Wednesday, May 31, 2006

[So far of...] Pengamat PKS yang masih Mencurigakan

##
[So far of...] Pengamat PKS yang masih Mencurigakan
##


Doktrin universalitas Islam mengandaikan adanya penyeragaman konsep Negara
dan pemerintahan Islam di seluruh Negara-negara yang mayoritas penduduknya
muslim. Kaum fundamentalis berpandangan Negara-negara Arab yang identik
dengan asal Islam diposisikan sebagai centrum sedangkan Negara-negara diluar
itu hanya sebagai peripheral saja. Sampai kapanpun kaum fundamentalis Islam
akan selalu berusaha untuk menerapkan syariat Islam bagaimanapun caranya
bahkan ketika terdesak dihalalkan berbohong dengan alasan demi kebaikan,
cara pandang mereka terhadap the others yang berbeda atau diluar konteks
gagasan pemikirannya harus ditolak atau bahkan dihancurkan bukan hanya pada
level pemikiran tetapi juga bagi mereka yang mengimplementasikan perbedaan
itu. Termasuk JA yang berbeda tentunya, apalagi sama-sama menganut system
kekhalifahan yang bisa dijadikan tandingan system kehalifahan mereka.
Ditambah lagi kekuatan pengikut Ahmadiyah yang menjalar hampir di seluruh
dunia tentu sebagai sesuatu yang harus diwaspadai.



Kasus di Indonesia dengan adanya indiginisasi Islam atau penyesuaian Islam
dengan situasi dan kondisi Indonesia baik budaya atau aneka ragam
kemajemukannya jelas akan ditolak karena bertentangan dengan syariat Islam
yang kaffah itu. Apalagi gerakan-gerakan liberal yang dipandang dari
"Barat", dan dianalogikan dengan globalisasi yang menghasilkan
ketimpangan-ketimpangan ekonomi, social dan budaya, serta kebijakan politik
yang cenderung meminggirkan kepentingan-kepentingan kaum fundamentalis jelas
sangat mengancam keberadaan kaum fundamentalis. Karena memang secara nyata
dampak globalisasi selalu meminggirkan dan merugikan kaum fundamentalis
bahkan gerakan-gerakan nyata seperti terorisme yang dilakukan
cenderung ditumpangi
pihak ketiga. Dengan demikian indiginisasi dan gerakan-gerakan pro
globalisasi harus juga dienyahkan.



Tak heran kalau gerakan-gerakan kaum fundamentalis yang dimotori oleh
Ikhwanul Muslimin cenderung radikal karena mereka menganggap jalur demokrasi
dan jalan damai lain sudah jelas tidak akan dimenangkan oleh mereka, apalagi
kalau sudah berlawanan dengan hegemoni Amrik misalnya kasus pembelaan
terhadap Palestina . Akan tetapi gebrakan radikal seperti aksi terorisme
sebenarnya hanya sempalan saja dari gerakan IM jadi bukan merupakan gerakan
mainstream.

Mainstream sendiri bekerja secara terorganisir, rapi dan sistematis. Jikalau
disuatu Negara terdapat kesempatan untuk mendirikan partai, mereka pun
mendirikan partai dengan cara kerja seperti ormas dan cenderung ikut dalam
kontestasi politik yang memasyarakat dengan melakukan kegiatan-kegiatan
(aksi-aksi) yang menarik simpati massa. Dengan cara ini dalam jangka waktu
relative cepat mereka bisa berhasil menjadi partai dengan dukungan
massabesar. Bersamaan dengan langkah politiknya, mainstream IM ini
melakukan
recruitment terhadap mahasiswa atau akademisi dengan memberikan perspektif
islam ala mereka, sehingga terbentuk kaderisasi yang menguasai
kampus-kampus. Dilegislatif sendiri, walaupun masuk dengan cara bukan dengan
partai Islam akan tetapi serta merta segera memanfaatkan kesempatan untuk
melaksanakan tujuan politiknya "menegakan syariat" seperti kasus munculnya
perda-perda aneh bin ajaib.



So siapakah mainstream IM di Indonesia yang banyak melakukan aksi nyata di
masyarakat dan cenderung menarik simpati massa ???

Referensi Buku : Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi

Diterbitkan oleh Spectrum

Maret 2006

Desain : Johannes Edi Juwono (Aktifis No Violence, Mr. Edie Kita di Bulletin
Warna Bangsa)

--

Tulisan di bawah ini dibuat oleh PKS-watch berkaitan dengan
pernyataan HNW bahwa kita sebaiknya membikin agama baru supaya
enggak rusuh.

Walaupun kelihatannya berisi sedikit simpati terhadap JA namun masih
terlihat kebijakan diplomatis PKS/IM yang berbahaya dan sesungguhnya
persis seperti apa yang saya kemukakan sebelumnya mengenai pendapat
kawan kantor saya yang member PKS.

Kebijakan itu adalah bahwa dalam kehidupan bernegara suatu kelompok
tertentu tidak dapat memaksakan atau melarang pandangan orang lain
yang berbeda dengan mereka.

Yang "berhak" untuk melarang adalah Negara.

Jadi memang demikianlah permainan mereka bahwa suatu waktu mereka
akan mengusahakan Pelarangan JA secara legal melalui keputusan hukum
Negara yang disetujui melalui proses yang demokratis. Lihat
pernyataan "kalau Ahmadiyah dilarang yang melarang itu haruslah
Negara".......

Saya hanya berdoa agar mereka ini semua dibalikkan hatinya kembali
oleh Allah SWT agar betul-betul memprjuangkan keadilan bagi semua
orang.....Amin.


http://pkswatch.blogspot.com/2006/05/ulasan-atas-beberapa-paradigma-
tipikal.html

Ulasan Atas Beberapa Paradigma Tipikal Kader PKS
Beberapa Minggu yang lalu, Google mengirimkan alert bahwa ada
artikel yang mengulas blog ini, iseng-iseng saya ikuti URLnya,
ternyata dari blog Doni Riadi, dalam sebuah artikel bertajuk 'Tidak
Setangguh yang Diduga'.

Waktu membacanya, terus terang saya jadi cengar-cengir sendiri.
Ternyata tulisan itu adalah curahan hati sang blogger atas diskusi
yang terjadi di artikel 'Surat Terbuka kepada Ketua MPR'. Dimulai
dari komentarnya pada komentar #43, yang kemudian saya tanggapi pada
komentar #45. Dalam menanggapi sebuah komentar, saya biasanya
menanggapi satu per satu dengan alur logika dan dasar yang jelas.
Kalau belakangan banyak komentar yang belum saya tanggapi, itu
semata karena saya belakangan ini sibuk berat. Bukan karena
sudah 'bertobat untuk tidak mengkritik PKS' seperti yang diduga
beberapa orang. Sorry ya akhi, dugaan antum pada salah tuh :-).

Ternyata tanggapan saya terhadap komentar #43 tersebut membuat Doni
ini menjadi rada 'patah hati', seperti yang ditulisnya:

Namun, mungkin tanpa disadari olehnya, kesemangatannya membantah
telah menelanjangi dirinya sendiri. Dalam hal ini, saya bisa
menangkap bahwa empunya blog itu ilmunya tidaklah sedalam dan
sebijak yang saya duga. Bahwa, dia ternyata tidak setangguh yang
saya kira.

Ini memberikan efek kepada saya, sehingga timbul rasa malas untuk
menulis atau memberi koment lagi di blog itu. Karena bagi saya,
pilihan-pilihan kata, dan cara berpikir empunya PKSWatch tidaklah
menunjukkan karakter da'i, tapi awam kebanyakan. Padahal, saya
berharap, mungkin saya dapat belajar sesuatu hal darinya, dari
empunya blog itu.

Biasanya, kalau membaca sebuah artikel di blog saya hanya melakukan
eye scanning, tapi ungkapan patah hati si Doni ini membuat saya
membaca satu per satu secara jelas isi curhatnya. Awalnya, saya
cukup bereaksi dengan senyam-senyum sendiri, tapi setelah beberapa
waktu akhirnya saya putuskan untuk menanggapi tulisannya. Bukan
karena ingin membalas, tapi karena masalah paradigma. Paradigma yang
diperlihatkan oleh Doni di tulisan itu betul-betul memperlihatkan
paradigma khas kaum muda militan PKS yang merasa benar sendiri,
menganggap salah pendapat di luar kelompoknya dan tidak siap mental
untuk adu argumentasi secara fair. Karena kesibukan belakangan ini,
saya baru sempat menuliskannya hari ini. Mudah-mudahan tanggapan ini
bisa menjadi masukan atau opini alternatif buat siapapun.

Seperti biasa saya mengupas satu per satu topik yang ditanggapi
sehingga bisa diikuti secara jelas. Meskipun cuma curhat singkat
dari Doni, tapi topik yang disinggung itu bukan pula topik trivial
yang bisa dijawab dengan satu dua paragraf pula, sehingga pembahasan
agak panjang. Meskipun (lagi) tanggapan saya di sini juga bukan
jawaban komprehensif atas pikiran-pikiran yang mungkin serupa dengan
curhatnya Doni.

Lagipula entah apa sebabnya Doni ini sepertinya mengharapkan saya
untuk menunjukkan karakter da'i. Selain saya merasa tidak jelas sama
sekali apa definisi karakter da'i itu, saya juga tipikal orang yang
selalu menggolongkan diri ke dalam kelompok awam, kelompok rakyat
kecil atau rakyat pupu. Kalau Tifatul Sembiring sih memang terang-
terangan mengklaim bahwa dia dan koleganya di PKS adalah da'i.
Meskipun setelah itu dia menyetujui penunjukan Exxon sebagai
pengelola blok Cepu dan kenaikan harga BBM yang bikin jutaan nelayan
dan keluarganya bangkrut dan keleleran. Apakah itu bagian dari
karakter da'i? Entahlah, tapi itulah sebabnya saya katakan bahwa
saya merasa tidak jelas apa itu 'karakter dai' yang disebut oleh
Doni.

Doni melanjutkan curhatnya sbb:

Entahlah, mungkin blog itu suatu saat akan menjadi berat sebelah,
tidak imbang, dan akhirnya : menjadi tak berkualitas dan tak dapat
direkomendasikan untuk dibaca, karena isinya melulu caci maki,
sumpah serapah, keluhan, ketidakpercayaan, dan kekecewaan. Jika ini
menumpuk di memori, maka dijamin, saya dan mungkin juga anda bakalan
cepat tua. :>

Saya sangat heran dengan bagian yang ini. Sudah jelas bahwa blog ini
bertajuk PKS Watch, sudah jelas pula tema blog ini mengulas sepak
terjang politik PKS dengan jujur dan tanpa basa-basi, bagaimana
mungkin dia masih berkomentar bahwa suatu saat blog ini tidak
seimbang?

Kalau keseimbangan yang dimaksudkan adalah blog ini juga harus
menampilkan kebaikan-kebaikan PKS, alangkah mubazirnya. Begitu
banyak website PKS di seluruh dunia, dan isinya 99% tentang kebaikan-
kebaikan PKS. Jelas ini tidak seimbang, karena tidak ada yang
mengkritisi PKS secara lugas tanpa basa-basi. Lalu muncullah blog
PKS Watch karena keinginan untuk memberikan ulasan atau opini
alternatif. Malah kalau melihat dari scope yang lebih luas, blog ini
justru menjadi penyeimbang opini. Tapi kalau isinya dianggap tidak
berkualitas dan tak dapat direkomendasikan untuk dibaca, well, itu
saya pulangkan kepada para pemirsa yang budiman. Bagaimana para
pemirsa?

Kalau menurut Doni sih blog ini isinya melulu (cuma atau hanya) caci
maki, sumpah serapah, dst. Doni ini 'mungkin' terlalu terbiasa
berdiskusi ala milis-milis PKS yang isinya kebanyakan sanjungan,
pujian atau kata-kata yang mendayu-dayu terhadap PKS dan tokoh-
tokohnya. Biasanya disertai kata-kata standar seperti "Subhanallah,
ana sampai meneteskan air mata", dan sejenisnya. Sehingga bagi Doni,
opini alternatif yang ada di blog ini isinya bagaikan caci maki dan
sumpah serapah. Padahal saya belum pernah sekalipun mencaci atau
menyumpahi atau mengeluarkan 'koleksi kebun binatang' kepada satu
orang pun di blog ini, silahkan cari buktinya. Bahkan kalau ada
komentar yang seperti itu, selalu saya reject kecuali caci maki
terhadap diri saya sendiri.

Nah, sekarang tiba saatnya mengulas beberapa paradigma Doni, yang
sering pula saya jumpai pada kader-kader PKS lainnya. Mungkin karena
berasal dari satu patron, maka model berpikir seperti itu bisa
muncul di mana-mana. Sungguh memprihatinkan.

1. Klaimnya tentang sumber-sumber hukum. Khususnya pendapatnya
tentang keputusan OKI, ulama di MUI, orang-orang soleh terdahulu,
saudara muslim di negara sahabat, bahkan ucapan seorang presiden,
sebagai sumber yang tak dapat dipatuhi atau dijadikan pegangan. Ini
adalah ciri nasionalisme sempit dan bukan universalitas Islam.

Curhatnya yang ini mengenai pelarangan Ahmadiyah. Saya tidak akan
membahas mengenai akidah di sini, karena kalau mengenai sesat atau
tidaknya Ahmadiyah maka saya berpegang kepada fatwa MUI. Insya Allah
saya yakin, sampai mati saya tidak akan mengakui ada nabi setelah
Muhammad.

Tapi kalau mengenai pelarangan, persekusi atau tindakan fisik
lainnya, nanti dulu. Pelarangan adalah sebuah tindakan yang disertai
dengan pemaksaan. Siapa yang bisa memaksa? Jawabannya negara!

Mengapa demikian?

Mari kita lihat salah satu rujukan ilmu yang kompeten. Prof. Miriam
Budiardjo di dalam buku 'Dasar-Dasar Ilmu Politik' mendefinisikan
negara sebagai sebuah daerah teritorial yang rakyatnya diperintah
(governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya
melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
[1]

Prof. Miriam dalam mendefinisikan negara juga mengutip Max
Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah".

Mudah-mudahan dengan rujukan yang sedemikian jelas, kita semua
menjadi paham bahwa HANYA negara yang berhak melakukan tindakan yang
bersifat memaksa apalagi menggunakan kekerasan fisik terhadap
rakyatnya.

Dengan demikian jelas, bahwa kelompok masyarakat, ormas, parpol atau
apapun tidak berhak untuk melakukan tindakan yang bersifat memaksa
kepada sekelompok masyarakat lainnya, apapun alasannya.

Kembali kepada masalah pelarangan Ahmadiyah, jelas dalam hal ini
hanya negaralah yang berhak melarang Ahmadiyah hidup di bumi
Indonesia ini.

Kalau kita sudah clear mengenai otoritas yang berhak melarang, mari
kita lanjutkan membahas dasar pelarangan. Bagaimana sebuah negara
melarang atau menuntut ketaatan dari warganya? Apakah cukup dengan
ucapan presiden atau rajanya? Kalau seperti itu, maka kita akan
kembali menjadi negara yang bersifat despotism, di mana kelaliman
merajalela karena ucapan pemimpin langsung menjadi hukum.

Prof. Miriam dalam mendefinisikan negara menekankan bahwa ketaatan
warganegara itu adalah kepada peraturan perundang-undangan, bukan
kepada sang pejabat. Sehingga, jika harus ada hal larang-melarang di
Indonesia ini, maka itu haruslah dalam bentuk perundang-undangan
sesuai dengan tata hukum yang berlaku.

Misalnya masalah pelarangan komunis, jelas tertera di dalam TAP MPRS
xxV/1966, bukan hanya ucapan seorang presiden. Terlepas dari situasi
politik pada waktu itu, tapi pelarangan komunis jelas tercantum
dalam aturan perundang-undangan yang ada.

Belakangan, hukum yang diakui di Indonesia dipertegas kembali dalam
UU No 10 tahun 2004, dalam pasal 7 dinyatakan bahwa urutan aturan
hukum itu adalah: UUD 45, UU/Perppu, PP, Perpres dan Perda. Jadi,
kalau negara ingin melarang atau menuntut ketaatan warganya maka
haruslah diundangkan dalam aturan hukum yang berlaku.

Ucapan presiden, ketua MPR, ulama, fatwa MUI, hasil kongres OKI,
bukanlah produk hukum di Indonesia, dan sama sekali tidak bisa
menjadi dasar hukum untuk sebuah tindakan memaksa (represif). Dalam
kasus Ahmadiyah, fatwa MUI buat saya hanyalah semata pedoman dari
ulama, pedoman biasa yang saya dapatkan tentang jalan lurus dan
sesat. Tapi itu tetap bukan produk hukum yang berkekuatan memaksa.

Kembali lagi ke masalah Ahmadiyah, jelas belum ada satupun produk
hukum yang secara tegas melarang Ahmadiyah. Jadi saya sungguh
prihatin dengan wawasan kenegaraan si Doni ini, karena membenarkan
pelarangan Ahmadiyah itu hanya berdasarkan ucapan presiden,
keputusan OKI, dll. Selama belum ada produk hukum yang secara tegas
melarang Ahmadiyah, maka mereka memiliki hak untuk hidup di
Indonesia seperti halnya umat lainnya.

Hal seperti ini juga terjadi dalam sejarah Islam. Khalifah Abu Bakar
memerangi orang yang tidak berzakat, karena zakat adalah bagian dari
hukum negara waktu itu. Tidak membayar zakat berarti melanggar
hukum. Melanggar hukum akan berhadapan dengan konsekuensi pemaksaan
dari negara.

Demikian pula contoh yang diperlihatkan oleh Wali Songo dalam
menyikapi penyimpangan Syekh Siti Jenar. Meskipun sudah divonis
sesat dan dihukum mati, tapi eksekusi (pemaksaan) tidak dilakukan
sampai berdirinya negara Islam Demak, yang memiliki otoritas
memaksa. Kalau mengikuti logikanya Doni bahwa karena fatwa MUI
menyatakan Ahmadiyah sesat maka kita sudah bisa melarang Ahmadiyah
dari Indonesia, maka Wali Songo juga tidak akan repot-repot menunggu
berdirinya negara Demak untuk melakukan eksekusi.

Bagaimana kalau negara tidak bisa juga atau lamban mengambil
tindakan? Ibnu Taimiyah dalam kitab Kumpulan Fatwa Amar Makruf Nahi
Munkar dan Kekuasaan menjelaskan bahwa rakyat harus bersabar
terhadap kezhaliman dan kediktatoran para pemimpin [2]. Seperti
apakah bersabar di sini? Apakah hanya tinggal pasrah dan do nothing?
Tidak! Di bagian lain Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa wajib atas
masing-masing pemimpin dan rakyat untuk memperhatikan hak satu sama
lain. Sang Syaikhul Islam merujuk kepada surat Al Balad ayat 17 "Dan
saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang".

So, sabar di sini adalah tetap berikhtiar tapi tidak melakukan
anarki. Jika negara tidak langsung melakukan apa yang kita inginkan,
kita bisa mengusahakan itu lewat berbagai jalur. Dalam kasus
Ahmadiyah ini, misalnya lewat jalur hukum dengan cara menuntut
pidana atas pelanggaran KUHP pasal 156a tentang penodaan agama.
Lewat jalur politik dengan cara membuat aturan hukum yang mendukung
hal tersebut. Lewat jalur penggalangan opini publik, misalnya
melalui tulisan, media, milis atau blog. Dan jangan lupa melalui
dakwah.

Saya juga mencoba bersabar terhadap kepemimpinan PKS dengan cara
tetap berikhtiar meluruskan apa yang saya anggap sudah menyimpang,
dengan cara menuliskan opini alternatif melalui blog. Yang jelas
saya tidak pernah melakukan anarki fisik.

Doni menulis "Ini adalah ciri nasionalisme sempit dan bukan
universalitas Islam". Kita bicara tentang tindakan pelarangan dan
represi, artinya kita bicara negara bukan akidah lagi. Kalau bicara
negara, maka bicaralah dengan aturan-aturan negara. Apanya
yang 'nasionalisme sempit'?

Untuk yang ke sekian kalinya saya menemukan fenomena seperti ini
dari kader PKS. Ketika kehabisan argumentasi, lalu mengeluarkan
tuduhan. Padahal ulasan saya di komentar itu dan di artikel ini
bersumber dari rujukan yang kredibel, bukan buah pikiran saya
sendiri yang hanya seorang rakyat kecil nan awam. Tolong para pakar
politik dan tata negara yang kebetulan membaca artikel ini beri
masukan buat saya, ngacokah pemahaman saya mengenai negara seperti
yang saya ulas di atas?

2. Penafsiran sepihak ayat : tidak ada paksaan dalam agama (QS.
Albaqoroh). Ini adalah ciri orang yang doyan mengedepankan logika
sendiri saat mentafsirkan ayat-ayat Allah.

Ini bagian dari curhatnya yang kemudian membuat saya memutuskan
untuk memberikan tanggapan yang semoga bisa menjadi masukan.

Ini berawal dari komentar Doni sbb: Jika ada yang mengatakan adalah
hak setiap orang untuk memeluk agama dan keyakinan apapun, termasuk
yang dianggap sesat sekalipun, maka sesungguhnya inilah yang disebut
dengan karakter kejahiliyahan (kebodohan) abadi.

Kemudian saya tanggapi dengan merujuk kepada Al Quran surat Al
Baqarah ayat 256 yang berbunyi "Tidak ada paksaan untuk agama;
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."

Lalu saya tambahkan: Anda sadar Anda sedang bicara apa? Allah SWT
sudah menyatakan bahwa agama yang diridhaiNya hanyalah Islam, tapi
untuk berislam atau tidak itu adalah sebuah pilihan setiap orang,
karena tidak ada paksaan dalam agama. Hak untuk memilih agama apapun
meskipun sesat itu tertera dalam Quran. Kok Anda sebut karakter
jahiliyah sih?

Ternyata lagi-lagi mendapat tanggapan khas kader mabok ghirah (maaf
ya Don), pokoknya apapun argumen, sejelas apapun rujukannya, sesahih
apapun isinya, kalau bertentangan dengan pendapatnya atau
pendapat 'jamaahnya', pasti akan disalahkan atau minimal
dituding 'miring'.

Saya tidak tahu apakah si Doni ini seorang ahli tafsir Quran, yang
jelas saya bukan. Oleh sebab itu, saya tidak berani berusaha
menafsirkan sendiri seperti yang dituduhkan Doni: "Ini adalah ciri
orang yang doyan mengedepankan logika sendiri saat mentafsirkan ayat-
ayat Allah". Saya selalu mencoba merujuk kepada tafsir dari ulama
kredibel, di antaranya Quraish Shihab, Sayyid Quthb dan Hamka.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al Misbah menjelaskan
makna ayat itu beberapa halaman [3]. Di antaranya Quraish
menulis: ...bahwa Dia memiliki kekuasaan yang tidak terbendung, maka
bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan
bagi Allah untuk memaksa makhluk menganut agamaNya. Untuk menampik
dugaan ini, datanglah ayat 256 di atas.

Mengapa ada paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu. Mengapa
ada paksaan, padahal sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat saja (Al Maidah:48).

Sayyid Quthb dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Quran juga menjelaskan
cukup panjang lebar makna ayat ini [4]. Beliau di antaranya
menjelaskan: Masalah akidah, sebagaimana yang dibawa oleh Islam,
adalah masalah kerelaan hati setelah mendapatkan keterangan dan
penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan.

Pada bagian lain beliau menjelaskan: Dalam prinsip ini tampaklah
dengan jelas betapa Allah memuliakan manusia, menghormati kehendak,
pikiran dan perasaannya. Juga menyerahkan urusan mereka kepada
dirinya sendiri mengenai masalah yang khusus berkaitan dengan
petunjuk dan kesesatan dalam iktikad, dan memikulkan tanggung jawab
atas dirinya sebagai konsekuensi amal perbuatannya. Ini merupakan
kebebasan manusia yang amat khusus.

Pada alinea berikutnya beliau menjelaskan: Kebebasan beriktikad
(beragama) adalah hak asasi manusia yang karena iktikadnya itulah
dia layak disebut manusia.

Sayang tafsir Al Azhar dari Hamka tidak ketahuan rimbanya. Tapi
cukuplah dua ulama ahli tafsir di atas.

Bisa dilihat dari tafsir dua ulama besar tersebut bahwa Allah SWT
memberikan kebebasan untuk memilih agama, memilih jalan sesat dan
lurus. Sayyid Quthb bahkan menyebutnya sebagai bagian dari HAM.
Berani-beraninya si Doni ini mengatakan bahwa kebebasan untuk
memilih itu adalah karakter jahiliyah. Ketika saya berikan rujukan
di Quran, Doni kemudian menuduh itu penafsiran sepihak dan doyan
mengedepankan logika sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Allah.

Entahlah, apakah si Doni ini seorang ahli tafsir yang punya
pemahaman sendiri?

Point berikutnya dari curhat si Doni adalah sebagai berikut:

3. Sikapnya terhadap aliran sesat dan menyesatkan. Saya sungguh
tidak paham tentang kalimat : "Orisinal menurut siapa ?" , pada saat
saya katakan bahwa HNW, sama dengan ulama lain sekedar berusaha
menjaga kemurnian/orisinalitas Islam.

Ini berawal dari pernyataan Doni: "Umat Islam, mestinya justru
bersyukur memiliki sosok pemimpin negara yang mampu melindungi
orisinalitas agama yang dianut oleh warga negaranya"

Lalu saya tanggapi: "Orisinal menurut siapa? Anda tanya penganut
syiah deh, menurut mereka Islamnya HNW itu benar atau tidak?"

Ini kembali terkait dengan kasus Ahmadiyah. Kalau bicara dari sisi
akidah, sebagai muslim sunni, mudah-mudahan juga bagian ahlus sunnah
wal jamaah, saya bersyukur adanya ulama seperti HNW atau ulama-ulama
lain yang secara aktif mendakwahi umat, memberikan pencerahan, dll.

Tapi kalau terkait dengan kehidupan bernegara, di mana negaranya
bukan negara Islam, tapi sekuler, maka kita harus berhati-hati.
Islam yang ada di Indonesia ini bukan hanya Islam seperti yang saya
dan HNW pahami (Insya Allah pemahaman Islam saya dan HNW pada jalur
yang sama, bedanya saya awam dan HNW pakar). Banyak Islam lainnya,
yang juga merasa memiliki hak yang sama untuk mengakui diri sebagai
Islam. Sebutlah Syi'ah, kelompok Islam jamaah, mutazilah, sempalan
NII, sampai Ahmadiyah.

Sehingga ketika kita bicara orisinalitas agama dalam tataran negara,
maka kita akan berhadapan pada berbagai kelompok yang belum tentu
sepaham. Bagi kaum Syi'ah, tentunya akidah saya dan HNW yang
menganggap Ali hanya sebagai sahabat dan khalifah adalah keliru.
Itulah sebabnya saya challenge "Orisinal menurut siapa?".

Ternyata Doni tidak paham atas pertanyaan yang bersifat challenge
itu. Kalau melihat pemahaman kenegaraannya, ya saya jadi maklum.

Selanjutnya Doni curhat sbb:

4. Solusi yang ditawarkannya : Mendidik anak an-sich. Tanpa usaha
proteksi, tanpa ada sanksi/penghukuman, tanpa ada 'serangan' balik.
Jelas,ini bukan karakter pergerakan Islam.

Yang ini sih mestinya klir kalau kita sudah memahami hakikat negara
dan rakyatnya. Dalam menjaga akidah keluarga atau anak, ada dua cara
yaitu secara internal dan eksternal.

Secara internal (bersifat preventif), salah satu yang harus kita
lakukan adalah menjaga pendidikan sang anak.

Secara eksternal (bersifat represif), tentunya melalui aturan-aturan
dari pihak yang berwenang, katakanlah dalam hal ini negara. Usaha-
usaha yang disebut oleh Doni itu seperti proteksi, sanksi, hukuman
dan 'serangan' balik hanya bisa dilakukan oleh negara. Di atas sudah
saya ulas panjang lebar.

Sekali lagi, hanya negara yang berhak melakukan usaha-usaha yang
bersifat represif tersebut. Ormas, forum ulama, atau siapaun tidak
punya hak untuk melakukan usaha-usaha represif tersebut. Contoh
kisah Wali Songo di atas mestinya cukup jelas memberikan pemahaman
tersebut kepada kita semua.

Seperti apa karakter pergerakan Islam menurut Doni ini? Apakah
menyerang sambil bakar-bakaran penuh amarah dan teriak Allahu Akbar?
Mengerikan sekali kalau begitu. Mudah-mudahan tidak demikian.

Point curhat yang terakhir sbb:

5. Klaim sepihak atas : Islam sebagai agama rahmatan lil alamin,
dikorelasikan dengan minimnya sikap dan simpati PKS kepada korban
pengrusakan. Jelas, ini adalah bukti miskinnya data dan kepahaman
tentang PKS. Walaupun di blognya mengutip banyak sumber berita
(sekunder) dari media massa dan media online tentang PKS.

Jadi seperti apa sih seseorang kalau sudah memiliki 'kepahaman'
tentang PKS? Apakah dengan menuliskan "Subhanallah, kader-kader PKS
melakukan baksos di Aceh", atau berbagai komentar yang bersifat riya
lainnya?

Ini adalah keputusan Munas PKS tanggal 23-31 Juli 2005 point ke 12
[5] yang saya kutip dari situs HNW sendiri: "Mengenai kasus
penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah, PKS menghimbau agar
masyarakat, khususnya kaum muslimin menyikapinya dengan lebih arif
dan tidak bertindak anarkis. Perbedaan pemahaman sebaiknya
diselesaikan dengan penyadaran-penyadaran yang bersifat persuasif."

Jelas PKS menyatakan bahwa perbedaan dengan Ahmadiyah itu haruslah
disikapi dengan arif dan tidak anarkis. Penyelesaian perbedaan itu
hendaklah dengan cara penyadaran yang bersifat persuasif atau dakwah.

Sikap PKS di sini sudah menampilkan wajah Islam sebagai rahmatan lil
alamin, tapi sayangnya tidak sinkron dengan tanggapan HNW yang
kurang manusiawi itu. Beliau sama sekali tidak mengutuk kekerasan
itu (padahal sikap Munas PKS melarang kekerasan terhadap Ahmadiyah),
dan dengan gampangnya menyatakan agar kaum Ahmadi meninggalkan
keyakinan Ahmadiahnya supaya masalah tidak rumit (tidak rusuh),
padahal sikap Munas PKS menyatakan supaya menyelesaikan perbedaan
pemahaman itu secara persuasif, bukan dengan cara ngancem biar gak
rusuh.

Belum lagi sikap itu langsung didukung kader-kader fanatikun yang
mungkin tidak mengikuti hasil Munas partainya sendiri. Di mana letak
kasih sayang Islam? Mana rahmatan lil alamin? Sudahlah tidak baksos
terhadap kaum Ahmadi yang kena musibah (setahu saya), malahan
mengeluarkan pernyataan tidak simpatik pula.

Kemudian Doni menambahkan curhatnya:

Dan masih ada lagi sih, tapi, sudahlah... mending sekarang aku
menulis hal lain aja deh, yang jauh lebih bermanfaat.

Ini saya setuju. Sudahlah, ketimbang cuma curhat begini mendingan
tulislah yang lebih bermanfaat dan mencerahkan, dengan logika dan
referensi yang jelas. Akur?

Btw, saya jadi bingung, apa definisi tangguh si Doni ini? Apakah
saya harus menanggapi komentar #43 di artikel 'Surat Terbuka kepada
Ketua MPR' itu dengan mengatakan "syukron akhi atas tausiyah antum",
lalu tidak usah meng-argue lagi?

Terakhir, masukan saya buat PKS, model pemahaman seperti Doni ini
adalah pe-er buat PKS. Kalau mau terjun ke dunia politik praktis dan
nyebur ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka pahamilah
hakikat bernegara, sehingga tidak campur aduk antara tujuan ideal
sebuah negara berlandaskan syariah, dan realitas sebuah negara
sekuler. Kemudian doronglah selalu kader untuk selalu mencari
rujukan dari berbagai sumber, meskipun itu adalah sumber di luar
jamaah sehingga tidak merasa benar sendiri.

Biblio
[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,
Juni 2005 (cetakan ke 27)
[2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Tentang Amar Ma'ruf
Nahi Munkar dan Kekuasaan, Siyasah Syar'iyah dan Jihad fi
Sabilillah, Darul Haq, Jakarta, 2005
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Volume 1 (Al Fatihah dan Al
Baqarah), Lentera Hati, Jakarta, 2002
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 1 (Al Faatihah dan
Al Baqarah), Gema Insani, Jakarta, 2000
[5] Keputusan Munas PKS, Jakarta, 23-31 Juli 2005