Saturday, April 21, 2007

JAWABAN TIM Jemaat [Islam] Ahmadiyah Indonesia Terhadap Beberapa Pertanyaan Dirjen Bimas Islam Depag RI

بسم الله الرحمن الرحيم نحمده ونصلي ونسلم على محمد رسوله الكريم
وعلى عبده المنصور المهدي المعهود والمسيح الموعود
JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA
Badan Hukum Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA.5/23/13 tgl. 13 Maret 1953
Jln. Raya Parung – Bogor No. 27; PO BOX 33/Pru – Bogor 16330
Tlp. (0251) – 614524, 618025; Fax. (0251) 617961

No. : 778/11 April 2007
Lampiran : 1 (satu) Berkas Tanya Jawab
Hal : Jawaban Pertanyaan Dalam Acara Dialog

Kepada Yth.:
Bapak Prof. DR. H. Nasaruddin Umar, M.A.
Direktur Jenderal Bimas Islam
Departemen Agama Republik Indonesia
Di Jakarta


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Semoga Bapak senantiasa sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Allah Ta’ala, diberkati dan diridhai-Nya dalam mengkhidmati bangsa Indonesia tercinta ini. Amin!

Atas nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sekali lagi saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas prakarsa Bapak untuk mengadakan dialog dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang telah terlaksana dengan amat baik, al-hamdulillah. Kami yakin bahwa dialog-dialog semacam ini akan sangat membantu untuk mengurangi, bahkan menghilangkan kesalahpahaman di antara sesama umat Islam.

Kami mengharapkan semoga dialog-dialog seperti yang telah Bapak prakarsai itu dapat diadakan lagi di masa-masa mendatang.

Bersama surat ini kami sampaikan berkas Tanya Jawab yang telah kami lengkapi. Selama dialog waktu berjalan begitu cepat sehingga kami tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk menyampaikan penjelasan yang memadai. Oleh sebab itu, sesuai dengan janji kami, maka dengan ini kami sampaikan penjelasan-penjelasan yang belum dapat kami sampaikan dalam dialog tersebut.

Bila Bapak izinkan, berkas Tanya Jawab ini akan kami sampaikan juga kepada para Pengikut Dialog supaya beliau-beliau mempunyai informasi/jawaban yang lebih lengkap.

Demikian untuk Bapak maklumi dan kami ikut berdoa, semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan, perlindungan dan bimbingan-Nya kepada Bapak dalam usaha memperbaiki citra umat Islam di Indonesia, Amin!
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia



Ir. H. Anis Ahmad Ayyub
Sekretaris Tarbiyat

Tembusan:
Yth. Bpk. Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia


--
JAWABAN TIM
JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA
TERHADAP BEBERAPA PERTANYAAN


Pertanyaan ke 1

Bagaimana pandangan Ahmadiyah terhadap kondisi umat Islam saat ini dan bagaimana solusinya?

Jawaban:
Kebanyakan umat Islam saat ini masih dalam kondisi terpuruk dalam semua aspek, terlebih dalam aspek kehidupan beragama dan akhlaq sampai-sampai terkesan dalam pandangan umat beragama lain sebagai terroris. Padahal umat Islam zaman Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dinyatakan sebagai umat paling baik (3:111), paling unggul (2:144) dan sebagai rahmat bagi bangsa-bangsa (21:108) yang senantiasa berserah diri kepada setiap kehendak Allah ta’ala dan berbuat baik kepada siapa pun (2:113) karena semua manusia hakikatnya adalah keluarga Allah ta’ala yang harus diperlakukan dengan baik, meskipun ia pernah berbuat jahat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْخَلْقُ كُلُّهُمْ عِيَالُ اللهِ وَتَحْتَ كَنْفِه فَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى عِيَالِهِ وَأَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ مَنْ ضَيَّقَ عَلَى عِيَالِهِ
Semua manusia itu keluarga Allah dan berada dalam lindungan-Nya, maka manusia yang paling mencintai Allah adalah orang yang berbuat baik kepada keluarga-Nya dan orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang membuat kesedihan kepada keluarga-Nya (Ad-Dailamiy dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz VI/16170).

Demikian pula wahyu Allah ta’ala kepada sahabat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anh yang berbunyi sebagai berikut:

قَالَ عُمَرُ رَئَيْتُ رَبِّي فِى الْمَنَامِ فَقَالَ يَا بْنَ الْخَطَّابِ أَعْرِضُ عَلَيْكَ مُلْكِي وَمَلَكُوتِي وَأَقُولُ لَكَ تَمَنَّ عَلَيَّ وَأَنْتَ فِى ذَالِكَ تَسْكُتُ فَقَالَ يَا رَبِّ شَرَّفْتَ اْلأَنْبِيَاءَ بِكُتُبٍ أَنْزَلْتَهَا عَلَيْهِمْ فَشَرِّفْنِي بِكَلاَمٍ مِنْكَ بِلاَ وَاسِطَةٍ فَقَالَ يَابْنَ الْخَطَّابِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِ فَقَدْ أَخْلَصَ لِيْ شُكْرًا وَمَنْ أَسَاءَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ فَقَدْ بَدَّلَ نِعْمَتِي كُفْرًا
Hadhrat Umar berkata: saya melihat Tuhanku dalam mimpi , lalu Dia berfirman: “Wahai, Ibnul-Khathab, mintalah kepada-Ku apa yang engkau sukai” Saya diam, kata Umar, maka Dia berfirman sekali lagi, kata-Nya: “Wahai, Ibnul-Khathab! Aku mengemukakan kepada engkau kerajaan jasmani dan ruhani dan aku berkata kepada engkau: Mintalah apa yang engkau sukai, akan tetapi engkau diam saja”. Lalu, saya berkata, kata Umar: “Wahai Tuhanku! Engkau telah memuliakan para Nabi dengan kitab-kitab yang telah Engkau turunkan kepada mereka, maka muliakanlah saya dengan perkataan (wahyu) Engkau tanpa perantara, Dia berfirman: “Wahai Ibnul-Khathab! Siapa saja membalas dengan kebaikan kepada orang yang telah berbuat jahat, maka dia telah berterima kasih kepada-Ku dengan sebenar-benarnya, dan siapa saja yang membalas dengan kejahatan kepada orang yang berbuat baik kepadanya, maka dia telah menukar nikmat-Ku dengan kekufuran” (Nuzhatul-Majalis, Jilid I, hal. 107, babul-chilmi wash-shochi).

Namun kenyataan umat Islam pada umumnya kini masih tidak mengindahkan ajaran dan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, malah prilaku mereka banyak yang berlawanan dengan ajaran Islam, bahkan justru sebagian umat Islam seperti keadaan umat yang sangat dikhawatirkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadisnya berikut ini:

يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى مِنَ اْلإِسْلاَمِ إِلاَّ اسْمُه وَلاَ يَبْقَى مِنَ الْقُرْآنِ إِلاَّ رَسْمُه مَسَاجِدُهُمْ عَامِرَةٌ وَهِيَ خَرَابٌ مِنَ الْهُدَى عُلَمَآءُهُمْ شَرُّ مَنْ تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَآءِ مِنْ عِنْدِهِمْ تَخْرُجُ الْفِتْنَةُ وَإِلَيْهِمْ تَعُودُ
Hampir-hampir datang kepada manusia satu zaman yang tiada Islam kecuali tinggal namanya dan tiada Alquran kecuali tinggal tulisannya, masjid mereka ramai namun sunyi dari petunjuk, Ulama mereka seburuk-buruk orang yang berada di bawah kolong langit, dari mereka keluar fitnah dan kepada mereka fitnah itu kembali (Ibnu Addiy dalam Al-Kamil, Al-Baihaqi dalam Syi‘abul Iman dari Ali radhiyallaahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz IX/31136, 31522).

Solusinya, umat Islam harus kembali kepada kitab suci Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar umat Islam tidak hidup tersesat jalan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِه فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه
Wahai manusia sesungguhnya aku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu di kalangan kalian, jika kalian berpegang-teguh kepadanya kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya (Al-Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas ra dan Kanzul-Umal, Juz I/954).

Jamaah Islam Ahmadiyah meyakini bahwa pengakuan Pendirinya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam adalah Imam Mahdi dan Isa ibnu Maryam yang dijanjikan kedatangannya untuk menghidupkan api Islam, memperbaiki kerusakan umatnya dan menampakkan keindahannya kembali di akhir Zaman ini sehingga umat Islam bersatu kembali, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

كَيْفَ تَهْلِكُ أُمَّةٌ أَنَا أَوَّلُهَا وَعِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ آخِرُهَا
Bagaimana umat akan rusak sedang aku ada di awalnya dan Isa ibnu Maryam ada di akhirnya (Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38858)

خَيْرُ اْلأُمَّةِ أَوَّلُهَا وَآخِرُهَا ، أَوَّلُهَا فِيهِمْ رَسُوْلُ اللهِ وَآخِرُهَا فِيهِمْ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
Sebaik-baik umatku adalah awalnya dan akhirnya. Pada awalnya ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada akhirnya ada Isa ibnu Maryam (Abu Nu‘aim dalam Al-Chilyah dari Urwah bin Ruwaim radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz XI/32456).

ثُمَّ يَنْزِلُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا بِمُحَمَّدٍ عَلَى مِلَّتِهِ إِمَامًا مَهْدِيًا وَحَكَمًا عَدَلاً فَيَقْتُلُ الدَّجَّالَ
Kemudian Isa ibnu Maryam turun dengan membenarkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas agamanya sebagai Imam Mahdi dan Hakim yang adil, lalu ia membunuh Dajjal. (Al-Thabrani dalam Al-Kabir dari Anillah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz XIV/38808)

Strategi Ahmadiyah dalam memperjuangkan risalah Islam ini dengan menggunakan 5 cabang, yaitu: (1) Mencetak buku-buku Literatur Islam; (2) Menerbitkan majalah dan brosur-brosur Islam; (3) Silaturrahmi kepada siapa pun; (4) Koresponden untuk mencari kebenaran Islam dan (5) Menerima bai’at orang yang ingin bergabung dalam Jamaah Islam Ahmadiyah untuk memperjuangkan Islam dan menghidupkan Sunnah Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semua perjuangan tersebut dilakukan semata-mata untuk memenangkan Islam di atas semua agama, sebagaimana firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَه‘ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَه‘ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dan Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkan itu di atas sekalian agama, walaupun kaum musyrik tak suka (Al-Shaf, 61:10)

Jadi, Islam mengajarkan untuk berkompetisi dengan semua agama agar kebenaran dan keindahan Islam tampak jelas di hadapan semua manusia di dunia ini dan rahmatnya dirasakan oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Akan tetapi tidak boleh dilakukan dengan paksaan, apalagi dengan kekerasan karena Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak diperkenankan suatu paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah nyata bedanya kebenaran dari kesesatan …. (Al-Baqarah, 2:257)

Sehingga manusia dapat memilih agama sesuai dengan pemahaman yang diingininya untuk diikutinya dengan hati yang tulus karena kecintaannya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan di Akhirat ia termasuk golongan orang yang merugi (Ali Imran, 3: 86).

Adapun kekuatan yang diandalkan Ahmadiyah dalam memperjuangkan Islam ini ada empat, yaitu: (1) Kekuatan argumentasi (hujjah) atau dalil; (2) Kekuatan bukti (bayyinah); (3) Kekuatan Taqwa dan (4) Kekuatan doa dalam satu system Khilafatul-Masih. Kini, dipimpin Khalifatul-Masih Al-Khamis, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ayyadahullahu ta’ala binashrihil-‘aziz.

Adapun untuk mengatasi krisis di Indonesia yang manyoritas penduduknya mengaku beragama Islam, pernah disampaikan oleh Imam Jamaah kami, Khalifatul-Masih IV Hadhrat Mirza Tahir Ahmad rahmatullah ‘alaih kepada Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika berkunjung ke Indonesia tahun 2000 lalu. Ada 4 hal yang masih kami ingat yaitu: (1) Persatukan kaum muslimin Indosesia; (2) Selamatkan generasi muda dari Narkoba; (3) Berantas Korupsi dan (4) Jangan sekali-kali pinjam uang IMF.


Pertanyaan ke 2

Bagaimana posisi Tadzkirah dan Khalifatul-Masih sebagai Imam bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

Jawaban:
Tadzkirah adalah satu buku yang berisi himpunan pengalaman ruhani berupa ilham, kasyaf, ru’ya dan wahyu dari Allah ta’ala kepada Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘laihis salam yang dihimpun dan disusun oleh Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir dan Maulwi Abdul Rasyid dari buku-buku, selebaran-selebaran, dan catatan-catatan harian beliau. Buku Tadzkirah ini diterbitkan pertama kali tahun 1935 terdiri dari 664 halaman; terbitan kedua tahun 1956 terdiri dari 840 halaman dan terbitan ketiga tahun 1969 terdiri dari 818 halaman. Jadi, buku Tadzkirah itu baru diadakan 27 tahun setelah Pendirinya wafat (1835 – 1908). Adapun posisi buku Tadzkirah sebagian merupakan tafsir dari beberapa ayat Al-Quran, syarah Hadis Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kabar suka, peringatan dan nubuwatan-nubuwatan yang kebenarannya sudah terbukti dan yang akan terbukti.

Sedang posisi Khalifatul-Masih sebagai Imam Jemaat Ahmadiyah di Indonesia adalah sebagai pucuk Pimpinan Internasional dalam memperjuangkan agama Islam (keruhanian), sebagai penerus kepemimpinan Imam Mahdi dan Masih Mau’ud ‘alaihis salam untuk kemajuan, kebaikan dan keindahan Islam dan pengikutnya, sedang dalam urusan kenegaraan sepenuhnya mengikuti Pemerintah yang shah, yaitu Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Pertanyaan ke 3

Bagaimana pemahaman Dajjal menurut Ahmadiyah?

Jawaban:
Untuk memahami makna Dajjal perlu memperhatikan kedua Hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَنْ حَفِظّ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
Siapa yang hafal 10 ayat dari awal surat Al-Kahfi pasti diselamatkan dari fitnahnya Dajjal (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’I dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz I/2601)

مَنْ قَرَأَ الْعَشْرَ اْلاَوَاخِرَ مِنْ سُوْرَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنْ
فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
Siapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari Surat Al-Kahfi, ia diselamatkan dari fitnahnya Dajjal. (At-Turmudzi; dari Hazrat Abu Darda' radhiyallahu ‘anhu dan Kanzul-Ummal, Juz I/2599).

Kedua Hadis tersebut mengisyaratkan seluruh Surat Al-Kahfi yang berisi dua aspek ancaman kaum Nasrani terhadap keimanan kaum muslimin. Aspek pertama bersifat Keagamaan, dan aspek kedua bersifat Keduniaan. Berdasarkan kedua Hadits tersebut orang akan memahami makna Dajjal, apabila ia memahami surat Al-Kahfi, khususnya 10 ayat awal dan 10 ayat akhir dari surat tersebut. Dalam ayat 5 dan 6 Allah Ta‘ala berfirman:

وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا . مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
Dan Alquran itu untuk memperingatkan orang-orang yang berkata: Allah telah memungut seorang putra. Mereka tak mempunyai pengetahuan tentang itu, demikian pula ayah-ayah mereka. Mengerikan sekali kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Tiada mereka mengucapkan itu kecuali hanya kebohongan (Al-Kahfi, 18:5-6)

Menurut 2 ayat tersebut yang dimaksudkan dengan Dajjal adalah golongan pengikut agama yang mengajarkan bahwa Allah itu mempunyai seorang anak laki-laki. Dalam agama ini banyak ajaran palsu yang diakukan sebagai ajaran Isa Al-Masih. Karena itu Nabi kita Al-Mushthafa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan istilah Al-Masihid-Dajjal, artinya Al-Masih yang palsu (pembohong), karena mereka mengajarkan kepalsuan yang diatas namakan Al-Masih Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ ! إِنَّ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى ، كَأَنَّ عَيْنَه‘ عِنَبَةٌ طَائِفَةٌ
Ingatlah! Sesungguhnya Al-Masihid-Dajjal itu mata kanannya buta, seakan-akan matanya sebuah anggur yang tak berisi … (Al-Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Kanzul-Ummal, Juz XIV/38739)

Nah, jelaslah bagi kita bahwa berdasarkan Hadis tersebut kaum Nashrani atau Kristiani itu dijuluki dengan Al-Masihid-Dajjal dari aspek religious, karena ajaran palsu mereka diatasnamakan Al-Masih Isa ibnu Maryam. Mereka mengajarkan Trinitas, padahal Al-Masih Isa ibnu Maryam mengajarkan Tauhid. Kaum Nashrani mengajarkan Al-Masih Ibnu Maryam adalah Putra Allah, pada hal Al-Masih Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam hanyalah seorang Rasul , sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam Al-Quran:
وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
Dan Al-Masih berkata: Wahai Bani Israil, mengabdilah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya siapa saja yang menyekutukan Allah, sungguh Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya adalah Api Neraka (Al-Maidah, 5:73)

إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُه‘ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِه وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ
Al-Masih Isa ibnu Maryam hanyalah Rasul Allah dan firman-Nya yang Ia sampaikan kepada Maryam dan ruh kemurahan dari Dia. Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan janganlah berkata: Tiga Trinitas (Al-Nisa, 4:172)

Sedang dari aspek kebangsaannya, mereka itu di sebut Ya’juj wa Ma’juj (18:95; 21:97) yang bahasa Eropanya disebut Gog and Magog. Mereka itu benar-benar mengaku sebagai keturunan Gog and Magog. Gog adalah nama nenek-moyang suku bangsa Teutonia yang menempati Eropa barat. Biasanya nama kebangsaan mereka diakhiri dengan is, seperti Inggris, Prancis, Swiss, Portugis dll. Sedang Magog nama nenek-moyang suku bangsa Slavia yang menempati Eropa timur, biasanya nama kebangsaan mereka diakhiri dengan ia, seperti Russia, Serbia, Bosnia, Croasia dll.

Sedangkan dari aspek budayanya, mereka disebut Al-Raqim (18:10), artinya bangsa yang suka memberi tulisan pada hasil karyanya atau dalam menawarkan barang-barang hasil teknologinya dengan perantaraan tulisan-tulisan atau iklan. Sedangkan dari aspek historisnya mereka itu disebut dengan Ashchabul-Kahfi (18:10), artinya para penghuni gua, sebab pada awal kehidupan kaum Kristiani tinggal di gua-gua untuk menyelamatkan keimanannya karena takut ditangkap kaum Yahudi yang bekerja sama dengan Pemerintah Romawi. Kemudian dari aspek pandangan hidupnya mereka disebut An‘am (7:180) artinya binatang ternak, karena tujuan hidup mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan perut dan bawah perutnya saja.

Adapun, cara membunuh Al-Masihid-Dajjal menurut Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Hujjah, maka dari itu Pendiri Ahmadiyah telah menulis dalam banyak bukunya bahwa Al-Masih Isa ibnu Maryam itu sudah wafat, beliau ‘alaihis salam hanyalah seorang manusia yang dipilih sebagai Nabi untuk memimpin Bani Israil dan setelah menunaikan tugasnya beliau diwafatkan dalam usia 120 tahun dan dimakamkan di Jl. Kanyar, Kasymir, India. Sehingga berkat Hujjah yang didukung dengan dalil-dalil dan bukti, insya Allah kaum Kristiani akan menyadari bahwa Tuhan Yesus (Isa‘alaihis salam) yang selama ini mereka anggap sebagai Tuhan, ternyata hanyalah seorang manusia biasa yang sudah lama diwafatkan dan dikubur di bumi ini juga, lalu mereka mau meninggalkan agama palsunya itu. Itulah makna kematian Al-Masihid-Dajjal. Jadi, maksud mata kanan Al-Masihid-Dajjal buta adalah kaum Kristiani (Ya’juj wa Ma’juj) dalam hal kerohanian (agama) dalam kegelapan sampai-sampai mereka mau menerima seorang manusia yang sudah lama mati dan terkubur di bumi ini sebagai Tuhan, pahadal beliau hanyalah manusia biasa yang berpangkat Nabi atau Rasul Allah; sedangkan mata kiri Al-Masihid-Dajjal cemerlang maknanya adalah mereka dalam urusan duniawi (materi) dapat melihat dengan terang benderang, sehingga mereka dapat mengetahui tempat-tempat yang mengandung kekayaan alam di seluruh pelosok dunia ini.

Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Ahmad ‘alaihis salam telah mengarang berbagai macam kitab untuk menyatakan kebatilan kepercayaan orang-orang Kristen dengan mengemukakan ketinggian Islam. Dan Allah telah memberitahukan kepada beliau bahwa Nabiyullah Isa ‘alaihis salam telah wafat, maka keterangan ini beliau gunakan sebagai senjata untuk mengalahkan orang-orang Kristen, sehingga orang-orang Kristen tidak berani lagi menentang Ahmadiyah (Islam sejati) dengan hujjah dan bayyinah.

Tugas Nabiyullah Isa ‘alaihis salam dari ummat Islam diutus ke dunia ini adalah untuk memecahkan salib, sebagaimana dinyatakan dalam Hadis berikut:.
يَكْسِرُ الصَّلِيبَ
Dia akan memecahkan salib (Al-Bukhari, Juz II, hal. 166).

Hadis ini menyatakan bahwa Al-Mahdi dan Al-Masih ‘alaihis salam akan membatalkan kepercayaan umat Kristen dengan keterangan-keterangan yang jelas dan tepat. Makna tersebut didukung oleh para Mufassir berikut:

Syekh Allamah Badruddin rahimahullah yang menulis berkenaan dengan “Yaksirush-shalib”, begini:

فُتِحَ لِي هُنَا مَعْنَى مِنَ الْفَيْضِ اْلإِلَهِي وَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ مِنْ كَسْرِ الصَّلِيبِ إِظْهَارُ كَذْبِ النَّصَارَى
Dengan karunia Allah telah dibukakan bagi saya satu arti “Yaksirush-shalib” yang baru, yaitu bahwa Al-Masih akan menyatakan kedustaan orang-orang Kristen (Lihat ‘Aini Syarah Al-Bukhari, Juz V, hal 584).

Syekh Ibnu Chajar Al-Asqalani menerangkan arti “Yaksirush-shalib” begini:

أَيْ يَبْطُلُ دِينَ النَّصْرَانِيَّةِ
Al-Masih akan menyatakan batalnya kepercayaan orang-orang Kristen (Lihat Fatchul-Bari, Juz VI, ha. 356).
Mula Ali Al-Qari pun menerangkan arti “yaksirush-shalib” begini:

أَيْ يَبْطُلُ النَّصْرَانِيَّةِ
Al-Masih akan membatalkan kepercayaan Kristen (Lihat Al-Mirqat, Juz, V, hal. 221).

Dengan demikian tidak ada senjata yang lebih tajam dan ampuh daripada “ilmu tentang wafatnya Al-Masih Isa” untuk menyatakan batalnya kepercayaan Kristen di masa sekarang ini dan senjata inilah yang digunakan oleh Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau’ud, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam dan para pengikutnya. Sehingga dengan karunia Allah ta’ala di mana pun orang Kristen tidak akan berani berdialog berhadapan dengan Ahmadiyah dalam hal tersebut?.





Pertanyaan ke 4

Dialog akan membawa kita kepada kecerdasan. Apa persamaan dan perbedaan Ahmadiyah dengan kaum muslimin lainnya?

Jawaban:
Kami setuju bahwa dialog itu akan membawa kita kepada kecerdasan, karena dengan dialog kedua belah pihak dapat menimbang dan menilai argumentasi mana yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat dicerna akal, sehingga seseorang dapat memilih kebenaran yang sesuai dengan penilaian hati sucinya. Karena itu jika ada perbedaan, Islam menganjurkan berdialog (16:126) agar dapat saling mengenal (49:14). Kami muslimin Ahmadiyah dengan muslimin ghair Ahmadiyah sama dalam masalah rukun Islam dan rukun Iman. Adapun perbedaan kami, muslimin Ahmadiyah dengan orang-orang Islam ghair Ahmadiyah adalah kami sudah mengenal dan mengikuti Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam yang dijanjikan kedatangannya oleh Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, sedang muslimin ghair Ahmadiyah masih menunggu kedatangannya. Selain itu kita hanya berbeda dalam sebagian penafsiran ayat Al-Quran dan syarah suatu Hadis saja. Di antara perbedaan penafsiran itu ialah sebagai berikut:

1. Kami beri’tiqad bahwa Allah itu satu Dzat-Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya dan Dia tidak bertempat, bahkan Dia telah ada sebelum alam ini diciptakan. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah beri’tiqad bahwa Allah itu bertempat di langit.
2. Kami beri’tiqad bahwa malaikat Allah itu suci tidak berdosa. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah percaya bahwa ada malaikat yang telah berbuat dosa.

3. Kami beri’tiqad bahwa para Nabi itu suci dan ma’shum. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah mengakui bahwa ada Nabi yang melanggar perintah Allah ta’ala dan ada di antara mereka yang telah berdusta dan lain-lain.

4. Kami beri’tiqad bahwa Allah ta’ala telah mengutus para Nabi dan para Rasul kepada setiap umat dan wajib kami mempercayai serta menghormati mereka itu. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah tidak mempercayai sedemikian.

5. Kami beri’tiqad bahwa Allah tetap bersifat mutakallim (berbicara), maka sebagaimana Dia telah berkata-kata dengan hamba-hamba-Nya di masa dahulu demikian juga Dia berkata-kata dengan hamba-hamba-Nya yang baik sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun wahyu yang mengandung hukum-hukum baru yang menyalahi syari’at Islam memang tidak akan turun lagi. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah mengatakan bahwa tidak ada sembarang wahyu lagi, karena Allah ta’ala tidak akan berkata-kata lagi sesudah Nabi Muhammad saw sampai Qiamat.

6. Kami beri’tiqad bahwa Nabi-nabi yang membawa syari’at baru atau Nabi yang tidak mengikuti Islam tidak ada lagi. Adapun Nabi yang taat kepada Islam, bahkan mendapatkan pangkat Kenabian hanya karena berkat mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ada sesudah beliau dan tugasnya hanya untuk memajukan Islam saja. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah percaya bahwa sembarang Nabi tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka yang mengaku menjadi Nabi dikatakan Dajjal.

7. Kami beri’tiqad bahwa Nabiyullah Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam yang telah diutus kepada Bani Israil sudah wafat sebagaimana Nabi-nabi lainnya, Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam itu masih hidup di langit dengan tubuh kasarnya sampai sekarang.

8. Kami beri’tiqad bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam yang dijanjikan kedatangannya adalah seorang dari ummat Islam sendiri, bukan Nabi Isa yang telah diutus kepada Bani Israil dahulu. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam yang telah diutus kepada Bani Israil itu juga yang akan diutus kepada ummat Islam. Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa apabila Isa ‘alaihis salam datang, ia tidak berpangkat Nabi lagi.

9. Kami beri’tiqad bahwa adzab Neraka tidak kekal selama-lamanya, ada masanya adzab itu akan habis walaupun panjang lamanya, hanya nikmat Surga saja yang kekal selama-lamanya. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah percaya bahwa ada manusia kafir yang akan dimasukkan ke Neraka untuk kekal selama-lamanya dan adzabnya tidak putus sampai kapan pun.

10. Kami beri’tiqad bahwa Isra’ dan Mi’raj itu benar-benar terjadi akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak naik ke langit dengan tubuh kasarnya, bahkan kejadian itu adalah satu kasyaf yang mulya. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah meyakini bahwa beliau sudah naik dengan tubuh kasarnya sampai di langit yang ketujuh, bahkan sampai Sidratul-Muntaha dan Baitul-Ma’mur yang lebih tinggi daripada langit yang ketujuh itu.

11. Kami beri’tiqad bahwa semua ayat Al-Quran mengandung kebenaran-kebenaran yang kekal, tidak ada di dalamnya satu ayatpun yang bathil. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah percaya bahwa ada banyak ayat Al-Quran yang tidak boleh dipakai lagi karena sudah dimansukh.

12. Kami beri’tiqad bahwa tiada paksaan dalam agama, Islam hendak mengemukakan segala kebenaran dengan keterangan yang melapangkan fikiran dan menerangi akal dan menimbulkan keyakinan di hati. Sedangkan orang-orang ghair Ahmadiyah percaya bahwa sembarang orang kafir boleh dibunuh karena kekafirannya, apalagi ketika Nabi Isa ‘alaihis salam sudah turun, dia akan membunuh semua babi dan menurut kata Ulama dia akan membunuh pula semua orang-orang kafir yang tidak mau memasuki agama Islam (lihat Tafsir Al-Khazin Juz I, hal. 516 dan menurut fatwa Imam As-Syafi’i sembarang orang kafir boleh dibunuh karena kekafirannya saja lihat Bidayatul-Mujtahid Juz I, fasal Jihad).

Kepercayaan dan pengakuan Ahmadiyah ini berdasarkan kepada alasan-alasan Al-Quranul-Majid dan Hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pendapat para sahabat yang mulia.



Pertanyaan ke 5.

Apakah Pimpinan Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia mewakili Imam Internasional?

Jawaban:
Pimpinan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinamakan Amir Nasional yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Jemaat Ahmadiyah di Negara Indonesia dengan keharusan menta’ati Hadhrat Khalifatul-Masih, sebagai Imam Internasional Jamaah Islam Ahmadiyah. Amir Nasional bukanlah merupakan Wakil Imam Internasional Jamaah Islam Ahmadiyah dalam aspek ke Imamam.


Pertanyaan ke 6

Apakah yang ingin dicapai Ahmadiyah, agar menumbuhkan etos kerja?

Jawaban:
Tujuan yang ingin dicapai Ahmadiyah adalah keridhaan Allah ta’ala. Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau’ud ‘Alaihis-salaam menjelaskan dalam buku Filsafat Ajaran Islam bahwa orang yang mengabdi kepada Allah ta‘ala untuk mencari keridhaan-Nya dengan senang dan yakin akan mendapat karunia kenikmatan apabila ia mampu menempuh delapan jalan (etos kerja) berikut ini:

1. Mengenal Allah ta‘ala lebih dahulu, sebab seseorang yang mengabdi kepada-Nya harus mempunyai persepsi yang benar tentang Allah itu yaitu satu-satunya Tuhan yang berhak untuk dimintai doa (QS 1 : 6), karena Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu. Semua wujud selain Allah ta‘ala tidak dapat mengabulkan doanya. Ibarat orang kirim surat, tetapi tidak tahu nama dan alamat orang yang dituju. Sehingga Allah ta‘ala menggambarkan mereka itu seperti orang yang selalu membuka telapak tangannya ke dalam air, “Hai air, datanglah ke mulutku!” Apakah air itu datang ke mulutnya? Sekali-kali tidak! Jadi, siapa saja yang tidak mengetahui Allah ta‘ala, maka segala doa mereka menjadi sia-sia belaka (QS 13 : 15).

2. Mendapat gambaran yang jelas tentang keindahan Allah ta‘ala. Sebab, hati sanubari manusia secara alami tertarik kepada sesuatu yang tampak indah; dan dengan menyaksikan keindahan itu, keharuan cinta akan bangkit dalam hati sanubarinya. Adapun keindahan Allah ta‘ala terletak pada Keesaan-Nya, Kebesaran-Nya, Kemuliaan-Nya dan sifat-sifat-Nya yang terlukis dalam surat Al-Ikhlas
(QS 112 : 2-5).

3. Mengenal kemurahan Allah ta‘ala, sebab perangsang yang dapat membangkitkan rasa cinta itu ada dua hal, yaitu keindahan dan kemurahan sebagaimana lukisan kemurahan Allah ta‘ala yang tertera dalam Al-Quran surat Al-Fatihah dan Ibrahim (QS 1 : 3-5 dan QS
14 : 33-35).

4. Doa. Seringkali Allah ta‘ala menyuruh manusia berdoa supaya mereka berhasil mencapai tujuan mereka, bukan karena kekuatan diri sendiri, melainkan berkat pertolongan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Mukmin (QS 40 : 61).

5. Mujahadah, yaitu semangat juang mencari Allah ta‘ala dengan cara membelanjakan harta dan mengorbankan jiwa pada jalan-Nya dan menggerakkan seluruh kecakapan pada jalan tersebut sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, At-Taubah dan Al-Ankabut (QS 2 : 4; 9 : 41 dan 29 : 6-7).

6. Istiqamah, yaitu orang harus gigih dalam berupaya, tanpa mengenal bosan, tidak patah semangat atau menyerah, tidak mengenal lelah dalam berjuang mencari Allah ta‘ala dan tidak gentar dan takut menghadapi ujian dan permusuhan dari orang-orang yang tidak menyukainya, sebagaimana firman Allah ta‘ala dalam surat Al-Fatihah, Al-A’raf dan Ha Mim (QS 1 : 6-7; QS 7 : 126 dan QS 41 : 31-33).

7. Bergaul dengan orang-orang yang tulus atau shiddiq. Sebab pergaulan dengan orang-orang yang tulus dan memperhatikan contoh-contoh perbuatan mereka yang sempurna dapat memberikan rangsangan yang kuat dalam mengobarkan gairah dan menggelorakan semangat. Karena itu, Allah ta‘ala menyuruh kita supaya bergaul dengan orang-orang yang tulus (QS 1 : 7 dan QS 9 : 119).

8. Kasyaf, ilham dan ru’yah salehah. Menempuh jalan menuju Allah ta‘ala sangat pelik dan tidak kosong dari berbagai macam kesusahan dan penderitaan. Oleh karena itu, rahmat Allah ta‘ala menghendaki agar di dalam perjalanan itu Dia pun terus-menerus memberi hiburan dan membesarkan hati serta mendorong semangat dan menghidupkan gairah manusia melalui kasyaf, ilham dan ru’ya salehah, yaitu: salah satu bentuk atau cara komunikasi Allah ta‘ala kepada manusia yang Dia kehendaki sebagai realisasi janji-Nya dalam surat Yunus (QS 10 : 63-65 dan QS 42 : 52).



Pertanyaan ke 7

Bagaimana caranya agar sesama kaum muslimin tidak konflik?

Jawaban:
Cara yang diajarkan Islam agar kaum muslimin tidak konflik secara pisik ialah dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa kaum mukmin itu bersaudara (49:11 dan 3:104), sesama muslim tidak boleh mengganggu dengan lisan atau tangannya (Hadis), bahkan mereka itu diibaratkan satu tubuh yang apabila satu anggota badannya merasakan sakit, maka seluruhnya ikut merasakan dan mengupayakan kesembuhan (Hadis), seperti kaum muslimin pada zaman Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak saling menyesatkan dan mengkafirkan karena berkeyakinan bahwa urusan agama itu adalah hak Allah semata, Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا
Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang memberi salam kepadamu , “Engkau bukan mukmin” (An-Nisa, 4:95)

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk (Al-An‘am, 6:117).

وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Dan manusis dahulunya tidak lain hanyalah satu umat, lalu mereka berselisih satu sama lain. Dan jikalau tidak karena sebuah kalimat yang telah ada dari Tuhan engkau, niscaya telah lama diberi keputusan di antara mereka tentang apa yag mereka perselisihkan (Yunus, 10:20).
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Sesungguhnya Tuhan engkau akan memberi keputusan di antara mereka pada hari Qiamat tentang apa yang kini mereka perselisihkan (Yunus, 10:94)

`Seseorang dikatakan muslim, jika ia telah memenuhi kriteria seorang muslim yang dirumuskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَالِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةَ رَسُولِهِ فَلاَ تُحْفِرُوا اللهَ فِى ذِمَّتِهِ
Siapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat pada Kiblat kita dan memakan sesembelihan kita, maka ia adalah seorang muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mengecoh Allah dalam hal jaminan-Nya (Al-Bukhari).

Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengeluarkan fatwa bahwa siapa yang menunaikan shalat dengan menghadap kepada Ka’bah, dia tidak boleh dikatakan kafir. Fatwa itu berbunyi demikian:

لاَ يُكْفَرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ
Orang yang melakukan shalat dengan menghadap kepada Kiblat tidak boleh dikafirkan (Al-Fatawa Al-CHaditsiyah, hal. 168).


Pertanyaan ke 8
Bagaimana kriteria seorang Nabi atau Rasul Allah itu?

Jawaban:
Sebagian orang mengatakan bahwa tiap-tiap Nabi membawa agama baru; dan sebagian orang lain mengatakan bahwa Nabi tidak perlu membawa agama baru, hanya setiap Rasul saja yang perlu membawa agama baru.

Pendapat tersebut dapat dibaca dalam buku berikut:

اَلنَّبِيُّ إِنْسَانٌ أُوحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ لِيَعْمَلَ بِهِ فِى خَاصَّةِ نَفْسِهِ وَلَمْ يُؤْمَرْ بِتَبْلِيغِهِ إِلاَّ كَوْنَه‘ نَبِيًّا لِيُحَرَّمَ
Nabi ialah seorang manusia yang telah diwahyukan kepadanya syari’at supaya dia khusus mengamalkan sendiri, sedang dia tidak disuruh menyampaikan kepada orang lain, terkecuali perlu dia memberitahukan bahwa dia seorang Nabi agar dihormati oleh orang lain (Kitab La Budda Minhu, hal. 30).

Demikian juga disebutkan dalam suatu kitab tentang pengertian Nabi dan Rasul itu begini:

اَلنَّبِيُّ مَنْ أُوحِيَ إِلَيْهِ بِمَلَكٍ أَوْ أُلْهِمَ فِى قَلْبِهِ أَوْ بِهِ بِالرُّؤْيَا الصَّالِحَةِ فَالرَّسُولُ هُوَ مَنْ أَوْحَي إِلَيْهِ جِبْرِيلُ خَاصَّةً بِتَنْزِيلِ الْكِتَابِ مِنَ اللهِ
Nabi ialah orang yang diwahyukan kepadanya dengan malaikat atau diilhamkan di dalam hatinya atau dia dikabarkan kepadanya dengan malaikat atau diilhamkan di dalam hatinya atau dikabarkan perkara-perkara yang penting dalam mimpi, maka Rasul itu lebih afdhal karena mendapat wahyu yang khas yang lebih mulia daripada wahyu nubuwat karena Rasul ialah yang malaikat Jibril membawa wahyu kepadanya dengan kitab dari Allah (At-Ta’rifat, babun-Nun).

Dalam dua keterangan ini saja sudah terdapat perselisihan faham, apalagi kalau disalin keterangan-keterangan lainnya, maka tentu perselisihan itu akan bertambah banyak lagi.

Hadhrat Imam Fakhruddin Ar-Razi menulis tanggapan tentang arti yang dijelaskan oleh Ulama itu begini:

(اَلثَّانِي) إِنَّ مَنْ كَانَ صَاحِبَ الْمُعْجِزَةِ وَصَاحِبَ الْكِتَابِ وَنَسَخَ مِنْ شَرْعِ قَبْلَه‘ فَهُوَ الرَّسُولُ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُجْتَمِعًا لِهَذَا الْخِصَالِ فَهُوَ النَّبِيُّ غَيْرُ الرَّسُولِ وَهَؤُلاَءِ يَلْزَمُهُمْ أَنْ لاَ يَجْمَعُوا أِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ رُسُلاً ِلأَنَّهُمْ مَاجَاءُوا بِكِتَابٍ نَاسِخٍ
Makna Nabi dan Rasul yang kedua menurut kata Ulama ialah orang yang mempunyai mu’jizat dan mempunyai kitab-Nya dan memansukhkan (membatalkan( syari’at Nabi-nabi yang terdahulu. Adapun orang yang tidak mempunyai tiga perkara itu adalah Nabi, bukan Rasul.Hadhrat Imam Ar-Razi berkata: Maka orang yang menyatakan arti Rasul itu begitu, tentu akan menyatakan pula bahwa Ishak, Ya’kub, Ayyub, Yunus, Harun, Daud, dan Sulaiman bukan Rasul, karena mereka tidak mempunyai kitab yang memansukhkan syari’at Nabi-nabi yang dahulu (At-Tafsirul-Kabir, Juz VI, hal. 168)(hal 165 tengah).

Dengan demikian, jelaslah bahwa orang yang mengatakan tiap-tiap Rasul harus membawa kitab (syari’at) baru adalah tidak betul, karena para Nabi yang tersebut namanya itu tidak mendapatkan kitab (syari’at baru) dari Allah ta’ala, padahal mereka itu diakui sebagai Rasul oleh umat Islam.
Telah disebutkan pula dalam (Tafsir Ruchul-Ma’ani, Juz V, hal. 186) tentang arti Rasul itu begini: “Para Ulama mengatakan ayat 54 dari surat Maryam itu menunjukkan bahwa Rasul itu tidak perlu mempunyai syari’at (kitab) baru, karena anak cucu Ibrahim ‘alaihis salam adalah pengikut syari’at Ibrahim juga”.

Adapun arti Nabi dan Rasul yang digunakan dalam agama Islam ialah:
(1) Hadhrat Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menulis:

(فَإِنْ قُلْتَ) مَا حَقِيقَةُ النُّبُوَّةِ (فَالْجَوَابُ) هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالَى شَخْصًا بِقَوْلِهِ أَنْتَ رَسُولِيْ وَاصْطَفَيْتُكَ لِنَفْسِي
Jika engkau bertanya apakah hakikat Nabi itu, maka jawabnya ialah Allah memanggil seseorang dengan firmannya: “Engkau adalah seorang Rasul-Ku dan Aku sudah memilih engkau untuk urusan-Ku” (Al-Yawaqitu Wal-Jawahir, Juz I, hal. 164).

(2) Allamah Asy-Syubliy An-Nu’mani menulis dalam kitabnya bahwa dalam Al-Mawaqif telah disebutkan arti Nabi itu begini:

مَنْ قَالَ لَهُ اللهُ أَرْسَلْتُكَ أَوْ بَلِّغْهُمْ عَنِّي وَنَحْوَه‘ مِنَ اْلأَلْفَاظِ
Orang yang Allah ta’ala berkata kepadanya: “Aku telah mengutus engkau atau sampaikanlah kepada manusia dari-Ku dan lafazh yang semacam itu (Al-Kalamu, hal. 66).

(3) Hadhrat Qadhi Iyadh Al-Bachshiy telah menulis dalam kitabnya tentang arti Nabi itu begini:

إِنَّ اللهَ اِطَّلَعَ عَلَى غَيْبِهِ وَأَعْلَمَه‘ أَنَّه‘ نَبِيُّه‘
Allah ta’ala memberitahukan kepadanya kabar-kabar gaib-Nya dan memberitahukan kepadanya bahwa dia Nabi-Nya (Asy-Syifa’ Ta’rifu Chuquqil-Mushthafa, Juz I, hal. 120).

(4) Hadhrat Imam Ibnu Arabi berkata dalam kitabnya:

إِنَّ النُّبُوَّةَ خِطَابُ اللهِ تَعَالَى أَوْ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى إِلَى مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ فِى هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ مِنْ يَقْظَةٍ أَوْ مَنَامٍ
Kenabian itu ialah panggilan Allah ta’ala atau kalamullah kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya di dalam waktu bangun atau tidur (Al-Futuchatul-Makkiyah, Juz II, hal. 375).

(5) Telah disebutkan dalam (Hadis Muslim, Juz I, hal. 301) bahwa Hadhrat Amer bin Utbah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia berkata:

مَا أَنْتَ؟ قَالَ: نَبِيٌّ، قُلْتُ: وَمَا نَبِيٌّ؟ قَالَ: أَرْسَلَنِيَ اللهُ
Apakah pengakuan engkau? Beliau menjawab: seorang Nabi!. Aku bertanya: Apakah Nabi itu? Beliau menjawab: Allah telah mengutusku.

Berdasarkan Hadis ini dapat kita ketahui bahwa antara Nabi dan Rasul itu tidak berbeda. Oleh karena itulah kita tidak akan mendapatkan di antara 25 orang Nabi yang disebutkan dalam Al-Quran, seorang pun yang tidak berpangkat Rasul.

Adapun menurut bahasa Arab, maka arti Nabi itu ialah:

اَلْمُخْبِرُ عَنِ الْغَيْبِ أَوِ الْمُسْتَقْبَلِ بِإِلْهَامٍ مِنَ اللهِ
Orang yang memberi kabar tentang perkara-perkara gaib atau perkara yang akan datang dengan ilham dari Allah (Al-Munjid).

Sedangkan Rasul artinya Al-Mursal (Al-Munjid), yakni orang yang diutus. Jadi, seseorang diberi nama Nabi oleh Allah, karena dia mendapat banyak kabar gaib dan diberi nama Rasul karena dia diutus untuk menyempurnakan kabar-kabar itu (Al-Munjid).

Adapun syari’at baru, bukan rukun Kenabian. Ada Nabi yang membawa syari’at baru dan ada pula yang tidak membawa syari’at baru. Kalau kita perhatikan keadaan Nabi-nabi yang namanya disebutkan dalam Al-Quranul-Majid, yaitu 25 Nabi, maka kita akan mendapatkan sebagian besar di antara mereka itu ialah Nabi yang tidak membawa syari’at (agama) baru. Mereka diutus untuk menjelaskan dan memajukan agama Nabi yang dahulu saja. Hadhrat Ibnu Arabi bersabda:
إِنَّ التَّشْرِيعَ فِى النُّبُوَّةِ أَمْرٌ عَارِضٌ
Turunnya syari’at dalam Kenabian itu adalah satu perkara yang tidak tetap (Al-Futuchatul-Makkiyah, Juz I, hal. 545).

Telah disebutkan juga dalam Al-Quran:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا
Kami telah menurunkan Taurat yang mengandung petunjuk dan nur, semua Nabi yang mengikutinya mengambil hukum dengan itu untuk orang-orang Yahudi (Al-Maidah, 5:45).

Firman Allah ta’ala dalam Al-Quran tersebut menyatakan bahwa:
1. Ada banyak Nabi yang mengikuti Taurat.
2. Mereka itu berhukum mengikuti hukum-hukum yang ada dalam Taurat.

Berkenaan dengan ayat ini, Hadhrat Imam Ar-Razi menulis dalam Tafsirnya:

إِنَّ اللهَ بَعَثَ فِى بَنِي إِسْرَائِيلَ أُلُوفًا مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ لَيْسَ مَعَهُمْ كِتَابٌ إِنَّمَا بَعَثَهُمْ بِإِقَامَةِ التَّوْرَاةِ
Allah ta’ala telah mengutus di kalangan Bani Israil beribu-ribu Nabi yang tidak membawa Kitab (syari’at). Mereka itu diutus untuk menegakkan hukum-hukum Taurat saja (Tafsir Kabir, Juz III, hal. 408).

Berkenaan dengan ayat dari surat Al-Maidah ini Syeh Rasyid Ridha menulis dalam Tafsirnya begini:

وَكَانَ جَمِيعُ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَئِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُؤَيِّدِينَ لِلتَّوْرَاةِ عَامِلِينَ وَحَاكِمِينَ بِهَا حَتَّى المَسِيحَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
Semua Nabi Bani Israil sesudah Nabi Musa adalah para penolong Taurat dan berhukumkan dengannya sampai Nabi Isa ‘alaihis salam (Tafsirul-Quranul-Chakim, Jilid VI, hal. 322).

Keterangan-keterangan tersebut menyatakan bahwa tidak perlu setiap Nabi dan Rasul membawa syari’at baru. Inilah madzhab Imam-imam besar Ahlis-Sunnah Wal-Jamaah dan pendapat Jemaat Ahmadiyah.



Pertanyaan ke 9

Kalau Ahmadiyah mempercayai bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Khatamun-Nabiyyin, mengapa Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “tidak ada Nabi sesudahku?”.

Jawaban:
Perlu kami kemukakan bahwa Allah ta’ala mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada kaumnya adalah untuk:

(1) memperlihatkan mu’jizat dan tanda-tanda kekuasaan Allah ta’ala kepada manusia agar mereka mempunyai keyakinan yang teguh dan keimanan yang kuat.

(2) membetulkan i’tiqad dan kepercayaan manusia.

(3) memperbaiki amalan dan akhlaq mereka dengan memberikan teladan yang suci yang perlu diikuti.

(4) menerangkan hikmah-hikmah ajaran yang datang dari Allah ta’ala.

(5) mengadakan persatuan dengan menghilangkan segala syubhat dan perselisihan manusia.

Semua itu bertujuan agar manusia mendapat keridhaan Allah ta’ala yang telah menjadikan mereka. Jadi, betapa besar dan penting gunanya para Nabi dan Rasul itu dibangkitkan!. Maka dari itulah mereka disebut rahmat dan nikmat Allah dan Allah ta’ala mewajibkan supaya manusia percaya (beriman) kepada mereka.

Mengapa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan Khataman-nabiyyin?

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya bahwa para Nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu hanya diutus kepada satu kaumnya saja. Jadi, ajaran mereka adalah tertentu untuk satu kaum, bukan bagi seluruh kaum dan bangsa di dunia. Nabi yang diutus kepada semua bangsa di dunia ini ialah Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dari itu ajaran beliau yang terkandung dalam Al-Quranul-Majid dan Hadis yang shahih adalah sudah sempurna dan sudah mencukupi bagi semua manusia pada setiap masa sampai hari Qiamat. Dengan demikian tidak perlu Allah ta’ala menurunkan agama baru kepada manusia dan tidak akan mengutus Nabi lagi yang akan memansukh atau membatalkan agama Islam yang suci dan sempurna ini.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَه‘ لَحَافِظُونَ
Kami (Allah) telah menurunkan Al-Quran dan Kami menjaganya (Al-Hijr, 15:9)

Keterangan lain menyatakan bahwa Al-Quranul-Majid mengandung ajaran yang sempurna untuk semua manusia dan dijaga oleh Allah untuk selama-lamanya, tidak perlu ada ajaran baru, karena tidak ada gunanya dan hanya sia-sia saja. Mengingat agama Islam sudah sempurna dan mencukupi bagi semua manusia sampai hari Qiamat dan tidak akan ada lagi syari’at agama Allah yang memansukhkan atau membatalkan syari’at Islam, maka Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pangkat Khataman-Nabiyyin, yakni semulia-mulia Nabi, Nabi yang lain tidak berhak mendapatkan pangkat itu, karena syari’at mereka itu telah dimansukhkan oleh Allah ta’ala dengan syari’at Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun telah bersabda:

أَنَا سَيِّدُ اْلأَوَّلِينَ وَاْلآخِرِينَ مِنَ النَّبِيِّيْنَ
Aku adalah penghulu semua Nabi yang terdahulu dan Nabi yang akan datang (Ad-Dailami).

Di sini perlu dijelaskan bahwa umat Islam telah terbagi menjadi tiga bagian dalam memahami tentang Kenabian, yaitu:

(1) Golongan Al-Jahamiyah dan orang-orang Mu’tazilah yang setuju dengan golongan itu mengakukan bahwa tidak akan ada sembarang Nabi sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang membawa syari’at baru maupun yang tidak membawa syari’at baru. Karena itu mereka mendustakan semua Hadis yang menerangkan Nabi Isa ‘alaihis salam akan datang di kemudian waktu.

(2) Golongan Al-Manshuriyah, Al-Khithabiyah, Al-Bazi’iyah dan Al-Yazidiyah dan lain-lain yang mengakukan bahwa sembarang Nabi boleh datang sehingga satu golongan yang bernama “Al-Bahaiyah” percaya kepada kitab “AL-BAYAN” yang memansukhkan Al-Quranul-Majid, bahkan mereka percaya kepada satu kitab lagi “AL-AQDAS” namanya, yang memansukhkan Al-Quranul-Majid dan “AL-BAYAN” sekaligus. Akan tetapi mereka tidak berani menyiarkan kitab-kitab itu, kecuali hanya kepada orang-orang yang sudah setuju dengan mereka saja, sebab kedua kitab itu mengandung bermacam-macam perkara yang karut-marut.

(3) Golongan Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah, yaitu golongan yang mengakukan bahwa Nabi yang membawa syari’at baru tidak akan diutus lagi ke dunia ini. Adapun Nabi pengikut yang diperintah untuk memajukan syari’at Islam boleh diutus.

Jamaah Ahmadiyah mempunyai keyakinan bahwa pengakuan Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah itulah yang betul, karena pengakuan itu ditopang oleh ayat-ayat Al-Quran, Hadis-hadis Nabi dan pendapat para Waliyullah.

Sebagian orang menyangka bahwa Jemaat Ahmadiyah tidak mempercayai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sebagai Khataman-Nabiyyin. Persangkaan itu tidak benar dan tidak berdasar sama sekali. Jemaat Ahmadiyah beriman bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar Khataman-Nabiyyin dan siapa yang ingkar kepadanya berarti tidak diragukan lagi bahwa dia itu seorang kafir. Agar lebih meyakinkan, kami kutipkan beberapa sabda Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah berikut ini:

فَاعْلَمْ يَا أَخِي، إِنَّا آمَنَّا بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَآمَنَّا بِأَنَّه‘ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa kami beriman kepada Allah sebagai Tuhan kami dan kami beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan kami beriman bahwa beliau itu benar-benar Khataman-Nabiyyin (Tuhfatu Baghdad, hal. 23).

Keterangan lain dan berpuluh-puluh keterangan yang semacam itu menyatakan bahwa Hadhrat Ahmad Al-Qadiyani dan Jamaah beliau beriman bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khatamun-Nabiyyin.

Apa arti Khatamun-Nabiyyin itu? Nah, inilah satu pertanyaan yang sangat penting. Apa sebab? Orang-orang Islam di masa sekarang kebanyakan mengikuti arti yang digunakan oleh golongan Al-Jahamiyah dan Al-Mu’tazilah, pada hal arti itu bertentangan dengan arti yang telah dijelaskan oleh semua Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah di masa dahulu. Perlu rasanya kami sebutkan beberapa keterangan para Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah supaya dapat diketahui arti “Khatamun-Nabiyyin” yang sebenarnya.

(1) Hadhrat Mula Ali Al-Qari berkata:

اَلْمَعْنَى أَنَّه‘ لاَ يَأْتِي نَبِيٌّ يَنْسَخُ مِلَّتَهُ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِهِ
Khatamun-Nabiyyin berarti bahwa tidak akan datang lagi sembarang Nabi yang memansukhkan (membatalkan) agama Islam dan yang bukan berasal dari umat beliau (Al-Maudhu’at Lil-Qariy, hal. 59).

Alangkah jelasnya arti ini!

(2) Hadhrat Waliyullah Al-Muchaddats Ad-Dahlawiy menulis tentang Hadis:
وَخُتِمَ بِهِ النَّبِيُّونَ أَيْ لاَ يُوجَدُ مَنْ يَأْمُرُهُ اللهُ سُبْحَانَه‘ بِالتَّشْرِيعِ عَلَى النَّاسِ
Tidak akan ada lagi seorang (Nabi) pun yang diperintah Allah akan membawa syari’at baru kepada manusia (At-Tafhimatul-Ilhamiyah, tafhim 53).

Arti ini sesuai dengan arti yang dikemukakan Hadhrat Mula Ali Al-Qari tersebut.

(3) Hadhrat As-Sayyid Abdul-Karim Al-Jailani berkata:

فَانْقَطَعَ حُكْمُ نُبُوَّةِ التَّشْرِيعِ بَعْدَهُ وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاتَمَ النَّبِيِّينَ لِأَنَّه‘ جَاءَ بِالْكَمَالِ وَلَمْ يَجِئْ أَحَدٌ بِذَالِكَ
Kenabian yang mengandung syari’at baru sudah terputus sesudah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menjadi Khatamun-Nabiyyin, karena beliau sudah membawa syari’at yang sempurna dan tidak ada seorang (Nabi) yang terdahulu pun telah membawanya (Al-Insanul-Kamil, Juz I, hal. 98)

Arti ini sesuai dengan kedua keterangan tersebut!

(4) Hadhrat Ibnu Arabi telah menulis sebagai berikut:
وَكَانَ مِنْ جُمْلَةِ مَا فِيهَا تَنْزِيلُ الشَّرَائِعِ فَخَتَمَ اللهُ هَذَا التَّنْزِيلَ بِشَرْعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ خَاتَمَ النَّبِيِّينَ
Sebagian dari yang diturunkan dalam kenabian itu ialah syari’at baru, maka dengan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah telah menghabiskan turunnya syari’at baru, oleh karena itulah Nabi kita menjadi Khatamun-Nabiyyin (Al-Futuchatul-Makkiyah, Juz II, hal. 56)

(5) Hadhrat Abdul Wahhab Asy-Sya’rani telah menerangkan arti Khataman-Nabiyyin demikian:

قَدْ خَتَمَ اللهُ تَعَالَى بِشَرْعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ جَمِيعَ الشَّرَائِعِ فَلاَ رَسُولَ بَعْدَهُ بِشَرْعٍ وَلاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ يُرْسَلُ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ يَتَعَبَّدُ بِهِ فِى نَفْسِهِ إِنَّمَا يَتَعَبَّدُ النَّاسُ بِشَرِيعَتِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Allah telah menghabiskan segala syari’at dengan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak ada lagi seorang Rasul yang membawa syari’at baru sesudah beliau dan tidak seorang Nabi pun yang mendapat syari’at baru untuk mengikutinya sendiri, karena manusia perlu mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari Qiamat (Al-Yawaqitu Wal-Jawahir, Juz II, hal. 37, bahasan 35).

(6) Allamah Ibnu Khaldun menulis dalam Muqaddimah Tarihnya bahwa Ulama Tashawwuf mengakukan arti Khataman-Nabiyyin itu demikian:
اَلنَّبِيُّ الَّذِي حُصِلَتْ لَهُ النُّبُوَّةُ الْكَامِلَةُ
Nabi yang telah mendapat kenabian yang sempurna dalam segala hal (Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 27).

(7) Hadhrat Imam Az-Zurqani telah mengarang “Syarchul-Mawahibil-Ladunniyah” yang di dalamnya beliau menulis: bahwa “Khatiman-Nabiyyin” itu dibaca dengan baris di bawah TA’ dan dengan baris di atas TA’. Kalau Khatam itu dibaca dengan baris di atas TA’ sebagaimana tersebut di dalam Al-Quranul-Majid, maka artinya: “ACHSANUL-ANBIYAI KHALQAN WA KHULUQAN” (Syarchul-Mawahibil-Ladunniyah Liz-Zurqani, Juz III, hal. 163) artinya: “Dia sebaik-baik Nabi dalam hal kejadian maupun kesopanannya.
(8) Selain para Ulama dan Imam tersebut, Sayyidatuna Aisyah radhiyallahu ‘anha bersabda:
قُولُوا خَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَلاَ تَقُولُوا لاَ نَبِيَّ بَعْدَه‘
Katakanlah bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Khatamun-Nabiyyin akan tetapi janganlah kamu mengatakan bahwa tidak ada sembarang Nabi sesudah beliau (Tafsir Ad-Durul-Mantsur, Juz V, hal. 204).

Sabda Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha tersebut menunjukkan bahwa arti Khataman-Nabiyyin ini bukanlah “PENUTUP SEMUA MACAM NABI, karena beliau berkata bahwa walaupun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Khatamun-nabiyyin, akan tetapi janganlah kamu berani mengatakan bahwa tidak ada sembarang Nabi lagi sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(9) Telah disebutkan lagi dalam (Tafsir Ad-Durul-Mantsur, Juz V, hal. 204) bahwa pada satu hari seorang telah berkata di hadapan Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam):
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ
Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada Muhammad Khataman-Nabiyyin yang tidak ada Nabi lagi sesudahnya.

Mendengar perkataan orang itu Hadhrat Mughirah bin Syu’bah berkata kepadanya:

حَسْبُكَ إِذَا قُلْتَ خَاتَمَ اْلأَنْبِيَاءِ فَإِنَّا كُنَّا نُحَدِّثُ أَنَّ عِيسَى خَارِجٌ فَإِنْ هُوَ خَرَجَ فَقَدْ كَانَ قَبْلَهُ وَبَعْدَهُ
Cukuplah engkau berkata bahwa Nabi Muhammad itu Khatamun-Nabiyyin, karena kami (sahabat nabi) menerangkan Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Isa akan keluar. Jadi, jika dia keluar maka sudah tentu ada Nabi sebelum Muhammad dan sesudahnya.

Riwayat ini menunjukkan sikap hati-hati para sahabat Nabi yang tidak mengakukan bahwa arti Khataman-Nabiyyin itu dengan “Penutup semua macam Nabi”, karena mereka mengerti benar tentang Hadis Nabi yang menerangkan bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam itu akan datang di akhir zaman.

Riwayat ini menunjukkan pula bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam akan keluar. Jadi, kata “TURUN” dalam riwayat-riwayat yang lain itu diganti dengan kata “KELUAR”. Maka, orang yang berdalil dengan kata “TURUN” menunjukkan hidupnya Nabi Isa ‘alaihis salam di langit adalah tidak benar.

(10) Semua Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah yang telah menulis Tafsirul-Quranil-Majid tatkala menerangkan tafsir Khataman-Nabiyyin, maka mereka telah menjelaskan pula kedatangan Nabi Isa ‘alaihis salam di akhir zaman dan mereka berkata:

وَإِذَا نَزَلَ السَّيِّدُ عِيسَى يَحْكُمُ بِشَرِيعَتِهِ
Apabila Isa ‘alaihis salam turun, maka beliau akan mengikuti dan berhukum kepada syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja (Tafsirul-Jalalaini).

Juga telah disebutkan:
وَعِيسَى يَنْزِلُ بِدِينِهِ مُؤَيِّدًا لَهُ
Isa ‘alaihis salam akan turun dengan agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan menguatkannya dan menolongnya (Jami’ul-Bayan).

Hadhrat Imam Ibnu Hajar Al-Hasymi mengeluarkan fatwa:

اَلَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ بَلْ أَجْمَعُوا عَلَيْهِ يَحْكُمُ بِشَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّتِهِ
Ulama telah menjelaskan, bahkan sudah ijma’ bahwa apabila Isa ‘alaihis salam datang kelak, beliau akan berhukumkan dengan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan mengikuti agamanya (Al-Fatawa Al-Haditsiyah, hal. 154).

Inilah sepuluh keterangan yang kami sebutkan untuk menjelaskan arti Khataman-Nabiyyin. Ahmadiyah yakin bahwa keterangan-keterangan tersebut benar dan arti Khataman-Nabiyyin yang terkandung dalam keterangan-keterangan itu juga benar.

Kalau sebagian Ulama mengafirkan Ahmadiyah, karena mengartikan Khataman-Nabiyyin dengan makna tersebut, maka sudah tentu para Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah akan menjadi kafir dan murtad bersama-sama Ahmadiyah. Sebaliknya, kalau para Imam itu benar, maka tidak ada jalan lagi bagi Ulama untuk mengafirkan Ahmadiyah.

Sebagian orang yang tidak menyelidiki keterangan-keterangan agama Islam dengan seksama akan mengatakan bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah bersabda “LA NABIYYA BA’DIY” artinya tidak ada sembarang Nabi sesudahku. Dengan demikian Hadis ini menunjukkan bahwa tiap-tiap orang yang mengaku sebagai Nabi setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendusta.

Sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “LA NABIYYA BA’DIY” begitu juga beliau bersabda bahwa “NABIYULLAH ISA” akan datang di akhir Zaman. (Lihat Hadis Muslim, Juz II, Bab Dzkrud-Dajjal dan Hadis Ibnu Majah). Dalam Hadis Nabi kita, Isa ‘alaihis salam itu telah disebutkan dengan “NABIYULLAH” hingga empat kali.

Hadis ini bukan saja shahih, bahkan dibenarkan oleh semua Ulama Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah, sampai-sampai Syekh Ibnu Arabiy menulis:

لاَ خِلاَفَ أَنَّ عِيسَى نَبِيٌّ وَرَسُولٌ وَأَنَّهُ لاَخِلاَفَ أَنَّهُ يَنْزِلُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ
Tidak ada perselisihan di antara Ulama Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah bahwa Isa itu berpangkat Nabi dan Rasul, dan tidak ada perselisihan di antara Ulama Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah bahwa dia akan turun di akhir Zaman (Al-Futuchatul-Makkiyah, Juz II, hal 3).

Telah disebutkan lagi:

اَلْأَحَادِيثُ الْوَارِدَةُ فِى نُزُولِ عِيسَى عَلَيهِ السَّلاَمِ مُتَوَاتِرَةٌ
Hadhrat Imam Asy-Syaukani berkata bahwa Hadis-hadis yang menerangkan turunnya Isa ‘alaihis salam di akhir Zaman itu mutawatir (Chujajul-Kiramah, hal. 434).

Jadi, kalau dalam Hadis-hadis Mutawatir ditetapkan bahwa seorang Nabi akan datang di akhir Zaman, maka bagaimana mungkin orang dapat mengatakan bahwa sembarang Nabi tidak akan datang sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Pendapat tersebut tidak sulit difahami kalau kita mengerti benar sepuluh keterangan tersebut. Walaupun begitu, kami pandang perlu menyebutkan beberapa keterangan tentang Hadis “LA NABIYYA BA’DIY” tersebut.

(1) Hadhrat Syekh Ibnu Arabi berkata:
فَلاَ رَسُولَ بَعْدِي وَلاَ نَبِيَّ أَيْ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي يَكُونُ عَلَى شَرْعٍ يُخَالِفُ شَرْعِي بَلْ إِذَا كَانَ يَكُونُ تَحْتَ حُكْمِ شَرِيعَتِي
Maksud Hadis “LA NABIYYA BA’DIY” ialah tidak akan ada lagi Rasul dan Nabi yang mengikuti syari’at yang menyalahi syari’atku, bahkan apabila nanti ada Nabi lagi, dia akan mengikuti hukum syari’atku (Al-Futuchatul-Makkiyah, Juz II, hal. 73).

(2) Hadhrat Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menulis:

وَقَوْلُه‘ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَلاَ رَسُولَ الْمُرَادُ بِهِ لاَمُشَرَّعَ بَعْدِي
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “LA NABIYYA BA’DIY WALA RASULA” itu berarti:Tidak ada Nabi dan Rasul yang membawa syari’at baru sesudahku (Al-Yawaqitu Wal-Jawahir, Juz II, hal. 22).

(3) Hadhrat Imam Muhammad Thahir menulis bahwa dengan Hadis “LA NABIYYA BA’DIY” itu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bahwa tidak ada lagi Nabi yang memansukhkan (membatalkan) syari’at beliau – Bunyi perkataannya itu begini: “IRADAN LA NABIYYA YANSAKHU SYAR’AHU” Yakni maksud “LA NABIYYA BA’DIY ialah tidak ada lagi Nabi yang memansukhkan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Takmiluhu Majma’ul-Bichar , hal. 85).

(4) Telah disebutkan dalam sebuah Kitab:

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَإِذَا نَزَلَ عِيسَى فِى آخِرِ الزَّمَانِ يَكُونُ مُقَرِّرًا لِشَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُجَدِّدًا لَهَا لِأَنَّه‘ لاَنَبِيَّ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ يَحْكُمُ بِشَرِيعَةٍ غَيْرَ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّهَا آخِرُ الشَّرَائِعِ وَنَبِيُّهَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
Ulama Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah berkata bahwa apabila Nabiyullah Isa datang di akhir Zaman, beliau akan menguatkan dan memajukan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, karena tidak ada sesudah Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang Nabi pun yang berhukum dengan syari’at selain syari’at beliau – syari’at Islam adalah penghabisan semua syari’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khatamun-Nabiyyin (Al-Mukhtasharut-Tadzkiratul-Qurthubiyah, hal. 151).

Keterangan ini menyatakan bahwa Ulama Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah mengakui bahwa:
(a) Seorang Nabi Allah akan datang di akhir Zaman.
(b) Nabi itu hanya akan mengikuti, menguatkan dan memajukan syari’at Islam saja.
(c) Nabi yang tidak boleh datang lagi ialah Nabi yang membawa syari’at baru.

Empat keterangan ini kami pandang cukup untuk menyatakan arti yang sebenarnya dari Hadis “LA NABIYYA BA’DIY” itu.


Pertanyaan ke 10

Mengapa setiap orang Ahmadiyah sebelum berbicara mesti membaca Syahadat bukan Hamdalah?

Jawaban:
Orang Ahmadiyah senantiasa berupaya untuk menghidupkan Sunnah dan Hadis Nabi Besar kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena itu setiap ajaran yang beliau ajarakan dan beliau contohkan akan ditaati, sebagaimana sabda Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah kepada para pengikutnya:
لاَ يَدْخُلُ فِى جَمَاعَتِنَا إِلاَّ الَّذِي دَخَلَ فِى دِينِ اْلإِسْلاَمِ وَاتَّبَعَ كِتَابَ اللهِ وَسُنَنَ سَيِّدِنَا خَيْرِ اْلأَنَامِ وَآمَنَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ الْكَرِيمِ الرَّحِيمِ وَبِالْحَشْرِوَالنَّشْرِ وَالْجَنَّةِ وَالْجَحِيمِ وَيَعِدُ وَيُقِرُّ بِأَنَّه‘ لَنْ يَبْتَغِيَ دِينًا غَيْرَ دِينِ اْلإِسْلاَمِ وَيَمُوتُ عَلَى هَذَا الدِّينِ دِينِ الْفِطْرَةِ مُتَمَسِّكًا بِكِتَابِ اللهِ الْعَلاَّمِ وَيَعْمَلُ بِكُلِّ مَا ثُبِتَ مِنَ السُّنَّةِ وَالْقُرْآنِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ الْكِرَامِ وَمَنْ تَرَكَ هَذِهِ الثَّلاَثَةَ فَقَدْ تَرَكَ نَفْسَه فِى النَّارِ
Tidak boleh masuk ke dalam Jamaah kita, melainkan orang yang telah masuk Islam dan telah mengikuti Kitab Allah Al-Quranul-Majid dan sunnah-sunnah penghulu segala makhluk (Muhammad) dan telah yakin benar berkenaan dengan Allah dan Rasul-Nya Yang Maha-mulia dan Maha-pengasih dan Qiamat, Sorga dan Neraka, lagi dia berjanji dan berikrar benar-benar bahwa dia tidak akan mencari agama selain dari Islam dan bahwa dia akan mati di atas agama yang suci ini dengan berpegang teguh menurut Kitab (Al-Quranul-Majid) Allah Yang Maha-tahu dan mengamalkan setiap apa yang ditetapkan Sunnah, Alquran dan Ijma’ Sahabat yang mulia; dan siapa yang meninggalkan tiga hal ini, sungguh ia telah meninggalkan dirinya dalam Api Neraka (Ruhani Qhazain, Jilid XIX, Mawahibur-Rahman, hal. 315)

Mengingat Nabi Besar kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجُذْمَاءِ
Setiap pidato yang di dalamnya tidak ada tasyahhud, maka ia seperti tangan buntung (Abu Daud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Ummal, Juz X /29334).

كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أَقْطَعُ
Setiap urusan yang baik yang tidak diawali dengan membaca bismillahirrahmanir-rahim adalah seperti tangan buntung (Abdul-Qadir Ar-Rahawiy dalam Al-Arba’in dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Ummal, Juz I/ 2491).

كُلُّ أَمْرٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللهِ فَهُوَ أَجْذَمُ
Setiap perkara yang di dalamnya tidak membaca hamdalah, maka itu bagaikan tangan buntung (Abu Daud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Ummal, Juz I/ 2511)

Maka orang Ahmadiyah sebelum khutbah atau berpidato senantiasa membaca tasyahhud dan surat Al-Fatihah, karena dalam surat tersebut terdapat basmalah dan hamdalah juga, bahkan terdapat doa untuk memohon hidayah Allah ta’ala dalam setiap langkah kehidupan kita. Jadi, pertanyaan tersebut perlu diluruskan demikian: “Mengapa orang Ahmadiyah sebelum berpidato atau berbicara yang khas senantiasa membaca Tasyahhud dan Al-Fatihah?


Pertanyaan ke 11

Bagaimana tanggapan Ahmadiyah terhadap fatwa Majlis Ulama Indonesia?

Jawaban:
Kami orang-orang Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Isa ibnu Maryam yang kedatangannya dinubuwwatkan dalam Hadis-hadis Nabi kita Muhammad shallallahi ‘alaihi wa sallam itu telah digenapi oleh Allah ta’ala dengan diutusnya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam Al-Qadiyani. Tatkala beliau mendakwakan diri sebagai Al-Masih yang dijanjikan, maka sebagian Ulama menentang beliau dan bermacam-macam fatwa mereka ditujukan kepada beliau dan Jamaahnya, termasuk Majlis Ulama Indonesia akan tetapi kami tidak heran, karena:

(1) Para Rasul dan Nabi dimusuhi oleh syetan-syetan, sebagaimana firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ
Sebagaimana orang-orang kafir di Arab ini memusuhi engkau, wahai Muhammad! Begitu juga kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syetan dari manusia dan jin (Al-An’am, 6:113).

Jadi, semua Nabi dan Rasul Allah ta’ala itu didustakan, difitnah, dimusuhi bahkan ada juga yang dibunuh, Al-Iyadzu billah.

(2) Para wali Allah seperti Hadhrat Ibnu Arabi telah menulis dalam kitabnya (Al-Futuchatul-Makkiyah, Juz III, hal. 374):

وَإِذَا خَرَجَ هَذَا اْلإِمَامُ الْمَهْدِيُّ فَلَيْسَ لَه عَدُوٌّ مُبِينٌ الْفُقَهَاءَ خَاصَّةً
Apabila Imam Mahdi keluar, maka tiada baginya musuh yang nyata melainkan para Faqih dan Ulama (Lihat Chujajul-Kiramah, hal. 363).

(3) Di dalam umat Islam terdapat banyak golongan. Sebagian Ulama tiap golongan mengafirkan dan menyesatkan golongan yang lain. Hadhrat Imam Ar-Razi telah berkata:

وَاعْلَمْ إِنَّ هَذِهِ الْوَاقِعَةَ بِعَيْنِهَا قَدْ وَقَعَتْ فِى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ كُلَّ طَائِفَةٍ تُكَفِّرُ اْلأُخْرَى مَعَ اتِّفَاقِهِمْ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ
Ketahuilah bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen sudah berlaku juga dalam umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiap-tiap golongan mengkafirkan golongan yang lain (Tafsir Kabir, Juz I, hal. 448).

Di antara golongan Syi’ah ada satu golongan yang namanya Al-Kamiliyah. Golongan ini telah mengeluarkan fatwa bahwa semua umat Islam sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kafir, karena mereka tidak mengakui Hadhrat Ali sebagai Khalifah yang pertama dan golongan itu telah mengkafirkan Hadhrat Ali juga, karena beliau tidak berani menuntut haknya. Dan oleh karena pengakuan ini, Al-Kamiliyah sendiri juga telah dikafirkan (Lihat Kitab Asy-Syifa’, Juz II, hal. 247). Jika terus demikian, siapakah orang Islam yang masih tinggal di muka bumi ini?

(4) Di antara orang-orang yang dipandang sebagai wali Allah dan Syekh dalam Islam di masa itu ada banyak orang yang telah disiksa, yang telah diusir dari negaranya, yang telah dihina dan dikafirkan di masa dulu, umpamanya Hadhrat Dzunnun Al-Mishri, tujuh kali diusir dalam keadaan dibelenggu dan Ulama Mesir telah berfatwa bahwa beliau itu Zindiq (kafir batin).Sebagaimana sebagian Ulama berfatwa tentang Ahmadiyah; Hadhrat Sahal bin Abdillah At-Tustari pun sudah diusir dari kampungnya Kabshirah karena dikafirkan; Hadhrat Abu Sa’id Al-Khazari telah dikafirkan; Hadhrat Al-Junaid Al-Baghdadi dan Hadhrat Asy-Syibli juga dikafirkan beberapa kali; Hadhrat Abu Bakar An-Nabilisi telah difatwakan Zindiq dan kulitnya dikupas hidup-hidup; Hadhrat Abu Mudin dan Hadhrat Abul-Chasan Asy-Syadzali pun terkena fatwa kafir sehingga diusir. Syekh Tajuddin As-Subki telah dikafirkan karena fitnah-fitnah dari Ulama bahwa beliau telah menghalalkan minuman keras (arak) dan melakukan perbuatan kaum Luth, na’udzu billah, tatkala beliau diusir beliau dibawa dari negara Syam hingga ke Mesir dalam keadaan dibelenggu.

Beginilah perbuatan sebagian Ulama terhadap hamba-hamba Allah. Keterangan yang lengkap dapat dibaca dalam (Kitab Al-Yawaqitu Wal-Jawahir, Juz I, hal. 14-15).

Di masa dulu Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qayyim juga menjadi pemimpin. Maka Ulama kaum tua telah berfatwa terhadap mereka itu begini:
إِيَّاكَ أَنْ تُصْغِيَ إِلَى مَا فِى كُتُبِ ابْنِ تَيْمِيةَ وَتِلْمِيذِهِ ابْنِ الْقَيِّمِ الْجَوْزِيَةِ وَغَيْرِهِمَا مِمَّنِ اتَّخَذَ إِلَهَه‘ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
Janganlah engkau cenderung kepada apa-apa yang tersebut dalam kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qayyim dan lain-lain karena mereka itu adalah di antara orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah telah menyesatkan mereka dan telah mencap pendengaran dan hati mereka dan di atas penglihatan mereka itu ada tutupnya (Kitab Al-Datawa Al-Haditsiyah, hal. 173).

Perhatikanlah fatwa Ibnu Hajar Al-Haitsami terhadap Ulama kaum muda, sebaliknya kaum muda pun mengeluarkan bermacam-macam fatwa terhadap kaum tua. Pada waktu itu ada satu kitab kaum muda yang bernama “Chariqul-Asyrar” dikarang oleh Syekh Fatchullah, dalam kitab yang hanya terdiri dari 20 halaman saja, telah disebutkan tentang kaum tua bahwa orang-orang yang pergi ke kuburan para Wali dan minta tolong kepadanya adalah “Fasiq” “bukan laki-laki”, “musyrik” “Imam mereka itu Iblis”, “Ulama mereka keledai” dan “anjing” menurut Al-Quranul-Majid. Orang-orang yang tidak mengerjakan shalat Jumat itu “nuthfatul-Fujjar” dan Ulama yang meramaikan kuburan para Wali adalah “syetan”. Beginilah fatwa kaum muda yang disebutkan dalam kitab itu yang ditujukan kepada kaum tua dan Ulama mereka.

Jadi, kalau sebagian Ulama menentang Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam dan Jemaat Ahmadiyah, kami orang-orang Ahmadiyah tidak begitu heran lagi!.


Pertanyaan ke 12

Mengapa yang hadir kemari hanya terdiri dari kalangan tua saja? Apakah Ahmadiyah tidak mempunyai generasi muda?

Jawaban:
Dalam Jemaat Ahmadiyah, para pengikutnya dibagi menjadi tiga Badan Besar, yaitu:

Anggota laki-laki yang usianya 40 tahun kebawah dikelompokkan dalam Badan Khuddamul-Ahmadiyah.

a. Anggota laki-laki yang usianya 40 tahun lebih dikelompokkan dalam Badan Majlis Ansharullah dan

b. Anggota perempuan dikelompokkan dalam Badan Lajnah Imaillah.

Kami berlima yang ditunjuk untuk menghadiri Undangan Dialog di sini hanya kebetulan saja usianya 40 tahun keatas (Ansharullah).

Pertanyaan ke 13

Penyerangan terhadap Markas Ahmadiyah di Parung dilatar belakangi oleh apa?

Jawaban:
Kemarahan massa kepada Ahmadiyah, karena telah terprovokasi Amin Jamaluddin (Ketua LPPI) dan Abdurrahman Assegaf.



Pertanyaan ke 14

Berapa jumlah pengikut Ahmadiyah di Indonesia?

Jawaban:
Sekitar 250 000 (dua ratus lima puluh ribu) anggota.



Pertanyaan ke 15

Bagaimana pandangan Ahmadiyah terhadap kekerasan?

Jawaban:
Islam adalah agama yang berasal dari Allah ta’ala, Tuhan sumber segala kedamaian, Pelimpah keamanan dan Maha Pelindung (59:24) Yang menyeru manusia ke dalam kedamaian (10:26), Yang menamakan para pengikut agama-Nya dengan muslimin, artinya orang-orang yang memasuki kedamaian (22;79) dan mengajarkan supaya mereka jangan mati, kecuali dalam keadaan muslim (3:103), bahkan Allah memproklamirkan bahwa Islam dan para pengikutnya adalah rahmat bagi semua bangsa (21:108). Maka dengan demikian Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam berpandangan bahwa Islam itu anti kekerasan. Umat Islam diizinkan perang: 1). Apabila diserang lebih dulu (2:191) dan 2). Apabila dianiaya dan diusir dari rumahnya hanya dengan alasan keimanannya (22:40).

Kedua ayat tersebut mengandung intisari syarat-syarat yang mengatur perang agama, yaitu: a). Perang harus diadakan dengan tujuan melenyapkan rintangan-rintangan yang menghalangi jalan Allah ta’ala untuk menjamin kebebasan menganut kepercayaan dan melaksanakan ibadah; b). Perang hanya ditujukan terhadap mereka yang terlebih dahulu mengangkat senjata melawan kaum muslimin dan c). Kaum muslimin harus meletakkan senjata segera setelah musuh menghentikan peperangan. Oleh karena itu Ahmadiyah bersemboyan:

LOVE FOR ALL HATRED FOR NONE
اَلْحُبُّ لِلْجَمِيعِ لاَ بُغْضَ وَلاَ كَرْهَ
Cinta untuk semua dan tiada kebencian kepada siapa pun.



Pertanyaan ke 16

Apakah misi dan visi Ahmadiyah ke depan?

Jawaban:
Misi Jemaat Ahmadiyah hanyalah meneruskan misi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kebangkitan Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam semata-mata sebagai bayangan Muhammad Rasulullah, sebagaimana pernyataan beliau sendiri:
وَإِنِّي سُمِّيتُ نَبِيًّا عَلَى لِسَانِ خَيْرِ الْبَرِيَةِ وَذَالِكَ أَمْرٌ ظِلِّيٌّ مِنْ بَرَكَاتِ الْمُتَابَعَةِ
Dan sesungguhnya aku dinamakan seorang Nabi berdasarkan sabda sebaik-baik manusia (Muhammad Rasulullah). Itu adalah perkara bayangan, karena berkah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Istifta’, hal. 71).

Jadi, misi Ahmadiyah hanyalah memperjuangkan misi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditegaskan dalam Al-Quran sebagai berikut:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَه‘ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَه‘ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dan Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkan itu di atas sekalian agama, walaupun kaum musyrik tak suka (Al-Shaf, 61:10)

Di saat umat Islam dalam kondisi lemah yang dihimpit dan ditekan bangsa-bangsa Eropa, Amerika serta kemusyrikan, beliau ‘alaihis-salam berani menyatakan dengan lantang:
إِنِّيْ جِئْتُ ِلإِعْلاَءِ كَلِمَةِ اْلإِسْلاَمِ
Sesungguhnya aku datang untuk menjunjung tinggi kalimah Islam.” (Khuthbah Ilhamiyah, hal. 2).
جِئْتُ ِلأُقِيْمَ النَّاسَ عَلَى التَّوْحِيْدِ
Aku datang untuk menegakkan manusia di atas tauhid.”(Al-Istiftaa', hal. 45).

وَمَا آمُرُ النَّاسَ اِلاَّ بِالْقُرْآنِ وَاِلَى الْقُرْآنِ وَاِلَى طَاعَةِ الرَّبِّ الَّذِيْ اِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ
Aku tidak menyuruh manusia kecuali dengan Al-Quran dan kembali kepada Al-Quran serta taat kepada Tuhan yang kepada-Nya mereka akan dikembalikan.” (‘Ainah Kamalati Islam, hal. 486)
وَاللهِ أَنَّ مُحَمَّدًا خَيْرُ الْوَرَى نُورُ الْمُهَيْمِنِ دَافِعُ الظُّلُمَاءِ
Demi Allah Muhammad adalah semulia-mulia makhluk dan beliau adalah Nur Allah Yang menghilangkan segala kegelapan.
وَاللهُ يَعْلَمُ اِنِّيْ عَاشِقُ اْلاِسْلاَمِ وَفِدَاءُ حَضْرَةِ خَيْرِ اْلاَنَامِ وَغُلاَمُ اَحْمَدَ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan Allah mengetahui sesungguhnya aku adalah pecinta Islam, berkorban untuk Hadhrat Khairil-anaam Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku sebagai pelayan Ahmad Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ainah Kamalati Islam, hal. 388)

Adapun visi Ahmadiyah adalah visi Islam juga, karena itu visi ini ditawarkan kepada setiap orang yang ingin menyatakan bai’at untuk bergabung ke dalam Jamaah ini. Visi Ahmadiyah itu merupakan rumusan ajaran Islam agar setiap Ahmadi mudah memahami dan mengevaluasi prilakunya. Visi Ahmadiyah ini dirumuskan menjadi 10 poin yang dikenal dengan nama syarat-syarat bai’at untuk memasuki Jamaah Islam Ahmadiyah, agar lebih jelas kami kutipkan berikut ini:

1. Akan menjauhi syirik sampai mati.

2. Tidak akan mendekati zina, berbicara bohong, memandang orang lain dengan nafsu birahi, akan menjauhkan diri dari segala macam kedurhakaan, kejahatan, aniaya dan khianat; tidak mengadakan pemberontakan, tidak membuat huru-hara serta tidak akan tunduk kepada keinginan hawa nafsu.

3. Akan senantiasa menegakkan shalat lima waktu... semata-mata karena mengikuti perintah Allah ta’ala dan pelajaran Rasul-Nya yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam; dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa menegakkan Shalat Tahajjud; memohonkan rahmat atas Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (shalawat); memohon ampunan dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa (istighfar); akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah ta’ala, lalu mensyukurinya dengan hati tulus (tasyakkur); serta memuji dan menyanjung-Nya dengan hati yang penuh rasa cinta (tahmid).

4. Tidak akan menyakiti seorang pun dari makhluk Allah, teristimewa kaum muslimin karena terdorong hawa nafsu, baik dengan tangan, lisan maupun dengan cara-cara lainnya.
5. Akan tetap setia kepada Allah ta’ala dan senang menerima keputusan-Nya dalam segala keadaan-baik susah ataupun senang, baik sulit ataupun mudah, baik musibah ataupun nikmat; dan bersedia menerima caci maki, kehinaan dan penderitaan di jalan-Nya; tidak akan memalingkan muka dari Allah di saat menderita, bahkan akan terus berjalan maju untuk mendekati-Nya.

6. Akan menjauhkan diri dari kebiasaan buruk yang menuruti hawa nafsu, lamunan palsu dan menerima setiap hukum dan ajaran Al-Quran yang agung di atas dirinya, serta menjunjung tinggi firman Allah ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman semua langkah hidupnya.

7. Akan menjauhkan diri dari kesombongan, sebaliknya akan hidup dengan rendah-hati, bergaul dengan sesama manusia serta beradat-istiadat dengan lemah lembut dan akhlak yang baik.

8. Akan menjunjung tinggi dan memuliakan agama Islam, melebihi jiwa, harta dan anak-anaknya... serta dari setiap yang dicintai.

9. Akan memberi pertolongan kepada semua makhluk Allah ta’ala dengan belas kasih semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan membelanjakan setiap kekuatan dan nikmat pemberian Allah untuk kebaikan dan manfaat bagi mereka.

10.Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini “Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau’ud “dengan ikatan persaudaraan yang tulus karena Allah ta’ala, dalam mentaati setiap perkara kebaikan yang diperintahkan; berdiri di atas perjanjian ini sampai mati; dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi... baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan ataupun ikatan kerja.
(Isytihar Takmil Tabligh, dikutip dari Majalah At-Taqwa, Volume No. 9, Issue No. 6, Oktober 1996).
Guna tercapainya misi dan visi Islam yang diperjuangkan Ahmadiyah, Pendiri Jamaah menulis 84 buku literatur Islam, selebaran-selebaran, koresponden, mubahalah dan senantiasa berdoa sebagai berikut:
رَبِّ أَحْيِ اْلإِسْلاَمَ بِجَهْدِيْ وَهِمَّتِيْ وَدُعَآئِيْ وَكَلاَمِيْ وَأَعِدْ بِيْ سَحْنَتَه، وَخَيْرَه، وَسِبْرَه، وَمَزِّقْ كُلَّ مَعَانِدَ وَكِبْرَه، رَبِّ أَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ المْـَوْتٰى وَأَرِنِيْ وُجُوْهًا ذَوِى الشَّمَآئِلِ اْلإِيمْـَانِيَّةِ وَنُفُوْسًا ذَوِى الْحِكْمَةِ الْيَمَانِيَّةِ وَعُيُوْنًا بَاكِيَةً مِنْ خَوْفِكَ وَقُلُوْبًا مُقْشَعِرَةً عِنْدَ ذِكْرِكَ

Wahai Tuhanku hidupkanlah Islam ini dengan perjuangan, semangat yang menggelora, doa dan kata-kataku; dan kembalikanlah kemajuan, kebaikan dan keindahannya dengan perantaraanku; dan hancur-luluhkanlah setiap penentang dan kesombongannya. Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati rohaninya. Perlihatkanlah kepadaku orang-orang yang memiliki kesopanan yang beriman, orang-orang yang memiliki kebijakan yang beberkah, orang-orang yang mudah mencucurkan air mata karena takut kepada-Mu dan orang-orang yang berhati gemetar ketika ingat kepada-Mu. (آinah Kamâlât-i-Islâm” atau “Dâfi’ul Wasâwis” dalam Ruĥânî Khazâ'in Ĥadhrat Mirzâ Ghulâm Qâdiyânî Masîĥ Mau’ûd wa Mahdî Ma’hûd ‘alahi's-salam Jilid V, Additional Nâzhir Isyâ’at London, Halaman 6, Baris).



Pertanyaan ke 17

Bagaimana mekanisme rekrutmen Ahmadiyah?

Jawaban:
Mekanisme rekrutmen Ahmadiyah menggunakan 5 cabang, yaitu: (1) Mencetak buku-buku Literatur Islam; (2) Menerbitkan majalah dan brosur-brosur Islam; (3) Silaturrahmi kepada siapa pun; (4) Koresponden untuk mencari kebenaran Islam dan (5) Menerima bai’at orang yang ingin bergabung dalam Jamaah Islam Ahmadiyah untuk memperjuangkan Islam dan menghidupkan Sunnah Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bai’at adalah menjual diri sendiri. Dan ini adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh hati. Tatkala seorang manusia mengalami kemajuan demi kemajuan dalam kejujuran dan keikhlasannya, maka sampai pada batas tertentu ketika dalam dirinya timbul kondisi itu, maka dengan sendirinya dia akan tertuntut untuk bai’at. Selama kondisi ini belum terbentuk, maka manusia memahami bahwa dalam kejujuran serta keikhlasannya masih dalam kekurangan (Malfuzhat, Add. Nazhir Isyaat, London, 1984, Jilid II, hal. 293-294).

Orang Islam yang telah baiat kepada Imam Mahdi ‘alaihis salam atau Khalifatul-Masih yang terpilih untuk memimpin Jamaah Islam Ahmadiyah yang telah beliau dirikan sejak 23 Maret 1889 M akan dijamin selamat dari pengaruh fitnah Dajjal yang selalu berupaya merusak keimanannya. (HR Ibnu Addiy dalam “Al-Kamil”, Ibnu Asakir, dan Ibnu An-Najjar; dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38630 ). Bahkan, orang yang berbai’at imannya akan bertambah mantap dan akan mendapatkan berkat-baiatnya serta akan bersikap sopan-santun, selalu berupaya memperbaiki diri- karena hubungannya dengan Allah ta’ala terjalin sangat kuat, sehingga shalat, pengorbanan, hidup dan matinya hanya diperuntukkan kepada-Nya—karena ia menyadari bahwa dirinya dan hartanya telah menjadi milik-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ اِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعـاـلَمِيْنَ
Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, pengorbananku dan kehidupanku serta kematianku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(Al-An’am, 6 : 163)
Bahkan, Allah ta’ala akan memberikan pertolongan dalam mengatasi persoalan mereka di samping Dia akan memberikan Sorga bagi mereka.
Allah ta’ala berfirman:
اِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa mereka dan harta mereka bahwa bagi mereka tersedia surga. (At-Taubah, 9 : 111)
Menurut Imam Mahdi ‘alaihis salam apabila seseorang menyadari bahwa dirinya dan hartanya telah dibeli Allah ta’ala, maka hubungan seseorang dengan hal-hal duniawi, jika diwarnai oleh hubungan dengan Allah ta’ala, dan kecintaan kepada hal-hal tersebut diwarnai oleh kecintaan kepada-Nya, maka pergesekan pada saat demikian itu akan menghanguskan kecintaan terhadap wujud selain Allah, dan sebagai gantinya akan dipenuhi oleh cahaya dan nur. Lalu keridhaan Allah menjadi keridhaannya, dan keridhaannya menjadi keridhaan Allah ta’ala. Setelah mencapai kondisi demikian, maka kecintaan kepada Tuhan menjadi nyawa baginya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kegembiraan dan kesenangannya terletak dalam hubungannya dengan Tuhan. Dan jika menurut pandangan dunia bahwa dia mengalami kesedihan dan kesusahan, maka baginya hal itu dibiarkan terjadi, sebab sebenarnya pada waktu itu dia meneguk kelezatan Ilahi dengan penuh ketenangan, kelezatan dan ketentraman yang nilainya tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang yang berpandangan duniawi. (Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, Jilid 2, halaman 101-102)

Adapun kekuatan yang diandalkan Ahmadiyah dalam memperjuangkan Islam ini ada empat, yaitu: (1) Kekuatan argumentasi (hujjah) atau dalil; (2) Kekuatan bukti (bayyinah); (3) Kekuatan Taqwa dan (4) Kekuatan doa dalam satu Jamaah yang menggunakan system Khilafatul-Masih. Kini, Jamaah ini dipimpin Khalifatul-Masih Al-Khamis, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ayyadahullahu ta’ala binashrihil-‘aziz.



Pertanyaan ke 18

Bagaimana rukun Islam dan rukun Iman Ahmadiyah?

Jawaban:
Dengan karunia Allah ta‘ala, kami Ahmadiyah adalah orang-orang yang beragama Islam, kami berkeyakinan bahwa agama Islam adalah satu agama yang sempurna yang tidak akan dimansukhkan lagi sampai hari Qiamat. Siapa saja yang tidak mengikuti Islam, maka kepercayaannya tidak benar dan agamanya tidak akan diterima.
Allah ta‘ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan, siapa saja yang memilih selain Islam sebagai agama, maka darinya tidak diterima dan di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi (Ali Imran, 3:86).

Al-Quranul-Majid adalah firman Allah yang suci dan Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berpangkat Khataman-Nabiyyin. Tidak ada kitab (syari’at) baru lagi atau Nabi yang membawa agama baru sesudah beliau itu.

Rukun Islam kami ada lima perkara:
1. Mengucapkan dua Kalimah Syahadat, yaitu:
أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ
Saya menyaksikan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah; dan saya menyaksikan bahwa Muhammad itu pesuruh Allah.

2. Mendirikan Shalat lima waktu dalam sehari-semalam.

3. Berpuasa pada bulan Ramadhan.

4. Membayar Zakat kalau sudah cukup nishab.

5. Naik haji ke Mekkah Al-Mukarramah kalau mampu.

Sehubungan dengan Rukun Islam tersebut, kami kutipkan beberapa sabda Pendiri Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam sebagai berikut:

Dua Kalimah Syahadat
Sehubungan dengan Rukun Islam pertama, beliau ‘alaihis-salam bersabda, “Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Tuhan.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 307, Cet.Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Diriku yang lemah telah diutus ke dunia untuk menyampaikan pesan Tuhan dan menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Al-Quran dan Laa ilaaha illallaahu Muhammadur Rasuulullaah – Tidak ada tuhan, kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah adalah pintu untuk memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Menegakkan Shalat
Sehubungan dengan Rukun Islam kedua, beliau ‘alaihis-salam bersabda, “Salah satu arti dari surat Al-Fatihah ialah yang menaklukkan. Dia itu membuktikan bahwa seseorang beriman atau ingkar. Dengan kata lain, dia membedakan antara dua hal tersebut. Dia membukakan hati dan memberikan pengertian. Itulah sebabnya surat Al-Fatihah harus dibaca begitu sering dan seseorang harus menghayati doa ini dengan khusyuk. Dia menjadikan seseorang betul-betul seperti seorang pengemis dan sangat membutuhkan. Sebagaimana seorang pengemis merendahkan dirinya dan meminta kemurahan dengan menunjukkan dia sangat membutuhkan atau dengan mengubah nada suaranya, seseorang hendaknya merendah dan kemudian memohon kepada Tuhan agar mencukupi kebutuhannya. Shalat tidak dapat dinikmati sepenuhnya, kecuali oleh orang yang merendahkan dirinya saat shalat dan menjadikannya sebagai sarana permohonannya.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 145, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). “Masalahnya adalah bahwa tatkala manusia bersih dari gejolak nafsu serta meninggalkan egonya lalu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatannya selaras dengan kehendak Tuhan.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 14-15, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

Selanjutnya beliau ‘alaihis-salam menerangkan, “Apa yang dimaksud dengan shalat? Shalat merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak paham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah ta’ala. Kemaha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Aku sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah kecintaan terhadap Allah ta’ala menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tidak ada lagi.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjauhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah ta’ala datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi, kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah ta’ala..” (Malfuzhat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

“Shalat adalah sesuatu yang di dalamnya harus terdapat keperihan dan keharuan. Dan, manusia berdiri di hadapan Allah ta’ala dengan sikap penuh sopan. Tatkala manusia sebagai hamba lalu bersikap tidak peduli, maka Dzat Tuhan adalah Ghani (Maha Cukup dan Tidak Membutuhkan). Setiap umat akan tetap bertahan selama di dalamnya terdapat perhatian ke arah Allah ta’ala. Akar iman pun adalah shalat. Sebagian orang yang tidak paham mengatakan: Apa perlunya shalat ini bagi Tuhan? Wahai orang-orang yang tidak mengerti, Tuhan memang tidak memerlukannya, tetapi kalianlah yang memerlukan agar Allah ta’ala memberi perhatian kepada kalian. Pekerjaan-pekerjaan yang berantakan, akan menjadi benar kembali, karena mendapat perhatian dari Tuhan. Shalat menjauhkan ribuan kesalahan dan merupakan sarana untuk meraih kedekatan Ilahi.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 378, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

Bahkan beliau ‘alaihis-salam menyatakan bahwa shalat itu merupakan sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya.

Beliau ‘alaihis-salam bersabda:

فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَرْكَبٌ يُوْصِلُ الْعَبْدَ اِلىَ رَبِّ الْعِبَادِ
Maka, sesungguhnya shalat itu adalah sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya para hamba itu.” (I’jazul-Masich, hal. 164)

Maka dari itu, shalat lebih utama dikerjakan pada awal waktunya karena shalat itu merupakan karunia kesempatan dan sarana efektif yang dapat mengantarkan seseorang ke hadapan Tuhannya.

Beliau ‘alaihis-salam bersabda:

وَمِنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَاتِ أَنْ يَكُوْنَ اْلإِنْسَانُ محُـَافِظًا عَلَى الصَّلَوَاتِ الخْـَمْسِ ِفيْ أَوَائِلِ أَوْقَاتِهَا
Dan termasuk keutamaan ibadah, jika manusia menjaga shalat yang lima pada awal waktunya.” (I’jazul-Masich, hal. 163-164).

Pernyataan beliau ‘alaihis-salam ini sesuai dengan sabda Hadhrat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadits beliau:

أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ الصَّلاَةُ ِفيْ أَوَّلِ وَقْتِهَا
Yang paling utama dari amalan itu adalah shalat yang dilaksanakan pada awal waktunya.” (HR Abu Daud, At-Turmudzi, dan Al-Chakim dalam Al-Mustadrak—dari Hadhrat Ummu Fardah radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz VII/18900)

Puasa Bulan Ramadhan
Sehubungan dengan Rukun Islam ketiga, beliau ‘alaihis-salam bersabda, “Masalah ketiga, yang merupakan Rukun Islam adalah Puasa. Kebanyakan orang tidak mengetahui sedikitpun akan hakikat puasa. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, puasa memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah ta’ala dalam hal itu adalah: kurangilah satu makanan jasmani dan tingkatkanlah makanan rohani. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa puasa bukanlah berarti supaya seseorang menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berdzikir kepada Allah ta’ala, sehingga ia memperoleh tabattul (Surat Al-Muzammil, 73:9) dan inqithaa' ). Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah ta’ala, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah ta’ala yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

“Puasa dan shalat, dua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu shalat lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, juga kadang-kadang dapat dialami oleh para Yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). “Puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa was-was.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 29-30, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Membayar Zakat
Perintah Zakat berulang-ulang disebutkan dalam kitab suci Al-Quran, sedang penjelasannya secara rinci terdapat dalam Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Taala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بهِـَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Ambillah dari orang-orang beriman [yang bernaung di bawah pemerintah Islam] sedekah/zakat, agar engkau (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dapat membersihkan [hati mereka] dan juga engkau akan dapat membersihkan [harta benda (zakat)] mereka dari campuran harta orang lain dan doakanlah mereka.” (At-Taubah, 9 : 104).

Sehubungan dengan rukun Islam keempat ini, beliau ‘alaihis salam pernah menetapkan tentang masalah zakat perhiasan. Sabda beliau, “Perhiasan pakaian tidak wajib zakatnya. Perhiasan yang disimpan tapi kadang-kadang dipakai, zakatnya hendaknya dibayarkan juga. Pakaian dan perhiasan yang dipakai dan kadang-kadang dipinjamkan kepada orang-orang miskin, maka menurut fatwa sebagian ulama, tidak wajib zakatnya. Pakaian yang dipakai sendiri dan tidak dipinjamkan kepada orang lain, lebih baik dizakatkan karena dia dipakai untuk sendiri. Di rumah kami, inilah yang dilakukan dan tiap-tiap tahun kami mengeluarkan zakat perhiasan di rumah kami. Tapi, perhiasan yang disimpan, seperti uang, wajib zakatnya. Dalam hal ini tidak ada ikhtilaf (pertikaian pendapat).” (Majmu’ah Fatawa-e-Achmadiyyah, Jil. I, hal.163; terjemahan Alm. Mln. Ahmad Nuruddin rachimahullaahu)

Menunaikan Ibadah Haji
Sehubungan dengan rukun Islam kelima, beliau ‘alaihis salam bersabda: “Lihat, pergi menunaikan ibadah Haji dengan ikhlas dan kecintaan adalah perkara mudah. Namun, kembali dalam kondisi yang seperti itu adalah sulit. Banyak sekali orang yang pulang dalam keadaan gagal dan kalbunya menjadi keras. Penyebabnya adalah mereka tidak menemukan hakikat yang ada di sana. Melihat kekurangan-kekurangan, mereka langsung protes sehingga mereka luput dari karunia-karunia di sana akibat dari perbuatan buruk mereka sendiri, dan karena melontarkan tuduhan pada pihak-pihak lain. Oleh karena itu, adalah penting tinggal menetap bersama Utusan [Ilahi] untuk beberapa lama dengan hati tulus dan teguh supaya manusia menjadi sadar akan kondisi-kondisi batinnya dan supaya kebenaran itu menyinari.sepenuhnya” (Malfuzhat, Jld. V. hal. 177, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

“Kami tidak pernah membuat kalimah syahadat atau shalat atau ibadah Haji atau masjid sekecil apapun yang terpisah dari mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; tugas kami ialah untuk mengkhidmati agama Islam ini; dan memenangkan agama ini di atas semua agama lain serta mengikuti hukum-hukum Al-Quran yang mulia dan Hadits-hadits yang terbukti berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits paling lemah pun kami anggap wajib diamalkan dengan syarat tidak bertentangan dengan Al-Quran yang mulia; dan kami mengakui bahwa Hadis Al-Bukhari dan Muslim ialah ashachchul-kutub sesudah Kitab Allah.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 138-139, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

Berdasarkan kutipan dari beberapa buku Pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut, maka terlihat dengan jelas bahwa penjelasan Rukun Islam yang diajarkan dan ditegakkan dalam kehidupan setiap orang Ahmadiyah itu adalah sama persis dengan Rukun Islam yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga Rukun Iman kami ada enam perkara:
1. Percaya kepada Allah Ta‘ala.
2. Percaya kepada para Malaikat-Nya.
3. Percaya kepada Kitab-kitab-Nya.
4. Percaya kepada Rasul-rasul-Nya.
5. Percaya kepada Hari Qiamat.
6. Percaya kepada Taqdir Allah Ta‘ala.

Inilah kepercayaan kami secara ringkas. Sekarang, kami hendak menjelaskan kepercayaan Ahmadiyah dengan mengambil keterangan dari beberapa tulisan Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam sendiri:

Berkenaan dengan Allah ta’ala
Beliau ‘alaihis salam bersabda:
إِنَّا نَحْنُ الْمُسْلِمُونَ نُؤْمِنُ بِاللهِ الْفَرْدِ الصَّمَدِ اْلأَحَدِ
Kami beragama Islam, kami beriman kepada Allah Yang Maha Esa, yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya Yang Maha Tunggal (Nurul-Haq, Juz I, hal. 6).

Sabdanya lagi:
وَإِنِّي أَعْتَقِدُ مِنْ صَمِيْمِ قَلْبِي أَنَّ لِلْعَالِمِ صَانِعًا قَدِيرًا وَاحِدًا كَرِيمًا مُقْتَدِرًا عَلَى كُلِّ مَا ظَهَرَ وَخَفَى
Saya beraqidah dari lubuk hati yang dalam bahwa Allah adalah Yang menjadikan alam, Dia itu Esa, Maha Kuasa, Maha Mulia dan menguasai segala sesuatu yang nampak dan yang sembunyi (Mir’atu Kamalatil-Islam, hal. 384).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

أَحَدٌ قَدِيمٌ قَائِمٌ بِوُجُودِهِ – لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلاَ الشُّرَكَاءَ
Allah itu Tunggal, Kekalو ًWujud-Nya berdiri sendiri, tidak beranak dan tidak bersyarikat (Anjami atam, hal. 267).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

وَبِعِزَّةِ اللهِ وَجَلاَلِهِ إِنِّي آثَرْتُ وَجْهَ رَبِّي عَلَى كُلِّ وَجْهٍ وَبَابُه‘ عَلَى كُلِّ بَابٍ وَرَضَائُه‘ عَلَى كُلِّ رَضَاءٍ وَبِعِزَّتِهِ أَنَّه‘ مَعِي فِى كُلِّ وَقْتِي وَأَنَا مَعَه‘ فِى كُلِّ حِينٍ وَ آثَرْتُ دَوْلَةَ الدِّينِ وَهَيَ تَكْفِينِي وَلَوْ لَمْ يَكُنْ حَبَّةٌ لِتَجْهِيزِي وَتَكْفِينِي وَإِنِّي مُنْعَمٌ مَعَ يَدِ اْلإِمْلاَقِ وَفَارِغٌ مِنَ اْلأَنْفُسِ وَاْلآفَاقِ وَشَفَعَنِي رَبِّي حُبًّا وَأَشْرَبَ فِي قَلْبِي وَجْهَه‘وَأَنَا مِنْهُ بِمَنْزِلَةٍ لاَ يَعْلَمُهَا أَحَدٌ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dengan kemuliaan Allah aku bersumpah bahwa aku mengutamakan keridhaan-Nya melebihi segala perkara dan pintu-Nya melebihi segala pintu lain; dan kesukaan-Nya melebihi kesukaan orang lain dan bahwa Dia beserta aku setiap waktu dan aku pun mengikuti-Nya dalam segala hal; dan aku telah mengutamakan kegiatan agama dan dialah yang mencukupi aku walaupun aku tidak mempunyai harta-benda duniawi apa pun; aku mendapatkan kenikmatan meski takada apa-apa di tangan; cinta kepada Tuhan tertanam di hatiku dan aku mendapatkan pangkat ruhani yang tidak dapat dikenal oleh manusia mana saja di masa sekarang (Tuhfatu Baghdad, hal. 19).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

اَللهُ مُقْتَصِدُ مُهْجَتِي وَأُرِيدُه‘ – فِى كُلِّ رَشْحِ الْقَلَمِ اْلإِمْلاَقُ
Kepada Allah saja aku menuju; pada tiap-tiap waktu penaku bergerak

Berkenaan dengan Malaikat-Nya
Beliau ‘alaihis salam bersabda:

وَأَعْتَقِدُ إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً ... وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَقَامٌ مَعْلُومٌ
Aku beraqidah bahwa Allah mempunyai malaikat, …masing-masing dari mereka mempunyai martabat yang tertentu (Miratu Kamalatil-Islam, hal. 284)

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

وَ َإِنَّا نُؤْمِنُ بِمَلاَئِكَةِ اللهِ وَمَقَامَتِهِمْ وَصُفُوفِهِمْ وَنُؤْمِنُ بِأَنَّ نُزُولَهُمْ كَنُزُولِ اْلأَنْوَارِ لاَ كَنُزُولِ اْلإِنْسَانِ مِنَ الدِّيَارِ إِلَى الدِّيَارِ
Dan kami beriman kepada malaikat Allah dan dengan martabat mereka dan kami beriman bahwa turunnya mereka itu seperti turunnya nur, bukan seperti pindahnya manusia dari satu negeri ke negeri lain (Tuhfatu Baghdad, hal. 25).

Berkenaan dengan Kitab-kitab-Nya
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

وَبِعِزَّةِ اللهِ وَجَلاَلِهِ إِنِّي مُؤْمِنٌ مُسْلِمٌ أُومِنُ بِاللهِ وَكُتُبِهِ الخ
Aku bersumpah dengan kemuliaan Allah bahwa aku seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Kitab-kitab-Nya (Chmaamatul-Busyraa, hal. 13).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Aku beriman kepada Allah , Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya (Izaalatul-Auhaam, hal. 2).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

اِشْهَدُوا إِنَّا نَتَمَسَّكُ بِكِتَابِ اللهِ الْقُرْآنِ وَنَتَّبِعُ أَقْوَالَ رَسُولِ اللهِ مَنْبَعَ الْحَقِّ وَالْعِرْفَانِ وَنَقْبَلُ مَا انَْعَقَدَ عَلَيْهِ اْلإِجْمَاعُ بِذَالِكَ الزَّمَانِ لاَنَزِيدُ عَلَيْهَا وَلاَ نَنْقُصُ مِنْهَا وَعَلَيْهَا نَحْيَ وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَمَنْ زَادَ عَلَى هَذِهِ الشَّرِيعَةِ مِثْقَالَ ذَرَّة أَوْ نَقَصَ مِنْهَا أَوْ كَفَرَ بَعَقِيدَةِ إِِجْمَاعِيَّةٍ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Bersaksilah kamu bahwa kami berpegang teguh kepada Kitab Allah Al-Quran dan kami mengikuti sabda Rasulullah yang menjadi sumber kebenaran dan ilmu makrifat, dan kami menerima apa yang telah diijma’kannya pada masa itu, kami tidak menambah apa pun dan tidak pula mengurangi apa pun darinya dan kami hidup dan mati atasnya. Siapa saja yang menambah apa pun dalam syari’at atau mengurangi atau mengafiri aqidah yang telah diijma’kan, maka ia akan mendapat kutukan Allah, kutukan malaikat dan manusia semuanya (Anjami Atam, hal. 144).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

وَإِنَّ الْخَيْرَ كُلَّه‘ فِى الْقُرْآنِ وَمَعَه‘ حَدِيثٌ طَلَبْتُه‘ فِى الْبَيَانِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ مَا وَرَاءَه‘ فَأُولَئِكَ مِنَ الْعَادِينَ
Sesungguhnya semua kebaikan ada di dalam Al-Quran dan dalam Hadis yang tertuju dengannya. Mereka yang mencari selain darinya, maka mereka termasuk orang-orang yang melanggar batas (Mawahibur-Rahman, hal. 62).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

وَأَحْمَدُ أَنَّه‘ عَلَى أَنِّي مَا وَجَدْتُ إِلْهَامًا مِنْ إِلْهَامَاتِي يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ بَلْ وَجَدْتُ كُلَّهَا مُوَافِقًا بِكِتَابِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak mendapatkan satu pun ilham dari ilham-ilhamku yang menyalahi Kitab Allah, bahkan aku mendapati segala ilham, sesuai dengan Kitab Tuhan sekalian alam, yaitu Al-Quranul-Majid (Chamaamatul-Busyraa, hal. 96).

Berkenaan dengan Para Rasul-Nya
Beliau ‘alaihis salam telah bersabda:

أَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي مَنَّ عَلَيْنَا بِإِرْسَالِ الرُّسُلِ وَالْكُتُبِ وَجَعَلَ اْلأَنْبِيَاءَ لِخِيَامِ التَّوْحِيدِ كَالطُّنُبِ وَقَفَّى عَلَى آثَارِهِمْ بِاْلأَوْلِيَاءِ لِيَكُونُوا كَاْلأَوْتَادِ لِلسَّبَبِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ الرُّسُلِ نُخْبَةُ النَّخَبِ مُحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَشَفِيعِ الْمُذْنِبِينَ وَأَفْضَلِ اْلأَوَّلِينَ وَاْلآخِرِينَ وَآلِهِ الطَّاهِرِينَ الْمُطَّهَّرِينَ
Segala puji bagi Allah yang telah berbuat baik kepada kami dengan mengutus para Rasul dan Kitab-kitab dan telah menjadikan Nabi-nabi sebagai tali untuk kemah-kemah tauhid dan menghubungkan wali-wali dibelakang mereka supaya menjadi paku bagi tali-tali; dan shalawat dan salam kepada sebaik-baik dan semulia-mulia Rasul, yaitu Khaatamun-Nabiyyiin dan yang akan memberi syafa’at untuk orang-orang yang berdosa dan beliau itu lebih utama dari semua orang dahulu dan kemudian; dan pula shalawat dan salam bagi para pengikutnya yang suci dan yang disucikan (Anjaami Atahm, hal. 73).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Aku beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya (Izaalatul-Auhaam, hal. 2).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

فَاعْلَمْ يَاأَخِي إِنَّا آمَنَّا بِاللهِ رَبَّا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَآمَنَّا بِأَنَّه‘ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ وَآمَنَّا بِالْفُرْقَانِ أَنَّه‘ مِنَ اللهِ الرَّحْمَنِ وَلاَ نَقْبَلُ كُلَّ مَا يُعَارِضُ الْفُرْقَانَ وَيُخَالِفُ بَيَانَه‘ وَمُحْكَمَاتِهِ وَقَصَصَه‘ وَلَوْ كَانَ أَمْرًا عَقْلِيًا أَوْ كَانَ مِنَ اْلآثَارِ الَّتِي سَمَّاهَا أَهْلُ الْحَدِيثِ حَدِيثًا أَوْ كَانَ مِنْ أَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
Ketahuilah wahai saudaraku, kami beriman kepada Allah, sebagai Tuhan dan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan kami beriman bahwa beliau adalah Khaatamun-Nabiyyiin, kami beriman kepada Al-Quran bahwa itu dari Allah Yang Pengasih dan kami tidak menerima apa saja yang menyalahi Al-Furqan (Al-Quran) dan keterangan-keterangan, dan hukum-hukumnya, kisah-kisahnya meskipun perkara itu timbul dari akal manusia atau dari riwayat-riwayat yang dinamakan Hadis oleh para Ahli Hadis atau dari kata-kata sahabat dan tabi’in (Tuhfatu Baghdad, hal. 23).

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:

وَاللهِ أَنَّ مُحَمَّدًا خَيْرُ الْوَرَى نُورُ الْمُهَيْمِنِ دَافِعُ الظُّلُمَاءِ
Demi Allah, Muhammad adalah semulia-mulia makhluk dan beliau itu Nur Allah yang menghilangkan segala kegelapan

Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَمُعْجِزَاتُ اْلأَنْبِيَاءِ حَقٌّ
Mu’jizat para Nabi itu benar (Mir’aatu Kamaalaatil-Islaam, hal. 367).

Berkenaan dengan Hari Akhir
Beliau ‘alaihis salam bersabda:

وَنُؤْمِنُ أَنَّ حَشْرَ اْلأَجْسَادِ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ حَقٌّ وَكُلُّ مَا جَاءَ فِى الْقُرْآنِ حَقٌّ وَكُلُّ مَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ وَهُوَ خَيْرُ اْلأَنْبِيَاءِ وَخَتْمُ الْمُرْسَلِينَ حَقٌّ وَمَنْ عَزَا إِلَيْنَا مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ وَالْفُرْقَانَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ قَدِ افْتَرَى عَلَيْنَا وَأَتَى بُهْتَانَ صَرِيحٍ كَالْمُنْتَرِينَ
Kami beriman bahwa kebangkitan sesudah mati adalah benar, Surga dan Neraka itu benar dan segala apa yang ada di dalam Al-Quran adalah benar dan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah semulia-mulia Nabi dan penghulu semua Rasul (Muhammad) itu benar, dan siapa saja yang menuduh kami dengan perkara yang menyalahi syari’at dan Al-Quran walaupun sedikit, maka sungguh dia telah mengadakan kedustaan yang nyata kepada kami (Tuhfatu Baghdad, hal. 25).

Lagi beliau ‘alaihis salam bersabda:

وَنُؤْمِنُ بِالْمَلاَئِكَةِ وَيَوْمِ الْبَعْثِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ
Dan kami beriman kepada malaikat, hari Kebangkitan, Surga dan Neraka (Nurul-Haqq, Juz I, hal. 6).

Lagi beliau ‘alaihis salam bersabda:

وَنَعْتَقِدُ أَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ
Kami beri’tiqat bahwa Surga dan Neraka adalah benar (Miraati Kamaalaatil-Islam, hal. 387).

Berkenaan dengan Taqdir
Beliau ‘alaihis salam bersabda:

اَللهُ اَللهُ لَه‘ الْمَجْدُ وَالْكِبْرِيَاءُ وَمِنْهُ الْقَدَرُ وَالْقَضَاءُ وَتَسْمَعُ حُكْمَهُ اْلأَرْضُ وَالسَّمَاءُ
Kepunyaan Allah saja segala kemuliaan dan kebesaran, dan dari-Nya qadar dan qadha’ dan perintah-Nya didengar oleh bumi dan langit (Mawaahibur-Rahmaan, hal. 116).

Sehubungan dengan Rukun Iman keenam tersebut, Hadhrat Imam Mahdi ‘alaihis-salam bersabda, “Orang-orang melontarkan kritikan mengenai ini, yakni mengapa taqdir itu terdiri dari dua bagian? Maka jawabnya adalah, pengalaman memberi kesaksian akan hal itu, yakni kadang-kadang tampil dalam bentuk-bentuk yang sangat berbahaya dan manusia benar-benar jadi putus asa. Namun, melalui doa dan sedekah serta pengorbanan, akhirnya bentuk-bentuk bahaya tersebut menjadi hilang …

Beberapa iradah Ilahi hanya dengan maksud agar tumbuh rasa khawatir pada manusia sampai batas tertentu. Lalu jika ia memberikan sedekah dan pengorbanan, maka rasa khawatirnya itu dihilangkan. Permisalan pengaruh doa adalah seperti unsur laki-laki dan perempuan. Jika syarat terpenuhi dan diperoleh waktu yang tepat serta tidak ada kekurangan apa pun, maka sesuatu masalah akan terhindarkan. Dan apabila yang berlaku taqdir mubram, maka tidak timbul sarana-sarana pengabulan doa. Hati memang menginginkan doa, akan tetapi perhatian tidak dapat terpusat sepenuhnya dan dalam hati tidak muncul rasa perih dan sedih. Shalat, sujud dan lain-lain yang dilakukannya tidak terasa nikmat; yang darinya dapat diketahui bahwa itu bukan akhir yang baik dan merupakan taqdir mubram.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 87-88, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

Nabi kita, Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengalami saat penuh musibah dan petaka seperti Nabi Isa ‘alaihis salam. Dan dari musibah itu diketahui dengan jelas bahwa para Nabi pasti mengalami saat-saat yang sulit dan sangat berat. Apakah peistiwa perang Ukhud bukan merupakan pengalaman peristiwa yang sangat berat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Akhirnya, di sana setan pun bangkit berkata bahwa na’udzu billah “Muhammad telah terbunuh” Dan dapat saja beberapa sahabat dalam kondisi yang kacau beranggapan demikian. Sebagian sahabat telah bercerai-berai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terjatuh ke dalam sebuah lobang. Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
Dan tiada seorang pun dari antara kamu melainkan akan datang kepadanya. Ini adalah ketetapan mutlak dari Tuhan engkau (Maryam, 19:72)

Dari ayat ini dapat diketahui dengan pasti bahwa para Nabi dan orang-orang saleh mengalami saat-saat yang sangat sulit dan penuh musibah di dunia ini. Dan itu merupakan saat yang sangat genting. Orang yang benar juga mengalami saat yang penuh petaka, akan tetapi Allah ta’ala segera melindunginya dan mengeluarkan dari petaka itu. Dan dikarenakan itu merupakan taqdir Mu’allaq, maka dapat dirubah melalui doa-doa mereka (Malfuzhat, Ad. Nazhir Isyaat, London, 1984, Jilid V, hal. 333-335/MI 07,03,2001).
Dari semua kutipan di atas, jelas sekali bahwa Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah - Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis-salam mengimani dan mengajarkan Rukun Iman sebagaimana yang telah diajarkan Sayyidina Nabi Besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَ ْلإِيْمَانُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْمِيْزَانِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada Surga, Neraka, Mizan; dan engkau beriman kepada Kebangkitan sesudah mati; dan engkau beriman kepada Taqdir, baiknya dan buruknya. (HR Al-Baihaqi dalam “Syi’abil-Iman”, An-Nasai, Ath-Thabrani dalam “Al-Kabir”—dari Umar radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz I/1)



Pertanyaan ke 19

Bagaimanakah keberadaan dan perjalanan Ahmadiyah di Indonesia?

Jawaban:
Agar jawaban kami dalam persoalan tersebut runtun, maka ijinkanlah kami menjawabnya mulai dari pangkal berdirinya Jamaah ini:

Jamaah Islam Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah didirikan pada tanggal 23 Maret tahun 1889 M di Qadian India oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam Beliau lahir pada tahun 1835 M dan telah wafat pada tahun 1908 M. Jemaat Ahmadiyah bukan agama baru dan tidak pula membawa ajaran baru. Anggota Jemaat Ahmadiyah adalah Islam, kitab sucinya Al-Quran yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah, nabinya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kepada 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman.

Sekarang, Jemaat Ahmadiyah dipimpin oleh Hz. Mirza Masroor Ahmad, ayyadahullahu ta’ala bi nashrihil-’aziz, yaitu Khalifah yang ke 5 penerus Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam Sejak mulai didirikannya hingga sekarang (th 2007), Jemaat Ahmadiyah telah berkembang dan tersebar di 185 negara di seluruh benua di dunia. Sebagai organisasi yang hanya berkiprah dalam bidang kerohanian dan sama sekali tidak memiliki tujuan-tujuan politik, Jemaat Ahmadiyah telah berhasil menyebarluaskan dakwah Islam di daratan Eropa, Australia dan Amerika dengan mendirikan masjid-masjid dan pusat-pusat dakwah di kota-kota penting di ketiga benua tersebut.

Sementara itu di daratan Benua Afrika, selain berhasil mengembangkan dakwah Islamnya, Jemaat Ahmadiyah juga telah berhasil mengembangkan dunia pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit hampir di semua negara di Afrika. Demikian juga di Asia, dakwah tengah terus berkembang di daratan India dan Timur Tengah hingga ke Jepang, China dan Korea di belahan negeri mana sebelumnya dakwah Islam mengalami hambatan dan kesulitan untuk berkembang.


Jemaat Ahmadiyah di Indonesia

Jemaat Ahmadiyah masuk ke wilayah Indonesia sebelum negara kita merdeka, yaitu melalui Muballigh Maulana Rahmat Ali HAOT yang ketika itu secara khusus diutus oleh pimpinan Ahmadiyah Internasional ke wilayah Indonesia. Muballigh Maulana Rahmat Ali HAOT membawa Ahmadiyah masuk ke wilayah Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh (sekarang Nanggroe Aceh Daarussalaam) pada tanggal 2 Oktober tahun 1925 M. Dari sana Jemaat Ahmadiyah berkembang ke wilayah Sumatera Barat dan pada tahun 1931 masuk ke Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1932, Jemaat Ahmadiyah telah berkembang di wilayah Batavia (Jakarta) dan Bogor.

Kepengurusan organisasi Jemaat Ahmadiyah di kedua wilayah itu pun ketika itu terbentuk yakni Pengurus Jemaat Ahmadiyah Betawi dan Jemaat Ahmadiyah Bogor. Dari wilayah Betawi dan Bogor Jemaat Ahmadiyah kemudian berkembang ke wilayah Pulau Jawa lainnya seperti Tangerang, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Karawang dan lain-lain.

Setelah Jemaat Ahmadiyah tersebar dan kepengurusannya terbentuk di beberapa kota di Sumatera dan hampir di seluruh bagian pulau Jawa, maka pada tahun 1935 Jemaat Ahmadiyah Indonesia membentuk Hoofdbestuur atau Pengurus Besar. Dan pada tanggal 12-13 Juni tahun 1937, Jemaat Ahmadiyah di Indonesia menyelenggarakan kongres yang pertama di Masjid Hidajath, Jl. Balikpapan I/10 Jakarta dihadiri oleh wakil-wakil Ahmadiyah dari cabang-cabang yang ada ketika itu untuk membahas AD dan ART Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Konferensi tersebut menyetujui AD dan ART Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan nama AADI, yaitu Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia. Pada tahun 1949, atau 3-4 tahun setelah Republik Indonesia berdiri, Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau yang ketika itu bernama AADI kembali menyelenggarakan kongres di Jakarta pada tanggal 9 s/d 11 Desember 1949 yang dihadiri oleh cabang-cabang AADI. Kongres tersebut menyetujui AD dan ART yang baru dan menyetujui penggantian nama Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia atau AADI menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Badan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Seperti telah diuraikan sebelumnya, Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi kerohanian, bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa dimana pun Jemaat Ahmadiyah berdiri.

Ketika Republik Indonesia mulai berdiri, dan tatanan pemerintahan serta undang-undang negara Republik Indonesia telah tertata dan terbangun, Jemaat Ahmadiyah pun segera menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintahan dan perundang-undangan yang ada di negara Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1952, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan surat kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu surat permohonan pengesahan AD dan ART Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai Badan Hukum. Dan pada tanggal 13 Maret 1953 Menteri Kehakiman RI Indonesia melalui Surat Keputusan No. JA.5/23/13 menetapkan, bahwa Perkumpulan atau Organsiasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai sebuah badan hukum. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26.

Pengakuan Badan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu lebih dipertegas lagi oleh pernyataan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 0628/KET/1978 tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan Hukum berdasarkan Statsblaad 1870 No.64.

Selanjutnya, Kelengkapan Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga diakui telah memenuhi persyaratan ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sehingga keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku oleh Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dengan Surat nomor 363.A/DPM/505/93

Demikian juga dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1986 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1986 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara pemberitahuan kepada Pemerintah serta Papan Nama dan Lambang Organisasi Kemasyarakatan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui keberadaannya oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dengan Nomor inventarisasi di DEPDAGRI dengan sifat kekhususan Kesamaan Agama Islam tanggal 5 Juni 2003 dengan nomor 75/D.I/VI/2003.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga telah masuk dalam daftar inventarisasi Organisasi Kemasyarakatan pada Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri 1988/1989 dengan nomor urut inventarisasi 297.

Sebagai organisasi yang diakui sebagai Badan Hukum yang sah oleh Pemerintah Republik Indonesia dan kelengkapan organisasinya memenuhi persyaratan ketentuan perundang-undangan yang ada, Jemaat Ahmadiyah Indonesia diperlakukan seperti organisasi keagamaan yang sah lainnya oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti:

1. Telah ditunjuk sebagai Lembaga Keagamaan ber-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah sebagaimana Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.Sk.38/DJA/1979 tanggal 2 Mei 1979;

2. Telah ditunjuk sebagai Organisasi Yang dimaksud Dalam Ketentuan Presiden RI No.133 Tahun 1953 yaitu diberi kebebasan bea masuk atas pemasukan barang-barang kiriman hadiah sebagaimana ditetapkan dengan SK Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: Kep-524/MK/III/8/1970 tanggal 19 Agustus 1970); Edaran Kantor Besar Jawatan Bea Dan Cukai Jakarta No.IM/IVa7/KB/1/9 Tanggal 16 Pebruari 1960 dan Surat Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/099/1970 Tanggal 6 Maret 1970 dalam surat mana Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga sekaligus dinyatakan sebagai TERDAFTAR di Departemen Agama Republik Indonesia sejak tanggal 2 Maret 1970 dengan Nomor:046/J/1970.

3. Pernikahan para anggota Jemaat Ahmadiyah dicatat di Kantor Urusan Agama sebagaimana surat Jawatan Urusan Agama Kantor Pusat Jakarta No.259/B/158 tanggal 18 September 1958.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai organisasi kemasyarakatan yang taat kepada hukum dan peraturan telah berupaya memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada dan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 11 Agustus 1982 Nomor R-786/D.1/8/1982 tentang Jemaat Ahmadiyah menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada Keputusan JAKSA AGUNG yang melarang Ahmadiyah di seluruh wilayah Republik Indonesia.



Tim Dialog Jemaat Ahmadiyah Indonesia Dengan Para Pejabat Di Lingkungan Ditjen Bimas Islam Departemen Agama RI

1. Ir. H. Anis Ahmad Ayyub (Sekretaris Tarbiyat PB dan Amir DKI – Banten)
2. Mln. Zafrullah Ahmad Pontoh (Muballigh Wilayah DKI)
3. Drs. H. Djamil Samian (Sekretaris Ta’limul-Quran PB dan Dosen JAMIAH AHMADIYAH)
4. H. Munasir Sidik, S.H. (Ketua IKAHAI)
5. Drs. Abdul Rozzaq (Muballigh dan Ass. Sektab PB)


-------oooOooo-------

No comments: