Tuesday, December 05, 2006

Dua Macam IQBAL

Uraian ini adalah tanggapan pertama atas buku Ahmadiyah Telanjang Bulat Di Panggung Sejarah, karangan Abdullah Hasan Alhadar,. 223 halaman, P.T. Alma’arif, Bandung, 1980. – Red.

Setelah membaca judul buku ini Ahmadiyah Telanjang Bulat Di Panggung Sejarah penulis menduga keras bahwa pengarangnya, Abdullah Hasan Alhadar, adalah seorang pelanggan tetap dari suatu perusahaan show strip and tease yang ada di kota buaya Surabaya. Hobinya itu rupanya telah memberinya ilham untuk membuat judul bagi bukunya itu. Hanya suatu watak sudah bejat yang bisa melahirkan ungkapan pornografis seperti yang terpancar pada judul buku itu. Jiwa yang porno jugalah yang mendorongnya melukiskan Ahmadiyah sebagai pribadi yang “sekujur tubuhnya kelihatan mulus dan cantik” (halaman 17).

Ketika penulis mendengar adanya buku itu dan mendengar bahwa ia dijual pada salah satu toko buku di Pusat Perdagangan Senen, timbul segera keinginan penulis untuk memperoleh buku itu. Tetapi usaha ini dibarengi dengan resiko yang memalukan. Setiap penulis menyebutkan judul buku yang dikehendaki kepada beberapa pedagang buku semua orang yang meladeni memandangi penulis dengan jidat bekernyit dan senyuman ejekan yang tersungging di mulut mereka. Rupanya pedagang-pedagang buku itu masih mempunyai perasaan yang lebih halus dari pengarang buku itu, yang selanjutnya kita pendekkan saja namanya dengan AHA untuk memudahkan. Perkataan “telanjang bulat” rupanya menimbulkan asosiasi negatif pada pikiran pedagang-pedagang itu. Malu penulis memuncak ketika perkataan penulis kepada pedagang buku itu terdengar oleh seorang gadis. “0 bapak”, katanya sambil mendekat. Mula-mula penulis tidak mengenalnya. Tetapi sesudah ia menjelaskan dirinya barulah penulis ketahui bahwa ia seorang anggota kaum kerabat juga dari penulis. Ketika itu yang mengamuk dalam hati penulis ialah pikiran: Apa anggapan, anak gadis itu? Mungkinkah ia akan menaruh salah anggapan kepada penulis? Semua itu gara-gara jalan pikiran porno dari pengarang AHA itu pada judul bukunya.

AHA berpretensi bahwa tulisannya merupakan “pangkal Study mendalam” dan berharap agar itu menjadi “bahan-bahan tambahan untuk Lembaga Research Islam” (halaman 17). Yang mengherankan ialah kenapakah tujuan baik itu diwarnai dengan judul porno dan dituangkan dalam kata-kata kasar bahkan keji terhadap pemimpin-pemimpin suatu gerakan yang sudah tersebar di seluruh dunia? Hal-hal ini hanya menunjukkan bahwa pengarang AHA tidak mampu mengemukakan yang dikatakannya benar dengan kata-kata ilmiah yang beradab. Untuk menarik perhatian pembaca-pembaca ia perlu menggunakan suatu cara yang sudah menjadi ketagihannya: unsur porno dan ucapan-ucapan keji.

Pada waktu membeli buku itu penulis juga membeli sebuah buku yang juga keluaran kota buaya, dengan judul Romans Perkawinan Nabi-nabi. Apa yang penulis duga ternyata benar. Kata romans sengaja diimbuhkan pada judul itu karena .dalam buku itu riwayat perkawinan nabi-nabi, yang seharusnya menimbulkan rasa hormat terhadap kesucian nabi-nabi, meninggalkan kesan seperti yang dibekaskan oleh cerita-cerita percintaan yang dewasa ini telah membanjiri pasaran bacaan. Dalam buku itu riwayat perkawinan nabi-nabi telah dibumbui oleh pengarang dengan adegan-adegan khayalannya sendiri, yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran. Rupanya pengarang itu berbuat demikian untuk dapat bersaing dengan buku-buku cerita hiburan. Pengarang AHA juga tampaknya berpikir demikian. Supaya laku ia harus menggunakan juga unsur porno.

Dalam Bab I yang bersifat pengantar AHA mengemukakan riwayat penyaliban Nabi Isa seperti yang diceritakan Bijbel. Kematian Nabi Isa di atas salib menimbulkan keputusasaan pada pemuka-pemuka pertama Kristen. Keputusasaan ini kemudian mereka atasi dengan menciptakan suatu ajaran bahwa sesudah mati Nabi Isa hidup kembali. Sesudah tinggal beberapa lama di langit Nabi Isa itu akan turun dari langit. Sambil lalu AHA menunjukkan hal yang sama dengan yang terdapat pada kaum Muslimin. Mereka juga menunggu kedatangan kembali Nabi Isa dan kedatangan seorang yang disebutkan Imam Mahdi. Pengarang menguraikan semua itu dengan maksud bahwa timbulnya gerakan Ahmadiyah adalah tersebab kepercayaan-kepercayaan itu. Dalam uraian ini AHA memutar yang sekunder menjadi yang primer.

Gerakan Ahmadiyah timbul dalam lingkungan Islam. Yang menjadi sebab adalah ajaran Islam sendiri. Karena dalam teologi Islam ajaran tentang kedatangan Almasih dan Almahdi bersumber pada hadits-hadits shahih dari Nabi Muhammad s.a.w. Kebetulan ajaran-ajaran Islam itu didukung oleh garis besar ajaran Kristen mengenai kedatangan Almasih. Yang demikian juga terdapat dalam ajaran agama-agama lain, yakni tentang kedatangan guru mereka pada zaman akhir. Tetapi semua ajaran agama-agama lain itu bagi Ahmadiyah hanya tambahan. Yang pokok ialah ajaran Islam sendiri. Sekiranya ajaran-ajaran agama-agama lain itu tidak ada, namun ajaran-ajaran, yang dikemukakan Ahmadiyah akan tetap ada. Karena, sebagailmana dikatakan tadi, ajaran-ajaran Ahmadiyah mempunyai rationale atau sumber pada ajaran Islam sendiri, Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad s.a.w.

Sikap AHA membuat yang sekunder menjadi primer dan sebaliknya mungkin sekali karena ia tidak mampu menghadapi Ahmadiyah secara teologis. Sikap AHA demikian itu tidak mengherankan. Karena ia sendiri melihat bahwa kebanyakan penulis yang menghadapi Ahmadiyah tidak lagi mendasarkan pemikiran mereka pada ajaran Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad s.a.w. Ia menyaksikan betapa tidak berdaya lawan-lawan Ahmadiyah beragumentasi dalam bidang itu. Karena tidak mampu dalam bidang ini mereka melarikan diri ke bidang lain yang sifatnya umum. Mereka berkelahi dalam sektor sejarah dengan mengemukakan riwayat-riwayat atau cerita-cerita yang pada umumnya palsu. Tetapi cara yang dilakukan AHA dalam melarikan diri dari argumentasi menurut teologi agak lihai. Ia bersembunyi di bawah ketiak Dr. Mohamad Iqbal untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah di bidang-bidang lain selain bidang teologi.

AHA bersetumpu pada pendapat Dr. Iqbal yang mengatakan “Para ulama di India yang menggunakan pedoman atau hujjah-hujjah Theologis untuk berhadapan dengan alirah Ahmadiyah, pada kenyataannya tidak berhasil mencapai kesempurnaan buat menengok kebahagiaan sebelah dalam dari Ahmadiyah. Cara-cara mereka itu bukan suatu methode yang effektif. Bahkan bila mereka mencapai suatu succes, itu hanya semu (sementara) belaka” (halaman 32). Oleh karena itu Dr. Iqbal mengemukakan suatu methode untuk menghadapi Ahmadiyah yaitu: Menyusuri jejak-langkah, sepak-terjang, maupun tingkah laku Mirza Ghulam Ahmad, ajaran-ajarannya, contoh-contoh wahyu yang ia terima dari Tuhannya, dan jika ditambah lagi, kehidupan keluarganya. Methode lainnya, yang juga penting dan effektif ialah, mencari dan menggaris-bawahi letak-letak Ahmadiyah dan pendirinya di dalam mata rantai sejarah kaum Muslimin India, sebelum abad keduapuluh atau meneliti situasi dan kondisi Muslim India dalam abad kesembilanbelas itu, sejak jatuhnya Sultan Tippu (halaman 43, 44). AHA merasa terpanggil untuk menempuh methode yang digariskan Iqbal itu. Dan cara inilah yang dilakukan AHA dalam bukunya ini. Tetapi apakah methode-methode itu betul effektif akan terlihat dalam karangan ini dan karangan-karangan berikutnya.

Sebenarnya keengganan Dr.Iqbal beragumentasi dengan Ahmadiyah secara teologis dapat dipahamkan. Ia telah menyaksikan betapa tidak berdayanya ulama-ulama India mempertahankan pendirian mereka terhadap dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang diberikan pihak Ahmadiyah berdasarkan Al-Quran, hadits-hadits dan pendapat ulama-ulama Islam mutaqaddimin. Kalau ulama-ulama besar India itu sudah tidak berdaya menghadapi kejituan dan kebenaran pendirian Ahmadiyah bagaimana bisa Iqbal akan ikut pula menghadapi Ahmadiyah secara teologi? la sendiri tidak berpengetahuan dalam teologi Islam. Hal ini diakuinya sendiri dalam suratnya kepada Jawaharlal Nehru ketika ia ini mengeritik Iqbal dalam karangan-karangannya. Dalam surat itu, yang dalam buku ini dikutip selengkapnya (halaman 24, 25). Dr. Iqbal mengatakan antara lain “Selanjutnya perlu saya utarakan di sini bahwa perhatian saya terhadap ilmu keTuhanan, kurang.” Karena perhatiannya kurang terhadap ilmu keTuhanan maka dengan sendirinya pengetahuannya tentang teologi tentu kurang juga. Pengakuan itu amat penting karena disampaikan kepada seorang yang bukan Muslim yang ternama, yang telah mengejek Iqbal dalam karangan-karangan-nya mengenai sikapnya terhadap Ahmadiyah.

Berkenaan dengan kehidupan Dr. Iqbal, terutama yang bertalian dengan Jemaat Ahmadiyah, dapat dikatakan bahwa riwayat hidupnya dapat dibagi dua sebelum akhir 1931 dan mulai awal 1932. Sampai akhir 1931 tak ada suara-suara atau pendapat-pendapat yang menentang Ahmadiyah. Malahan sebaliknya. Dalam tahun 1900 ia menulis surat kepada ‘Dr. Nicholson di mana ia mengatakan “Sesungguhnya Pendiri Gerakan Ahmadiyah adalah seorang pemikir ulung keagamaan di tengah ummat Islam”. Dalam pidatonya berjudul “Millate baidha par ek imrani nazhar” (suatu pandangan pembinaan atas agama Islam) yang dicetak dalam tahun 1919 ia mengata kan antara lain “Sesungguhnya Jemaat Ahmadiyah adalah suri teladan bagi sirat Islam”. Seorang temannya Maulwi Ghulam Muhyiddin Qushuri menyatakan bahwa Igbal pernah bergabung pada Jemaat Ahmadiyah ketika ia belajar pada perguruan tinggi dalam tahun 1896—7.

Pada pertengahan pertama tahun 1931 rakyat Kashmir yang 90 persen beragama Islam mengalami penindasan besar dari raja mereka yang beragama Hindu. Mengingat hal ini Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. mengundang setengah lusin pemimpin besar Islam di India, di antaranya Dr. Iqbal, supaya mengadakan pertemuan 25 Juli 1931 di Simla. Pertemuan itu menghasilkan suatu badan yang bernama All India Kashmir Committee. Atas usul Iqbal dan disokong oleh Khawaja Hasan Nizami Sahib, Imam Jemaat Ahmadiyah dipilih sebagai ketua badan itu. Dan Iqbal sendiri menjadi wakil ketua. Mula-mula Imam Ahmadiyah menolak usul penunjukan beliau sebagai ketua. Demikian juga ketika badan itu sudah berjalan beberapa lama dengan prestasi yang baik dan Imam Ahmadiyah menyatakan ingin mengundurkan diri dari keketuaan badan itu, dengan alasan bahwa beliau adalah pemimpin Ahmadiyah yang tidak disukai oleh kaum Muslim India, adalah Dr. Iqbal sendiri yang mendorong Imam Ahmadiyah supaya tetap memegang pimpinan itu, demi kepentingan berjuta-juta kaum Muslim Kashmir. Jadi di dalam pikiran dan perbuatan sampai akhir 1931 Dr. Iqbal dekat sekali bahkan bersatu dengan Ahmadiyah dan Pemimpinnya.

Tetapi mulai awal 1932 Dr. Iqbal yang pujangga, mencempelungkan dirinya kedalam politik. Iqbal mulai bermain-mata dengan Ahrar, suatu partai yang beranggotakan orang-orang Islam, tetapi yang berorientasi politik pada Partai Kongres yang dikuasai Hindu. Karena politik Dr. Igbal mulai menentang dan memusuhi Ahmadiyah. Tetapi dalam teologi ia tetap menghargai Ahmadiyah. Hal ini terbukti dalam suratnya tanggal 7 April 1932 kepada Choudhry Mohamad Ahsan, di mana antara lain ia berkata: “Adapun menggabungkan diri atau tidak ke dalam Jemaat Ahmadiyah adalah suatu hal yang tergantung umumnya pada tabiat insani. Tuan bebas memilih apakah akan bergabung atau tidak kepada gerakan ini. Adapun mengenai cara berdakwah yang berbeda-beda saya berpendapat bahwa cara dakwah yang dipilih oleh Pendiri Gerakan Ahmadiyah tidak sesuai dengan selera zaman sekarang. Yang sudah terang, keberanian semangat menyiarkan Islam yang kita lihat dalam kebanyakan anggota Jemaat Ahmadiyah patut sekali dihargai” (Surat-surat Iqbal, Juz II, h. 232).

Dalam suratnya kepada Nehru itu Iqbal mengatakan bahwa “orang-orang Ahmadiyah itu, adalah pengkhianat-pengkhianat terhadap Islam dan India” (h. 25). Yang menjadi soal ialah: Sejak kapan kaum Ahmadiyah beserta pemimpin mereka menjadi pengkhianat? Ketika Imam Ahmadiyah memimpin All India Kashmir Committee bersama setengah lusin putera Islam India terbaik berjuang membela berjuta-juta kaum Muslim Kashmir dari penindasan raja Hindu, yang berada dibawah pengaruh kerajaan Inggeris, adakah perbuatan itu pengkhianatan? Jika itu memang pengkhianatan maka bukankah Iqbal sendiri harus disebutkan pengkhianat kedua, karena ia menjadi wakil ketua Kashmir Committee itu? Baiklah Iqbal menjawab pertentangan hati sanubarinya sendiri. Dan AHA sendiri baiklah meninjau kembali kesimpulannya.

Meskipun secara politik Dr. Iqbal menentang Ahmadiyah tetapi dalam ideologi ia banyak sependapat dengan Ahmadiyah. Umpamanya, mengenai peperangan untuk agama Iqbal berkata: “Adapun bantahan yang mengatakan bahwa Iqbal menyokong pendirian wajib jihad agama pada masa kebangunan sekarang ini adalah suatu kekeliruan yang sangat keji. Aku tidak mengatakan demikian selama-lamanya dan tidak mungkin seorang Islam mana pun akan mengatakan seperti itu, karena melihat batas-batas yang sudah ditentukan oleh syariat, yaitu sesungguhnya jihad (perang) dapat dilakukan menurut ajaran Quran hanya dengan dua jalan saja. Pertama, untuk mempertahankan ummat Islam dari serangan yang dilakukan musuh terhadap mereka dan pengusiran mereka dari negeri. Kedua, untuk memperbaiki kekacauan di negeri dan menghukum mereka yang mengacau . . . Aku tidak melihat bahwa perang agama dibolehkan hanya dengan adanya dua syarat tersebut. Adapun peperangan mengisi perut dan memperluas daerah maka aku berpendapat bahwa yang demikian itu dilarang dalam Islam. Demikian pula halnya mengangkat senjata untuk menyiarkan agama dilarang sama sekali” (Surat-surat Iqbal, Juz I, h. 203, 204).

Seperti dengan Ahmadiyah juga Iqbal berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dajjal dan Ya’juj ma’juj adalah agama dan kekuasaan negara-negara barat. Berkata Iqbal dalam sajaknya: “Khol gae ya’juj aur ma’juj ke lasykar tamam, casyam muslim dekh le tafsir harf yansilun” (sesungguhnya tentara ya’juj dan ma’juj telah terlepas dari rantainya, maka orang Islam hendaklah memperhatikan perkataan yansilun” (Baang Dara, h. 334). Dalam Al-Quran perkataan yansilun (bergerak maju) dipergunakan dalam ayat “Sampai ya’juj dan ma’juj dilepaskan dan mereka bergerak maju dari tempat ketinggian” (21:97).

Bersambung.

Dikutip dari majalah Sinar Islam Edisi 3, Maret 1981