Monday, December 12, 2005

Tujuh Abad Kesunyian "I La Galigo"

Berita Utama
Minggu, 11 Desember 2005

Tujuh Abad Kesunyian "I La Galigo"

Putu Fajar Arcana

Tujuh abad silam penulis Sureq Galigo mungkin tak pernah berpikir karya mereka akan dipentaskan di Lincoln Center Festival New York atau dibawa keliling ke berbagai kota penting seperti Paris dan London di Eropa. Bahkan, menurut kabar pada setiap akhir pementasan, mereka selalu mendapatkan standing ovation yang menerbitkan rasa haru.

Padahal, sebelum orang-orang seperti Rhoda Grauer (penulis dramaturgi), Robert Wilson (sutradara), Restu Imansari (koordinator artistik), Rahayu Supanggah (penata musik), dan Elisabetta di Mambro (produser) bertemu dengan Sureq Galigo, epik masyarakat Bugis itu seperti naskah berdebu.

”Galigo sebelum ini sudah sekarat, tak ada orang yang pernah peduli,” ujar penerjemah Sureq Galigo asal Makassar, Mohammad Salim. Ia bahkan harus menyalin teks asli yang tersimpan selama lebih dari 150 tahun di negeri Belanda. ”Saya kerjakan selama lima tahun, itu pun baru separuh dari perkiraan 8.000 halaman,” ujar dia.

Meski tak bisa begitu saja kita sepadankan antara teks Galigo dan pentas I La Galigo, 10-12 Desember 2005 di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), setidaknya telah terjadi satu introduksi yang gigih dari tim ini kepada publik dunia bahwa di sebuah wilayah bernama Sulawesi Selatan, bagian dari Indonesia, terdapat naskah klasik yang diyakini panjangnya melebihi epik terkenal Ramayana dan Mahabaratha.

”Pentas ini baru kulitnya Sureq Galigo,” kata Mohammad Salim. Dalam kesempatan berbeda Robert Wilson sebagai sutradara malah mengaku, ”Saya tidak tahu apa pun tentang Galigo.”

Pernyataan ini bukan semata upaya merendah, tetapi pembacaan secara menyeluruh terhadap teks Galigo sementara ini menjadi upaya yang mustahil. Selain cukup tebal, belum semua teks asli yang ditulis dalam bahasa Bugis bercampur Sansekerta itu berhasil diterjemahkan. Bahkan, Salim (mungkin) menjadi satu-satunya orang yang bisa membaca teks Galigo dari teks aslinya yang ditulis di atas daun lontar.

Rhoda Grauer yang khusus melakukan studi tentang Galigo sebelum menulis dramaturgi mengatakan teks ini seperti sebatang pohon. ”Banyak sekali cabang cerita yang tidak berhubungan langsung dengan cerita utamanya,” tutur Rhoda.

Puisi mata

Pementasan I La Galigo yang kaya tata cahaya ibarat menyinari tujuh abad kesunyian Sureq Galigo. Teks yang tadinya berdebu, di tangan Robert Wilson hadir menjadi suguhan yang sedap dipandang mata. Ia ibarat puisi yang dijalin dari cahaya menuju cahaya.

Adegan pembuka ketika orang-orang bergerak lambat dengan berbagai sikap tangan kemudian Batara Guru turun dari Dunia Atas (langit) menjadi adegan paling mengesankan sepanjang pertunjukan. Wilson mengikuti teks asli dengan membuat tangga (dari bambu), di mana disebutkan Batara Guru turun lewat sebatang bambu disertai petir dan pelangi tujuh warna. Tangga memang menjadi gambaran artifisial, tetapi bukankah sering kita dengar ungkapan seperti ”tangga langit”? Dan itu menjadi ungkapan yang amat puitis, bukan?

Naskah yang disusun sangat naratif oleh Rhoda Grauer tentang diutusnya Batara Guru oleh penguasa langit Patotoqe ke Dunia Tengah sampai berkumpulnya keluarga Sawerigading (anak Batara Guru), karena keahlian Wilson memainkan tata artistik dan cahaya, menjadi sesuatu yang mengesankan.

Sutradara ini jago benar menerjemahkan berbagai situasi dan karakter dengan unsur pencahayaan sehingga pada beberapa adegan kita seperti dibawa ke alam mitologi. Hebatnya mitologi yang tampil telah dikemas sebagaimana kemudian kita tonton di layar televisi. Ia tidak lagi arkaik, tetapi memasuki era audio-visual.

Kita memang tidak bisa menuntut Wilson secara berlebihan memunculkan seluruh moral-etik di dalam Sureq Galigo. Terang-terangan ia bilang Sureq Galigo ”hanya” sebagai inspirasi pementasan I La Galigo.

Karena itu, pementasan ini harus ditempatkan sebagai pembuka jalan bagi teks yang terpendam berabad-abad itu untuk ”memperkenalkan” dirinya kepada publik dunia. Bernada agak ”mistis”, sesepuh warga adat Luwuq, Sulawesi Selatan, Andi Anton Pangeran, mengatakan ada nujuman bahwa pada suatu saat Sureq Galigo akan dikenal dunia.

Ia menganggap lakon I La Galigo dari Robert Wilson telah menjadi bukti kebenaran nujuman itu. Ia bersama Mohammad Salim turut menyertai rombongan berpentas keliling dunia.

Di sisi lain, I La Galigo menjadi babak baru bagi naskah klasik asli Indonesia untuk memasuki industri seni pertunjukan dunia. Tidak mudah menembus jaringan kerja Robert Wilson-Elisabetta di Mambro. Restu Imansari, Rhoda Grauer, dan Rahayu Supanggah setelah bertemu Wilson di Bali harus melakukan presentasi di Watermill Center, Amerika, markas salah satu sutradara terkemuka dunia itu, tahun 2001 silam. Dan kejadian pentasnya baru dilakukan tahun 2004 serta menjadikan panggung Esplanade, Singapura, sebagai awal ”petualangan”.

Maka pertanyaan seperti, mengapa harus dimulai orang bule, dijawab Rhoda dengan ringan, ”Sebagai orang asing, saya bangga membawa pulang I La Galigo ke negara saya (Amerika). Kalau ada yang bilang ini dicuri dari pemilik aslinya, I La Galigo bukanlah sepotong roti. Teks kendatipun dikunyah, ia tak akan pernah hilang....” Sureq Galigo telah bangkit dari tidur panjang, menyapa dunia dengan bermandi cahaya.

1 comment:

::LiyanaNaznim:: said...

Tentang link http://dusk-till-dawn.blogspot.com/2006/01/human-rights-are-gods-rights.html ..

Sorry,dh tak available sbb ada sedikit unsur feminism n mnyalahkn fiqh dlm penulisan beliau.

dimana penulis berkata:

Despite their capacity and credibility, men are positioned as leaders and women as their followers. In marriage, a wife may be punished because of nushuz (ill-conduct), which allows her husband to ultimately beat her. On the contrary, the notion of nushuz is not existent for men even if they fail to fulfill their obligations.

sepatutnya penulis ingat bahawa kaum perempuan ada hak fasakh kalau lelaki fail to fulfill their obligations.

anyway,thanx a lot sebab singgah ke blog ana. :)