Tuesday, February 26, 2008

Ayat Ayat Cinta (The Movie, 2008

Link ada di sini.

Category: Movies
Genre: Drama

Ayat-ayat Cinta (AAC, 2008) jadi film paling ditunggu kehadirannya di awal tahun ini. Ya, siapa tak penasaran melihat bagaimana novel laris itu diangkat jadi karya sinema. Mirip film Harry Potter yang kehadirannya selalu ditunggu untuk membuktikan mana yang lebih bagus, novel atau filmnya. Untuk kasus Harry Potter, pemenangnya—di mata saya setidaknya—adalah novel. Terus terang, saya tak bisa menikmati film-film Harry Potter. Lalu, bagaimana dengan AAC versi film?

Harus saya akui, saya belum baca novelnya. Maaf, meski sudah tahu kalau novelnya teramat laris, saya tak ikutan baca ”chicklit akhwat” ini. Jangan salahkan saya untuk hal ini, setiap orang bebas memilih bacaan yang disukainya toh. Jadi, untuk AAC saya tak berhak membandingkan antara film dengan novelnya. Tulisan saya hanya mengulasnya sebagai film. Titik.

Di awal film, kita dikenalkan pada tokoh Fahri (Fedi Nuril), mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Fahri digambarkan sebagai sosok sempurna (meski, kata yang sudah baca novelnya, sosok Fahri di novel lebih sempurna): tampan, taat ibadah, pintar, juga seorang aktivis kampus. Kontan saja, Fahri jadi idola. Banyak wanita mendambakan diri jadi pendamping hidupnya.

Wanita pertama bernama Nurul (Melanie Putria), putri tunggal seorang ustadz yang juga tengah menuntut ilmu di Al Azhar. Fahri dan Nurul sama-sama aktivis organisasi mahasiswa Indonesia di Mesir. Tentu saja, Nurul hanya bisa memendam rasa cintanya.

Wanita kedua bernama Maria (Carissa Puteri), seorang penganut kristen Koptik, tetangga Fahri di flat sempit di pojok Kairo. Maria hadir bagai dewi penolong buat Fahri dan kawan-kawan satu flatnya. Maria selalu ada saat Fahri butuhkan. Maria yang membantu Fahri menyelesaikan tugas akhirnya, mengirimi makanan dan sirup kesukaan Fahri.
Pada kedua wanita itu Fahri tak menaruh hati. Ia hanya menganggap mereka sekadar sahabat.

Wanita ketiga seorang perempuan teraniaya bernama Noura (Zaskia Adya Mecca). Ia kerap disiksa ayahnya, yang ternyata bukan ayah kandung dan berniat menjualnya menjadi pelacur. Suatu malam, Noura disiksa di luar flat Fahri. Bersama Maria, Fahri menyelamatkan Noura, menitipkannya ke rumah Nurul. Fahri berjanji mencari ayah kandung Noura. Diam-diam Noura juga jatuh hati pada Fahri. Ia mengirim surat cinta pada Fahri.

Syahdan, Fahri bertemu wanita keempat, seorang perempuan bule muslim bercadar. Namanya, Aisha, berdarah Jerman dan keponakan senior Fahri di Al Azhar (diperankan Surya Saputra). Aisha inilah pilihannya. Tapi bagaimana ia melmar Aisha? Kuliahnya belum lulus. Beruntung, Syaikh Ustman, gurunya di Al Azhar datang pada Fahri menawarkan untuk ber-taaruf dengan seorang wanita (taaruf artau perkenalan adalah cara Islam untuk mencari calon pengantin). Wanita itu ternyata adalah Aisha. Maka, menikahlah Fahri dengan Aisha.

Cerita tak berakhir di sini. Maria dan Nurul uring-uringan ditinggal pujaan hati. Bahkan Maria sampai sakit segala. Sedang Noura lebih ekstrim lagi: menuduh Fahri memerkosanya hingga hamil. Kontan Fahri dihadapkan ke meja hijau, dituntut hukuman mati. Drama di ruang pengadilan lantas menjadi sajian utama film. Aisha berusaha setengah mati membuktikan kalau suaminya tak bersalah. Maria yang tengah sakit jadi saksi kunci. Masalahnya, bagaimana menyadarkan Maria yang tengah sakit keras gara-gara merindu Fahri? Mudah saja: minta Fahri menikahi Maria.

Langkah ini membuat Fahri terbebas dari tiang gantung. Namun, membuatnya mengharuskannya menjalani poligami. Segala kekikukkan kehidupan poligami dijalani Fahri, Aisha yang tengah mengandung, dan Maria yang berangsur-angsur sembuh. Kita diajak tersenyum. Namun, tentu saja, film mesti berakhir. Dan bagaimana cara mudah mengakhiri film, membuat penonton keluar dari bioskop dengan perasaan senang karena telah melihat cinta sejati akhirnya menang? Saya tak ingin jadi spoiler. Yang pasti, kira-kira tak simpatik buat penonton kebanyakan bila filmnya berpihak pada poligami.

Hingga film berakhir, saya menikmati sajian yang disuguhkan Hanung Bramantyo, sang sutradara. Pada beberapa adegan, saya ikut terharu dan tersenyum. Namun demikian, tetap ada yang mengganjal saat menontonnya. Dan persoalannya bukan pada cerita maupun tingkah pemain utama. Melainkan pada tata artistik film. Lantaran film yang mestinya syuting di Mesir (sesuai novel aslinya) dipindah ke India dan Semarang. Bagaimana pun India dan Semarang bukan Mesir. Daerah kumuh Mesir tempat tinggal Fahri lebih mirip sudut kota di negara-negara Arab dalam film Aladdin. Universitas Al Azhar? Duh, buat saya malah lebih mirip kampus IAIN atau pesantren Gontor. Para mahasiswa di sana, lebih mirip para ikhwan dan akhwat di kampus-kampus negeri ini. Lalu, orang-orang Melayu yang disulap jadi Arab juga terasa mengganggu.

Dana sepertinya jadi soal utama di sini. Dan itu bukan salah Hanung, melainkan MD Entertainment selaku produser. Hanya saja, alangkah lebih bijak bila film ini tak dipaksakan untuk mengadopsi novelnya bulat-bulat. Dalam arti, bila dana jadi kendala, cukuplah film ini hanya mengadopsi kisah novelnya saja. Soal setting cerita, bisa dipindah ke Indonesia. Sesungguhnya, kisah AAC bisa saja dialami seorang ikhwan di Jakarta, Malang, atau Bandung.

Pembuat film AAC bisa berkaca pada Francis Ford Coppola yang memindahkan setting Afrika ke belantara Vietnam saat mengadaptasi novel The Heart of Darkness untuk dijadikan film Apocalypse Now (1979). Hasilnya, malah jadi film perang klasik. Atau, bisa pula berkaca pada Peter Weir saat membuat The Year in Living Dangerously (1982), film soal kemelut politik di tahun 1960-an dari kacamata wartawan Australia. Lantaran tak dibolehkan syuting di Indonesia oleh rezim Soeharto, Weir memindahkan lanskap Indonesia ke Filipina. Weir membuat film yang dari segi penceritaan bagus, namun buat orang Indonesia yang menontonnya tentu saja menemukan banyak kejanggalan. Indonesia yang diupayakan hadir tak nampak. Dari segi setting, film Pengkhianatan G30S PKI (1984) Arifin C. Noer malah lebih unggul.

Walhasil, ini semua saya kembalikan pada keberanian para sineas dan penulis novelnya. Sayang memang, saat mentok pada masalah dana, hal di atas tak jadi solusi.***

AYAT-AYAT CINTA (2008)
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis: Salman Aristo dan Gayatri S. Noer
Pemain: Pemain: Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Zaskia Adya Mecca, Melanie Putria