Sunday, December 11, 2005

”Roh” I La Galigo dalam Pergaulan Dunia

”Roh” I La Galigo dalam Pergaulan Dunia


Oleh Drs. H. Soeparmo

Luar biasa pergelaran I La Galigo – epik tua dari Sulawesi Selatan selama dua hari bagaikan meteor yang jatuh dari kahyangan mampu mengguncang gedung bergengsi Esplanade, Singapura (12-13 Maret 2004).
Roh yang berasal dari tanah Bugis ini ternyata mampu memberikan siraman batin dalam komunitas bangsa yang sedang terpuruk dan sakit. Paling tidak pementasan teaterikal yang kotemporer berbasis tradisi ini patut kita acungi jempol ketika memasuki peradaban baru dalam pergaulan dunia.
Pasalnya pada kondisi bangsa seperti sekarang ini, iklim berkesenian nyaris terlupakan atau barangkali lebih tepatnya terpinggirkan. Apalagi dalam situasi menyambut pesta demokrasi Pemilu, kosentrasi manusia Indonesia lebih mengutamakan berpolitik daripada bicara soal seni.
Namun, di sela-sela kesibukan kebanyakan manusia Indonesia ternyata masih ada orang-orang pekerja kreatif yang sangat memperhatikan nasib seni tradisi yang sama sekali tidak masuk dalam agenda saat ini yang lebih mengutamakan bidang ekonomi, politik, supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Itu sebabnya, ketika I La Galigo mencuat ke permukaan yang digarap oleh Robert Wilson sutradara kelas dunia yang kiprahnya sejak tahun 70-an dan begitu hebatnya, karya kuno yang setebal 6.000 halaman yang tadinya banyak orang kurang mengenalnya kini menjadi bahan pergunjingan dunia. Hampir semua orang berdecak dan bertanya-tanya, tentang makna materi cerita sampai pada korelasinya dengan kehidupan dalam tatanan pergaulan internasional.
Suatu sumbangsih yang sangat berharga sekali, I La Galigo dapat menjadi tali perekat sebuah bangsa, khususnya Indonesia di mata dunia yang selama ini melihatnya hanya dari sebelah mata. Namun, realitas kehidupan melalui pentas teater kotemporer yang ditangani oleh Restu Kusumaningrum yang memiliki art center di Pulau Dewa, ternyata dapat menjawab kegelisahan sebuah bangsa di pentas internasional.
Sebuah obsesi yang terlanjur lahir dan kini menjadi wacana bagi masyarakat bahwa I La Galigo bukan menjadi milik orang Bugis semata, melainkan telah lahir dalam peradaban dunia sebagai bentuk dari karya anak manusia. Karya pusaka yang di mata Rhoda Grauer sebagai peneliti dan penulis ternyata memberi pemaknaan berarti bagi penyadaran nilai kehidupan manusia.

Aspek Budaya
Bangsa Indonesia boleh dibilang masih mengalami sakit demam kepercayaan. Masalahnya, di mata pergaulan dunia bangsa yang pernah disanjung-sanjung sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai budaya sebagai landasan untuk mempererat persatuan dan kesatuan, sejak peristiwa Mei kelabu tahun 1998 telah kehilangan trade mark sebagai harga diri bangsa. Peristiwa bersejarah itu sangat mahal, dan untuk memproyeksikan dan meyakinkan kembali memerlukan waktu yang sangat panjang dan biaya yang tidak murah. Karena mengembalikan citra sebagai bangsa yang beradab tentu saja bukan dari sisi ekonominya yang semakin membaik, atau nuansa politiknya yang dingin dan sejuk tetapi juga masalah budaya yang patut dijadikan akar pegangan bagi sebuah bangsa yang besar.
Menariknya, di tengah krisis kepercayaan dan kegalauan massa, pentas I La Galigo mampu memberi kekuatan dalam makna yang sangat spesifik dan penting bagi sebuah bangsa yang memiliki keanekaan budaya. Apalagi melalui percaturan dunia, bangsa Indonesia boleh bangga memiliki warisan budaya purba dari Bugis yang sangat historiskal dan memiliki nilai cakupan yang begitu luas dan menyeluruh. Mulai dari aspek budaya, kemasyarakatan, tata niaga dan nilai-nilai agamis.
Itu sebabnya, pentas I La Galigo merupakan embrio dari aspek pencerahan dalam pemulihan trade mark yang selama ini kita miliki dapat kembali. Paling tidak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, apresiasi I La Galigo di mata orang luar merupakan suatu realitas yang patut dibanggakan. Pentas yang menelan waktu selama 3 jam menyihir 2.000 penonton di Singapura yang datang dari berbagai etnis dan suku, mengambil bagian sorak-sorai untuk menyambut lahirnya I La Galigo sebagai nilai pentas teater kotemporer yang punya bukti sejarah.

Peduli Bangsa
Sebagai anak kandung bangsa, kelahiran I La Galigo tidak terlepas dari orang-orang pekerja kreatif yang peduli bangsa. Restu Kusumaningrum yang sudah tidak asing lagi menjadi pemrakarsa budaya telah memiliki bekal yang cukup pengalaman. Mantan anggota Swara Mahardika Guruh Soekarnoputra ini, ternyata pernah juga menjadi pemain kepercayaan Robert Wilson.
Begitu juga dengan Rhoda Grauer orang Amerika yang betah tinggal di Indonesia bukanlah sebagai turis melainkan lebih berkonsentrasi pada penelitian seni tradisi yang jarang disentuh banyak orang. Perhatian ini, termasuk I La Galigo merupakan bagian dari kesukaannya dalam konteks sebagai intelektual, peneliti dan penulis.
Hubungan yang erat antara Restu dan Rhoda tentu saja memberikan kontruksi berpikir yang positif. Apalagi sutradara yang sudah menjadi kepunyaan dunia Robert Wilson, kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu banyak jutaan mata manusia karena ditangannya karya-karya itu menjadi sajian yang indah mempesona.
Termasuk sajian I La Galigo yang rencananya akan dipentaskan di berbagai belahan dunia, menjadi proyek raksasa yang akan menjejali makna kehidupan di banyak kepala manusia. Untuk itu, I La Galigo yang dipentaskan selama dua hari di Singapura merupakan agenda yang sudah dipersiapkan secara matang dan mempunyai nilai bisnis yang tinggi.
Hal itu adalah sangat sah dan lazim dalam pergelaran yang bermutu, nilai seni menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penghargaan dan penghormatan. Bukannya menilai dari satu sisi saja yakni uang, melainkan aspek estetika yang normative dalam kehidupan manusia menjadikan muara yang tiada habis-habisnya untuk menjadi sumber berkesenian agar tetang berjalan dengan lancar.
I La Galigo salah satu contoh pementasan yang melibatkan pemain yang tidak hanya dari orang Bugis saja, tetapi juga dari daerah lain Bali, Papua dan Indramayu. Dari keanekaan itu, terlihat begitu demokrasinya I La Galigo sebagai pemaknaan yang membawa iklim demokrasi menjadi pentas yang terbuka. Seperti Robert Wilson membuka I La Galigo dari wacana peradaban dunia, bukan hanya dari Bugis semata.
Itu sebabnya dengan lahirnya I La Galigo sebagai pentas dunia, karena ditangani oleh para profesional yang sungguh-sungguh cinta terhadap kesenian. Anehnya, penanganan ini tidak hanya Robert Wilson, Rhoda Grauer tetapi juga ada Restu, Rahayu dan para pemain serta peñata lampu dari Indonesia.
Pergelaran I La Galigo salah satu pentas kesenian Indonesia yang diangkat menjadi milik semua bangsa. Tontonan yang menjadi tuntunan ini digarap dengan serius dan dipersiapkan secara apik. Dilihat dari kesiapannya yang melalui proses waktu, dan pemikiran I La Galigo membuktikan sebuah karya yang patut dijaga nilai-nilai keasliannya. Dan seperti dalam pentas tersebut, I La Galigo yang secara keseluruhan memiliki nilai cerita yang menarik, musik yang bagus, serta tata lampu yang mengagumkan dan penyutradaraan yang totalitas.
Akhirnya, sebagai bangsa yang besar dan mencintai I La Galigo dengan segala kesejarahannya paling tidak bisa menjadi cerita untuk anak cucu kita sebagai pewaris budaya. Karena dengan lahirnya pentas seni yang bermutu ini, paling tidak ada cerita baru begitu kagumnya orang-orang yang dapat menyaksikan di sejumlah teater termasuk The Lincoln Centre sebuah tempat yang bergengsi di New York.
Inilah nilai pembelajaran yang sangat tinggi, seharusnya kita menjadi malu hati, tradisi pentas bergengsi di Tanah Air tidak pernah memiliki agenda tahunan untuk menggarap sesuatu yang punya bobot seperti I La Galigo. Sebagai bangsa kita akan menonton pertunjukan bermutu di Amerika karena kepedulian itu telah menjadi semangat untuk membangun manusia lewat kesenian dan budaya. Entah kapan kita akan menonton I La Galigo di negeri sendiri, sebagai sebuah nilai pentas dalam semangat kebangsaan?

Penulis adalah Ketua Umum BKKI Pusat (Badan Kerjasama Kesenian Indonesia).

No comments: