disruption; Human Nature and the Reconstution of Social Order, (terj. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru), (Jakarta: Kedubes Amerika Serikat, Freedom Institute, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 342.
[24] Rumadi, Renungan Santri, Op. Cit., hlm. 13.
[25] Untuk pemaparan yang lebih detail lihat dalam Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, (Jakarta: Serambi, 2001).
[26] Rumadi, Renungan Santri, Op. Cit., hlm. 14-15.
[27] Olivier Roy, Genealogi Islam Radikal, Yogyakarta: Genta Press, 2005, hlm. 13-14.
[28] R. William Liddle, Skripturalisme Media Dakwa, Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru, dalam Mark R. Woodward (ed.), (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 304.
[29] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 115-116.
[30] Nur Khalik Ridwan, Op. Cit., hlm. 153.
[31] Rumadi, Renungan Santri, Op. Cit, hlm. 121-123.
[32] Lihat lebih lanjut dalam M. Najibur Rohman, Menggugat Neo Wahabi, Loc. Cit.
[33] Didirikan pada tahun 2000 melalui “Kongres Mujahidin” di Jogjakarta. Tokoh kunci dari MMI adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Irfan S. Awwas. Organisasi ini berambisi untuk menjadi organisasi basis (tansiq) bagi organisasi, kelompok atau individual Muslim yang mempunyai orientasi dan metode gerakan yang sama untuk memperjuangkan penerapan syari’at Islam di Indonesia. MMI mengklaim memiliki 8 perwakilan meliputi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Lihat Muhammad Iqbal Ahnaf, MMI: The Image Others, dalam Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia, Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004, hlm. 693-694.
[34] Sebuah organisasi internasional yang didirikan di Yerussalem pada tahun 1953 oleh ulama berkebangsaan Palestina, Taqiyuddin al-Nabhani. Tidal jelas memang kapan HTI didirikan d Indonesia, yang jelas, ideologinya telah hadir di Indonesia sejak Taqiyuddin al-Nabhani mengunjungi Indonesia pada tahun 1972. Ibid.
[35] Ormas ini lahir pada tanggal 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) dipelopori oleh Rizieq Ibn Shihab yang dulunya memperoleh pendidikan di Universitas Raja Saud, Riyadh Arab Saudi. FPI memiliki Laskar Pembela Islam, yang seringkali melakukan aksi-aksi “penertiban”. Menurut Rizieq sendiri, FPI merupakan ormas dengan gerakan lugas dan tanpa kompromi sebagai cermin dari ketegaran prinsip dan sikap. Dari awal tahun pembentukannya hingga saat ini, FPI selalu terlibat polemik karena aksi ekstrimnya. Lihat lebih lanjut http://wikipedia.org/wiki/Daftar_aksi_Front_Pembela_Islam. Saya memang sengaja tidak menyebut secara detail beberapa ormas radikal lain karena memiliki berkarakter yang sama dengan FPI. Antara lain adalah Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalib, Laskar Jundullah pimpinan Agus Dwikarna, Forum Umat Islam, Laskar Mujahidin, Gerakan Pemuda Islam, dan Forum Pemuda Islam Surakarta.
[36] Muhammad Iqbal Ahnaf, MMI: The Image Others, dalam Negara Tuhan, Op. Cit., hlm. 717-718.
[37] Suryadi Radjab, Indonesia; Hilangnya Rasa Aman; Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik Indonesia (Jakarta: PBHI, 2002), hlm. 47.
[38] KH Cholil Bisri, Kekeraan Politik dan Agama, dalam Ahmad Suhaedy (ed.), Kekerasan Dalam Perspekif Pesantren, (Jakarta: PT Grasindo-P3M, 2000), hlm. 139.
*** lihat pengumuman di sini

No comments: