Sunday, July 15, 2007

[K.H. Agus Miftach] Modernitas dan Religiusitas

Artikel di bawah ini, saya percantik lagi menurut versi saya.
Untuk versi aslinya, silahkan Anda klik Website resmi di: www.persatuan.PN!!! Okay?

Kepada Bang Tata, terima kasih banyak atas segala tegur sapanya. Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk hal-hal yang telah merepotkan Abang. Jzkmllh..

--
July 13, 2007--Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah (144)
Modernitas dan Religiusitas

Oleh: K.H. Agus Miftach

[Assalâmu’alaikum War.Wab.]

[Bismi`l-Lâhi`r-Raĥmâni`r-Raĥîm]

<165> “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat cinta kepada Allah. Andaikan orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa [pada hari kiamat] bahwa kekuatan itu milik Allah semunya dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya;

<166> “[Yaitu], ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya dan mereka melihat siksa; dan [ketika] segala hubungan antara mereka terputus sama sekali;

<166> “Dan, berkatalah orang-orang yang mengikuti, ‘Andaikan kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan belepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami’; demikianlah, Allah memperlihatkan kepada mereka; dan sekali-kali, mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al-Baqarah, 2:165-167)

Kita akan membahas ketiga ayat di atas dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi―dan lain-lain―secara holistis dan komprehensif, agar diperoleh pemahaman dan hikmah yang mendalam. Insya Allah.


Pokok Bahasan

Ketiga ayat ini berisi tentang peneguhan pesonalitas Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Allah menyatakan otoritas keilahiannya dengan seperangkat instrumen kekerasan berupa ancaman dan siksa di akhirat, yang digambarkan sangat ekstrim, agar manusia takut dan dengan rela ataupun terpaksa hanya menyembah kepada Allah saja.

Mengapa ditempuh mekanisme “kekerasan psikologis” ini? Dan mengapa Allah begitu membutuhkan penyembahan monoteistis ini? Apakah tanpa peribadatan monoteistis kepada diri-Nya, Allah akan melemah? Tetapi, akhir ayat ke-165 menegaskan posisi dependen manusia kepada Allah yang seluruh kekuasaan ada di tangan-Nya dan siap digunakan untuk “menyiksa” manusia yang mempersekutukan-Nya dengan Ilah yang lain, tercermin dalam kalimat “Anna`l-quwwata li`l-Lâhi jamî’â[n], wa anna`l-Lâha syadîdu`l-’adzâb[i]—bahwa kekuatan itu milik Allah semuanya dan bahwa Allah sangat berat siksa-Nya.”

Ayat ke-166 dan 167 bersifat mengukuhkan substansi ayat 165 di mana diungkapkan kesesatan dan ketidakberdayaan semua Ilah selain Allah di alam transenden sebagai puncak pencapaian menurut tradisi agama-agama Semitik (Islam, Yahudi dan Kristen).

Sebagaimana telah banyak diuraikan pada pengajian-pengajian terdahulu, bahwa sebelum turunnya agama Islam, bumi Arabia hidup dalam kebudayaan paganisme yang bersifat politeis, dengan ragam dewa-dewi berhala yang sangat banyak jumlahnya. Setiap kelompok masyarakat, bahkan setiap suku dan setiap kampung, memiliki tuhan berhalanya masing-masing. Dan peradaban paganisme ini setidaknya sudah dianut oleh bangsa Arab selama 1700 tahun hingga Deklarasi Kerasulan Muhammad saw. pada awal abad ke-7 masehi.

Sikap “keras” ketiga ayat di atas, menggambarkan betapa sulitnya mengubah disposisi psikologis paganisme bangsa Arab kepada ketauhidan yang transenden. Diperlukan semacam tekanan traumatik untuk lepas dari disposisi psikologis itu yang sudah menjadi modal personality (kepribadian umum).

Mikhail Gorbachev, penguasa terakhir menjelang runtuhnya Uni SovyetDi zaman itu, Muhammad saw. melakukan pekerjaan yang muskil. Tetapi, fakta sejarah menunjukkan bahwa hanya dalam kurun waktu kurang dari seperempat abad, Muhammad saw. telah berhasil membebaskan Arabia dari peradaban paganisme, dan secara revolusioner telah berhasil meletakkan dasar masyarakat tauhid yang religius dan rasional yang kemudian menjadi dasar peradaban pra-modernis yang menciptakan perubahan-perubahan besar di dunia yang memungkinkan modernitas di zaman ini.

Islam tumbuh sebagai peradaban dunia, dan pasang surut pengaruhnya terus berlanjut hingga di zaman ini setelah berselang 15 abad. Bahkan kini di puncak peradaban Barat, Islam tetap dipandang sebagai saingan terkuat setelah runtuhnya komunisme Uni Sovyet dan berakhirnya perang dingin abad lalu.


Islam di Zaman Modern

Francis Fukuyama is one of the world's foremost thinkers on international relations. Here, he talks about state-building, the history of democracy, and the U.S. role in post-war Iraq. (http://www.jhu.edu/~jhumag/0904web/fukuyama.html) Francis Fukuyama (1989), dari Johns Hopkins University Amerika Serikat mengatakan, liberalisme modern muncul dalam sejarah sebagai konsekwensi dari kelemahan masyarakat berdasarkan agama yang telah gagal mencapai kesepakatan mengenai wujud kehidupan yang baik. Bahkan gagal menghadirkan prasyaratan minimal perdamaian dan stabilitas.

Di dunia modern ini, hanya Islam yang telah menawarkan sebuah negara teokratis sebagai alternatif politik terhadap liberalisme maupun komunisme. Namun menurut Fukuyama, doktrin teokrasi (puritanisme) Islam, sedikit sekali daya tariknya bagi non-Muslim, bahkan bagi sebagian besar kalangan Muslim sendiri yang bercorak moderat.

Sulit untuk percaya bahwa gerakan Islam puritan akan meraih dukungan universal. Sementara itu, impuls-impuls keagamaan lain yang kurang terorganisir telah cukup terpuaskan dalam lingkup kehidupan pribadi yang diizinkan dalam masyarakat liberal.

Kalangan Islam puritan harus melihat kenyataan bahwa perjuangan untuk suatu pengakuan kebenaran, kesediaan untuk mempertaruhkan kehidupan seseorang demi tujuan yang sepenuhnya abstrak, seperti surga dan kebahagiaan akhirat, demikian pula perjuangan ideologi di seluruh dunia yang meminta keberanian, keperwiraan, imajinasi dan idealisme, telah digantikan oleh perhitungan ekonomi, kemajuan teknologi tanpa akhir, kepedulian lingkungan dan konsumerisme yang rumit. Itulah mainstream dunia modern yang mengatasi semua mitologi agama, dan menjadi tantangan terberat bagi Islam yang telah memberikan dasar-dasar modernitas di zaman pra modernis seperti sudah banyak diterangkan dalam majelis ini.

Namun suatu fakta bahwa semangat Keislaman, baik sebagai agama maupun ideologi tidak pernah padam. Sebuah ideologi (termasuk dalam pengertian ini: Agama), mungkin saja memudar pamornya pada satu generasi. Namun, ia bisa muncul lagi dengan kekuatan yang diperbarui, satu atau dua generasi berikutnya.

Samuel P. Huntington is the U.S. author of the Trilateral Commission report, The Crisis of Democracy. He is a member of the Advisory Board of America Abroad Media. In addition to his being the Director of the John M. Olin Institute for Strategic Studies at Harvard University, he is Albert J. Weatherhead III University Professor and Chairman of the Harvard Academy for International and Area Studies. (http://www.harvardsquarelibrary.org/cfs/samuel_p_huntington.php)Adalah fakta, bahwa berakhirnya perang dingin dan runtuhnya komunisme yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai ‘akhir sejarah’, telah memunculkan fenomena baru yang tidak terduga, yaitu kebangkitan agama sebagai fenomena global. Ini diperkuat dengan kecenderungan yang bekerja di dunia hari ini, yaitu kecenderungan negara-negara kembali menengok budaya, nilai-nilai dan pola perilaku tradisional mereka (Samuel P. Huntington, 1993), yang dengan sendirinya akan membawa kembali umat manusia kepada nilai-nilai spiritual dan religiusitas yang akan menjadi habitat bagi bangkitnya kembali agama. Dalam hal ini agama Islam mampu terorganisasi secara ideologis-politis.

Agama, berakar kuat dalam sejarah umat manusia, mulai dari mitos buah terlarang hingga mitos jihad-salafi sekarang ini. Faktanya sejarah manusia tidak pernah terlepas dari trauma-trauma sejarah, maka bagaimana mungkin manusia terlepas dari ideologi agama. Adalah suatu kenyataan, bahwa manusia mampu menjalani penderitaan material yang paling ekstrim atas nama ide-ide yang hadir semata-mata dalam wilayah kesadaran, bersifat abstraktif, seperti pemujaan terhadap Trinitas, kesetiaan terhadap Imam Husein r.a., kesetiaan terhadap dogma Syariat, bahkan kesetiaan terhadap Sapi Hindi. Artinya, bahwa suatu fanatisme terhadap entitas budaya dan kelompok agama masih dapat muncul sebagai satu kekuatan politik.

Fouad A. Ajami (Arabic:فؤاد عجمی; b. September 9, 1945), a Lebanese-born American neoconservative university professor and writer on Middle Eastern issues. In recent years, Ajami has been an outspoken supporter of the Iraq War, the nobility of which he believes there Namun suatu fakta bahwa mainstream kaum Muslimin yang moderat dalam peradaban modern dewasa ini berpendapat bahwa kembali pada fanatisme agama adalah penjeblosan diri ke dalam kerusakan (Fouad Ajami, 1993). Itu sebabnya, maka gerakan-gerakan fundamentalis yang ekstrim tidak mendapat dukungan yang luas di kalangan Muslimin, terutama di kota-kota dan wilayah Muslimin yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.

Kebangkitan agama tidak dapat diukur dari sekedar munculnya gerakan-gerakan fundamentalis ekstrem yang melakukan aksi-aksi kekerasan politik, seperti tragedi 11 September 2001 di New York. Barat akan salah jika menilai kebangkitan agama Islam dari barometer serangan bunuh diri terhadap menara kembar WTC itu, yang justru tidak mewakili nilai-nilai entitas budaya agama Islam, meskipun terdapat relasinya dari konflik politik yang terjadi antara Barat dengan Islam.

Peradaban Islam adalah pengelompokan budayanya yang tertinggi dan identitas budaya paling luas yang dimiliki kaum Muslimin yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lain. Peradaban Islam teridentifikasi dalam unsur-unsur obyektif umum seperti bahasa, sejarah, tradisi, institusi dan identifikasi diri secara subyektif. Dan bentuk-bentuk itu tidak mandek pada disposisi psikologis masa silam, melainkan berkembang sesuai akulturasi dunia modern dan sekulerisasi di dunia Islam. Proses seperti itu tampak intens di Turki, Mesir, Tunisia, Aljazair, Malaysia, Indonesia dan lain-lain. Bahkan, sejumlah negara dengan budaya puritan seperti Arab Saudi, Kuwait dan Qatar, termasuk Iran, mengadopsi bentuk bentuk ekonomi liberal dengan baik. Mereka memiliki keuletan dan tidak akan menyerahkan semua yang telah dicapai sekedar kepada kerajaan politik kemurnian Islam yang absurd dengan berbagai sektarianisme salafi, wahabi dan syi’i yang bisa berperang satu sama lain dengan brutal.

Kiri ke kanan: Ayatollah Ruhullah Khomeini (alm.), Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, dan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad.

Suatu kenyataan bahwa impian tentang suatu Revolusi Pan-Islam dalam citra revolusioner Iran telah menghilang dari dunia Islam. Bahkan dalam kasus “Nuklir” yang terakhir, tertimpa dengan realitas sosial ekonomi negara-negara Muslim yang lebih determinan. Sikap Indonesia yang mendukung sangsi PBB terhadap Iran, membuktikan sekulerisasi kepentingan-kepentingan ekonomi lebih tinggi dibanding sikap ideologis Islam.

Meningkatnya kesadaran beragama dan peribadatan tidak dengan sendirinya membawa masyarakat kembali kepada ideologi puritanisme (salafi). Faktanya, masyarakat Muslim telah mengalami proses akulturasi modernitas secara matang dan melahirkan sublimasi budaya yang lebih maju, liberal dan egaliter dengan nilai-nilai tradisional yang tetap melekat, seperti tampak dalam praktek-praktek keagamaan yang tetap hidup sebagai nilai-nilai keluarga dan masyarakat.

Aljazair memberikan contoh paling ekstrem di mana kaum professional, kaum wanita dan kaum modernis kelas menengah memberikan dukungan kepada militer untuk mencegah kaum fundamentalis berkuasa melalui proses demokrasi. Sebaliknya mereka mempertahankan kebebasan egaliter yang dilindungi dengan represi. Hal serupa juga terjadi di Turki.


Aljazair, menolak kekuasaan fundamentalis


Istambuldi Turki, pelopor modernisasi Islam

Indonesia

Dengan kualitas militer Indonesia yang belum mampu mengartikulasikan proses intelektual dalam perilaku politik negara-bangsa, kita tidak akan melakukan proses seperti di Aljazair. Kita tetap mempertahankan proses demokrasi dengan supremasi sipil, namun dengan batas-batas ideologi kebangsaan yang telah menjadi konsensus nasional (aqad mu’ahadah al-ijtima’iyyah) di awal berdirinya negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945 ,yang memberikan bentuk sekuler, nasionalis-relegius dan pluralitas budaya yang menjamin azas kebebasan dan keadilan sosial. Faktanya, bentuk modern NKRI itu tetap mendapatkan dukungan luas mainstream Muslimin di Indonesia yang bercorak moderat, membuktikan bahwa bentuk-bentuk sublimatif budaya bernegara yang sekuler-demokratis, konstitusional dan liberal tumbuh dengan baik dalam entitas Muslim yang nasionalis-religius.

Dengan kata lain, mainstream kaum Muslimin mempercayai kekuatan negara modern sebagai entitas peradaban baru yang mampu memberikan masa depan. Namun demikian, sejumlah fakta ekonomi menunjukkan lambatnya tingkat kemajuan yang dicapai negara-negara berpenduduk Muslim yang masih sering tersendat dalam ambigu budaya fanatisme, tidak efisien, dan korupsi seperti yang terjadi di Indonesia.


Jakarta, ibukota NKRI dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dibanding negara-negara modern Barat yang sepenuhnya sekuler, menjadi tantangan bagi para pemikir Islam dan ulama yang berpikiran maju untuk menemukan sublimasi budaya Muslim modern yang lebih divergen, dengan memadatkan nilai-nilai religius, rasional dan teknik. Dengan demikian diharapkan akan mampu membawa emansipasi modernitas kaum Muslimin ke puncak-puncaknya yang tertinggi, seperti yang pernah dicapai pada kepeloporan pra-modernis al-Andalus dan Utsmaniyyah yang menerangi dunia selama 1000 tahun sejak akhir abad ke-7 hingga akhir abad ke-17. Bahkan, cahaya Utsmaniyyah baru benar-benar padam pada awal abad ke-20, setelah revolusi sekuler Mustafa Kemal Attaturk yang mengawali modernisasi baru dunia Islam. Sekian, terima kasih.

Bi`r-raĥmati`l-Lâhi wa Bi’aunihi fî Sabîlih,
Wa`s-salâmu’alaikum War.Wab.

Jakarta, 13 Juli 2007
Pengasuh,

KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional

No comments: