Thursday, April 27, 2006

[ARTIKEL Nadirsyah Hosen] Reformasi Syariat Birokrasi


From: "Nadirsyah Hosen" <
nhosen@gmail.com>Date: Wed, 26 Apr 2006 10:03:28 -0000Subject: Reformasi Syariat Birokrasi


Reformasi Syariat Birokrasi
Nadirsyah Hosen*)


Berakhirnya kekuasaan Orde Baru (1966-1998) ditandai dengan semangatmelakukan reformasi. Setelah tuntasnya reformasi personal (tahappertama) yang dicirikan dengan naiknya para pemain baru di gelanggangpolitik nasional, reformasi tahap kedua digelar dengan melakukanamandemen UUD 1945. Periode reformasi konstitusional ini kemudiandiikuti dengan tahapan berikutnya: reformasi birokrasi.

Unsur pelayanan publik dan penataan kembali aparat pemerintah baik dipusat maupun di daerah guna menjadikan birokrasi lebih efisien danefektif adalah unsur penting dari reformasi birokrasi. Tersendatnyareformasi pada periode ini bukan saja mempersulit amanat gerakanmahasiswa 1998 untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),tapi juga membuat masyarakat luas tidak merasakan dampak positifgerakan reformasi paska Orde Baru.

Dalam konteks ini menarik dicermati respon sejumlah kelompok Islamuntuk turut serta dalam proses reformasi. Mereka memaknai reformasisebagai cara agar syariat Islam dapat diterapkan di Indonesia. Setelahgagal mendesakkan usulannya untuk mengamandemen pasal 29 UUD 1945dengan memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta, sejumlahelemen di tubuh umat mempromosikan ide penerapan syariat Islam dibeberapa daerah.

Bukannya turut serta menggagas dan mengisi program reformasibirokrasi, sesuai prinsip negara hukum dan pemerintahan yang baik,mereka malah asyik mempromosikan syariat versi mereka melaluitangan-tangan birokrasi. Ini yang saya sebut dengan "syariatbirokrasi".

Topik yang diatur mulai dari masalah aturan berpakaian, pembuatanpapan nama Arab Melayu, pemberlakuan "jam malam" bagi perempuan sampaidengan diadakannya program baca tulis al-Qur'an bagi calon pengantin.Bentuk perangkat hukum yang digunakan mulai dari Surat Edaran Bupati,Instruksi Walikota, Surat Gubernur sampai dengan Peraturan Daerah(Perda).

Syariat birokrasi semacam ini paling tidak mengandung tiga persoalan.Pertama, syariah Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit sematayang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagalmempromosikan susbtansi ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalamkonteks pelayanan publik. Bagi masyarakat, syariat Islam dianggapberhasil diterapkan apabila pegawai di kantor bupati melayani publikdengan baik, efektif, efisien dan tidak ada unsur KKN. Bukanlahmenjadi soal apakah pegawai tersebut berjilbab dan apakah papan namakantor bertuliskan huruf Arab Melayu atau tidak.

Contoh lain adalah bagaimana para penggagas penerapan syariat Islamitu memberikan kontribusi pemikiran agar birokrasi kita di daerahlebih ramping dan tepat sasaran serta membenahi sistem penggajian daninsentif yang adil sesuai dengan merit system.

Indikator berikutnya adalah fasilitas publik seperti toilet umum,jalan raya, air bersih, lampu penerangan, angkutan umum, dan gedungsekolah terpelihara dengan baik dan dapat dimanfaatkan sepenuhnya olehmasyarakat. Ini semua termasuk inti atau substansi dari syariat Islam.Dan celakanya, ini pula yang sulit kita dapati di daerah yangmenerapkan atau tidak menerapkan syariat birokrasi. Lalu apa bedanyabagi masyarakat antara menerapkan syariat atau tidak?

Kedua, sebagian topik yang diatur dalam syariat birokrasi sebenarnyasudah kebablasan. Tidak ada aturan fiqh yang mengatur pasangan calonpengantin untuk pandai baca-tulis al-Qur'an. Fiqh juga tidakmemberikan sanksi duniawi baik administratif ataupun pidana, bagiperempuan yang tidak menutup rambutnya. Kalaupun pemakaian jilbabdianggap kewajiban syar'i, maka ini merupakan urusan individu dengansang Khalik. Syariat birokrasi telah mencampuradukkan mana yangtuntunan moral, mana yang berupa anjuran dan mana yang berupakewajiban agama.

Ketiga, syariat birokrasi di sejumlah dareah juga tidak memenuhiparadigma birokrasi modern: catalytic government dan community-ownedgovernment (David Osborne dan Ted Gaebler, 1993). Birokrasipemerintahan seharusnya lebih berfungsi sebagai katalis, yangmelepaskan bidang-bidang yang seharusnya dapat dikerjakan sendiri olehmasyarakat. Masalah berpakaian dan kemampuan memahami huruf Arabsejatinya merupakan urusan masyarakat bukan urusan birokrasi.Birokrasi seharusnya memberdayakan masyarakat agar tidak tergantungsepenuhnya kepada pemerintah. Yang kita saksikan beban birokrasi kitamalah menjadi semakin bertambah.

Kegairahan sejumlah daerah menerapkan syariat birokrasi justru dapatmenjadi bumerang ketika masyarakat lambat laun akan menyadari bahwahidup mereka tidak berubah menjadi lebih baik. Reformasi bukan sekedarmengubah aturan. Menurut Justice Kirby, reform is a change for thebetter.

Kita pantas untuk khawatir kalau syariat birokrasi ini dapatmelalaikan kita untuk fokus pada tahapan reformasi yang amat mendesakkita lakukan saat ini: reformasi birokrasi!

*) Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Australia-Selandia Baru, dan peraihdua gelar PhD dari National University of Singapore dan University ofWollongong.
 Posted by Picasa

5 comments:

hey it's me said...

assalamualaikum ustadz n family, aku izin mo copy paste artikelnya ya? ada tugas dari atasan. Trims

hey it's me said...

assalamualaikum ustadz n family, aku izin mo copy paste artikelnya ya? ada tugas dari atasan. Trims

hey it's me said...

assalamualaikum ustadz n family, aku izin mo copy paste artikelnya ya? ada tugas dari atasan. Trims

Rahmat Ali said...

Ok deh. Sedot aja.
Hehe...

;))

Rahmat Ali said...

Ok deh. Sedot aja.
Hehe...

;))