Wednesday, August 08, 2007

Ruang Negosiasi Pthomrerk Ketudhat

Ruang Negosiasi Pthomrerk Ketudhat


Maria Hartiningsih

ADA musim ketika si miskin di kota menjadi "raja". Para politikus mengunjungi mereka di permukiman kumuh di bantaran kali, di pinggir rel kereta api, di kolong jembatan, di mana-mana. Mereka disentuh, dipuji peran dan potensinya, seraya diobrali janji-janji. Begitu berhasil mendapat kursi yang diperebutkan, lupakan semuanya.

Situasi seperti itu terjadi di Bangkok, Thailand, saat pemilihan umum di daerah maupun nasional. "Para politikus membeli suara dengan caranya yang semakin terbaca ketika rakyat makin sadar politik," ujar Pthomrerk Ketudhat (58).

Sosiolog dari Universitas Thammasat, Bangkok, dan aktivis yang bekerja dengan kaum miskin kota itu ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. Ia diundang Institute for Ecosoc Rights untuk berbicara dalam lokakarya nasional bertema "Merumuskan Kota sebagai Ruang Publik: Menggali Perspektif bagi Demokrasi, Keberwargaan, dan Kontrak Sosial Baru dalam Pengembangan Kota".

"Sulit memercayai politisi sepanjang kekuasaan tidak digunakan menyejahterakan rakyat. Selalu ada agenda tersembunyi di balik kebaikan-kebaikan," ujarnya.

Itu juga yang membuatnya risau ketika tiba-tiba isu agama memasuki wilayah politik. Di Thailand, kata Ketudhat, mulai muncul gagasan dari kelompok konservatif-fundamentalis untuk memasukkan Buddha sebagai agama negara di dalam konstitusi. "Itu kan tidak mungkin. Agama adalah hak individual," ujarnya.

Kerja penyadaran hak-hak warga negara telah ia lakukan berpuluh tahun. Selama itu ia lebih mudah ditemukan di tengah komunitas miskin yang dia dampingi, dibanding di kantornya yang nyaman di kompleks universitas. "Waktu saya mengajar tinggal dua tahun lagi. Setelah itu, saya lebih bebas bekerja di lapangan," katanya menambahkan.

Ia mengikuti rapat warga di mana saja, makan dan minum bersama mereka, menghirup udara kemiskinan yang pengap di tempat-tempat kumuh, dan turun ke jalan kalau diperlukan. Dari pergaulan yang intens dengan kaum miskin itu, ia tahu benar apa makna demokrasi dalam kehidupan sehari-hari kelompok yang terpinggirkan itu.

Seperti dikemukakan Sri Palupi dari Institute for Ecosoc Rights, yang melakukan penelitian selama beberapa waktu di Bangkok, Ketudhat berperan besar dalam membantu membangun gerakan masyarakat warga. Ia mendorong komunitas miskin mengorganisasi diri, membangun jaringan dengan organisasi-organisasi serupa di kota Bangkok, dan menjadi kelompok penekan yang memiliki posisi tawar.

Informasi itu membuat lebih mudah memahami penjelasan Ketudhat tentang organisasi-organisasi komunitas miskin, seperti komunitas bantaran rel kereta api, komunitas pinggir kali, dan komunitas tunawisma, yang satu sama lain saling mendukung dalam perjuangan mendapatkan hak dasar sebagai warga negara.

"Saya hanya menemani warga menghadapi masalahnya," ujar Ketudhat. "Mereka yang paling tahu tentang situasinya dan tahu bagaimana keluar dari kondisi kemiskinan itu."

"Orang luar"

Ketudhat menyadari posisinya sebagai "orang luar". Karena itu, ia selalu menempatkan diri di tengah; antara warga dan organisasi; antara organisasi dan pihak pemerintah kalau sudah sampai ke meja perundingan. Dalam aksi unjuk rasa, dialah yang bernegosiasi dengan polisi supaya tidak terjadi kekerasan.

"Dewan kota di Bangkok penuh dengan politisi. Mereka mengangkat orang-orang dari universitas dan organisasi nonpemerintah sebagai penasihat atau staf ahli. Itu cara untuk membungkam," kata Ketudhat.

Bangkok yang tampak luar dikenal "ramah" terhadap kaum miskin kota, dalam kenyataannya senantiasa berada dalam situasi "dinamis". "Keramahan" yang tampak itu adalah hasil negosiasi terus-menerus antara rakyat dan pemerintah kota. Ruang negosiasi itu tidak diberikan begitu saja, tetapi direbut dengan cara-cara yang elegan.

"Kami harus menunjukkan sumbangan kaum miskin bagi pembangunan kota kepada para pembuat kebijakan," kata Ketudhat.

Menurut dia, pernah ada usulan mendekati partai politik agar masalah itu masuk dalam agenda partai. Usulan itu tak banyak didukung karena khawatir isu itu digunakan untuk menutupi agenda politik tertentu.

Kemiskinan di kota selalu terkait dengan kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja di pedesaan. Di kota, warga miskin adalah sumber tenaga kerja yang menopang produktivitas warga kota.

Salah satu cara untuk menguatkan posisi tawar komunitas miskin kota itu adalah dengan menawarkan proposal pada pemerintah kota tentang potensi mereka.

"Kami menggandeng para ahli dari universitas lain untuk membantu rakyat mempresentasikan ide-ide membuat kawasan yang hendak digusur itu menjadi lebih bersih, teratur, dan lebih hijau. Asosiasi Arsitek Siam bekerja dengan mereka," ujar Ketudhat.

Organisasi nonpemerintah membantu warga mengubah cara hidup. Mereka dilatih membuat serta menjual cendera mata, dan menjadi pebisnis dengan mendirikan warung-warung kopi berstandar tertentu. "Kawasan itu bisa ditawarkan untuk wisatawan," tuturnya.

Sejarah komunitas penting dalam kampanye menolak penggusuran. Ketudhat mencontohkan Komunitas Pom Mahakan, yang sudah berjuang selama 18 tahun untuk mempertahankan tempat bermukim tiga generasi selama 200 tahun terakhir. Kawasan itu dulu menjadi tempat bermukim kelompok pemain musik klasik.

"Kami merekrut kelompok orang yang menyukai drama tradisional untuk menunjukkan bahwa komunitas itu sangat potensial mengembangkan kebudayaan. Dan, mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Tempat ini dapat dijual sebagai bagian dari atraksi wisata," katanya.

Komunitas yang terletak di wilayah kota tua itu sekarang berada di bawah proyek promosi pariwisata. Kesepakatan antara warga dan pemerintah kota belum tercapai, tetapi proposal itu telah diterima.

Ketudhat mengemukakan, pembangunan kota harus bertautan langsung dengan kualitas hidup warga dalam arti luas. Bagi komunitas miskin, upaya meningkatkan kualitas hidup itu harus berhadapan dengan hukum dan kekuasaan yang lebih bersifat menindas daripada melindungi.

Nyawa kedua

Pthomrerk Ketudhat menyelesaikan Master of Arts di bidang Antropologi dari Universitas Pennsylvania, AS, pada tahun 1979. Namun, ia tak menyelesaikan PhD karena pembimbingnya meninggal. Kembali ke Thailand tahun 1983, ayah dua anak itu langsung terlibat aktivisme dengan kaum miskin kota.

Ketudhat masih menyimpan trauma penggusuran sampai sekarang. Penggusuran rumah keluarga besarnya membuat Ketudhat kehilangan kehangatan masa kecil, saudara, teman-teman, dan lingkungan bermain.

"Tempat bermukim itu seperti nyawa kedua," ungkap Ketudhat. Karena itu, ia menegaskan, memindahkan manusia bukan memindahkan barang.

Ia mengisahkan tentang seorang perempuan tua di kawasan kumuh yang menolak tawaran anaknya untuk pindah ke kawasan elite di Bangkok. Kata sang ibu, di rumah itu hidupnya dibangun. Tapak kenangan melekat di setiap sudutnya, tak tergantikan apa pun.[]

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/08/Sosok/3748960.htm

No comments: